Saturday 28 January 2012

Diklat Ke-I UKM Badminton FISIP Unej

Triono Akmad Munib

UKM Badminton FISIP Universitas Jember melakukan Diklat untuk yang pertama kalinya pada hari Sabtu 28 Januari 2012. Acara Diklat dibuka langsung oleh Pembina UKM Badminton, Drs. Rudy Eko Pramono, M.Si yang kemduian dilanjutkan dengan Pelantikan Pengurus Periode 2011-2012 dengan penyerahan SK kepada Ketua Umum baru, Saudara Faris Rifqi, jurusan D3 Perpajakan.

Dalam sambutannya, Pembina UKM berharap acara Diklat ini bisa dijadikan agenda (semacam ritual) tahunan UKM terhadap anggota baru. Hal serupa juga diungkapan oleh Ketua Umum baru UKM. Acara tersebut diikuti sekitar 26 mahasiswa dari berbagai jurusan, diantaranya : Hubungan Internasional, Adminsitrasi Negara, Kesejahteraan Sosial, D3 Perpajakan, dan Sosiologi. Tujuan diadakan Diklat ini adalah untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada anggota baru UKM serta untuk mempererat tali persaudaraan antara junior dan senior.

Diklat akan berlangsung selama dua hari sampai pada hari Minggu tanggal 29 Januari 2012. Untuk hari pertama (28/1) sengaja difokuskan kepada pemberian materi tentang "Keorganisasian" oleh Triono Akmad Munib dan "Teknik Dasar Badminton" oleh Rezandara Putra Hardita, S.AB. Untuk hari berikutnya akan difokuskan pada praktek dan olah fisip peserta yang dilaksanakan di Gedung Serba Guna Soetarjo Unej mulai pukul 06.00 WIB.

Sunday 22 January 2012

Sengketa Laut China Selatan : Perlombaan di Lautan

Triono Akmad Munib

Pentingnya daerah pesisir pantai menjadikan negara di Asia Tenggara dan Asia Timur memberikan perhatian lebih kepadanya. Hal ini menyangkut kedaulatan negara mengingat pesisir pantai merupakan batas terluar suatu negara. Maka tidak salah jika China yang merupakan salah satu kuat di kawasan Asia sangat sensitif terhadap isu-isu perairan. Berbagai kepentingan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara diam-diam memicu persaingan baru untuk mengukuhkan posisi mereka di lautan. Perlombaan pun terjadi sampai ke bawah laut.[1]

Dalam beberapa bulan terakhir ini kawasan ini (Asia Timur dan Asia Tenggara) sempat mengalami ketegangan terkait klaim sengketa Laut Cina Selatan. Laut ini juga dikenal sebagai Laut Kuning, berposisi sangat strategis dan kaya akan sumber daya alam. Anugerah alami itu sering menjadi sumber konflik kepentingan bagi negara yang berada di sekitar perairan itu, di antaranya mengganggu pengelolaan sumber daya perikanan.[2]

Selain itu perairan ini juga teridentifikasi sekitar lebih dari 200 gususan pulau da dan karang, sebagian besar di Kepulauan Spartly. Kepulauan ini membentang seluas 810x910 kilometer, dan mencakup 175 pulau yang telah teridentifikasi. Pulau terbesar adalah Pulau Taiping (Itu Aba) yang panjangnya hanya 1,3 kilometer dengan elevasi tinggi 3,8 kilometer. Laut China Selatan juga terpetakan menyimpan cadangan minyak sekitar 1,2 kilometer kubik (7,7 miliar barel), sedangkan secara keseluruhan terdapat cad`ngan minyak 4,5 kilometer kubik (28 miliar barel). Adapun potensi gas alam yang dimilikinya sekitar 7.500 kilometer kubik (266 triliun kaki kubik). Bisa dibayangkan betapa menggiurkannya wilayah Laut China Selatan ini, apalagi memiliki cadangan energi yang membuat suatu negara terkadang rela untuk menggelontorkan begitu banyak uang bahkan dengan resiko perang sekalipun (seperti Invasi AS ke Irak tahun 2003). Tak heran jika banyak sekali negara-negara disekitaran Laut China Selatan yang mengklaimnya entah berdasarkan perhitungan Hukum Laut hingga klaim sejarah masa lampau.


Siapa yang Mengklaim?

China mengklaim sebagian besar kawasan ini (terbentang ratusan mil dari selatan sampai timur di Propinsi Hainan). Beijing mengatakan hak mereka atas kawasan itu bermula dari 2.000 tahun lalu dan kawasan Paracel dan Spratly merupakan bagian dari bangsa China[3].

Tahun 1947, China mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan negara itu. Peta itu menunjukkan dua rangkaian pulau yang masuk dalam wilayah mereka. Klaim itu juga diangkat Taiwan, yang masih dianggap China sebagai provinsinya yang membangkang.

Vietnam menyanggah klaim China dengan mengatakan Beijing tidak pernah mengklaim kedaulatan atas kepulauan itu sampai tahun 1940-an dan mengatakan dua kepulauah itu masuk dalam wilayah mereka.

Selain itu Vietnam juga mengatakan mereka menguasasi Paracel dan Spratly sejak abad ke-17, dan memiliki dokumen sebagai bukti.

Negara lain yang mengklaim adalah Filipina, yang mengangkat kedekatan secara geografis ke kepualauan Spratly sebagai landasan klaim sebagian kepulauan itu.

Malaysia dan Brunei juga tidak ketinggalan mengklaim sebagian kawasan di Laut China Selatan itu yang menurut dua negara itu masuk dalam Zona Ekonomi Ekskutif (ZEE), seperti yang ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982.

Brunei tidak mengklaim dua kepuluaan itu namun Malaysia menyatakan sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah milik mereka.

Negara Mulai Unjuk Gigi

Ketegangan di Laut China Selatan ini bisa memicu perang. Bentrokan yang paling parah dalam beberapa dekade ini adalah antara Vietnam dan China. China menguasai Paracel dari Vietnam tahun 1974, menewaskan beberapa tentara Vietnam. Tahun 1988, kedua belah pihak bentrok di Spratly, dan Vietnam lagi-lagi kehilangan 70 personil. Gesekan-gesekan antar negara pengklaim masih terus terjadi hingga saat ini.

Solusi damai terus diupayakan, melalui organisasi kerjasama regional ASEAN untuk membuat sebuah aturan yang bernama Code of Conduct yang akan ditingkatkan menjadi Declaration of Conduct (DOC). Namun, perpolitikan dunia ini masih “nyaman” menganut istilah lama civis pacem para belum (jika ingin damai, maka bersiaplah berperang). Sehingga implementasinya unjuk kekuatan negara pengklaim terus terjadi. Terjadi semacam perlombaan senjata di lautan.

Dalam beberapa bulan terakhir ini negara-negara di kawasan ini mulai menampakkan geliatnya dalam memodernkan sistem peresenjataannya di lautan. China dengan kekuatan perekonomian terbesar kedua dunia dan menjadi negara terkuat di kawasan ini terus mengucurkan dana untuk memperkuat armada kapal selam. Data yang sempat dilansir Dinas Kemiliteran AS Pentagon menyebutkan bahwa saat ini China memiliki tak kurang dari 60 kapal selam dengan 9 diantaranya bertenaga nuklir. China pun juga mengembangkan kapal selam kelas Jin yang memiliki kemampuan meluncurkan rudal balistik berdaya jangkau 7.400 kilometer.[4]

Menurut Kepala Staf TNI AL Laksamana Soeparno mengatakan bahwa dengan kelebihan yang dimiliki Jin, maka satu kapal selam akan setara dengan tiga kapal fregart bersenjata lengkap. (Kompas, 31 Desember 2011).

Tak ingin kalah Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, Singapura, dan Thailand juga berencana membuat armada kapal selam.[5]


Bagaimana dengan Indonesia?

Walaupun Indonesia bukan menjadi salah satu negara yang ikut ngotot mengklaim wilayah ini. Entah tidak berani karena kalah kekuatn atau trauma dengan masa lalu, yaitu lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia.

Namun, terlepas dari itu semua seyogyanya Indonesia yang memiliki garis demarkasi pantai terpanjang dan terbesar di kawasan Asia turut berhati-hati dengan kewaspadaan tinggi.

Melihat letak geografis negara-negara pengklaim yang sangat dekaat antara Malaysia, Filipina, Brunei, Vitenam, dan Indonesia bukan tidak mungkin jika perang meletus di kawasan ini, mau tidak mau Indonesia pun juga akan terlibat masuk didalamnya.

Indonesia juga harus unjuk kekuatan! Setidaknya menjadi penggetar bahwa di sini masih ada negara berdaulat dan mereka semua tidak bisa berperang sendirian.





Referensi :

[1]“Persaingan Baru di Bawah Laut”, Harian Kompas, Edisi Jum’at 20 Januari 2012
[2]“Konflik Laut China Selatan Ganggu Sumber Perikanan”, diakses dari www.antaranews.com
[3]”Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan”, diakses dari www.bbc.co.uk/indonesia
[4]Ibid
[5]Ibid