By Triono Akhmad Munib
Ketika George Bush mencanangkan program ‘war on terrorism’ pasca Tragedi 11 September yang kemudian implementasinya adalah menyerang Afghanistan yang katanya menurut Bush adalah sarang dari pada teroris. Preemptive strike, doktrin inilah yang selalu digaungkan Bush yang berarti bahwa mencegah kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebelum kemungkinan itu benar-benar terjadi. Membasmi terorisme harus dari sarangnya yaitu Afghanistan.
Namun, perang melawan terorisme yang hampir memasuki tahun ke-10 ini perlulah dunia mengevaluasi. Seberapa jauh keberhasilan AS dalam memberantas sarang terorisme. Apakah terorisme sudah benar-benar kalah?. Atau apakah mereka semakin menjamur dan malah semakin teroganisir dengan baik?. Itulah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang patut untuk AS jawab.
Dalam tulisan kali ini, penulis bukan hendak menyoroti derajat keberhasilan AS dalam memerangi terorisme melainkan bagaimana program war on terrorism Bush bisa menghipnotis mindset dunia sehingga secara tidak langsung legitimasi pun bisa didapat secara otomatis. Benarkah tidak ada sebuah interests dibalik bungkus war on terrorism tersebut?
Banyak pihak yang mengsanksikan tujuan AS di Afghanistan selain perang melawan terorisme. Salah satu kritikan yang dilontarkan adalah kepentingan akan minyak. Minyak merupakan sebuah national interest AS dan sebagian besar suplai minyak AS didatangkan dari Timur Tengah. Sebagai kepentingan nasional, maka AS pun rela mati-matian untuk memperjuangkannya. Laporan dari Badan Geologi AS memaparkan bahwa selain minyak bumi Afghanistan juga mengandung mineral-mineral langka seperti kobalt, lithium, emas, dan sebagainya yang merupakan bahan baku industri elektronik salah satunya adalah lithium sebagai bahan pembuat baterai laptop. Jika benar ini maksud dari ‘war on terrorism’, berarti program tersebut hanya dijadikan sebuah isu untuk melancarkan national interest AS?
Issues as A Source of Legitimacy
Untuk menjelaskan kaitan isu dengan sebuah tujuan (goals) terdapat sebuah diagram backbone fish scheme yang sempat penulis dapatkan pada saat menempuh perkuliahan Human Security dan Isu Global.
Penjelasan secara umum diagram di atas adalah sebelum sebuah Negara mempunyai interest dan dalam mewujudkan kepentingannya untuk menjadi sebuah goals ada sebuah proses dan tahapan di mana peran isu menjadi sangat penting. Dalam kasus di atas, kepentingan AS adalah minyak dan yang terbaru adalah kebutuhan akan mineral langka bahan dasar elektronik. Untuk menggapai interest-nya jelas tidak munkin AS secara terang-terangan menyatakan tujuan invasinya di Afghanistan. Karena pasti tidak akan bisa mendapatkan legitimasi baik dari level domestik maupun internasional. Maka dibuatlah sebuah isu yaitu ‘war on terrorism’. Cerdiknya program tersebut digaungkan pasca Tragedi 11 September di saat masyarakat AS dan dunia masih dalam keadaan berduka atas meninggalnya lebih dari 5000 pekerja dalam Gedung WTC. Di saat yang bersamaan masyarakat pun terus mengecam tindakan-tindakan teroris tersebut. Pada saat kondisi psikologis seperti ini Bush dengan lihai membuat sebuah isu terorisme sebagai musuh bersama dan AS siap menjadi garda terdepan perang melawan terorisme. Implementasinya, secara tidak sadar masyarakat telah memberikan sebuah legitimasi atas isu tersebut dan meng-iyakan AS menginvasi Afghanistan di bawah bendera ‘war on terrorism’. Tanggapan dunia pun bermacam-macam ada yang bersedia bersama AS memerangi terorisme ada pula yang memperketat birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan asing ditakutkan adanya penyusup gelap.
Kembali kepada backbone fish scheme di atas. Dari ujung kiri (ekor ikan) terdapat sebuah interest box. Interest AS di sini adalah minyak. Kemudian untuk mengoalkannya isu yang dipakai adalah ‘terrorism as common enemy and war on terrorism’. Perlu ditekankan di sini adalah dalam pemilihan dan pembuatan sebuah isu hendaknya yang bisa menarik simpati masyarakat sehingga nantinya isu yang kita buat akan tampak seperti keinginan masyarakat dan secara otomatis mendapatkan legitimasi pula. Isu perang melawan terorisme yang digaungkan AS merupakan pemilihan isu yang cukup cerdik di saat masyarakat masih dalam baying-bayang Trgaedi 11 Sepetmber. Setelah isu tersebut mendapatkan legitimasi dari masyarakat domestik dan internasional baik secara langsung maupun tidak langsung, maka langkah selanjutnya adalah perlunya sebuah means (cara) dari negara yang berkepentingan. Cara yang dimaksud di sini lebih ke arah adanya sebuah state action (tindakan negara) secara nyata. Dalam kasus ini, state action yang dilakukan AS adalah mengirim militernya untuk menginvasi dan memberantas terorisme secara langsung ke Afghanistan. Barulah di saat AS sudah melakukan aksi tinggal ditunggu saja hasilnya apakah interest-nya akan minyak sudah tercapai (goal)
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa isu menjadi hal yang sangat penting untuk menggoalkan interest. Isu pulalah yang secara tidak langsung akan menjadi sebuah source of legitimacy kepada negara atas tindakan-tindakannya. Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini, ada sebuah analogi yang cukup sederahana di sekitar kita seperti ini :
Ketika cowok hendak mendekati cewek dan ingin menjadi
kekasihnya (this is interest), pastilah tidak mungkin langsung
menyatakan cinta begitu saja. Akan tampak lucu dan anehketika kita
tiba-tiba menyatakan cinta. Ada sebuah proses pendekatan dan
dalam proses ini diperlukan sebuah isu (entah meminjam catatan,
meminta nomor hp, belajar bareng, dsb) untuk bisa memulai
sebuah komunikasi dengan si ceweknya. Setidaknya isu bisa
sedikit menutupi tujuan utama kita
No comments:
Post a Comment