Sunday, 13 March 2011

Pengglobalan Isu Terorisme

By : Triono Akhmad Munib

Istilah ‘terorisme’ sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru. Tindakan terorisme pertama kali terjadi di tahun 1867. Kelompok Fanians, nama ini menjadi inspirasi heroik bagi penggalangan dana orang Irlandia dan keturunan Irlandia di Amerika, termasuk untuk bergabung dalam kegiatan melawan Inggris Raya (Great Britain) di tanah Inggris. Peristiwa pengeboman pertama kalinya pada populasi sipil di tanah Inggris. Ini merupakan modus teror yang pertama kali terjadi. Dalam perjalanan sejarah dunia ini tindakan teror kerap dilakukan oleh sekelompok orang yang hendak menggulingkan pemerintahan, kelompok minoritas yang merasa didiskriminasi oleh kelompok mayoritas maupun kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah.
Namun istilah ‘terorisme’ dewasa ini semakin marak ketika terjadi peristiwa pengemboman gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001 (Tragedi 9/11) yang katanya dilakukan oleh sekelompok teroris Islam yang anti-AS. Bush telah mengkonstruksi dunia dan membenarkan sebuah generalisasi bahwa teorirsme erat kaitannya dengan dunia Islam. Sehingga implementasinya adalah makna dari terorisme dan pelakunya dari awal telah berubah. Terorisme yang pada awalnya didefinisikan sebagai tindakan oleh sekelompok orang untuk mencipatakan rasa fear terhadap masyarakat maupun negara berubah menjadi tindakan yang mayoritas dilakukan oleh masyarakat Islam. Apalagi dengan dicanangkannya program war on terrorismoleh Presiden Bush saat itu. Istilah ‘terorisme’ pasca Peristiwa 9/11 tersebut menjadi sebuah isu yang menglobal. Dunia tampak latah menanggapi peristiwa tersebut. Ada yang sepakat untuk bersama-sama AS untuk memerangi terorisme, ada pula yang langsung memperketat birokrasi lembaga-lembaga negara yang berhubungan dengan negara luar untuk mengantisipasi peristiwa tersebut terjadi dinegaranya. Dunia tampak terhipnotis sebegitu cepat. Terorisme telah menjadi isu yang menglobal pada saat itu.
Dari abstraksi di atas, muncul sebuah pertanyaan skeptis dari penulis, apakah isu ‘war on terrorism' benar-benar sebuah program yang tanpa ada kepentingan dari AS?.

Terorisme Sebagai ‘New Enemy’

Ketika memutuskan untuk membentuk Sekutu tahun 1943, baik AS maupun Uni Soviet sama menyadari bahwa ini tidak akan lama. Penasehat AS menyebutkan bahwa sekarang kaum fasis tetapi kemudian musuh kita adalah komunis. Sejengkal waktu kemudian, setelah fasis runtuh tahun 1945, Perang Saudara terjadi di negara-negara yang hingga tahun 1970-an. Perebutan kekuasaan antara militer faksi liberal dan militer faksi komunis/sosialis. Di fora internasional, setelah tahun 1970-an, perang ini berubah menjadi Perang Dingin (Cold War) atau perang urat syaraf. Saling ancam, lomba kekuatan militer, persenjataan nuklir, propaganda film James Bond, dst. Dan AS memenangkan pertarungan urat syaraf (Perang Dingin) tersebut.
Penulis meragukan akan kebenaran Peristiwa 9/11. Banyak sekali keanehan yang terjadi. Dari video yang berhasil merekam Peristiwa 9/11 tampak bahwa ledakan berasal dari tiap lantai gedung. Jika benar seperti itu berarti bukankah sebelumnya bom sudah ditanam di dalam gedung?. Kemudian hasil wawancara dengan Petugas Pemadam Kebakaran (PMK) yang bertugas mengatakan bahwa ledakan ini sungguh aneh. Gedung tampak roboh dengan cara yang sempurna. Dan cara ini biasanya digunakan untuk meledakkan bangunan tua yang tak terpakai dengan menananmakam bom didalamnya. Banyak lagi keanehan, pernah penulis membaca sebuah artikel yang menceritakan bahwa satu jam sebelum peristiwa itu terjadi, Menteri Luar Negeri (Menlu) Condoliza Rice sempat mendapatkan sebuah peringatan dini. Apakah semudah itu sistem keamanan udara negara sekuat AS bias dibobol dan disusupi?. Ini menjadi sebuah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sampai saat ini menjadi sebuah misteri yang tak pernah terjawab.
Perang melawan terorisme bukanlah sebuah perang pembasmian biasa, bukan seperti perang membasmi obat-obat terlarang atau perang oleh kebaikan melawan keburukan. Kampanye ‘war on terrorism’ oleh AS adalah produk ideologi sayap kanan. Harap dicatat bahwa dalam selubung ideologi, sebagaimana ditemukan oleh Karl Manheim, selalu ada ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap pihak lain (the others).
AS menglobalkan isu terorisme dan mengkaitkannya dengan Islam. Sehingga implementasinya adalah Islam selalu diidentikan dengan terorisme oleh Bush saat itu. Tujuannya tidak lain adalah mencapai kepentingan AS. Contohnya saja, ketika dunia sudah termakan oleh wacana Bush akan ‘war on terrorism’, dunia seakan memberikan legitimasi kepada AS untuk mengintervensi Irak di tahun 2003 dengan alasan memberantas sarang terorisme. Namun, apa yang terjadi tujuh tahun pelaksanaan program tersebut AS masih belum bisa memberantas terorisme dan malah semakin menjamur. Ribuan warga sipil Irak tewas di tangan tentara AS. Kondisi domestik Irak semakin porak poranda. Gedung-gedung, bangunan-bangunan publik, dan seperangkat infrastruktur hancur. Apakah ini tujuan dari perang membawa ‘kebaikan’?. Bukankah AS hanya ingin mengamankan national interest akan kebutuhan minyak agar tidak jatuh ketangan rezim-rezim anti-AS (Saddam Husein pada saat itu). Perlu diketahui bahwa AS adalah negara nomor satu konsumen minyak dunia. Dan sebagian besar pasokan minyak AS berasal dari Timur Tengah termasuk salah satunya adalah Irak. Di saat bersamaan AS pun akan terus menggunakan isu perang melawan terorisme kepada negara-negara lain yang di mana AS memiliki kepentingan didalamnya. Contoh lain adalah ketika AS tidak menyetujui sanksi DK PBB kepada Israel (sekutu utama AS) yang beralasan bahwa tindakan militer Israel kepada pejuang Palestina adalah sebuah bentuk membela diri dan perang melawan terorisme. Masyarkat dunia pun tahu tindakan brutal Israel terhadap pejuang Palestina. Dan bisa menyimpulkan siapa yang sebenarnya the real terrorist.
Berangkat dari tesis Samuel Huntington tentang clash of civilization yang menyatakan bahwa jika nantinya akan ada perang peradaban yang akan dihadapi AS pasca kejatuhan Uni Soviet. Pasca kekalahan Uni Soviet dan merasa bahwa tidak ada musuh yang lebih kuat lagi. AS mentransformasikan sebagai International Police (Interpol). Analoginya cukup sederhana. Tugas polisi adalah menangkap penjahat. Ketika AS menyatakan dirinya sebagai Polisi Internasional berarti harus ada ‘penjahat internasional’. Terorisme yang dijadikan AS sebagai ‘penjahat internasional’. Terrorism is the next new enemy after Soviet. Dan Islam-lah yang akan menjadi musuh AS selanjutnya terkait dengan pasokan minyak AS yang kebanyakan dari negara Islam (Timur Tengah).
Dari gambaran di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keanehan yang terjadi pada Peristiwa 9/11 semakin menunjukkan bahwa tujuan AS menglobalkan isu terorisme tidak lain adalah untuk melancarkan kepentingan AS semata. AS tidak akan memberi cap kepada gerakan ekstirmis atau bahkan negara (seperti Israel) sebagai ‘teroris’ sejauh mereka masih sejalan dengan kepentingan AS.

No comments:

Post a Comment