By : Triono Akhmad Munib
Masalah konflik atas nama agama di negara Indonesia bukanlah rahasia umum lagi, baik di dalam negeri kita sendiri maupun di luar negeri. Boleh dikatakan bahwa masalah konflik antaragama sudah setua usia kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena Pancasila sebagai simbol kekuatan bangsa yang seharusnya memberikan ruang gerak bagi setiap agama untuk mengembangkan teologi dan ajaran-ajarannya, menciptakan hubungan inter-subjektif yang dialogis dan manusiawi dalam semangat persatuan, membangun kedaulatan rakyat yang demokratis menuju keadilan yang sesungguhnya, justru masuk ke dalam lubang hitam kekuatan politik kelompok tertentu untuk mengamankan status quo kekuasaan kelompoknya.
Dalam sub bab sebelumnya penulis telah memaparkan salah satu contoh kasus yaitu penyerangan jamaah Ahmadiyah di Pandenglang Banten. Dan dalam sub bab ini akan dijelaskan bagaimana Pancasila sebagai landasan negara menyikapi kasus tersebut.
Di dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” setidaknya telah membuat para pemeluk agama dan kepercayan lain di luar Islam merasa puas dan merasa dihargai. Searah dengan perkembangan, sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dapat dijabarkan dalam beberapa poin penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila, yaitu :
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain. Oleh karenanya, mengapa para founding fathers negara ini memilih kata “Ketuhanan” bukan “Ke-Allahan”?. Karena memang di Indonesia terdapat beragam kepercayaan dan agama. Tugas negara adalah menjamin keberlangsungan tersebut. Sejauh mereka (rakyat Indonesia) mengaku memiliki Tuhan negara mengakuinya. Seyogyanya dalam menganalisa fenomena Ahmadiyah, masyarakat bisa berpikir seperti esensi Pancasila sila ke-1 di atas. Idealnya masyarakat bisa menerima kehadiran Ahmadiyah sebagai bentuk keberagaman agama. Perlu diingat dan ditekankan kembali bahwa para founding fathers kita awalnya tidak ingin membentuk sebuah negara Islam Syariah melainkan sebuah negara sekuler. Pancasila sudah merupakan landasan negara yang sudah sangat luwes. Pancasila adalah jawaban atas semua keberagaman di Indonesia termasuk dalam hal keagamaan.
Namun, ada sebagian masyarakat yang membenarkan penyerangan jamaah Ahmadiyah di Pandeglang Banten. Mereka berpegang pada UUD 1945 khususnya Pasal 29. Memang sila ke-1 Pancasila tersebut kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 29 yang mengatur tentang Agama. Pasal 19 UUD 1945 berbunyi :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu
Pihak yang membenarkan penyerangan Ahmadiyah tesebut melihat bahwa mereka melanggar hukum. Memang negara menjamin kebebasan beragama tetapi sayangnya negara telah menetapakan lima agama yang sah di mata hukum. Dan Ahmadiyah tidak masuk kedalamnya. Celah inilah yang memberikan sebuah legitimasi secara tidak langsung oleh para pelaku untuk menyerang jamaah Ahmadiyah.
Masyarakat cenderung tidak bisa menerima adanya perbedaan tersebut. Masyarakat melihat bahwa agama apaupun di luar Islam adalah ‘salah dan melenceng’. Agar ‘kesalahan’ ini tidak menjalar, perlu dilakukan tindakan preventif (pencegahan). Kecendrungan masyarakat yang egosentris inilah sebenarnya masalah pokok dalam keberagaman di Indonesia
Sungguh sangat ironi negeri ini. Ketika dunia internasional melihat keberagaman di Indonesia sebagai sebuah karakteristik negara dan hal yang malah mempersatukan bangsa, namun di sisi lain masyarakat cenderung tidak bisa menerima keberagaman itu. Tidak ada yang salah terhadap Pancasila sebagai landasan negara ini. Para founding fathers kita sudah berpikir keras dan susah untuk merumuskan sebuah dasar negara yang bisa mejawab dan menjamin segala keberagaman di negeri ini. Inilah tantangan besar untuk pemerintah saat ini dan masa mendatang untuk lebih mengenalkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus bangsa. Perlu diingat kembali bahwa bangsa ini, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kebesaran bangsa ini dibentuk dari keberagaman.
No comments:
Post a Comment