Tuesday, 28 December 2010

Realis Dipuja, Realis Dicerca

By : Triono Akhmad Munib

Realisme dan para kaum realis bisa tersenyum lega ketika bisa menjawab fenomena Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin. Asumsi-asumsi realis bisa menjelaskan fenomena di atas. Perang-perang tersebut menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya jahat dan tidak bisa hidup harmoni. Negara merupakan aktor pertama dan utama walaupun memang negara dipimpin seorang Presiden yang merupakan individu, namun kebijakan dibuat dan atas nama negara. Dan peserta perang adalah negara bukan individu. Kaum realis makin tersenyum lebar ketika perimbangan kekuatan dilakukan oleh negara-negara untuk upaya damai (saat Perang Dingin). Perimbangan kekuatan (balance of power) merupakan salah satu konsep utama dari penciptaan perdamaian oleh para kaum realis. Pada saat itu realisme dipuja bak seorang ksatria yang menyelamatkan kerajaannya dari serbuan musuh. Kaum realis semakin mengukuhkan bahwa realisme sebuah grand theory yang tak terbantahkan dan bisa menjawab segala fenomena internasional yang terjadi. Di sini para kaum liberalis gagal menjelaskan munculnya fenomena di atas.
Namun kaum realis menunjukkan kegelisahan dan kebingunannya pada saat diminta menjawab fenomena yang terjadi pasca Perang Dingin dan di sini kaum liberalis ganti tersenyum lega. Ada banyak pihak yang menggugat pandangan realis. Ada beberapa poin pertanyaan yang hendak diajukan para penggugat realis, antara lain:
1.Apakah benar manusia itu jahat dan tidak bisa bekerja sama sekali pun?
2.Dan apakah aktor utama selalu negara?
3.Apakah realisme sebuah teori yang ilmiah?
Di sini penulis akan menjawab satu peratu gugatan pertanyaan di atas. Pertanyaan pertama dan kedua muncul dari para kaum liberalis. Mereka menganggap realisme telah gagal menjawab fenomena hubungan internasional pasca Perang Dingin. Pasca Perang Dingin merupakan sebuah titik awal kebangkitan penstudi hubungan internasional beserta diskurus barunya. Semakin munculnya kerjsama regional maupun internasional yang berdasar pada ekonomi, sejarah, dan teritori menjelaskan bahwa manusia yang dalam hal ini dibungkus pada level negara-bangsa bisa bekerja sama dan hidup harmoni. Pada dasarnya manusia bisa menepis egonya untuk kepentingan bersama (collective interest). Bukan manusia yang anarki melainkan sistem internasional-lah yang mendorong manusia untuk bertindak jahat terhadap satu sama lain. Pada poin ini jelas realis kesulitan menjawabnya. Mengapa banyak kerja sama semakin bermunculan?. Mengapa perimbangan kekuatan menjadi tidak relevan seperti pada saat Perang Dingin di mana negara cenderung membentuk aliansi dengan negara-negara kuat untuk mengimbangi kekuatan musuh?. Sekali lagi, realis gagal
Kemudian mengarah kepada pertanyaan selanjutnya, apakah harus negara yang bisa mempengaruhi dan melakukan hubungan dengan negara lain?. Lagi dan lagi realis salah memprediksi. Semakin bermunculan aktor non-negara atau yang disebut sebagai aktor transnasional menjadi batu hambatan kaum realis. Faktanya, banyak perusahaaan multinasional yang bisa mempengaruhi hubungan antar negar, bisa menghilangkan kontrol negara, dan bahkan bisa menekan bargaining position negara. Tentu kita masih ingat tentang UU Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia. Sebelumnya pihak asing hanya boleh memiliki saham hanya 5%. Pihak asing merasa tidak puas dengan hanya mendapatkan 5% dari saham di Indonesia, melalui intervensi dalam perubahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1968, pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 49%. Seiring berjalannya waktu pihak asing semakin bebas menguasai Indonesia karena pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 95%. Di sini menunjukkan bahwa negara tidak lagi memiliki power untuk menentukan kehendaknya sendiri. Kuatnya lobi dengan dibungkus oleh perbaikan kesejahteraan (penyerapan tenaga kerja) oleh MNCs (Multinational Corporations) membuat sebuah negara, khusunya negara berkembang lagi-lagi meng-‘iya’ kan saja apa yang diinginkan MNCs. Dalam hal UU PMA yang seharusnya Indonesia yang merupakan aktor yang memiliki porsi lebih tinggi ternyata status ‘state’ tersebut pun juga tidak menjamin kuatnya power dalam hal bargaining position. Pemerintah Indonesia yang semestinya berhak mengontrol dan memanajemen segala bentuk investasi dengan regulasi-regulasi yang diciptakan ternyata menjadi powerless ketika dihadapkan dengan kuatnya lobi aktor transnasional dalam bentuk MNCs di atas.
Berlanjut kepertanyaan ketiga dan terakhir yang timbul dari para kosntruktivis. Mereka menanyakan kembali tentang konsep ke-ilmiahan realis. Masak sih realisme itu ilmiah?. Kaum konstruktivis tidak menyetujuinya. Poin penting dari suatu dikatakan ilmiah seperti ilmu eksak/alam adalah bebas nilai. Menurut kaum konstruktivis ilmu hubungan internasional yang berangkat dari ilmu sosial tidak ada yang bebas nilai. Sebuah teori ilmu sosial diciptakan selalu akan ada nilai/pengaruh dari pemikirnya karena di sini kita tidak melakukan sebuah eksperimen layaknya ilmu alam. Sehingga kebenaran ilmu sosial adalah terletak pada kesalahannya. Dan kebenaran ilmu sosial karena suara mayoritas meng-‘iya’ kan.
Dari penjelasan di atas realisme yang dulu dipuja-puja namun juga dicerca pada saat tidak bisa menjawab sebuah fenomena yang terjadi. Namun penulis berpendapat bahwa sebuah teori diciptakan bukan untuk menjatuhkan ataupun menghilangkan teori sebelumnya. Teori baru muncul dikarenakan memang teori yang sebelumnya kurang bisa menjelaskan perubahan fenomena yang terjadi. Memang teori diciptakan tidak bisa lepas dari ruang dan waktu saat itu. Teori dibuat untuk membantu kita membentuk sebuah kerangka berpikir sebelum menjelaskan sebuah fenomena yang terjadi, karena tanpa sebuah teori tak akan ada artinya kita memandang fenomena

Utopia Liberalis

By : Triono Akhmad Munib

Sebelum penulis menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang dibahas nanti. Alangkah baiknya kita menerjemahkan judul dari tulisan ini. Utopia merupakan sebuah istilah yang berarti sesuatu yang khayal, angan-angan, sebuah keberharapan. Sedangkan liberalis merupakan salah satu teori dalam hubungan internasional. So, apa hubungannya?. Okey we just start.
Pemikiran liberalisme muncul setelah berakhirnya Perang Dunia I, yaitu akibat dari adanya sebuah keinginan para ilmuwan dan politisi untuk memahami sebab-sebab terjadinya perang dan untuk mewujudkan dunia yang lebih damai. Adapun poin-poin penting dalam liberalisme, antara lain :
1.Manusia esensinya adalah ”baik” dan mementingkan kepentingan orang lain sehingga implementasinya kehidupan manusia adalah harmonis dan bisa bekerja sama
2.Pada dasarnya manusia memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan sesamanya.
3.Masyarakat internasional harus mereorganisasi dirinya sendiri secara institusional untuk melenyapkan anarkhi dan mengkondisikan dunia tidak berperang
Dari basic assumptions itu lah para kaum liberalis meneguhkan dirinya bahwa dunia ini tidak anarki sebenarnya, manusia bisa bekerja sama. Dan memang faktanya semakin bermunculan kerjasama regional yang menjadi bukti terkuat bahwa manusia (negara-bangsa) bisa hidup berdampingan dan bekerja sama dengan menghilangkan egoisitas mereka atas nama kolektif. Namun timbul sebuah pertanyaan ’is that true?’. Berangkat dari pandangan realis dan penuilis meyakini bahwa liberalis adalah sesuatu yang utopia dan tak hanya angan-angan semata. Mengapa bias begitu?. E. H. Carr dalam Twenty Years Crisis mencurahkan kritiknya, yaitu :
1.Liberalis hanya berpegang pada karakter normatif dan mendasarkan politik internasional pada “apa yang seharusnya” bukan “apa yang sebenarnya”.
2.Kaum liberalis mengabaikan elemen sentral dalam politik internasional yaitu pertimbangan kekuasaan padahal ketimpangan distribusi kekuasaan dalam sistem internasional merupakan akar penyebab konflik dan perang.
3.Perdamaian internasional merupakan topeng tirani opresif bagi negara yang ingin merevisi batas teritorial dan kekuatan strategi dan ekonominya sehingga perdamaian internasional merupakan kepentingan tetap dari kelompok-kelompok yang unggul (few winners with many losers)
4.Collective security merupakan sebuah metode yang menempatkan kekuatan unggul pada negara-negara yang memiliki kejayaan yang melembagakan status quo. LBB tidak mampu meningkatkan kepentingan nasional negara anggotanya dan gagal memperhitungkan pergesaran kekuasaaan antara negara yang mempertahankan status quo dengan negara yang menginginkan perubahan.
Dari kritikan Carr di atas, penulis ingin menguatkan kembali dalam poin-poin di bawah ini :
1.Apakah benar semua manusia itu baik?. Kebanyakan manusia adalah jahat. Oleh karenanya perang adalah sesuatu yang inherent, ex : Kegagalan kaum liberalis menjawab adanya Perang Dunia II merupakan jawabannya dan yang paling baru saat ini adalah memanasnya konflik di Semenanjung Korea
2.Mekanisme legal-institusional dari para teoritisi liberalis adalah sangat-sangat normatif, hanya membahas bagaimana seharusnya negara bertindak tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa negara melakukan suatu tindakan tertentu. Penulis meneguhkan bahwa tidak ada sebuah institusi baik regional maupun internasional yang benar-benar berprinsip positive sum-game. PBB pun masih ada yang mendominasi yaitu AS dan banyak keputusan PBB disponsori AS yang hanya memberikan keuntungan kepada AS saja
3.Kaum liberalis terlalu mengaburkan antara national interest dengan prinsip-prinsip moral universal. Demokrasi yang diagung-agungkan dengan berpegang pada prinsip HAM, kesetaraan, dll pun pada faktanya saling menjatuhkan. Suatu contoh invasi AS ke Irak tahun 2003 yang menewaskan banyak penduduk sipil membuka mata kita bahwa negara pioner demokrasi pun tak menunjung tinggi nilai universal itu, yaitu HAM
Dari pemaparan di atas, saya semakin mengukuhkan bahwa liberalis merupakan sebuah pandangan yang berekspektasi belaka. Mereka mengandaikan manusia dan sistem intenasional ’seperti apa yang seharusnya’. Benturan kepentingan adalah hal yang tidak terhindarkan dan its given. Mengejar kepentingan nasional adalah hal alami yang dilakukan negara melalui politik luar negerinya dalam sistem internasional dan untuk menghindari peperangan diperlukan perimbangan kekuasaan (balance of power). Dan faktanya, dunia ini memang anarki dan akan selalu struggle for power. One thing that the writter want to underline here that when we talking about the interest, there is no positive sum-game

Sunday, 19 December 2010

Nuclear and Bargaining Power of North Korea

A country will have a strong bargaining position in the table of diplomacy if that country has a strong economic or military strong defense . Ideally do have them but most do not have one between them could become a bargaining tool in a country negotiating table. In this case, North Korea and in absolute terms tend to use its strong military defense of his that is in the form of the development of nuclear senjatra as a weapon in the bid process.
When North Korea successfully conducted a nuclear test on October 8, 2002, the world was surprised by the ability of the isolated country and could not even feed their own people this. Major North Korean nuclear program, has claimed all-out state finances emerged as a manifestation of two doctrines that guide the actions of military officers and determine the political posture of North Korea since the late 1990s. Two doctrines are:
1.Kangsong Taeguk, which means thinking about the importance of building strong and prosperous country, and
2.Congun Chongchi or military primacy.
Whatever losses to North Korea when it openly declared themselves as nuclear-armed country, there is a logical strategy behind the declaration of North Korea as a nuclear weapons power state. North Korea believes this action will provide a strategic advantage, symbolic, and the technology required in the long term to achieve North Korea's strong and prosperous. In accordance with the definition of nuclear strategy as the use of nuclear weapons to achieve the interests of international politics, nuclear North Korea could become an important tool in international negotiations.
The success of North Korea as a nuclear power amplifier bargaining power of the state looks at the events as follows:
1.Meeting in Beijing 27-29 August 2003 between China, Korea, Japan, South Korea (ROK), U.S., and Russia has succeeded in pressing Bush to give a written security guarantee in some form to the North, provided that North Korea's stance also flexible and be restraint.
2.In 2005, the North succeeded in pressing the IAEA to not freeze the accounts of 25 million U.S. dollars which had been frozen in Macau and in return North Korea would receive energy aid and diplomatic concessions. South Korea's own earlier pledged 50 thousand tons of fuel
The position is something that is clearly visible. North Korea's desire to seriously show ownership of nuclear weapons technology. But the interests behind it is to seek recognition and power through the threat in the negotiations. The aim is none other than North Korea to meet the needs for energy, financial, and economic incentives.
North Korea's nuclear development is intended to strengthen its bargaining position in international negotiations. Through the development of its nuclear program, North Korea seeks to create balance of forces with the Americans, and with it, the country could force Americans to sit at the negotiating table. North Korea uses its nuclear card as the U.S. in diplomacy. North Korea knows very well how to use its nuclear capabilities for diplomacy. With a nuclear North Korea could easily attract aid, start the rice until the fuel. Thus, the various sanctions and UN resolutions were not really affect them. With nuclear Similarly, a country technically still in state of war with South Korea was able to hoist bargaining power when negotiating with its enemies.
Over the last three years, the North recorded twice tested nuclear bombs and missile tests. North Korea will continue to test nuclear weapons to master the technology to put warheads on missiles. The technology will strengthen the power of Kim Jong-un, the prospective successor to Kim Jong-il, while ruling later. Obama has ever berwacana that will give more attention to Japanese intelligence information which states the possibility of long-distance missiles North Korea launched a Taepodong-2 right on U.S. Independence Day celebration. This shows that the North's bargaining position can not be considered trivial in the U.S. Matas. Since North Korea had indeed wanted to negotiate directly with Uncle Sam's country, without going through the intermediary of the state or any agency. They learn from Chinese experience using nuclear threats to U.S. forces in the era of President Richard Nixon to review bilateral relations
In this case shows that a country that only poor countries and have no influence in a region and in international politics can have a fairly strong bargaining power when the country has a deterens, which in this case is the nuclear weapon. The development of nuclear weapons by a country indeed is the right of the country, but when it collided with the international norms it is a choice whether to continue with all the consequences that will be received as experienced by Iran and North Korea in the form of economic embargo and political ostracism. But Iran and North Korea realize that they will have a fairly strong bargaining power when it successfully developed nuclear weapons despite the expense of the welfare of its citizens like that of North Korea.

Friday, 17 December 2010

Peran PBB dalam Proses Perdamaian antara Kosovo dan Pemerintah Serbia

I.Background of Conflict
Kosovo sebuah propinsi yang dibentuk pada tahun 1945 sebagai daerah otonom dalam wilayah Republik Serbia yang merupakan bagian dari Republik Federal Yugoslavia mempunyai sejarah konflik yang sangat panjang. Konflik yang terjadi antara Kosovo dan pemerintah Serbia hingga memberikan kemerdekaan kepada Kosovo pada Februari 2008, merupakan sebuah konflik yang terakumulasi. Berikut beberapa tahapan dan akar permasalahan konflik :
a.Status Otonomi Tak Terealisasi (1974)
Di dalam konstitusi tahun 1974, pemerintahan otonomi Kosovo harusnya memperoleh peningkatan status dengan diperbolehkannya memiliki seorang Presiden dan Perdana Menteri serta duduk dalam Presidensi Federal Yugoslavia, dengan posisi ini secara de facto Kosovo merupakan Republik Sosialis dalam Federasi Yugoslavia, namun kenyataanya Kosovo tetap merupakan propinsi otonom dalam Republik Sosialis Serbia.
b.Etnis Mayoritas Tak Diperhatikan (1970)
Masyarakat Kosovo yang mayoritas etnis Albania merasa tidak diperhatikan oleh Serbia sehingga berniat memisahkan diri. Etnis Albania yang mayoritas sebenarnya, namun merasa minoritas dengan tak pernah didengarkannya suara mereka. Selama bertahun-tahun, etnis Albania merasa didiskriminasi Pemerintah Serbia dan menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif. Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang antara kelompok etnis Albania yang menamakan diri Kosovo Liberation Army (KLA)
c.Masalah Etnis dan Agama
Komposisi etnis yang makin tidak berimbang antara etnis Albania dan etnis Serbia, gerakan nasionalis etnis Albania menuntut pengakuan Kosovo sebagai salah satu Republik dalam Federasi Yugoslavia. Dengan semakin tidak berimbangnya komposisi etnis (etnis Albania dari 65% menjadi lebih dari 80% sedang etnis Serbia turun dari 25% menjadi hanya 10% dari total populasi) , tuntutan untuk pengakuan Kosovo menjadi republik dalam Federasi Yugoslavia makin gencar muncul dari etnis Albania. Akhir-akhir ini berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90 persen tnis Albania yang Muslim, 5,3 persen etnis Serbia yang Katolik Ortodoks, selebihnya etnis Bosnia dan minoritas lain.
Tiga poin di atas merupakan source of conflict (sumber konflik) antara Kosovo dan pemerintah Serbia. Jika di generalisasi source of conflict tersebut adalah : otonomi, political acess, dan diskriminasi. Dalam teori perdamaian menyebutkan bahwa perdamaian bisa tercipta jika sumber konflik tersebut bisa terpenuhi melalui draft perjanjian (treaty of agreement) yang memuat hal-hal yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Penulis berpandangan di sini bahwa ‘conflict will not see a way of peace if it wants the two sides have not met’ (konflik tidaka akan menemui jalan damai jika keinginan dua belah pihak belum bisa terpenuhi).
II.Conflict Resolution
Konflik antara Kosovo dan pemerintah Serbia berakhir dengan memberikan sebuah kemerdekaan kepada daerah otonomi Kosovo pasca jatuhnya Presiden Milosevic yang benar-benar lepas dari Pemerintah Federal Serbia. Namun untuk mencapai kemerdekaan terdapat jalan terjal yang ditempuh. Prinsip perdamaian dunia sebenarnya tidak menghendaki adanya suatu kekerasan dalam bentuk apapun, apalagi serangan bersenjata, kepada suatu negara . Akan tetapi menghadapi Milosevic yang keras kepala, jalan kekerasan merupakan satu-satunya jalan yang dapat membawanya ke meja perundingan. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Menlu Inggris, Robin Cook, yang mengatakan bahwa, aksi militer bukanlah suatu penyelesaian masalah propinsi itu, tapi apabila Anda menghadapi seseorang seperti Presiden Milosevic, ancaman aksi militer, diperlukan untuk membawanya ke perundingan . Demikianlah untuk mengakhiri kekejaman Milosevic terhadap etnis Albania, dilakukan serangan terhadap Kosovo dilakukan dari udara. Pasca serangan tersebut Milosevic ditangkap dan diadili oleh Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda. Akan tetapi walaupun Milosevic telah ditangkap bukan berarti persoalan di Kosovo sudah berakhir. Perlu segera dilakukan pemulihan keadaan di Kosovo pasca konflik etnis .
Di sini penulis menganalisa resolusi konflik antara Kosovo dan pemerintah Serbia dengan menggunakan agenda perdamaian yang dicanangkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali. Terdapat empat hal agenda tersebut, yaitu :
1.Diplomasi Preventif
Adalah diplomasi yang dilakukan dalam rangka pencegahan agar jangan sampai terjadi suatu konflik dalam suatu negara. Diplomasi preventif meliputi penemuan fakta, mediasi, tindakan pencegahan sengketa, dan lain-lain.Diplomasi preventif dilakukan dengan melakukan penyelidikan mengenai penyebab sebenarnya dari konflik yang sedang berlangsung. Selanjutnya berdasarkan hasil penemuan dalam penyelidikan itu diadakan pendekatan kepada para pihak yang bersengketa agar konflik yang terjadi itu tidak memanas dan menjadi perang terbuka. Perlu diketahui bahwa sebelum mengirim United Nations Interim Administration for Kosovo (UNMIK), sebelumnya PBB mengirim KFOR (Kosovo Force) untuk melakukan pendekatan dengan cara diplomasi preventif kepada para pihak yang bertikai di Kosovo. PBB melakukan pendekatan konflik dengan membuat sebuah peta konflik dan keinginan kedua belah pihak
2.Peacemaking
Merupakan tindakan penegakan kembali perdamaian pasca konflik yang meliputi pembentukan perdamaian dengan cara penyelesaian sengketa dengan cara damai melalui konsiliasi, mediasi, arbitrase, dan lain-lain.Di dalam peacemaking ini pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah, akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak ketiga tersebut hanya menengahi apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak bertikai yang sedang berunding. Konflik antara etnis Albania dengan etnis Serbia pernah dipertemukan dengan kehadiran pihak ketiga yaitu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) guna membicarakan kemungkinan perdamaian antara pihak yang bertikai dan keinginan-keinginan kedua belah pihak
3.Peacekeeping
Merupakan tindakan penjagaan perdamaian agar tidak pecah kembali perang terbuka antara pihak yang bertikai dengan cara penempatan tentara untuk menjaga perdamaian di daerah-daerah konflik guna melakukan gencatan senjata dan melindungi penduduk sipil agar tidak menjadi korban perang. Gencatan senjata yang dilakukan oleh para pihak yang sedang terlibat konflik perlu dijaga dan diawasi agar tidak kembali terjadi perang terbuka. Diperlukan adanya de-eskalasi konflik antar pihak yang terlibat. Karena tidak mungkin dialog dilanjutkan jika kedua belah pihal tidak segera menurunkan tingkat eskalasi. Dalam kaitan ini biasanya peacekeeping dilakukan dengan menggunakan pasukan perdamaian yang berasal dari beberapa negara di bawah pimpinan PBB. Dan dalam kasus Kosovo ini PBB melalui pasukan perdamaian yang tergabung didalamnya militer negara-negara di dunia termasuk militer Indonesia untuk menurunkan ketegangan antara pasukan pemerintah Serbia dan KLA
4.Peacebuilding
Adalah tindakan pembangunan kembali daerah-daerah yang mengalami kehancuran akibat terjadinya konflik. Untuk mempercepat peacebuilding dilakukan identifikasi struktur-struktur lokal yang dapat digunakan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian untuk menghindari agar tidak terjadi suatu konflik. Selanjutnya struktur lokal tersebut dengan diperkuat oleh bantuan yang diberikan oleh PBB dipergunakan untuk membangun kembali bidang-bidang kehidupan yang telah mengalami gangguan akibat terjadinya konflik. Peacebuilding merupakan fase pemulihan pasca konflik. Hal-hal yang dilakukan pada fase peacebuilding ini meliputi pemulihan kembali perekonomian, pembangunan kembali sarana pendidikan, kesehatan, jalan, dan sarana-sarana lain yang rusak akibat perang. Dan dalam hal ini PBB membentuk UNMIK. UNMIK melakukan upaya-upaya untuk meretaliasi Kosovo pasca kemerdekaan.
III.The Result
Penulis beragumen bahwa agenda perdamaian PBB yang diterapkan pada konflik antara Kosovo dan pemerintah Serbia bisa dikatakan mutlak berhasil. Walaupun memang akhirnya dengan memberikan kemerdekaan kepada Kosovo. Merujuk pada konsep peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding bahwa perdamaian bisa tercipta dengan mengaplikasikan agenda perdamaian di atas. Kosovo pasca jatuhnya Milosevic merupakan daerah konflik yang memerlukan retaliasi dan rekonsisliasi dalam berbagai bidang. Untuk melaksanakannya, PBB melalui UNMIK memulihkan keadaan di Kosovo pasca konflik.
Dalam rangkaian pelaksanaan tugasnya untuk memulihkan keadaan di Kosovo, UNMIK telah melaksanakan aspek peacemaking dan peacekeeping, dan sekarang sedang menjalankan peacebuilding. Tahap peacebuilding ini merupakan tahap yang paling diinginkan oleh masyarakat Kosovo, karena dalam tahap ini UNMIK melakukan pembangunan kembali daerah Kosovo yang telah lama mengalami konflik etnis, sehingga masyarakat dapat kembali merasakan kehidupan normal seperti sebelum terjadinya konflik. Saat ini operasi UNMIK telah mencapai tahap post-conflict peacebuilding.
Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan UNMIK antara lain :
1.Pertama-tama adalah membangun kembali sarana kesehatan dan pendidikan yang rusak pada saat konflik
2.Kemudian secara bertahap, UNMIK juga mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan modal usaha melalui pinjaman lunak. Pembangunan kembali di bidang ekonomi menjadi prioritas utama UNMIK, karena pembangunan di bidang ini dapat membantu pembangunan di bidang-bidang lainnya.
3.Untuk melaksanakan pembangunan kembali di Kosovo dibutuhkan masyarakat yang secara fisik sehat. Untuk membantu pemulihan kesehatan masyarakat dibutuhkan sarana kesehatan, UNMIK membangun Rumah Sakit. Selama konflik, masyarakat Kosovo banyak yang mengalami gangguan kesehatan bahkan ada yang cacat karena terkena tembakan, tetapi tidak dapat berobat karena selain takut akan ancaman keselamatan, juga karena rumah sakit untuk berobat telah hancur karena konflik bersenjata.
IV.Conclusion
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa agenda perdamaian yang dirancang oleh Broutos Broutus Ghali seyogyanya bisa menjadi prosedur dalam membentuk perdamaian di dunia ini. PBB dengan mengusung empat agenda perdamaian di atas telah bisa dikatakan menciptakan perdamaian di tanah Kosovo. Walaupun memang dengan mendukung Kosovo untruk lepas dari Serbia yang ditakutkan menjadi sebuah titik awal kebangkitan gerakan separatis di dunia. Namun faktanya memang kondisi damai bisa tercipta.
Satu hal penting yang ingin penulis garis bawahi lagi di sini adalah bahwa konflik akan selesai dan damai akan di depan mata jika source of conflict (sumber konflik) bisa terjawab dan keinginan dua belah pihak terpenuhi (conflict will not see a way of peace if it wants the two sides have not met)

Sunday, 12 December 2010

Semenanjung Korea : Sebuah Artefak Perang Dingin

By : Triono Akhmad Munib

Pasca Perang Dingin merupakan sebuah titik awal kebangkitan hubungan internasional beserta diskurus-diskurus barunya. Perang Dunia I, Perang Dunia II hingga Perang Dingin menunjukkan betapa dibutuhkannya eksistensi sebuah negara dalam perpolitikan global. Negara yang menjadi the main actor menjadikan hubungan internasional didefinisikan sebagai hubungan antar negara-negara. Perang Dingin merupakan sebuah perang yang bisa dikatakan berbasis pada ideologi, yaitu antara ideologi Barat (Amerika) dan Komunis (Uni Soviet). Negara bangsa pada masa itu berlomba-lomba membentuk aliansi dengan negara-negara Komunis maupun liberal Barat. Era Perang Dingin membawa dunia terpecah menjadi dua kutub atau bipolar.
Namun pasca Perang Dingin, dunia seolah mulai menunjukkan gairahnya dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Aktor-aktor non-state semakin bermunculan bak air limbah sungai. Negara sudah tidak lagi berkutat pada dua kekuatan besar melainkan dunia sudah memasuki masa multipolaritas seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Secara gamblang memang sulit membayangkan bagaimana dan seperti apa Perang Dingin tersebut. Tetapi masih terdapat artefak peninggalan sejarah Perang Dingin hingga saat ini yang sedikit banyak juga menggambarkan Perang Dingin di era 80-an. Fenomena tersebut diperlihatkan pada konflik Semenanjung Korea.
Konflik di Semenanjung Korea yang masih memanas hingga saat ini merupakan sebuah warisan yang tidak lain akibat tetesan (trickle down effect) daripada Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Di mana satu pihak yaitu AS tidak ingin kedua Negara Korea ini jatuh ke tangan komunis, sedangkan disatu pihak ingin terus menyebarkan paham komunisnya yaitu Uni Soviet. Di bagian utara berdiri Republik Rakyat Demokratis Korea dengan ibu kota Pyongyang, di selatan ada Republik Korea berpusat di Seoul. Sejak awal abad XX, Semenanjung Korea dikuasai Jepang. Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, serentak lahir dua negara, sesuai pengaruh dua pemenang perang, AS dan Uni Soviet, yang sama-sama menduduki sebagian Korea. Dan akhirnya tak bisa dipungkiti lagi pada tahun 1950 pecahlah Perang Korea karena propaganda dan pergerakan politik RRC yang ingin mengkomuniskan negara-negara Asia Timur dan Tenggara tetapi pergerakan RRC dan Uni Soviet diketahui oleh AS dan sekutunya
AS terus membangun pangkalan militernya di negara Asia. Pangkalan militer itu ditempatkan di Jepang dan Filipina yang terus berupaya agar Komunisme tidak bisa ekspansi ke Asia Timur. Tetapi sayangnya, propaganda Komunis RRC sudah masuk ke daratan Korea dari jalur Utara, dan mereka telah berhasil menguasai (cuci otak) para pejabat di daerah Korea Utara dan memproklamirkan tentara Korea Utara sebelum masuk ke Jepang dan Taiwan. Amerika dan sekutunya sudah berusaha menangkal pergerakan pasukan komunis Korea Utara dengan mempersenjatai pasukan Korea yang berada di daerah Selatan. Dengan adanya pemberian persenjataan kepada rakyat Korea yang di selatan. Secara tidak langsung menyulu terjadinya perang saudara, karena Korea Utara bergerak ke Korea Selatan tanpa peringatan dan mereka langsung serbu. Akhirnya Badan PBB menyerukan Amerika untuk turun tangan membela Korea Selatan
Tahun 1953 Perang Korea berakhir, istilah resminya, gencatan senjata disepakati kedua belah pihak. Semenanjung tersebut dibagi dua, batasnya garis lintang 38 derajat dengan dibuatnya perbatasan dibuatnya Korea Demilitarized Zone (DMZ) yang menjadi saksi peperangan yang secara teknis belum berakhir di antara kedua negara.
Bangkitnya Realis
Jika salah satu pendekatan realis adalah tentang dilema keamanan (security dilemma) dan memang pada era Perang Dingin negara dihantui oleh dilema ini yang kemudian implementasinya adalah negara-negara cenderung untuk beraliansi dengan dua kekuatan besar sebagai payung deffence. Konflik di Semenanjung Korea yang berlangsung hingga saat in bisa jadi salah satu contohnya yang kemudian menunjukkan kepada penstudi HI bahwa realis masih mengenggam kejayaannya.
“Jika mereka (Korsel) berani menyulut perang, kami akan menghancurkan mereka tanpa ampun”.
Itulah sekilas cuplikan pernyataan dari Komite Reunifikasi Damai Ibu Pertiwi Pyongyang, Korut pasca perudalan kapal selam Korsel Cheonan yang diduga oleh militer Korut di Laut Kuning pada 26 Maret lalu. Dengan adanya insiden di atas membawa konflik di masa lalu muncul kembali. Pihak Korsel merasa bahwa perbuatan militer Korut dengan merudal kapal selamnya merupakan sebuah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi. Korut memulai untuk menyulut sebuah peperangan dua Korea. Namun, pihak Korut tetap berkilah bahwa tindakan militernya tidak salah karena kapal selam Korsel sudah melewati batas kedaulatan laut yang ditentukan sehingga Korut merasa terancam dengan kedatangan kapal selam Cheonan tersebut. Tiga bulan setelah insiden itu, Korsel melakukan operasi latihan militer besar-besaran dengan bekerjasama dengan militer AS di perbatasan Laut Kuning. Korsel terus meningkatkan anggaran belanja militernya dan terus menciptakan serta mengembangkan alat utama sistem senjata (alutista). Korut pun tak mau kalah, pihaknya juga terus melakukan pengembangan Taepodong-nya. Konflik pun makin memanas, hingga berita terakhir yaitu perudalan pulau Yeonpyeong oleh Korut yang menewaskan 3 penduduk sipil dan melukai tentara serta menghacurkan 29 bangunan
Upaya Korsel dan Korut tersebut membawa kita kepada konsep security dilemma (dilema keamanan). Security Dilemma adalah suatu keadaan di mana negara merasa takut, curiga atas peningkatan aktivitas militer negara tetangga yang kemudian ditafsirkan sebagai sebuah ancaman. Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karenanya, menyebabkan negara yang tertekan tersebut membuat kebijakan untuk meningkatkan persenjataanya baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya. Seoul mencoba menekan dan menakuti pihak Pyongyang dengan menggelar latihan militer massal. Korut pun mencoba untuk mengimbangi Korsel dengan menggelar latihan militer massal pula dan terlebih Korut terus mengembangkan nuklirnya
Ternyata, dampak dilema kemanan tidak berhenti pada kedua Korea. Letak Korsel dan Korut yang langsung berbatasan dengan China membuat pihak Beijing juga kebakaran jenggot. Beijing merasa terancam pula dengan adanya peningkatan aktivitas militer kedua Korea. Kedaulatan negara China merasa terancam. Sesuai berita yang dilangsir Kompas pada hari Jum’at 6 Agustus 2010 diberitakan bahwa Beijing telah kembangkan rudal penghancur kapal induk Dong Feng DF-21D balisitik jarak menengah berhulu ledak konvensional . Untuk siapa? Ya, untuk mengatasi kekuatan kedua Korea jika suatu saat nanti perang akan meletus. Apalagi rudal Korut Taepodong-2 memiliki daya jangkau 4000-6000 km dengan efek ledakan mencapai 15000 km. Bahkan pihak AS mengklaim bahwa Taepodong-2 bisa mencapai daratan Alaska, AS. AS yang letaknuya sangat jauh saja bisa terjangkau, bagaimana dengan China yang langsung berbatasan darat dengan Korut. Memang konsep dilema kemanan ini merupakan sebuah konsep kekhawatiran. Jika ada suatu negara yang meningkatkan aktivitas militer dan menaikkan anggaran militernya maka secara tidak langsung negara tetangga akan merasa terancam. Selalu muncul pertanyaan-pertanyaan ketakutan. Mengapa negara itu meningkatkan aktivitas militernya?, untuk apa?, ditujukan kepada siapa?. Maka mau tidak mau negara tetangga harus mewaspadai dan bersiap siaga dengan ikut meningkatkan kegiatan militernya jika suatu saat serangan itu ditujukan kepadanya maka siap untuk beperang. Konflik Semenanjung Korea merupakan artefak Perang Dingin yang masih menunjukkan eksisnya hingga saat ini. Jika negara-negara sudah menunjukkan proses multipolaritasnya, namun Semenanjung Korea masih berkutat pada bipolaritasnya seperti pada saat Perang Dingin.

Sunday, 5 December 2010

Menunggu Kehancuran Ekonomi Eropa

By : Trion Akhmad Munib

Kegamangan dan kekhwatiran para investor dan ekonom tentang masa depan ekonomi Eropa bisa jadi ada benarnya. Itu pun tak luput dari krisis-krisis yang didera negara-negara Eropa akhir-akhir ini. Yunani merupakan pembukaan awal guncangnya perekenomian Eropa. Kita tentu masih ingat krisis yang mendera Yunani lalu. Krisis Yunani merupakan krisis yang sudah terakumulasi. Salah satunya adalah penyelenggaraan olimpiade tahun 2004 di Yunani. Kecanggihan olimpiade 6 tahun lalu, menjadi salah satu penyebab dari sekian banyak penyebab kebangkrutan Yunani. Hutang Yunani menumpuk sekitar 300 milyar euro. Faktor inilah yang akhirnya mau tidak mau mendorong Athena menyetujui bailout sebesar 22.4 miliar Euro. Namun tampaknya masalah tak berhenti sampai disitu. Setelah Yunani ‘sakit’, giliran Irlandia. Irlandia pun mengalami hal yang serupa. Dan lagi-lagi masalah hutang yang melilit negara. Menurut Standard and Poor's menyatakan biaya asuransi terhadap utang negara Irlandia mencapai rekor tertinggi atau melebihi standar. Biaya untuk mendukung Bank Anglo Irlandia dapat memicu penurunan peringkat utang negara tersebut. Dalam lima tahun ini, Credit Default Swaps (CDS) utang Pemerintah Irlandia naik 519 poin dibanding sebelumnya 488,5 bps, berdasarkan pengamatan CMA. Ini berarti dibutuhkan biaya sebesar 519 ribu euro untuk melindungi 10 juta euro terhadap obligasi Irlandia . Sekali lagi kondisi tersebut pun akhirnya mendorong pihak Dublim mau tidak mau meng-iyakan resep bailout.
Banyak pihak memprediksi bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Yunani maupun Irlandia akan memberikan spill over effect kepada negara-negara Eropa lain yang di sini sempat disorot adalah Portugal dan Spanyol. Kawasan Eropa yang terinterdependensi menjadi satu salah satu faktor penguat spill over effect. Dunia yang semakin terinterdependensi membuat sebuah ‘kejadian yang terjadi di luar sana akan memberikan dampak pada yang lain’. Namun apakah perekonomian Eropa akan hancur?
Only Waiting Time
Menjawab pertanyaan di atas, penulis memiliki sebuah hipotesa tinggal menunggu waktu. Kekhawatiran akan spill over effect kepada negara-negara Eropa lain bisa dibenarkan dengan konsep interdependensi di atas. Hanya tinggal menunggu waktu saja apakah krisis ekonomi tersebut terus berdampak pada negara-negara sekitar atau tidak. Tetapi jika dibaca tanda-tandanya bisa jadi ada benarnya. Seperti jatuhnya nilai kurs Euro pasca dana talangan Irlandia. Euro menyentuh terendah karena paket penyelamatan resmi untuk Irlandia yang dilit utang gagal meredakan kekhawatiran pasar tentang kesehatan ekonomi zona euro. Euro turun menjadi 1,3181 dolar sebelum pulih ke 1,3232 di perdagangan di Tokyo (29 November 2010) . Euro berangsur-angsur kehilangan kekuatan dan merosot ke level terendah sejak akhir September di tengah kekhawatiran terus-menerus bahwa negara lain, yaitu Spanyol dan Portugal akan bernasib sama seperti dua rekannya Yunani dan Irlandia. Namun apakah Eropa akan terus mengandalkan resep bailout-nya jika memang benar krisis ekonomi tersebut pun akhirnya merembet ke negara lain (Portugal dan Spanyol)?. Dan apakah perekonomian Eropa akan kandas?. Lalu kemanakah pusat perekonomian akan bergeser?.
Asia, the New Economic Global Player
Kawasan Eropa perlu membenahi regulasi-regulasi dalam konsep Uni Eropa dan pemberian sanksi tegas kepada negara yang memiliki hutan diatas 100 persen dan pendapatan nasionalnya agar tidak selalu mengandalkan resep dana talangan jika tidak ingin kandas. Untuk pertanyaan selanjutnya, penulis mempunyai jawaban ‘Asia, the New Economic Global Player’. Asia yang dalam G-20 disebut-sebut sebagai new emerging market bisa jadi sebagai kekuatan dan pusat perekonomian baru. Jepang, China dan India adalah tiga serangkai Asia yang mulai awal abad 21 makin menunjukkan kekuatan ekonominya sebagai pemain yang dalam waktu dekat ini kian mengarah ke integrasi regional Asia. Hasil penghitungan baru PDB negara-negara di dunia versi Bank Dunia di tahun 2005 cukup mengejutkan yakni munculnya angka PDB negara China sebesar $2,2638 triliun. Tentu saja menempatkan China sebagai negara dengan besaran ekonomi nomor 4 dunia, menggeser Inggris. Berada di atasnya adalah pertama Amerika Serikat, kedua Jepang, dan ketiga Jerman. Lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan PDB China akan melampaui Jerman pada 2010, Jepang pada 2015, dan Amerika Serikat pada 2040. Kejutan lainnya adalah Negara Asia lainnya, India. PDB negara India di tahun 2005 sebesar $300 milliar.Diprediksi PDB India akan mengalahkan Italia di tahun 2015, Perancis di tahun 2020, Jerman di tahun 2025, Jepang antara tahun 2030-2035, dan Amerika Serikat di tahun 2040. Di 2040, China dan India tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi di mana pusatnya tak lagi di benua Amerika/Eropa, namun di Asia, bekas negara berkembang. Hal ini tentunya akan melengkapi sejarah sukses Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Namun kita pun harus bangga dengan negara kita. Indonesia yang menurut pakar ekonomi masuk dalam calon kekuatan ekonomi baru di dunia. Menurut Morgan Stanley, diperkirakan lima tahun ke depan PDB Indonesia bakal mencapai US$800 miliar. Senada dengan itu, majalah bergengsi The Economist, pada Juli 2010 juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Dan bahkan Indonesia pun berpotensi menggeser Rusia dalam BRIC.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa jika memang Eropa tidak ingin perekonomiannya hancur maka Eropa harus memperjelas dan memperketat regulasi-regulasinya yang dibungkus dalam konsep Uni Eropa. Namun tidak menutup kemungkinan pusat perekonomian akan bergeser ke Asia. Dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh negara-negara Asia, penulis berspekulasi ‘yes, we can to be new economic global player’

Friday, 3 December 2010

Nuklir Sebagai Tools of Bargaining Position Korut

By : Triono Akhmad Munib

Sebuah negara akan memiliki bargaining position yang kuat dalam meja diplomasi jika negara tersebut memiliki strong economic ataupun strong military defense . Idealnya memang memiliki keduanya namun paling tidak memiliki satu diantara keduanya bisa menjadi sebuah alat tawar negara dalam meja perundingan. Dalam hal ini, Korut cenderung dan secara absolut menggunakan its strong military defense-nya yaitu dalam bentuk pengembangan senjatra nuklir sebagai senjata dalam proses tawar menawar.
Ketika Korea Utara sukses melakukan uji coba nuklir pada 8 Oktober 2002, dunia sempat dikejutkan dengan kemampuan negara yang terisolasi dan bahkan tidak mampu memberi makan rakyatnya sendiri ini. Pertunjukan nuklir Korea Utara yang programnya telah menelan keuangan negara habis-habisan muncul sebagai manifestasi dua doktrin yang menuntun tindakan para perwira militer dan menentukan postur politik Korea Utara sejak akhir 1990-an . Dua doktrin ini adalah :
a.Kangsong Taeguk, yang berarti pemikiran mengenai pentingnya membangun negara yang kuat dan sejahtera; dan
b.Congun Chongchi atau keutamaan militer.
Betapa pun kerugian yang dialami Korea Utara ketika secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai negara bersenjata nuklir, ada strategi yang logis dibalik deklarasi Korea Utara sebagai negara berkekuatan senjata nuklir. Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur . Sesuai dengan definisi strategi nuklir sebagai pemanfaatan senjata nuklir untuk meraih kepentingan politik internasional, nuklir bagi Korea Utara dapat menjadi alat penting dalam perundingan internasional.
Keberhasilan kekuatan nuklir Korut sebagai penguat daya tawar negara tampak pada kejadian-kejadian sebagai berikut :
1.Pertemuan di Beijing tanggal 27-29 Agustus 2003 antara China, Korut, Jepang, Korea Selatan (Korsel), AS, dan Rusia telah berhasil menekan Bush untuk memberi jaminan keamanan tertulis dalam bentuk tertentu kepada pihak Korut, dengan syarat Korea Utara juga berpendirian luwes dan bersikap menahan diri.
2.Pada tahun 2005 Korut berhasil menekan IAEA untuk tidak membekukan rekening sejumlah 25 juta dollar AS yang sempat dibekukan di Macau dan sebagai imbalannya Korea Utara akan mendapatkan bantuan energi dan konsesi diplomatik. Korea Selatan sendiri menjanjikan bantuan awal bahan bakar 50 ribu ton
Posisi adalah sesuatu yang terlihat jelas. Korea Utara dengan serius menunjukkan hasrat kepemilikan teknologi senjata nuklir. Namun kepentingan di balik itu adalah untuk mencari pengakuan dan kekuatan melalui ancaman dalam perundingan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan Korea Utara akan energi, finansial, dan juga insentif ekonomi.
Pembangunan nuklir Korut ditujukan untuk memperkuat posisi tawar menawar dalam perundingan internasional . Melalui pengembangan program nuklirnya, Korea Utara berupaya untuk menciptakan perimbangan kekuatan dengan Amerika, dan dengan itu, negara tersebut bisa memaksa Amerika untuk duduk di meja perundingan. Korut menggunakan nuklirnya sebagai kartu AS dalam berdiplomasi. Korut tahu betul bagaimana memanfaatkan kemampuan nuklirnya untuk berdiplomasi. Dengan nuklir Korut bisa dengan mudah menggaet bantuan, mulai beras sampai bahan bakar. Jadi, berbagai sanksi dan resolusi PBB pun tak begitu berdampak bagi mereka. Dengan nuklir pula, negeri yang secara teknis masih berada dalam status perang dengan Korsel itu mampu mengerek daya tawarnya saat bernegosiasi dengan musuh-musuhnya.
Selama tiga tahun terakhir, Korut tercatat dua kali melakukan uji bom nuklir dan sejumlah tes misil . Korut akan terus menguji coba senjata nuklirnya hingga menguasai teknologi untuk menempatkan hulu ledak pada misilnya. Teknologi itu akan menguatkan kekuasaan Kim Jong-un, calon suksesor Kim Jong-il, saat berkuasa nanti. Obama pun pernah berwacana bahwa akan memberikan perhatian lebih pada informasi intelijen Jepang yang menyatakan adanya kemungkinan Korut meluncurkan rudal jarak jauhnya Taepodong-2 tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan AS. Ini menunjukan bahwa bargaining position Korut tidak bisa dipandang sepele di matas AS. Sejak dulu memang Korut memang ingin bernegosiasi langsung dengan Negeri Paman Sam, tanpa melalui perantaraan negara atau badan apapun. Mereka belajar dari pengalaman Tiongkok yang menggunakan ancaman nuklir untuk memaksa AS di era Presiden Richard Nixon untuk mengkaji ulang hubungan kedua negara
Dalam hal ini terlihat bahwa sebuah negara yang hanya negara miskin dan tidak memiliki pengaruh dalam sebuah kawasan maupun pada politik internasional dapat memiliki bargaining power yang cukup kuat ketika negara tersebut memiliki sebuah deterens, yang dalam hal ini adalah senjata nuklir tersebut. Pengembangan senjata nuklir oleh sebuah negara memang merupakan hak dari negara tersebut, namun ketika terbentur dengan norma internasional itu adalah merupakan pilihan apakah akan meneruskan dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara dalam bentuk embargo ekonomi dan pengucilan secara politis. Namun Iran maupun Korea Utara menyadari bahwa mereka akan mempunyai bargaining power yang cukup kuat ketika berhasil mengembangkan senjata nuklir tersebut walaupun dengan mengorbankan kesejahteraan dari warga negaranya seperti yang dialami Korea Utara.

Thursday, 25 November 2010

Dunia Multipolar yang Unipolar

By : Triono Akhmad Munib

Berakhirnya perang dingin merupakan awal kebangkitan gairah dari hubungan dan perkembangan internasional. Saat berlangsungnya perang dingin, dunia secara nyata terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu komunis (USSR) dan liberal (AS). Dunia yang terbelah menjadi dua bagian dalam hal ideologi mendorong negara-negara mencari sebuah ‘mother state’ atau sebuah koalisi dengan blok komunis maupun liberal. Layaknya sebuah dam air di sungai pada saat dam tersebut dibuka maka debit air menjadi lebih deras dan membanjiri seluruh wilayah daratan sungai. Itulah fenomena analogi yang bisa diterapkan pada keadaan pasca perang dingin. Dunia yang sebelumnya terbelah atau hanya bipolaritas secara cepat berubah menjadi dunia yang lebih multipolar. Yang dalam arti negara bisa secara bebas memilih ideologi yang akan dianut dengan semakin berkurangnya aliansi-aliansi yang telah dibentuk negara-negara pada perang dingin. Di sini, timbul pertanyaan apakah memang dunia saat ini benar-benar menunjukkan sifanya yang multipolar?
Untuk masalah fenomena dunia yang semakin multipolar, penulis mempunyai sebuah istilah ‘dunia unipolar yang multipolar’. Memang sedikit lucu istilah tersebut. Pengertiannya diini adalah terletak pada penekanan ideologi perdagangan. Memang dunia saat ini multipolar. Negara bisa memilih sistem dalam pemerintahannya seperti komunis oleh Korea Utara dan China, sosialias oleh kebanyakan negara-negara Amerika Latin atau totaliter seperti Myanmar. Tetapi jika dibaca secara ontologis lagi negara-negara ini kebanyakan lebih menunjukkan sifatnya yang unipolar dalam sistem perdagangannya. Ideologi unipolar tersebut adalan liberalisme. Dunia yang semakin terglobalisasi turut memberikan faktor yang secara tidak langsung kepada negara. Kesaling-tergantungan antar negara menjadi penting. Negara di dunia baik berpaham komunis seperti China juga tak bisa mengelak akan penerapan sistem liberalis dalam perdagangannya. Semisal di Myanmar, perusahaan minyak yang melakukan eksplorasi di Myanmar, antara lain perusahaan minyak raksasa dari AS, Chevron dan perusahaan minyak Prancis milik kelompok Total serta produsen minyak China, National Petroleum Corporation . Kita tahu bahwa Myanmar adalah negara paling mengisolasi dirinya dalam pergaulan internasional . Myanmar merupakan negara yang pemerintahannya dipegang oleh militer yang kemudian merujuk kepada ideologi otorier namun masuknya perusahaan minyak asing menjelaskan bahwa negara yang mengisolasi dirinya, yang otoriter, yang komunis pun tak bisa lepas dari sistem perdagangan liberal. Negara-negara yang tidak bisa lepas dari sistem liberal tersebut menunjukkan pula bahwa walaupun dunia ini memang multipolar dalam ideologi namun sebenarnya mereka adalah unipolar dalam sistem perdagangannya.

Sunday, 31 October 2010

Hilangnya Kontrol Negara Oleh Aktor Transnasional

By : Triono Akhmad Munib

Kondisi hubungan internasional yang berubah secara siginifikan pasca Perang Dingin menjadi sebuah titik dasar bangkitnya aktor-aktor transnasionalisme dewasa ini. Aktor negara yang tidak lagi menjadi sebuah the single actor menjadi menarik untuk dikaji yang membentuk sebuah diskurus ilmu baru dalam hubungan internasional yaitu transnasionalisme. Transnasionalisme diartikan sebagai proses “di mana hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai oleh hubungan indibidu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsungnya berbagai peristiwa” (Rosenau 1980:1).
Masih berkutat pada pengertian tentang transnasionalisme di atas bahwa hubungan internasional yang tidak lagi di dominasi oleh negara melainkan adanya aktor non-negara seperti: Multinational Corporations (MNCs), kelompok kepentingan, kelompok bisnis, dan bisa indvidu membuat studi hubungan internasional saat ini menjadi berwarna. Sesuai dengan apa yang diungkapkan kaum pluralis bahwa hubungan transnasional di antar rakyat dari negara-negara yang berbeda membantu menciptakan bentuk baru masyarakat manusia yang hadir sepanjang atau bahkan dalam persaingan dengan negara-bangsa. Dengan dunia yang semakin pluralis yang bercirikan dengan jaringan transnasional individu dan kelompok akan menjadi lebih damai. Dalam beberapa hal, dunia pluralis semakin tidak stabil, sebab tatanan lama yang dibanggun berdasarkan kekuasaan negara telah hancur. Munculnya aktor transnasionalisme di atas memberikan dampak atas hilangnya sebuah kontrol dan kemampuan negara dalam menghadapi aktor transnasionalisme itu sendiri.
Berkaitan dengan lepasnya kontrol negara aktor transnasional seringkali melemahkan bargaining position suatu negara. Multinational Corporations (MNCs) sering kali lebih kuat dibandingkan bergaining position dari suatu negara. Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960-an di mana pihak asing melakukan intervensi terhadap pembuatan UU Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia yang sebelumnya membatasi ruang gerak MNCs. Sebelumnya pihak asing hanya boleh memiliki saham sampai dengan 5% sehingga hal ini menyebabkan ketidakleluasaan pihak asing untuk menguasai Indonesia. Pihak asing tidak puas dengan hanya dengan mendapatkan 5% dari saham di Indonesia, melalui intervensi dalam perubahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1968, pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 49%. Seiring berjalannya waktu pihak asing semakin bebas menguasai Indonesia karena pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 95%. Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa negara tidak lagi memiliki power untuk menentukan kehendaknya sendiri. MNCs yang notabene sebagai aktor transnasional datang menanamkan investasinya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI). Kuatnya lobi dengan dibungkus oleh perbaikan kesejahteraan (penyerapan tenaga kerja) oleh MNCs membuat sebuah negara, khusunya negara berkembang meng-‘iya’ kan saja apa yang diinginkan MNCs. Dalam hal UU PMA yang seharusnya Indonesia yang merupakan aktor state memiliki porsi yang lebih tinggi ternyata status ‘state’ tersebut pun juga tidak menjamin kuatnya power dalam hal bargaining position. Pemerintah Indonesia yang semestinya berhak mengontrol dan memanajemen segala bentuk investasi dengan regulasi-regulasi yang diciptakan ternyata menjadi powerless ketika dihadapkan dengan kuatnya lobi aktor transnasional dalam bentuk MNCs di atas.

Saturday, 23 October 2010

Coca-Cola, Israel, dan Amerika : Sebuah Tinjauan Transnasionalisme

By : Triono Akhmad Munib

Kita mungkin sudah tak asing lagi mendengar kata-kata Israel, Palestina, Jalur Gaza, dan Yahudi. Itulah sedikit kata-kata yang sering muncul dalam surat kabar, internet jika terdapat berita konflik di Timur Tengah. Konflik Israel-Palestina memang sudah berlangsung lama dan sudah tak bisa dihitung lagi berapa jumlah korban yang berjatuhan baik penduduk sipil maupun militer antara kedua negara. Tapi di sini, kita tidak akan membahas sejarah terbentunknya negara Israel yang berimplikasi kepada mengapa konflik itu bisa terjadi namun akan dibahas tentang dari mana dana Israel untuk membiayai persenjataannya sehingga bisa terus eksis melancarkan serangan ke warga-warga Palestina.
Seperti yang diketahui bahwa Israel dan Amerika Serikat (AS) adalah saudara kandung. "Kejahatan" mereka terhadap bangsa Palestina atau Libanon, tak lepas dari dukungan beberapa perusahaan raksasa yang kini kita ikut membelinya yang salah satunya adalah perusahaan minuman ringan, Coca Cola Company. Sesuai dengan konsep transnasionalisme bahwa proses di mana “hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai oleh hubungan indibidu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsu,ngnya berbagai peristiwa” (Rosenau 1980:1). Terlihat bahwa hubungan antar negara, yaitu AS-Israel telah melibatkan perusahaan yang notabene sebagai aktor no-state di dalamnya. Sekedar catatan, Coca-cola sudah berperan aktif untuk mendanai kejahatan zionisme Yahudi secara konsisten sejak tahun 1966 .

Manipulasi Amerika
Dalam hal ini Amerika yang selalu berkedok bahwa alasan mereka ingin dan turut membantu serangan Israel ke Palestina dalam hal ini Jalur Gaza yang merupakan titik utama konflik guna membantu Israel mendapatkan “tanahnya” kembali sesuai dengan doktrin tanah perjanjian merupakan sebuah manipulasi dan akal-akalan AS semata. Amerika telah membohongi dunia internasional. Di sini ada sebuah tekanan dari dalam negeri AS sendiri terkait masalah globalisasi dan ekspansi pasar global. Dalam hal ini, Coca Cola yang terus membantu mendanai Israel meminta sebuah timbal balik, yaitu dengan Israel bisa menguasai tanah Palestina maka akan semakin mudah bagi Coca Cola meluaskan pasarnya di sana. Produk Coca Cola dan Fanta banyak di Palestina . Terdapat sebuah kisah Nabil, seorang warga Qalqiya, bersama dengan ibu, istri, dan anak-anaknya pada suatu hari membeli sepetak tanah untuk dibangun sebuah vila yang indah. Ketika ia membelinya, tanah itu menghadap ke hamparan bukit dan lembah, terdiri atas berbagai tumbuhan dan pepohonan. Setiap sore hari di musim panas, anak-anak akan bermain di taman yang luas itu. Kemudian Israel merampas sebagian besar tanahnya dan hanya menyisakan 10 meter dari gerbang depan untuk dibangun tembok setinggi delapan meter dengan tebal tiga meter dari ujung kanan hingga ujung kiri, mengelilingi bekas tanah Nabil untuk pembangunan .
Kembali kepada konsep transnasionalisme bahwa keakraban Israel dan AS tidak bisa dipandang semata-mata hubungan antar dua negara yang masing-masing memiliki alasan rasional. Namun, aktor non-state yang dalam fenomena di atas adalah perusahaan Coca Cola milik AS turut campur di dalamnya yang juga turut mempengaruhi hubungan keduanya. Terlebih AS sangat rapi dalam membungkus manipulasi yang dibuatnya. Mungkin bisa dikaitkan dengan peribahasa “sambil menyelam minum air”. Sambil AS terus mendanai dan membantu Israel yang katanya untuk mendapatkan haknya atas tanah perjanjian saat itu pun semakin dikuasainya tanah Palestina dengan terus memasukkan dan mengekspansi MNCs-nya. Dalam negeri AS pasar sudah tidak bisa di perluas lagi lalu kemanakah barang ini akan dijual?. Negara lain adalah jawabannya yang salah satunya adalah tanah Palestina. Ada hubungan kerjasama di mana Kamar Dagang Amerika-Zionis Israel (AICC) akan mencari peluang bisnis di Amerika Serikat untuk mendanai proyek-proyek di zionis Israel atas nama negara zionis Israel. Sebagai contoh, imigrasi dibayar untuk memindahkan orang-orang Yahudi dari sebuah negara ke zionis Israel.
Selain itu, masih sederet perusahaan raksasa yang jelas-jelas banyak memberi andil pada Israel. Termasuk diantaranya Starbuck Coffee dan McDonald. McDonald mempunyai 30,000 restoran di 121 buah negara serata dunia. CEO Mc Donald, Jack M. Greenberg, adalah anggota Dewan Perdagangan dan Industri Amerika-Israel. McDonald Corporation adalah perusahaan yang ikut menyumbang besar ekonomi dan diplomatik Israel . Ada pula Nestle, yang produknya banyak dipakai di Indonesia. Nestle pernah menerima Anugerah Jubilee dari Perdana Menteri Netanyahu. Selain Nestle, pada tahun 1998, Roger S. Fineon, wakil perusahaan Johnson & Johnson, menerima anugerah serupa Jubilee dariPerdana Menteri Israel Netanyahu .

Penghargaan Untuk Perusahaan Terbaik Pendukung Zionis
Banyak disebutkan bahwa Coca-Cola mendukung negara zionis Israel, tapi belum banyak orang yang mengungkapkannya secara terbuka. Coca Cola mendapatkan penghargaan dari AICC (kongsi dagang AS-Israel) atas sumbangsihnya kepada zionis Israel. Coca-Cola mensponsori pelatihan dan pendidikan bagi para pekerja mengenai ideologi Zionisme. Semua itu ada di situs-situs web, di laporan-laporan penelitian. Juga, Coca-Cola telah membangun sebuah pabrik di Qiryat, di atas tanah Palestina. Dan dikatakan bahwa Coca-Cola membangun pabrik itu bekerjasama dengan Israel dalam upaya mempekerjakan para pemukim miskin .
Setelah dijelaskan sebuah fenomena di atas, ditekankan kembali bahwa hubungan internasional saat ini tidak bisa dipandang sebagai sebuah hubungan state to state yang tidak ada aktor lain selain itu. Melainkan hubungan antar negara juga sedikit banyak dipengaruhi oleh aktor non-state, individu, kelompok kepentingan yang juga turut membuat hubungan internasional dewasa ini menjadi semakin kompleks. Alasan AS membantu Israel untuk mendapatkan haknya atas “tanah perjanjian” merupakan sebuah kebohongan yang ditutupi dan penuh manipuolasi. Perlu dianalisa ulang bahwa ada sebuah aktor non-state berupa perusahaan multinasional akan kebutuhannya berkekspansi secara global

Tuesday, 5 October 2010

Globalisasi dan Perubahan Gaya Hidup

By : Triono Akhmad Munib

Peradaban manusia di era ini telah menunjukkan perbuahan yang sangat pesat dan patut diperbincangkan. Hantaman globalisasi saat ini telah menjadi sebuah momok yang terus menghantui dan berkecimpung dalam sendi-sendi kehidupan kita. Bahkan bisa diakatakan kita saat ini tidak bisa lepas dari pengaruh globalisasi, dan parahnya pulan telah merubah gaya hidup kita
Di abad ke-21 yang semakin modern ini, globalisasi menjadi hal yang biasa bagi kita. Globalisasi, berarti proses yang mendunia dan sebuah upaya untuk membentuk sebuah norma dan pola yang universal dan homogen. Tentunya, semua aspek kehidupan merasakan pengaruhnya. Misalnya, di bidang transportasi. Setiap hari kita dapat melihat seluruh jalan raya dipadati oleh berbagai jenis kendaraan bermotor dan berbagai merk. Contohnya mobil. Padahal, sebelum mobil ditemukan, biasanya orang akan berjalan kaki untuk menempuh suatu perjalanan, bahkan yang sangat dalam jarak panjang sekalipun. Selain di bidang transportasi, aspek kehidupan yang terkena dampak globalisasi adalah telekomunikasi. Saat ini handphone adalah alat komunikasi yang sudah dimiliki oleh setiap orang. Handphone yang dulunya merupakan sebuah barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh masyarakat kelas elite. Namun seiring dengan adanya globalisasi dan pembukaan perdagangan beas membuat arus pergeseran handphone menjadi sedemikian cepat hinggan bisa dinikmati oleh kaum ekonomi terendah sekalipun. Selain handphone, yang tak kalah penting adalah internet. Globalisasi seperti mengharuskan kita untuk memiliki komputer yang dilengkapi dengan jaringan internet. Dengan internet kita bisa terhubung dengan masyarakat nan jauh di sana yang melintasi benua bahkan kawasan dunia. Internet seakan membuat jarak dan waktu bukanlah sebuah hambatan yang vital
Di bidang bisnis kuliner, pengaruh globalisasi juga cukup besar. Makanan khas Barat menjadi sangat populer di seluruh dunia. Contohnya Pizza Hut, KFC, CFC, Hoka Hoka Bento, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan makanan khas dalam negeri menjadi kurang diminati dan juga industri kuliner dalam negeri mengalami persaingan yang cukup kuat. Yang tak kalah penting, aspek kehidupan yang juga merasakan dampak globalisasi adalah fashion. Jika dianalisa kembali, Indonesia yang identik dengan budaya Timur sudah kehilangan arahnya. Kita telah bangga memakai produk fashion gaya Barat yang di mana di satu sisi bertentangan dengan budaya Ke-Timuran kita yang lebih sopan dan tertutup.
Dari beberapa aspek yang saya coba jelaskan tadi, jelas bahwa globalisasi sangat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan. Setiap orang memang dapat secara langsung merasakan pengaruhnya. Sebagai warga masyarakat yang baik dan objektif, kita harus bisa menghadapi pengaruh globalisasi. Globalisasi akan menjadi ‘milik kita’ dalam arti kita akan bisa eksis dalam kondisi globalisasi ini apabila kita bisa dan pandai dalam menganalisanya. Kita harus bisa mengambil nilai-nilai positif dan membuang nilai-nilai negatifnya. Misalnya, dengan melakukan seleksi budaya asing yang masuk ke dalam negeri kita. Kita harus bisa memilih budaya yang baik, yang tidak bertentangan dan bisa diimplementasikan dengan norma-norma yang ada di negeri kita. Karena budaya dalam negeri adalah ciri khas dan jati diri negeri kita sendiri, yang harus kita jaga.
Jadi ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi pengaruh globalisasi yang semakin menghantam peradaban manusia. Kita boleh merasakan pengaruhnya, namun kita harus mengambil dampak positifnya, dan membuang dampak negatifnya.

Friday, 1 October 2010

Suksesi Kepemimpinan dan Masa Depan Korut

By : Triono Akhmad Munib

Sepekan ini media internasional baik elektronik maupun cetak ramai memberitakan proses suksesi kepempimpinan Kim Jong Il kepada pemimpin berikutnya yang gembar-gembor akan diberikan kepada Kim Jong Un, anak lelaki Jong Il. Tetapi bisa dikatakan media massa tersebut membuat sebuah prediski semata karena memang sulit untuk mencari data dan fakta tentang bagaimana proses suksesi yang sebenarnya terjadi di sana. Itu tak lepas dari sistem pemerintahan Korea Utara (Korut) sendiri yang komunis dan sangat menjaga serta berhati-hati atas informasi atas negaranya atau bahkan mengisolasi dirinya terhadap pergaulan dunia. Ada yang menyebutkan suksesi ini dipercepat karena kondisi kesehatan Jong Il yang terus memburuk bahkan ada media yang menyebut sudah meninggal.
Terlepas dari pemberitaan media. Proses suksesi kepemimpinan ini merupakan sebuah era baru dalam menatap masa depan Korut, yang pastinya bisa terus melanggengkan sistem komunis itu sendiri. Mengganti dan mencari sosok Jong Il tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan Jong Un sendiri pun yang notabene anak laki-lakinya belum tentu bisa menyamai gaya kepemimpinan ayahnya. Akan terus dilakukan penggemblengan kepada para calon pengganti Jong Il agar pada saat memimpin tidak mengubah sistem yang telah diciptakan oleh the founding father Korut yaitu mendiang Kim Il Sung ayah dari Kom Jong Il. Menurut berita yang dilansir Kompas pada tanggal 30 September 2010, dalam rapat besar Korut dalam 30 terakhir memberikan Jong Un pangkat jenderal bintang empat. Dan sehari setelah pemberian pangkat tersebut, dalam rapat lanjutan pada Rabu 29 September 2010 Jong Un diberikan posisi strategis yaitu sebagai Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Partai Pekerja Korea. Dari fakta di atas mungkin bisa ditarik sebuah prediksi hipotesis bahwa Jong Un kian berkuasa dan bisa jadi salah satu kandidat kuat pengganti ayahnya, Jong Il.
Namun disamping itu, Jong Un yang usianya masih terlalu muda membuatnya kurang akan pengalaman. Dan juga masalah kepribadiannya, menurut teman sekelas Jong Un saat masih bersekolah di Liebefeld-Steinhoelzi Swiss, Joao Micaelo mengatakan bahwa Jong Un adalah sosok seorang yang tampak seperti siswa lainnya yang suka olahraga, nonton film, komputer, dan tentu saja menggoda cewek (Kompas, 30 September 2010). Jong Un menurut Micaelo seorang penggemar basket dan playstation. Game playstation yang paling disukainya adalah basket. Saat itu Jong Un masih berusia 16 tahun. Jika memang pada akhirnya tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Jong Un, maka setidaknya ia harus mengubah dirinya menjadi seorang yang bisa menyerupai ayahnya yang penuh dengan kontroversi. Karena ia akan membawa masa depan Korut, apakah masih bisa dipertahankan sistem komunis tersebut atau bisa-bisa berubah menjadi negara yang liberal

Friday, 27 August 2010

Akankah Indonesia Berperang dengan Malaysia?

By : Triono Akhmad Munib

Dalam sepekan ini media nasional hangat membicarakan ketegangan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Hubungan Indonesia dengan Malaysia saat ini sedang mengalami ketegangan dipicu dengan penangkapan pegawai KKP Indonesia oleh Kepolisian Diraja Malaysia dan juga sebaliknya penangkapan tujuh nelayan Malaysia oleh Kepolisian Laut Indonesia. Ketegangan tersebut memang tidak terjadi kali ini saja. Kita tentu masih ingat lepasnya pulau Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia. Penganiyaan TKI oleh para majikan di Malaysia merupakan segelintir gesekan hubungan Indonesia dengan Malaysia
Malaysia yang selalu menggembor-gemborkan semboyan ‘satu ras’ dengan Indonesia rasanya semakin bertindak arogan. Bahkan, adanya sebuah rencana Malaysia untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi lingua franca Asia Tenggara. Tampaklah sudah ambisi Malaysia untuk menghegemoni Asia Tenggara. Demonstrasi dan protes di Indonesia maupun di Malaysia semakin memperlebar gesekan dan membuat panas masyarakat di kedua negara. Apalagi pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Malaysia Datuk Seri Anifah Amin berbau provokatif. Menurutnya, kesabaran Malaysia nyaris habis melihat aksi demonstran Indonesia yang menginjak-injak bendera Malaysia. Apalagi, kala itu massa juga melempar kotoran manusia ke kantor yang berlokasi di Jalan HR Rasuna Said itu. Disni muncul sebuah pertanyaan, “akankah Indonesia berperang dengan Malaysia?”.

Malaysia Lebih Unggul
Secara sadar maupun tidak sadar demonstrasi dan aksi protes yang terjadi di kedua negara telah memicu potensi perang. Apalagi, semakin maraknya media massa elektronik maupun cetak yang semakin menggembar-gemborkan berita hubungan Indonesia dan Malaysia. Seperti yang diketahui bahwa media massa merupakan jalan yang cukup efektif untuk mempengaruhi pikirian dan pembentukan opini publik. Bisa dikatakan perang tinggal tunggu tanggal mainnya saja. Tetapi jika pemerintahan kedua negara menginstruksikan untuk mendealkan perang. Siapa yang akan menang?. Penulis berpendapat Malaysia akan menang. Mengapa?
Kekuatan militer jauh lebih baik dan canggih ketimbang dengan Indonesia. Secara kualitatif perbandingan mesin perang kedua negara adalah 80 : 20. Kasus pencurian ikan oleh tujuh nelayan Malasysia menunjukkan kurang canggihnya peralatan Indonesia sehingga kejadian tersebut bisa terlepas dari pantauan Kepolisian Laut Indonesia. Nelayan saja bisa lolos dari pantuan apalagi nanti jika benar perang. Mungkin tentara Malaysia dengan mudah masuk perairan wilayah Indonesia tanpa terdeteksi radar. Dari kelengkapan persenjataan mulai dari pesawat tempur, kapal selam, tank pun Indonesia masih jauh dari Malaysia. Peralatan militer Indonesia bisa dikatakan sudah tak layak pakai. Kebanyakan peralatan dibeli dari eks Jerman Timur pada saat Perang Dunia 2. Sudah berapa tahun lamanya, jelas sudah ketinggalan jaman. Sedangkan Malaysia terus berupaya meng-update peralatan perangnya yang semakin canggih. Terlebih Malaysia adalah negara persemakmuran Inggris yang sekutu AS sehingga lebih mudah birokrasinya dalam membeli peralatan perang. Masih ingatkah kita setahun yang lalu bahwa AS memboikot pembelian alutista (alat utama sistem senjata) dari Rusia oleh Indonesia tetapi Malaysia diperbolehkan membeli pesawat tempur F-28 dari AS. Di mana, jika pesawat tempur F-18 terbang di langit Indonesia radarnya yang canggih bisa mendeteksi daerah-daerah yang tak dijaga dan rawan diambil alih. Tetapi Indonesia masih memiliki F-16. Dari segi kecanggihannya, jelas sudah canggih F-28.
Tetapi kita masih bisa bernapas lega karena Menlu kita Marty Natalegawa masih menggunakan soft diplomacy dalam menghadapi panasnya hubunga RI-Malaysia. Memang jika terjadi perang, kita bisa bayangkan berapa orang yang akan binasa, infrastruktur yang telah dibangun lama runtuh terkena gempuran rudal. Atau mungkin, saat putra-putri kita keluar rumah hendak bersekolah, ke kampus, bekerja ke kantor tiba-tiba muncul rudal yang menghantam sekolah, universitas, gedung perkantoran seperti yang terjadi dalam konflik Israel-Palestina. Tentu kita tidak mengingingkannya. Ada sedikit guraun, walaupun kita kalah dalam persenjataan dengan Malaysia. Namun, kita masih menang dalam jumlah penduduk. Kerahkan saja seluruh penduduk Indonesia mulai dari artis sampai masyarakat bawah untuk ikut perang. Lucu juga jika artis harus dipersenjatai. Di sini, penulis berpendapat potensi perang masih bisa terjadi dan security dilemma akan menghantui Indonesia

Tuesday, 17 August 2010

Merdeka Itu Sudah 65 Tahun Yang Lalu

By : Triono Akhmad Munib

“Merdeka……merdeka……merdeka….”. Itulah sekilas cuplikan kata-kata yang muncul di jejaring sosial. Hendaknya kita perlu merefleksi kembali 65 tahun Indonesia merdeka sejak dibacakannya Proklamasi oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945. Apa yang kita bisa dapatkan dari 65 tahun kemerdekaan saat ini. Jelas sudah hanyalah pengakuan kedaulatan dari dunia internasional bahwa Negara Indonesia masih tetap ada beserta batas-batas yuridisnya.
Jika dianalisa kembali, penulis boleh mengatakan merdeka itu sudah 65 tahun yang lalu. Bangsa ini benar-benar merasakan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya pada era Bung Karno. Rakyat benar-benar bisa merasakan betapa merdekanya dirinya. Bisa menikmati hasil sumber daya tanah air serta keberlimpahannya. Enam puluh lima tahun yang lalu itu pun telah membuat Indonesia menjadi aktor penting dalam dunia internasional karena kegigihan Bung Karno yang terus menentang segala arus paham Blok Barat. Sehingga membuat militer Indonesia menjadi salah satu yang ditakuti. Dinamika perpolitikan Indonesia di era perang dingin kurun waktu 1953-1963 pernah ditandai dengan aroma diplomasi cantik dan elegan, disertai dengan kebijakan para pemimpin yang tidak mau didikte dan tunduk pada Amerika. Kurun waktu itulah bangsa mengalami kemerdekaan yang sesungguhnya.
Enam puluh lima tahun berlalu membuat bangsa ini semakin jauh dari rasa ‘merdeka’. Mungkin memang juga dikarenakan sejarah yang semula anti-AS menjadi Negara yang pro-AS pada era Seoharto. Kurun waktu Presiden Soeharto telah membawa pribumi tanah air tergeser rasa kemerdekaannya. Soeharto menjual asset-aset tanah air kepada investor-investor asing. Semakin munculnya gedung-gedung bertingkat yang berdiri di atas lahan produktif. Malahan di sini, adanya pergeseran kemerdekaan dari pribumi ke bangsa asing. Maksudnya?. Bangsa asing bisa leluasa memanfaatkan sumber daya tanah air kita, menjualnya dan uang hasil penjualan untuk pembangunan di Negara asalnya. Sedangkan kita sebagai bangsa pribumi semakin terhimpit dan semakin sulit untuk memperoleh akses sumber daya. Siapa yang merdeka?. Jelas sudah, bangsa lain. Indonesia adalah bangsa dan Negara yang besar. Gemah ripa loh jinawi katanya. Mungkin kita masih belum bisa memanfaatkannya dan celakanya bangsa asing yang pandai memanfaatkannya. Pernah Bung Karno berkata, ‘biarkan sumber daya tanah air kita ini sampai bangsa kita memiliki teknologi untuk megeksplorasinya’. Tetapi tentunya kita tidak akan terus menyalahkan sejarah. Hendaknya sejarah dijadikan pelajaran untuk masa depan kita.

Relfleksi 65 Tahun Merdeka

Di enam puluh lima tahun umur berdirinya Negara ini masih banyak masalah-masalah yang tak kunjung terselesaikan. Dari era Bung Karno sampai era SBY, haruslah kita melihat lagi, perjalanan bangsa ini. Karena dari situ bisa kita jadikan refleksi usaha bangsa Indonesia mencapai tujuannya. Kita harus meluruskan arah tujuan kita kembali, yg selama ini melenceng karena ulah kita sendiri. Tujuan yg telah kita sepakati 65 tahun yg lalu.
Umur yang sudah mencapi lebih dari setengah abad ini ternyata masalah penggangguran tak kunjung usai. Sesuai dengan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan dalam lima tahun ke depan gambaran soal angka pengangguran di Indonesia masih akan suram karena tidak tersedianya lapangan kerja. Masalah hukum pun masih menjadi menu utama saat ini. Hukum masih belum bisa berdiri tegak terlihat dari kasus-kasus yang terjadi belakangan ini. Hendaknya kita perlu lagi memahami kesepakatan kita yang telah dirintis dan dicita-citakan oleh para fouding fathers kita bahwa ‘Indonesia adalah Negara hukum bukan Negara yang berdasarkan kekuasaan belaka’. Semakin mudahnya saja seorang terdakwa lolos dari jeratan hukum dikarenakan hukum yang selalu memihak si kaya Semua masalah pelik yang selalu muncul menghantui tanah air kita hendaknya semua itu dijadikan sebuah pelajaran bagi kita dan mencoba untuk bangkit kembali.
Di saat seperti ini, mungkin kita rindu Indonesia 65 tahun yang lalu yang bisa merasakan kemerdekaan dalam setiap individu. Tetapi sungguh disayangkan enam puluh lima tahun yang lalu itu tidak bisa dirasakan lagi. Merdeka..…merdeka!! Dirgahayu Republik Indonesia ke-65. ‘Janganlah kau berpikir tentang apa yang diberikan Negara kepadamu, melainkan berpikirlah apa yang bisa kau berikan untuk negara’.

Saturday, 14 August 2010

Security Dilemma Konflik Dua Korea

By : Triono Akhmad Munib

“Jika mereka (Korsel) berani menyulut perang, kami akan menghancurkan mereka tanpa ampun”. Itulah sekilas cuplikan pernyataan dari Komite Reunifikasi Damai Ibu Pertiwi Pyongyang, Korut. Konflik dua Korea tersebut merupakan buah hasil dari konflik era cold war (perang dingin) antara AS dan Uni Soviet pada saat itu. Di mana, saling berebutnya kedua negara tersebut akan paham yang dibawanya, yaitu komunisme dan liberalisme. Hasil perselisihan paham tersebut membawa Korut jatuh pada Uni Soviet menjadi negara berpaham komunis, sedangkan Korsel jatuh kepangkuan liberalis oleh AS. Namun selepas kedua Korea tersebut merdeka konflik tak kunjung menemui perdamaian hitam di atas putih secara formal dan legal. Memang sampai saat ini belum ada pakta perdamaian kedua Korea tesebut secara formal. Konflik kedua Korea tersebut sempat reda sejenak tetapi konflik muncul kembali kepermukaan setelah terjadi insiden penembakan kapal selam Kosel Cheonan oleh militer Korut di Laut Kuning pada 26 Maret lalu

Ancaman Perang
Dengan adanya insiden di atas membawa konflik di masa lalu muncul kembali. Pihak Korsel merasa bahwa perbuatan militer Korut dengan merudal kapal selamnya merupakan sebuah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi. Korut memulai untuk menyulut sebuah peperangan dua Korea. Namun, pihak Korut tetap berkilah bahwa tindakan militernya tidak salah karena kapal selam Korsel sudah melewati batas yang ditentukan sehingga Korut merasa terancam dengan kedatangan kapal selam Cheonan tersebut. Tiga bulan setelah insiden itu, Korsel melakukan operasi latihan militer besar-besaran dengan bekerjasama dengan militer AS di perbatasan Laut Kuning. Korsel terus meningkatkan anggaran belanja militernya dan terus menciptakan serta mengembangkan alat utama sistem senjata (alutista). Korut pun tak mau kalah, pihaknya juga terus melakukan pengembangan Taepodong-nya
Upaya Korsel dan Korut tersebut membawa kita kepada konsep security dilemma (dilema keamanan). Security Dilemma adalah suatu keadaan ketergantungan pada persenjataan yang menjadi kebijakan suatu negara yang seolah-olah demi kepentingan pertahanan suatu negara padahal untuk mengancam negara lain. Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karena adanya ancaman ancaman tersebut, menyebabkan negara yang tertekan tersebut membuat kebijakan untuk meningkatkan nilai persenjataanya baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya. Seoul mencoba menekan dan menakuti pihak Pyongyang dengan menggelar latihan militer massal. Korut pun mencoba untuk mengimbangi Korsel dengan menggelar latihan militer massal pula
Ternyata, dampak dilema kemanan tidak berhenti pada kedua Korea. Letak Korsel dan Korut yang langsung berbatasan dengan China membuat pihak Beijing juga kebakaran jenggot. Beijing merasa terancam pula dengan adanya peningkatan aktivitas militer kedua Korea. Kedaulatan negara China merasa terancam. Sesuai berita yang dilangsir Kompas pada hari Jum’at 6 Agustus 2010 diberitakan bahwa Beijing telah kembangkan rudal penghancur kapal induk Dong Feng DF-21D balisitik jarak menengah berhulu ledak konvensional . Untuk siapa? Ya, untuk mengatasi kekuatan kedua Korea jika suatu saat nanti perang akan meletus. Apalagi rudal Korut Taepodong-2 memiliki daya jangkau 4000-6000 km dengan efek ledakan mencapai 15000 km. Bahkan pihak AS mengklaim bahwa Taepodong-2 bisa mencapai AS. AS yang letaknuya sangat jauh saja bisa terjangkau, bagaimana dengan China yang langsung berbatasan darat dengan Korut. Memang konsep dilema kemanan ini merupakan sebuah konsep kekhawatiran. Jika ada suatu negara yang meningkatkan aktivitas militer dan menaikkan anggaran militernya maka secara tidak langsung negara tetangga akan merasa terancam. Selalu muncul pertanyaan-pertanyaan ketakutan. Mengapa negara itu meningkatkan aktivitas militernya?, untuk apa?, ditujukan kepada siapa?. Maka mau tidak mau negara tetangga harus mewaspadai dan bersiap siaga dengan ikut meningkatkan kegiatan militernya jika suatu saat serangan itu ditujukan kepadanya maka siap untuk beperang. Hendaknya tanah air kita perlu meningkatkan kegiatan militernya karena sudah terdengar isu perebutan klaim atas Laut Cina Selatan oleh pihak Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan dan juga China sendiri. Bukan tidak mungkin konsep dilema keamanan menghantui Indonesia.

Sunday, 8 August 2010

Redominasi dan Mindset

by : Triono Akhmad Munib

Sepekan ini media massa dibanjiri berita tentang pro dan kontra redominasi mata uang yang diwacanakan pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia (BI). Semua pihak saling semprot dengan segala argumen-argumen yang dipegangnya. Muncul pula sindiran yang diberikan kepada kinerja pemerintah yang menganggap redominasi sebagai rencana yang lucu. Semakin maraknya demonstrasi di sana-sini yang mengecam rencana tersebut. Ya, diterima sajalah sebagai resiko dari demokrasi kita yang amburadul
Perlu ditekankan kembali akan makna redominasi. Redominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan atau penyeteraan nilai mata uang. Misalnya, Rp. 1000,- akan disederhanakan atau disetarakan dengan Rp. 1,-. Menurut pihak BI redominasi akan semakin mempermudah sistem akuntansi perbankan. Ditambahkan pula bahwa redenominasi ini berbeda dengan sanering (pemotongan nilai mata uang). Kalau redenominasi hanya menghilangkan nol saja tetapi nilainya sama, kalau sanering memotong nilai uang. Ya, sudahlah apa kata mereka. Tetapi rakyat masih belum bisa terima. Kenapa?
Di sini, kita akan langsung bersinggungan dengan mindset (pola pikir) masyarakat. Mungkin bagi kalangan pekerja kantoran dan perbankan redominasi bisa dipahami secara baik. Tetapi, bagaimana dengan masyarakat kelas bawah dalam arti masyarakat yang pekerjaannya berdagang di pasar, masyarakat desa. Merek masih tetap beranggapan bahwa 1000 masih lebih besar daripada 1. Jadi mereka merasa ada penurunan nilai mata uang. Itu karena mereka belum memahami makna redominasi secara utuh. Mindset mereka masih belum bisa diajak untuk berpikir ke sana, perlu jangka waktu yang cukup panjang untuk bisa menerima 1000 setara dengan 1

Siapa Yang Salah?

Tidak ada pihak yang perlu disalahkan dalam hal ini. Pihak pemerintah melalui BI pun mewacanakan rencana kebijakan tersebut juga untuk kemakmuran bersama. Mungkin perlunya ditingkatkan kembali kinerja masyarakat. Dalam hal apa?. Dalam hal sosialisasi. Jika memang pemerintah tetap ngotot ingin menerapkan kebijakan redominasi tersebut. Maka perlu ditingkatkan pula sosialisasi tentang redonominasi kepada masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah, pedagang hingga masyarakat desa serta pelosok hingga mereka paham dan bisa menerima arti 1000 setara dengan 1.
Memang secara ekplisit penulis berpendapat bahwa redominasi mata uang dirasakan perlu untuk mempermudah perhitungan keuangan dan menghindari dari salah tulis akibat terlalu banyak nol. Pernah seorang anak bertanya pada Bapaknya, “Pak, seribu triliyun rupiah itu nol-nya berapa?”. Si Bapak pun kelabakan menjawab karena harus menghitung dengan jarinya hingga pinjam jari tetangganya karena tidak cukup. Tetapi redominasi juga akan membawa dampak. Salah satunya adalah berubahnya status miliarder menjadi jutawan dan jutawan menjadi ribuwan.

Saturday, 7 August 2010

Desa ke Kota, Kota ke Desa

by : Triono Akhmad Munib

“Badhe tindak dateng pundi Mbah?” (Mau pergi kemana Mbah?), tanyaku. “Badhe dateng kota mas” (Mau pergi ke kota mas), jawab si Mbah. Mendengar jawaban si Mbah, dalam hati saya bertanya-tanya. Bukankah ini sudah di dalam wilayah satu kota?. Tapi kok si Mbah mau pergi ke kota. Kemanakah yang hendak ditujunya?. Dengan rasa penasaran saya pun mengikuti kemana si Mbah akan pergi. Tak lama setelah itu sampailah pada tempat yang di maksud si Mbah. Saya terkejut, ternyata yang dimaksud dengan kota oleh si Mbah adalah sebuah alun-alun dengan pusat perbelanjaan. Di sini, saya mulai mengerti bahwa konsep kata ‘kota’ menurut si Mbah. Terlepas dari kota metropolitan seperti Jakarta
Kebanyakan orang-orang menyebut suatu tempat dengan sebutan ‘kota’ adalah sebuah tempat dengan definisi memiliki alun-alun, dan pusat perbelanjaan. Konsep tersebut telah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka kepada keturunannya. Mungkin itu semua tak lepas dari sejarah nusantara kita yaitu pada masa kerajaan. Salah satunya adalah kerajaan Majapahit pada abad ke- 12. Konsep kota yang diberikan oleh Majapahit secara tidak langsung hampir menyerupai pembentukan kota-kota di Indonesia. Pada masa Majapahit, terdapat sebuah tanah lapang untuk kegiatan publik dengan dikelilingi pusat kerajaan, pusat perdagangan, tempat ibadah, dan balai prajurit.
Jika dianalisa dengan konsep ‘kota’ di Indonesia. Maka akan ada kesamaan. Pertama, tanah publik diidentikkan dengan alun-alun. Kedua, pusat kerajaan adalah kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Pemerintah Kota (Pemkot). Ketiga, balai tentara disamakan dengan kantor Komando Distrik Militer atau Kodim. Sedangkan pusat dagang adalah pusat perbelanjaan, supermarket atau pun yang lainnya. Jadi si Mbah gak salah dong?. Secara mutlak tidak.
Tetapi mungkin jika si Mbah ingin mengurus KTP mungkin si Mbah bisa salah. Di atas merupakan konsep ‘kota’ menurut orang lama. Tetapi arti tersebut berubah ketika dihadapkan dengan pemerintahan saat ini. Dalam era pemerintahan saat ini. Suatu wilayah bisa terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten dan Kota. Maksudnya, terdapat dua pemerintahan dalam satu daerah. Seperti contohnya, daerah Mojokerto terdapat Pemerintahan Kota dan Pemerintahan Kabupaten yang masing-masing memiliki wilayah kecamatan tersendiri. Jadi jika si Mbah tinggal di salah satu kecamatan di wilayah Pemkab maka si Mbah harus mengurusnya di kantor Pemkab begitu pula sebaliknya. Jadi yang mana yang disebut ‘kota’ dan ‘desa’ kalau begitu?. Entah siapa yang menciptakan. Biasanya orang sering menyebut warga yang tinggal di salah satu kecamatan di wilayah kerja Pemkab sebagai orang ‘desa’ dan sebaliknya sebagai orang ‘kota’ jika tinggal di salah satu kecamatan di wilayah kerja Pemkot.
Tetapi terdapat satu daerah yang memiliki satu pemerintahan seperti Jember. Daerah Jember hanya memiliki Pemerintahan Kabupaten. Tapi tetap warga masih menyebut alun-alun sebagai pusat kota dan menyebut warga kota bagi yang tinggal di sekitar alun-alun. Warga Jember sering menyebut ‘pergi ke kota’ jika mereka hendak ke kantor Pemkab, ke pusat perbelanjaan atau ke alun-alun.
Memang terlihat kata ‘kota’ dan ‘desa’ sedang mengalami perubahan makna. Tetapi itu sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat kita yang sudah salah kaprah.

Monday, 2 August 2010

UU No. 24 Tahun 2007 dan Maraknya Gedung Sekolah Roboh

By : Triono Akhmad Munib

Maraknya bencana alam maupun non-alam yang terjadi di tanah air membuat pemerintah terus menghimbau pemerintah daerah maupun propinsi untuk selalu mengutamakan penganggulangan bencana di setiap sektor pembangunan. Bencana alam didefinisikan sebagai segala bentuk bencana yang benar-benar murni karena proses alam, seperti : gempa bumi, tsunami, dll. Sedangkan bencana non-alam diartikan sebagai bencana yang timbul akibat ulah manusia, seperti : banjir, bangunan roboh, elpiji meledak, gagal teknologi dan modernisasi, dll. Telah terjadi perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana, yaitu di mana pendekatan tanggap darurat berubah menjadi pengurangan resiko bencana. Sehingga perencanaan pembangunan harus memasukkan pengarusutamaan penanggulangan bencana. Sesuai dengan pembagian bentuk bencana menurut UU No.24 Tahun 2007 penulis akan membahas tentang bencana non-alam serta dampak yang ditimbulkannya dari segi sosial
Untuk lebih memfokuskan pembahasan agar tidak melebar jauh penulis mengambil contoh kasus bencana non-alam, yaitu banyaknya gedung sekolah yang roboh di tanah air, khususnya Jawa Timur. Sudah banyak media elektronik, surat kabar yang memberitakan robohnya gedung sekolah di kota-kota di Jawa Timur. Sebut saja di Kabupaten Mojokerto terdapat dua kasus sekolah roboh, yaitu di tahuun 2008 dan 2010. Padahal salah satu dari sekolah tersebut baru saja mengalami renovasi dan yang lain memang sudah dimakan usia. Kemudian juga di Kabupaten Kediri, yang mengakibatkan para siswa-siswi harus rela tersengat matahari karena kegiatan belajar mengajar di pindahkan di pelataran sekolah. Entah berapa banyak lagi kasus yang terjadi, penulis kira tidak hanya yang disebutkan di atas saja. Jika bersandar pada UU No. 24 Tahun 2007, seharusnya bencana tersebut tidak perlu terjadi. Pemerintah telah berkomitmen untuk mencoba mencegah resiko bencana. Sehingga pemerintah seharusnya tanggap terhadap kondisi gedung-gedung sekolah di tanah air. Sungguh ironis memang, ketika menaikkan angka 20% dalam APBN dan APBD tidak mungkin lagi dilakukan, ternyata di sisi lain ada kenyataan daftar gedung sekolah yang roboh justru semakin panjang.
Di setiap bencana selalu membawa dampak. Gedung sekolah roboh juga membawa dampak bagi masyarakat khususnya siswa-siswi. Suasana panas di luar pelataran sekolah menjadi keseharian para siswa sehingga kadang siswa kurang bisa berkonsentarsi akibat menahan panasnya sengatan matahari. Atau bahkan hingga kematian seorang siswa akibat tertimpa material bangunan yang roboh seperti yang menimpa pada Doni siswa SDN 3 Karang Anyar, Kecamatan Gedung Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Bongkahan material yang keras membuat ia gegar otak dan menemui ajalnya saat dilarikan ke Puskesmas setempat. Sungguh tragis melihat kejadian di atas. Kondisi ini menempatkan pemerintah dalam putaran dilema. Di satu sisi pemerintah telah meratifikasi komitmen Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) dalam bidang pendidikan yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi di sisi lain sarana prasarana pendidikan masih belum terpenuhi. Di sini timbul pertanyaan kenapa kejadian tersebut terjadi dan masih terus berlangsung, kan pemerintah sudah membuat sebuah undang-undang tentang penanggulangan bencana setidaknya kejadian di atas tidak perlu terjadi?

Perlu Pembenahan Kembali
Secara teori pertanyaan di atas memang benar. Jika pemerintah sudah membuat sebuah undang-undang berarti aturan tersebut memiliki legislasi yang kuat dan wajib dijalankan. Tetapi pada prakteknya tidak begitu. Memang dalam poin 2 pasal 3 tentang prinsip-prinsip penanggulangan bencana telah disebutkan cepat dan tepat, prioritas serta transparansi dan akuntabilitas. Jika dikaitkan dengan kejadian maraknya gedung sekolah yang roboh kiranya prinsip tersebut masih belum bisa terpenuhi, mengapa?. Yang pertama cepat dan tepat, jika mengetahui kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak lagi sehingga butuh di Jawa Timur seharusnya pemerintah cepat melakukan renovasi. Tetapi nyatanya tidak begitu. Ini dialami pada SD Negeri 2 Lengkong Kabupaten Mojokerto. Kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak lagi masih belum mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Pemerintah Kabupaten Mojokerto dinilai acuh. Kedua, prinsip prioritas. Kiranya pemerintah masih belum memprioritaskan renovasi gedung sekolah dalam agenda pembangunannya. Jika pemerintah sudah membuat undang-undang tentang penanggulangan bencana setidaknya program renovasi gedung sekolah perlu diperbanyak lagi sesuai dengan komitmen mengurangi resiko bencana seperti apa yang telah disebutkan diatas. Yang terakhir adalah transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini penulis berpendapat masih rendah. Tidak transparansinya aliran dana untuk merenovasi sekolah merupakan salah satu penyebab robohnya gedung sekolah. Lho, kok bisa?. Tentu bisa. Seperti yang dialami salah satu sekolah di Kabupatan Mojokerto. Sekolah tersebut baru saja direnovasi tetapi 4 bulan ambruk. Setelah diselidiki ternyata memang material yang digunakan untuk merenovasi merupakan material yang jelek. Itu dikarenakan dana renovasi disunat oleh oknum yang bertanggungjawab. Demi mendapatkan keuntungan, oknum tersebut melalaikan prinsip penanggulangan bencana.

Siapa Yang Salah?
Tidak ada yang secara mutlak benar dan salah. Upaya pemerintah sudah bagus dengan membuat undang-undang penanggulangan bencana. Tetapi perlu dianalisa bahwa di sini timbul sebuah dialektika segitiga setan.


Undang-undang

Pemerintah pusat
Pemerintah
daerah



Percuma jika undang-undangnya sudah baik dan mengikat tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah pusat kurang koordinasi dan masih mlempem menjalankan undang-udang tersebut. Atau mungkin sebaliknya undang-undang dan pemerintah pusat sudah melakukan sinkronisasi dengan baik tetapi di pemerintah daerah masing belum bisa menerapkan secara optimal undang-undang tersebut. Lalu, bagaimana solusinya?
Mungkin sulit memberikan sebuah solusi yang bisa fleksibel karena hal tersebut langsung berkaitan dengan gejala sosial. Di sini, penulis memberikan sedikit solusi agar kejadian bencana gedung roboh tak terulang kembali di tanah air. Yang pertama, perlu ditingkatkan kembali sosialisasi akan UU No.24 tahun 2007 di atas khususnya mengenai dasar perubahan paradigma. Jadi pemerintah pusat maupun daerah diminta untuk mengubah cara pandang mereka ke arah pengurangan resiko bencana sehingga mereka akan bersiap sebelum bencana datang. Maksudnya, terus melakukan dan meningkatkan survei terhadap gedung-gedung sekolah di Jawa Timur agar sebelum roboh bisa dicegah dengan renovasi dini. Sosialisasi ini tidak hanya diberikan kepada pemerintah pusat maupun daerah tetapi juga kepada masyarakat sesuai dengan amanat UU No. 24 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa perlunya partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat diminta untuk cepat dan tanggap untuk melaporkan kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai ataupun yang lapuk dimakan usia kepada Dinas Pendidikan setempat disamping pemerintah melakukan survei sendiri. Kedua, perlunya ditingkatkan anggaran pendidikan dari yang sekarang 20%. Jika kita melihat negara tentangga seperti Singapura yang memberikan 25% dan Malaysia 26% dari APBN. Karena dirasa kurang dengan menganggarkan 20% untuk pendidikan. Oke lah jika untuk pembiayaan sekolah gratis bagi anak miskin dan kurang mampu tetapi kita dihadapkan pula dengan maraknya gedung sekolah yang bobrok. Di satu sisi untuk pembiayaan sekolah gratis, namun di sisi lain untuk pembiayaan renovasi. Jadi anggaran tersebut dianggap kurang. Yang ketiga dan terakhir adalah masalah korupsi yang menjadi momok dan bahaya laten di tanah air. Pemerintah harus terus memberantas dan mengusut tuntas kasus korupsi di tanah air. Korupsi membuat dana pendidikan semakin mengerucut kecil jika sampai pada pemerintah daerah. Misalnya, dana pendidikan dari pemerintah pusat sebesar 20 triliyun rupiah. Karena panjangnya birokrasi dan maraknya korupsi bisa-bisa dana sampai ke pemerintah daerah menjadi 17 triliyun atau mungkin kurang dari itu. Banyaknya oknum-oknum yang suka menyunat dana membuat Indonesia tidak bisa maju.
Di atas merupakan sedikit analisa penulis tentang pengarustamaan resiko bencana dalam pembangunan khusunya di Jawa Timur dengan mengambil kasus maraknya bencana gedung sekolah yang roboh. Kita semua, khususnya para orang tua tidak ingin apabila pada saat kegiatan belajar mengajar di sekolah, rekan kita atau mungkin putra-putri kita tertimpa bongkahan material gedung akibat bobroknya kondisi gedung. Berharap kedepannya pemerintah pusat maupun daerah bisa memperbaiki kinerjanya seperti solusi yang diberikan penulis di atas

Saturday, 31 July 2010

Antara Demokrasi dan Disintergrasi Bangsa

By : Triono Akhmad Munib

Kerusuhan Pemilukada yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini semakin menambah sejarah anarkisme Indonesia. Salah satu contohnya adalah kerusuhan yang terjadi pada Pemilukada Kabupaten Mojokerto sebulan yang lalu. Tidak tanggung-tanggung tindakan anarki masyarakat tersebut telah merugikan pemerintah sekitar 1,4 miliar rupiah. Sangat disayangkan uang jika sebanyak itu digunakan untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas yang dirusak oleh massa yang sebelumnya baik-baik saja
Di dalam analisis kerusuhan Pemilukada yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini perlu ditelaah dua analisa, kebebasan demokrasi dan ancaman disintegrasi bangsa. Memang Demokrasi memang menjunjung tinggi kebebasan personal, tetapi bukan berarti tak bertanggung jawab. Kita perlu mengelola kebebasan yang sedemikian rupa sehingga efektif dan bertanggung jawab masih merupakan pergulatan dan perjuangan bersama. Kontrol efektif dan tentu saja benar serta diikuti tanggung jawab itulah tantangan dari demokrasi. Negara kita adalah negara hukum (rechstaat), yaitu negara yang dalam menjalankan kegiatan bernegara harus berlandaskan pada hukum. Di sini lah, letak kesalahan masyarakat yang mengartikan demokrasi secara murni. Negara kita, Indonesia memang menghargai kebebasan tetapi masih terdapat batasan untuk mengkontrolnya, yaitu hukum agar kebebasan tersebut tidak terlampau jauh ke arah brutal dan anarki. Massa merasa tindakan anarkinya dengan membakar mobil dan merusak fasilitas negara adalah sebuah kebebasan dari demokrasi. Itu salah, tindakan tersebut sudah lepas dari makna demokrasi dan menuju ke arah kriminalisasi, yang jelas melanggar hukum dan bisa dipenjarakan. Tindakan anarki massa tersebut sangat tidak bertanggung jawab dan mencoreng esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah sebuah tanggung jawab. Kita membangun demokrasi secara bersamaan kita juga membangun tanggung jawab bersama. Tanggung jawab mewujudkan kondisi perikehidupan warga, masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih maju, lebih sejahtera, lebih bermakna demokrasinya

Ancaman Disintegrasi

Selain itu, kerusuhan tersebut dikhawatirkan menjadi potensi disintegrasi bangsa. Disintegarsi di sini, diartikan sebagai adanya perpecahan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh pengelompokkan masyarakat itu ke dalam aliran-aliran politik tertentu. Pengelompokkan tersebut bisa berangkat dari kesamaan ide, ideologi, agaman atau bahkan kesamaan etnis. Secara tidak sadar, dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh-pengaruh dari opini-opini politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan. Dalam hal ini biasanya massa pemrotes berasal dari pendukung partai politik tertentu dengan ideologi tertentu pula. Kasus kerusuhan Pemilukada di Indonesia merupakan sebagai tanda awal disintegrasi sebuah bangsa. Masyarakat akan terkotak-kotak (ter-enrichment) ke dalam golongan-golongan ideologi, agama, dan etnis. Jika ini dibiarkan dikhawatirkan kelompok-kelompok ini akan membelot kepada Indonesia dan mencoba mendirikan negara baru. Sudah banyak contoh di Indonesia tentang upaya pembentukan negara baru seperti : GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan OPM (Operasi Papua Merdeka). Itu semua terjadi karena rakyat menganggap bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah seringkali tidak sepaham dengan mereka dan hanya mementingkan kelompok-kelompoknya semata. Di sini, timbul pertanyaan mengapa kita harus berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih pemimpin jika kita harus mengorbankan ingtegrasi bangsa?. Ini merupakan sebuah big homework (pekerjaan rumah besar) bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk terus mensosialisasikan makna dari demokrasi yang baik kepada masyarakat. Tantangan bagi pemerintah adalah sedikitnya masyarakat Indonesia yang berpendidikan sehingga semakin mudah diprovokasi.

Friday, 30 July 2010

Sepak Bola dan Politik

By : Triono Akhmad Munib

Pagelaran akbar sepak bola sejagad atau biasa disebut dengan world cup (piala dunia) telah usai. Tetapi euforia para suporter dan kontroversi masih terus berlanjut hingga saat ini. Misalnya gol tendangan keras pemain Inggris, Frank Lampard ke gawang tim Jerman yang sempat dianulir wasit masih menjadi perdebatan panas. Jika berbicara piala dunia, kita tak bisa lepas dari kerasnya permainan di lapangan hijau yang menjadi ciri khas dari permainanan sepak bola itu sendiri. Demi membela negara dalam arti menyelamatkan gawang dari gempuran lawan apa pun dilakukan. Loncatan kaki pemain, salto, sundulan, tackling selalu mewarnai disetiap laga sehingga permainan tampak seperti adu karate antar tim. Tetapi di sini kita tidak akan membicarakan sepak bola lebih dalam melainkan akan berbicara tentant politik. Lho, bagaimana bisa sepak bola disamakan dengan politik?.
Panasnya suhu politik di tanah air membuat tayangan berita di televisi tak berhenti mengabarkan perkembangan politik tanah air. Entah tentang semakin maraknya koalisi antar partai politik (parpol), pemilihan calon ketua umum parpol hingga saling berebut kursi jabatan. Jika kita lihat perpolitikan memang tak ayalnya sebuah permainan sepak yang selalu dibumbui dengan tackling, saring serang hingga stuggle each other (menjatuhkan satu sama lain)

Sama Kerasnya

Bisa dikatakan politik adalah sama kerasnya dengan sebuah permainan sepak bola. Bila disamakan dengan permainan sepak bola berarti politik itu menakutkan kah?. Bisa dikatakan ‘iya’. Politik akan saling dorong, menyerang, tackling, menjatuhkan satu sama lain hingga bisa mencapai gol yaitu tercapainya sebuah tujuan yang diharapkan. Demi mempertahankan kepentingannya, mereka akan saling serang terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan politiknya. Mereka akn saling menjatuhkan satu sama lain dengan mencari-cari kesalahan lawannya. Jika dalam sepakbola ada lawan ada kawan di dalam politik kadang tak mengenal itu. Politik kadang buta akan kawan dan lawan sampai-sampai mereka bisa saling menendang walau dalam satu tim atau parpol. Rasanya tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah ‘kepentingan abadi’
Jika dalam sepak bola dikenal dengan adanya blunder seperti pertandingan Korea Selatan melawan Argentina di mana terjadi blunder pemain bertahan Argentina, Martin Demichelis mengakibatkan Argentina kebobolan oleh Park Ji-Sung. Di dalam politik pun juga ada hal demikian alih-alih menyerang musuh politiknya dan mempertahankan kepentingannya malah bisa-bisa serangan tersebut akan kembali kepada dirinya dan malah lawan yang bisa menjebol gawang kita dalam arti mencapai tujuannya. Layaknya sepak bola politik harus memerlukan strategi apakah kita akan deffence atau full attack. Jika dalam sepak bola diperlukan sebuah timing yang pas untuk memasukkan pemain andalan mereka dalam politik pun juga begitu. Diperlukan sebuah waktu yang tepat untuk mengangkat atau memanfaatkan isu yang sedang berlangsung untuk menarik dukungan dari masyarakat. Wah, kalau begitu politik itu kejam ya?. Secara mutlak ‘tidak’. Kita tidak bisa lepas dalam politik. Hidup keseharian kita pun secara tidak langsung sudah memasuki ranah politik. Misalnya, kita akan membeli sebuah pakaian pastilah kita memilih. Nah, memilih itu lah merupakan hal kecil dari politik. Karena dalam proses pembuatan kebijakan (decision making process) seorang pemimpin perlu memilih kebijakan manakan yang akan diambil, semisal terus mensubsidi minyak tanah atau konversi ke gas.