Monday 28 March 2011

Pentingnya Sebuah 'Isu"

By Triono Akhmad Munib

Ketika George Bush mencanangkan program ‘war on terrorism’ pasca Tragedi 11 September yang kemudian implementasinya adalah menyerang Afghanistan yang katanya menurut Bush adalah sarang dari pada teroris. Preemptive strike, doktrin inilah yang selalu digaungkan Bush yang berarti bahwa mencegah kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebelum kemungkinan itu benar-benar terjadi. Membasmi terorisme harus dari sarangnya yaitu Afghanistan.
Namun, perang melawan terorisme yang hampir memasuki tahun ke-10 ini perlulah dunia mengevaluasi. Seberapa jauh keberhasilan AS dalam memberantas sarang terorisme. Apakah terorisme sudah benar-benar kalah?. Atau apakah mereka semakin menjamur dan malah semakin teroganisir dengan baik?. Itulah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang patut untuk AS jawab.
Dalam tulisan kali ini, penulis bukan hendak menyoroti derajat keberhasilan AS dalam memerangi terorisme melainkan bagaimana program war on terrorism Bush bisa menghipnotis mindset dunia sehingga secara tidak langsung legitimasi pun bisa didapat secara otomatis. Benarkah tidak ada sebuah interests dibalik bungkus war on terrorism tersebut?
Banyak pihak yang mengsanksikan tujuan AS di Afghanistan selain perang melawan terorisme. Salah satu kritikan yang dilontarkan adalah kepentingan akan minyak. Minyak merupakan sebuah national interest AS dan sebagian besar suplai minyak AS didatangkan dari Timur Tengah. Sebagai kepentingan nasional, maka AS pun rela mati-matian untuk memperjuangkannya. Laporan dari Badan Geologi AS memaparkan bahwa selain minyak bumi Afghanistan juga mengandung mineral-mineral langka seperti kobalt, lithium, emas, dan sebagainya yang merupakan bahan baku industri elektronik salah satunya adalah lithium sebagai bahan pembuat baterai laptop. Jika benar ini maksud dari ‘war on terrorism’, berarti program tersebut hanya dijadikan sebuah isu untuk melancarkan national interest AS?

Issues as A Source of Legitimacy

Untuk menjelaskan kaitan isu dengan sebuah tujuan (goals) terdapat sebuah diagram backbone fish scheme yang sempat penulis dapatkan pada saat menempuh perkuliahan Human Security dan Isu Global.
Penjelasan secara umum diagram di atas adalah sebelum sebuah Negara mempunyai interest dan dalam mewujudkan kepentingannya untuk menjadi sebuah goals ada sebuah proses dan tahapan di mana peran isu menjadi sangat penting. Dalam kasus di atas, kepentingan AS adalah minyak dan yang terbaru adalah kebutuhan akan mineral langka bahan dasar elektronik. Untuk menggapai interest-nya jelas tidak munkin AS secara terang-terangan menyatakan tujuan invasinya di Afghanistan. Karena pasti tidak akan bisa mendapatkan legitimasi baik dari level domestik maupun internasional. Maka dibuatlah sebuah isu yaitu ‘war on terrorism’. Cerdiknya program tersebut digaungkan pasca Tragedi 11 September di saat masyarakat AS dan dunia masih dalam keadaan berduka atas meninggalnya lebih dari 5000 pekerja dalam Gedung WTC. Di saat yang bersamaan masyarakat pun terus mengecam tindakan-tindakan teroris tersebut. Pada saat kondisi psikologis seperti ini Bush dengan lihai membuat sebuah isu terorisme sebagai musuh bersama dan AS siap menjadi garda terdepan perang melawan terorisme. Implementasinya, secara tidak sadar masyarakat telah memberikan sebuah legitimasi atas isu tersebut dan meng-iyakan AS menginvasi Afghanistan di bawah bendera ‘war on terrorism’. Tanggapan dunia pun bermacam-macam ada yang bersedia bersama AS memerangi terorisme ada pula yang memperketat birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan asing ditakutkan adanya penyusup gelap.
Kembali kepada backbone fish scheme di atas. Dari ujung kiri (ekor ikan) terdapat sebuah interest box. Interest AS di sini adalah minyak. Kemudian untuk mengoalkannya isu yang dipakai adalah ‘terrorism as common enemy and war on terrorism’. Perlu ditekankan di sini adalah dalam pemilihan dan pembuatan sebuah isu hendaknya yang bisa menarik simpati masyarakat sehingga nantinya isu yang kita buat akan tampak seperti keinginan masyarakat dan secara otomatis mendapatkan legitimasi pula. Isu perang melawan terorisme yang digaungkan AS merupakan pemilihan isu yang cukup cerdik di saat masyarakat masih dalam baying-bayang Trgaedi 11 Sepetmber. Setelah isu tersebut mendapatkan legitimasi dari masyarakat domestik dan internasional baik secara langsung maupun tidak langsung, maka langkah selanjutnya adalah perlunya sebuah means (cara) dari negara yang berkepentingan. Cara yang dimaksud di sini lebih ke arah adanya sebuah state action (tindakan negara) secara nyata. Dalam kasus ini, state action yang dilakukan AS adalah mengirim militernya untuk menginvasi dan memberantas terorisme secara langsung ke Afghanistan. Barulah di saat AS sudah melakukan aksi tinggal ditunggu saja hasilnya apakah interest-nya akan minyak sudah tercapai (goal)
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa isu menjadi hal yang sangat penting untuk menggoalkan interest. Isu pulalah yang secara tidak langsung akan menjadi sebuah source of legitimacy kepada negara atas tindakan-tindakannya. Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini, ada sebuah analogi yang cukup sederahana di sekitar kita seperti ini :
Ketika cowok hendak mendekati cewek dan ingin menjadi
kekasihnya (this is interest), pastilah tidak mungkin langsung
menyatakan cinta begitu saja. Akan tampak lucu dan anehketika kita
tiba-tiba menyatakan cinta. Ada sebuah proses pendekatan dan
dalam proses ini diperlukan sebuah isu (entah meminjam catatan,
meminta nomor hp, belajar bareng, dsb) untuk bisa memulai
sebuah komunikasi dengan si ceweknya. Setidaknya isu bisa
sedikit menutupi tujuan utama kita

Saturday 19 March 2011

Pancasila dan Keberagaman Agama di Indonesia

By : Triono Akhmad Munib

Masalah konflik atas nama agama di negara Indonesia bukanlah rahasia umum lagi, baik di dalam negeri kita sendiri maupun di luar negeri. Boleh dikatakan bahwa masalah konflik antaragama sudah setua usia kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena Pancasila sebagai simbol kekuatan bangsa yang seharusnya memberikan ruang gerak bagi setiap agama untuk mengembangkan teologi dan ajaran-ajarannya, menciptakan hubungan inter-subjektif yang dialogis dan manusiawi dalam semangat persatuan, membangun kedaulatan rakyat yang demokratis menuju keadilan yang sesungguhnya, justru masuk ke dalam lubang hitam kekuatan politik kelompok tertentu untuk mengamankan status quo kekuasaan kelompoknya.
Dalam sub bab sebelumnya penulis telah memaparkan salah satu contoh kasus yaitu penyerangan jamaah Ahmadiyah di Pandenglang Banten. Dan dalam sub bab ini akan dijelaskan bagaimana Pancasila sebagai landasan negara menyikapi kasus tersebut.
Di dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” setidaknya telah membuat para pemeluk agama dan kepercayan lain di luar Islam merasa puas dan merasa dihargai. Searah dengan perkembangan, sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dapat dijabarkan dalam beberapa poin penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila, yaitu :
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain. Oleh karenanya, mengapa para founding fathers negara ini memilih kata “Ketuhanan” bukan “Ke-Allahan”?. Karena memang di Indonesia terdapat beragam kepercayaan dan agama. Tugas negara adalah menjamin keberlangsungan tersebut. Sejauh mereka (rakyat Indonesia) mengaku memiliki Tuhan negara mengakuinya. Seyogyanya dalam menganalisa fenomena Ahmadiyah, masyarakat bisa berpikir seperti esensi Pancasila sila ke-1 di atas. Idealnya masyarakat bisa menerima kehadiran Ahmadiyah sebagai bentuk keberagaman agama. Perlu diingat dan ditekankan kembali bahwa para founding fathers kita awalnya tidak ingin membentuk sebuah negara Islam Syariah melainkan sebuah negara sekuler. Pancasila sudah merupakan landasan negara yang sudah sangat luwes. Pancasila adalah jawaban atas semua keberagaman di Indonesia termasuk dalam hal keagamaan.
Namun, ada sebagian masyarakat yang membenarkan penyerangan jamaah Ahmadiyah di Pandeglang Banten. Mereka berpegang pada UUD 1945 khususnya Pasal 29. Memang sila ke-1 Pancasila tersebut kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 29 yang mengatur tentang Agama. Pasal 19 UUD 1945 berbunyi :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu
Pihak yang membenarkan penyerangan Ahmadiyah tesebut melihat bahwa mereka melanggar hukum. Memang negara menjamin kebebasan beragama tetapi sayangnya negara telah menetapakan lima agama yang sah di mata hukum. Dan Ahmadiyah tidak masuk kedalamnya. Celah inilah yang memberikan sebuah legitimasi secara tidak langsung oleh para pelaku untuk menyerang jamaah Ahmadiyah.
Masyarakat cenderung tidak bisa menerima adanya perbedaan tersebut. Masyarakat melihat bahwa agama apaupun di luar Islam adalah ‘salah dan melenceng’. Agar ‘kesalahan’ ini tidak menjalar, perlu dilakukan tindakan preventif (pencegahan). Kecendrungan masyarakat yang egosentris inilah sebenarnya masalah pokok dalam keberagaman di Indonesia
Sungguh sangat ironi negeri ini. Ketika dunia internasional melihat keberagaman di Indonesia sebagai sebuah karakteristik negara dan hal yang malah mempersatukan bangsa, namun di sisi lain masyarakat cenderung tidak bisa menerima keberagaman itu. Tidak ada yang salah terhadap Pancasila sebagai landasan negara ini. Para founding fathers kita sudah berpikir keras dan susah untuk merumuskan sebuah dasar negara yang bisa mejawab dan menjamin segala keberagaman di negeri ini. Inilah tantangan besar untuk pemerintah saat ini dan masa mendatang untuk lebih mengenalkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus bangsa. Perlu diingat kembali bahwa bangsa ini, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kebesaran bangsa ini dibentuk dari keberagaman.

Sunday 13 March 2011

Pengglobalan Isu Terorisme

By : Triono Akhmad Munib

Istilah ‘terorisme’ sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru. Tindakan terorisme pertama kali terjadi di tahun 1867. Kelompok Fanians, nama ini menjadi inspirasi heroik bagi penggalangan dana orang Irlandia dan keturunan Irlandia di Amerika, termasuk untuk bergabung dalam kegiatan melawan Inggris Raya (Great Britain) di tanah Inggris. Peristiwa pengeboman pertama kalinya pada populasi sipil di tanah Inggris. Ini merupakan modus teror yang pertama kali terjadi. Dalam perjalanan sejarah dunia ini tindakan teror kerap dilakukan oleh sekelompok orang yang hendak menggulingkan pemerintahan, kelompok minoritas yang merasa didiskriminasi oleh kelompok mayoritas maupun kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah.
Namun istilah ‘terorisme’ dewasa ini semakin marak ketika terjadi peristiwa pengemboman gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001 (Tragedi 9/11) yang katanya dilakukan oleh sekelompok teroris Islam yang anti-AS. Bush telah mengkonstruksi dunia dan membenarkan sebuah generalisasi bahwa teorirsme erat kaitannya dengan dunia Islam. Sehingga implementasinya adalah makna dari terorisme dan pelakunya dari awal telah berubah. Terorisme yang pada awalnya didefinisikan sebagai tindakan oleh sekelompok orang untuk mencipatakan rasa fear terhadap masyarakat maupun negara berubah menjadi tindakan yang mayoritas dilakukan oleh masyarakat Islam. Apalagi dengan dicanangkannya program war on terrorismoleh Presiden Bush saat itu. Istilah ‘terorisme’ pasca Peristiwa 9/11 tersebut menjadi sebuah isu yang menglobal. Dunia tampak latah menanggapi peristiwa tersebut. Ada yang sepakat untuk bersama-sama AS untuk memerangi terorisme, ada pula yang langsung memperketat birokrasi lembaga-lembaga negara yang berhubungan dengan negara luar untuk mengantisipasi peristiwa tersebut terjadi dinegaranya. Dunia tampak terhipnotis sebegitu cepat. Terorisme telah menjadi isu yang menglobal pada saat itu.
Dari abstraksi di atas, muncul sebuah pertanyaan skeptis dari penulis, apakah isu ‘war on terrorism' benar-benar sebuah program yang tanpa ada kepentingan dari AS?.

Terorisme Sebagai ‘New Enemy’

Ketika memutuskan untuk membentuk Sekutu tahun 1943, baik AS maupun Uni Soviet sama menyadari bahwa ini tidak akan lama. Penasehat AS menyebutkan bahwa sekarang kaum fasis tetapi kemudian musuh kita adalah komunis. Sejengkal waktu kemudian, setelah fasis runtuh tahun 1945, Perang Saudara terjadi di negara-negara yang hingga tahun 1970-an. Perebutan kekuasaan antara militer faksi liberal dan militer faksi komunis/sosialis. Di fora internasional, setelah tahun 1970-an, perang ini berubah menjadi Perang Dingin (Cold War) atau perang urat syaraf. Saling ancam, lomba kekuatan militer, persenjataan nuklir, propaganda film James Bond, dst. Dan AS memenangkan pertarungan urat syaraf (Perang Dingin) tersebut.
Penulis meragukan akan kebenaran Peristiwa 9/11. Banyak sekali keanehan yang terjadi. Dari video yang berhasil merekam Peristiwa 9/11 tampak bahwa ledakan berasal dari tiap lantai gedung. Jika benar seperti itu berarti bukankah sebelumnya bom sudah ditanam di dalam gedung?. Kemudian hasil wawancara dengan Petugas Pemadam Kebakaran (PMK) yang bertugas mengatakan bahwa ledakan ini sungguh aneh. Gedung tampak roboh dengan cara yang sempurna. Dan cara ini biasanya digunakan untuk meledakkan bangunan tua yang tak terpakai dengan menananmakam bom didalamnya. Banyak lagi keanehan, pernah penulis membaca sebuah artikel yang menceritakan bahwa satu jam sebelum peristiwa itu terjadi, Menteri Luar Negeri (Menlu) Condoliza Rice sempat mendapatkan sebuah peringatan dini. Apakah semudah itu sistem keamanan udara negara sekuat AS bias dibobol dan disusupi?. Ini menjadi sebuah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sampai saat ini menjadi sebuah misteri yang tak pernah terjawab.
Perang melawan terorisme bukanlah sebuah perang pembasmian biasa, bukan seperti perang membasmi obat-obat terlarang atau perang oleh kebaikan melawan keburukan. Kampanye ‘war on terrorism’ oleh AS adalah produk ideologi sayap kanan. Harap dicatat bahwa dalam selubung ideologi, sebagaimana ditemukan oleh Karl Manheim, selalu ada ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap pihak lain (the others).
AS menglobalkan isu terorisme dan mengkaitkannya dengan Islam. Sehingga implementasinya adalah Islam selalu diidentikan dengan terorisme oleh Bush saat itu. Tujuannya tidak lain adalah mencapai kepentingan AS. Contohnya saja, ketika dunia sudah termakan oleh wacana Bush akan ‘war on terrorism’, dunia seakan memberikan legitimasi kepada AS untuk mengintervensi Irak di tahun 2003 dengan alasan memberantas sarang terorisme. Namun, apa yang terjadi tujuh tahun pelaksanaan program tersebut AS masih belum bisa memberantas terorisme dan malah semakin menjamur. Ribuan warga sipil Irak tewas di tangan tentara AS. Kondisi domestik Irak semakin porak poranda. Gedung-gedung, bangunan-bangunan publik, dan seperangkat infrastruktur hancur. Apakah ini tujuan dari perang membawa ‘kebaikan’?. Bukankah AS hanya ingin mengamankan national interest akan kebutuhan minyak agar tidak jatuh ketangan rezim-rezim anti-AS (Saddam Husein pada saat itu). Perlu diketahui bahwa AS adalah negara nomor satu konsumen minyak dunia. Dan sebagian besar pasokan minyak AS berasal dari Timur Tengah termasuk salah satunya adalah Irak. Di saat bersamaan AS pun akan terus menggunakan isu perang melawan terorisme kepada negara-negara lain yang di mana AS memiliki kepentingan didalamnya. Contoh lain adalah ketika AS tidak menyetujui sanksi DK PBB kepada Israel (sekutu utama AS) yang beralasan bahwa tindakan militer Israel kepada pejuang Palestina adalah sebuah bentuk membela diri dan perang melawan terorisme. Masyarkat dunia pun tahu tindakan brutal Israel terhadap pejuang Palestina. Dan bisa menyimpulkan siapa yang sebenarnya the real terrorist.
Berangkat dari tesis Samuel Huntington tentang clash of civilization yang menyatakan bahwa jika nantinya akan ada perang peradaban yang akan dihadapi AS pasca kejatuhan Uni Soviet. Pasca kekalahan Uni Soviet dan merasa bahwa tidak ada musuh yang lebih kuat lagi. AS mentransformasikan sebagai International Police (Interpol). Analoginya cukup sederhana. Tugas polisi adalah menangkap penjahat. Ketika AS menyatakan dirinya sebagai Polisi Internasional berarti harus ada ‘penjahat internasional’. Terorisme yang dijadikan AS sebagai ‘penjahat internasional’. Terrorism is the next new enemy after Soviet. Dan Islam-lah yang akan menjadi musuh AS selanjutnya terkait dengan pasokan minyak AS yang kebanyakan dari negara Islam (Timur Tengah).
Dari gambaran di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keanehan yang terjadi pada Peristiwa 9/11 semakin menunjukkan bahwa tujuan AS menglobalkan isu terorisme tidak lain adalah untuk melancarkan kepentingan AS semata. AS tidak akan memberi cap kepada gerakan ekstirmis atau bahkan negara (seperti Israel) sebagai ‘teroris’ sejauh mereka masih sejalan dengan kepentingan AS.