Monday 31 January 2011

Waspadai Revolusi Arab

Dunia Arab diguncang krisis politik. Tunisia, Mesir, Yaman , dan kemudian berita terakhir adalah Jordania yang juga bergejolak. “Revolusi!”. Itulah hal yang diinginkan rakyat. Dari Tunisia hingga Jordania, tuntutan rakyat pun tak jauh berbeda. Ingin pemimpin mereka segera lengser. Habis sudah kesabaran rakyat melihat kinerja pemerintah yang tak kunjung berbenah. Fenomena pengangguran semakin bertambah setiap harinya, kemiskinan tak kunjung usai sementara para pejabat sibuk berkorupsi dan bermanuver sendiri. Aksi massa yang berhasil menurunkan Presiden Tunisia, Ben Ali membuat rakyat Mesir pun ingin meniru jejaknya begitu pula Yaman dan Jordania nantinya. Inilah momen yang tepat. Massa merasa mendapatkan dukungan moral dari negara-negara tetangganya yang juga turut melakukan hal yang sama. Inilah waktunya rakyat bersuara. Namun, satu hal yang ditakutkan adalah ‘merembetnya’ revolusi tersebut ke negara-negara Arab lain. Mengingat masih banyaknya gerakan separatis di negara Arab yang anti-pemerintah. Akankah momen ini dimanfaatkan oleh rakyat yang sudah putus asa terhadap kinerja pemerintahannya?. Apakah Indonesia?.
Waspada
Kinerja pemerintah saat ini menjadi puncak sorotan publik. Dari kasus mafia pajak hingga hukum menjadi berita ‘hot’ di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Kepercayaan publik terhadap pemerintah mengalami titik terendah. Negeri ini sudah tidak nyaman lagi. Negeri ini sudah bobrok. Pengadilan bukan menjadi tempat untuk mencari keadilan melainkan ketidakadilan. Pemerintah hendaknya segera berbenah, jika tidak fenomena di Mesir bukan tidak mungkin terjadi. Bukan tidak mungkin jika nantinya kesabaran 230 juta rakyat Indonesia habis, penurunan secara paksa akan terjadi. Akankah peristiwa tahun 1998 akan berlanjut ke episode kedua di era ini. Kita tunggu saja, time will tell!. Segeralah berbebah!

Saturday 29 January 2011

Reformasi "Merembet"

By : Triono Akhmad Munib

Krisis politik saat ini sedang menghantui negara-negara Arab, khususnya Tunisia, Mesir dan Yaman. Menurut berita yang dilansir Kompas edisi Jum’at 28 Januari 2011, aksi demonstrasi di Mesir makin brutal dengan menyerang pos-pos penjagaan di Suez pelabuhan terkenal Mesir. Aksi tesebut muncul menyusul berita tewasnya tiga demonstran akibat kekerasan polisi saat mengamankan demonstrasi. Polisi menggunakan kekerasan menurut salah seorang demonstran.
Belum selesai demonstrasi besar-besaran di Mesir, kini media santer memberitakan bahwa di Yaman juga bergejolak, Presiden didesak mundur. Massa mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh untuk turun. Massa menilai pemerintahan Saleh marak dengan aksi korupsi, kemisikian terus meningkat, buruknya sanitasi, dan terbatasnya infrastruktur. Inikah yang dinamakan reformasi berefek?

Awalnya Tunisia
Aksi demonstrasi yang terjadi, bisa dikatakan bermula dari Tunisia. Aksi massa untuk menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali karena dinilai korupsi yang dilakukan istrinya membuat publik semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintahannya. Faktor yang menyebabkan reformasi di Tunisia bukanlah masalah tingginya angka pengangguran atau kondisi ekonomi yang buruk melainkan korupsi yang merajalela di lingkaran Ben Ali, tutur Syukrie salah seorang peserta demonstran kepada wartawan Kompas. Menurut penulis, demosntasi di Tunisia inilah yang pada akhirnya merembet ke Mesir dan disusul Yaman.
Demonstrasi di Tunisia telah menjadi sebuah “simbol” daripada kebangkitan rakyat. Demontrasi Tunisia menjadi titik awal kebangkitan rakyat yang merasa ditindas, dizalimi di negaranya sendiri. Rakyat sudah merasa tidak aman, nyaman, dan mungkin tidak sejahtera akibat kinerja pemerintahan yang bobrok dan penuh korupsi. Menurut penulis, ketika sesuatu menjadi “simbol” efeknya akan lama dan berkelanjutan. Suatu contoh, ketika China menolak Nobel Perdamaian kepada Lio Xiaobo. Pada kasus ini China memandang bahwa Liu adalah sosok “simbol” daripada kekebasan. Sehingga ditakutkan akan menjadi titik balik kebangkitan gerakan pro-kebebasan di China yang pastinya akan menganggu stabilitas nasional.
Kasus krisis politik di Tunisia, Mesir, dan Yaman pun demikian. Ketika melihat demonstrasi di Tunisia cukup berhasil menekan pemerintahan. Rakyat Mesir yang merasa dirinya senasib dengan rakyat Tunisia yaitu merasa ditindas, dizalimi, tindak korupsi oleh para pejabatnya, mendorong untuk melakukan aksi serupa. Inilah kebangkitan rakyat yang selama ini cukup sabar menghadapi pemerintahan. Namun, kesabaran pun juga ada batasnya. Rakyat Mesir semakin percaya diri dan tekad untuk menggulingkan pemerintahan Mubarak. Melihat Tunisia, rakyat Mesir dan juga Yaman yang mulai bergejolak merasa adanya sebuah dukungan bahwa aksi demonstrasi massa berangkat dari persamaan nasib.
Dari penjelasan di atas penulis berksimpulan, akankah reformasi yang diinginkan rakyat Mesir, Tunisia maupun Yaman akan berefek gerakan-gerakan pro reformasi di negara Arab disekitarnya?. Akankah dunia Arab diguncang isu reformasi?. Kita tunggu saja.

Friday 21 January 2011

Gayus Oh Gayus! Dari Lawan Jadi Kawan

Triono Akhmad Munib

GAYUS H. P. TAMBUNAN. Sebuah nama yang tak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia saat ini. Di tengah gencarnya Pemerintah mempromosikan wajib pajak, namun di sisi lain kasus korupsi dan ngemplang pajak oleh perusahaan-perusahaan besar masih terus terjadi. Slogan ”Hari Gini Belum Bayar Pajak, Apa Kata Dunia” yang sempat dicanangkan oleh Dirjen Pajak yang maksudnya ingin mendorong masyarakat agar rajin membayar pajak yang di mana hasil dari pungutan pajak tersebut memang untuk kepentingan bersama, seperi pembangunan infrastruktur dan fasilitas-faslititas umum lainnya menjadi tidak relevan dan saat ini menjadi bahan ”ejekan” publik ketika dihantamkan dengan kasus Gayus. Sehingga implementasinya menjadi ”Hari Gini Bayar Pajak, Apa Kata Dunia”. Ya, memang bulan-bulan ini menjadi bulan yang penuh ”berkah” bagi sistem birokrasi Indonesia. Kinerja pemerintah menjadi sorotan utama dan berita utama diberbagai media saat ini. Masyarakat menilai pemerintah telah gagal melakukan reformasi birokrasi seperti yang sempat menjadi misi pada saat kampanye. Kasus korupsi masih tetap terjadi dan semakin menjadi-jadi.
Mengetik kata ”Gayus” dalam mesin pencari (search engine) akan ditemuan beribu-ribu artikel tentangnya hingga foto-foto dirinya. Gilaa...Gayus menjadi artis paling ”top dan hot” di Indonesia saat ini. Semula masyarakat yang tidak pernah lepas dari acara infotainment, sekarang publik semakin tak lepas mengikuti berita terbaru tentang Gayus hingga kemarin vonis 7 tahun yang diberikan kepadanya. Namun, publik kembali dibuat penasaran layaknya gosip para artis oleh Gayus. ”Saya ini ikan teri, masih ada ikan paus dan hiu”, itulah sekilas kalimat yang sempat diucapkan Gayus. Media dan publik pun bertanya-tanya. Ikan Paus?Ikan Hiu?Siapa Mereka?. Akankah Gayus membongkar kasus mafia-mafia pajak di Indonesia?.
Jadi Kawan
Kata ini sempat pula muncul pada fenomena persepak-bolaan Indonesia terkait rumor bergabungnya pemain Filipina dan Malaysia ke klub nasional, yaitu Younghusband bersaudara dan Safee. Filipina dan Malaysia yang sempat menjadi lawan Indonesia di Piala AFF, dengan adanya rumor di atas stigma berubah menjadi ”Jadi Lawan, Jadi Kawan”. Namun penulis tidak akan membahasnya lebih lanjut, tetapi memang masih terkait dengan kasus Gayus di atas
Kemunculan Gayus terkait kasus mafia pajak sempat membuat publik geram dan kembali mempertanyakan kredibilitas Lembaga Perpajakan Indonesia. Namun, pernyataan Gayus tentang ”ikan teri” di atas malah mendapatkan ribuan dukungan dari masyarakat. Tidak tanggung-tanggung dukung itu juga muncul dari Menteri Keuangan, Agus Martowardjo dan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar. Oaalah apalagi ini....
Menurut santernya berita yang beredar saat ini, Gayus berniat ingin membongkar praktek mafia pajak beserta dengan bobroknya Lembaga Pajak di Indonesia. Wah, menarik tuh?. Itulah yang membuatnya mendapatkan dukungan ribuan massa untuk segera membeberkan kasus-kasus terkait mafia pajak. Masyarakat sangat antusias ingin mengetahui siapa sih ”ikan hiu” dan ”ikan paus” yang dimaksud oleh Gayus. Apakah mereka adalah orang-orang berpengaruh di Indonesia atau bahkan masih dalam lingkup orang pemerintahan. Sabar ya, mungkin inilah strategi yang dipakai Gayus, dan masyarakat berharap Gayus bisa ”berkicau” sekeras-kerasnya. Gayus yang sempat menjadi musuh masyarakat, namun pada akhirnya menjadi kawan terkait niatnya di atas. JADI LAWAN, JADI KAWAN...Lucunya negeri ini, Indonesia negara dengan 1000 kemungkinan...
Maju terus Indonesiaku!

Monday 17 January 2011

Demokrasi, Non-Demokrasi Sama Saja

By : Triono Akhmad Munib


Ketika Amerika dinobatkan sebagai kampiun demokrasi dan implementasinya adalah negara-negara lain dituntut untuk demokrasi agar bisa ‘menjadi’ seperti AS dalam hal pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, dan sebagainya. Kemudian yang lebih mengejutkan lagi adalah AS memberikan label negara non-demokrasi atau komunis bagi negara-negara yang dalam pemerintahannya hanya ada satu partai seperti China, Vietnam, dan Korea Utara. Namun, apakah negara yang hanya memiliki satu partai itu tidak demokratis?. Apakah negara non-demokrasi tidak bisa mencapai pertumbuhan ekonomi seperti layaknya negara-negara demokrasi?. Penulis menjawab belum tentu. Apakah demokrasi itu hanya diukur dari banyaknya partisipasi partai politik dalam pemerintahan. Ada negara yang malah menolak pluralisme dalam pemerintahannya. Kita ambil contoh Vietnam dengan partai tunggalnya Partai Komunis Vietnam (PKV). Di Vietnam justru pluralisme partai ditolak. Rakyat menganggap bahwa PKV adalah partai perjuangan rakyat pada masa Vietnam dijajah. PKV partai yang berjasa memerdekakan Vietnam. Dalam benak masyarakat Vietnam, PKV adalah partai bersejarah melekat di hati rakyat. Sehingga pertanyaannya, mengapa harus ada banyak partai jika satu partai saja sudah mendapatkan legitimasi dari seluruh masyarakat?. Mengapa harus ada banyak partai jika satu partai saja sudah bisa menyerap aspirasi dan tuntutan rakyat?. Seperti yang kita ketahui bahwa munculnya sebuah partai baru disebabkan partai lama yang kurang bisa menjawab tuntutan dan aspirasi masyarakat. Dan inilah bentuk demokrasi oleh Vietnam, sejauh pemerintah dengan satu partainya bisa menjawab tuntutan rakyat dalam hal ekonomi dan sebagainya serta sejauh mana aspirasi rakyat didengar oleh pemerintah, mengapa tidak?. Dan memang Vietnam bisa mengentaskan kemiskinan dinegaranya. Inilah demokrasi ala Vietnam. Penulis teringat kalimat yang sempat dilontarkan oleh Deng Xiaoping pada saat dia melakukan reformasi di China, yaitu ‘we do not care about the colour of cat, the most important that the cat can catch the mouse’ (kita tidak peduli akan warna seekor kucing, yang penting kucing itu bisa menangkao tikus). Deng Xiaoping tidak peduli dengan sistem pemerintahan China yang bisa dikatakan komunis, yang penting bisa membangun negara dan memang hasilnya perekonomian China tumbuh pesat di era Deng yang kemudian saat ini China menjadi salah satu kandidat pemegang perekonomian dunia menyaingi AS. Sehingga implementasinya adalah apapun bentuk pemerintahan entah demokrasi, komunis, otoriter, kerajaan, dan sebagainya. Yang terpenting adalah bagaimana bentuk pemerintahan itu bisa mensejahterahkan rakyatnya. Jika rakyat yang menghendaki dan memberikan legitimasi kepada pemerintahan yang walaupun partai tunggal, mengapa harus merubah tatanan perpolitikan yang malah membawa ketidakstabilan nasional?. Seperti Vietnam di atas, memang faktanya demikikian dan itulah yang membentuk identitas nasional Vietnam. Namun, sayangnya hal ini kadang tidak bisa dipahami dan dimengerti oleh pihak-pihak Barat (AS) yang memberikan label komunis pada pemerintahan yang satu partai.

Demokrasi Tebang Pilih
Invasi AS ke Irak tahun 2003 dengan dalih senjata pemusnah massal dan faktanya tak pernah ditemukan yang akhirnya beralih menjadi dalih ingin mendemokrasikan Irak memperlihatkan kepada kita betapa fatalnya AS diberi label kampiun demokrasi. Demokrasi menjunjung tinggi HAM, namun berapa ratus rakyat Irak tewas akibat invasi AS. Isu ingin mendemokrasikan Irak sarat politisasi. AS tahu bahwa Irak memilik sumber daya minyak yang di mana minyak adalah national interest AS. Irak yang sebelumnya dipimpin oleh Saddam Husein yang otoriter dan jelas-jelas anti-AS akan menyulitkan keinginan AS menguasai ladang minyak Irak. Oleh karenanya, langkah pertama adalah dengan menggulingkan Saddam dan membentuk sebuah pemerintahan ‘demokrasi’ dengan calon pemimpin yang telah disiapkan dan pastinya pro-AS sehingga akan memudahkan AS mengkontrol ladang minyak Irak. Ya, semacam negara boneka lah.
Namun, sikap ini berbeda ketika dihadapkan dengan Arab Saudi. Semua orang tahu, Arab Saudi adalah negara yang berbentuk kerajaan yang proses suksesi kepemimpinanya adalah turun temurun dari keluarga kerajaan dan tidak ada partai. Tetapi, mengapa AS tidak berniat ingin mendemokrasikan Arab Saudi?. Jawabannya cukup mudah, yaitu karena kepentingganya terpenuhi. Kepentingan AS akan minyak di Arab Saudi telah terpenuhi tampak adanya kerjasama perusahaan minyak AS-Arab, yaitu ARAMCO. Selama keinginannya tercapai, AS tidak akan mengutak-atik negara tersebut entah negara itu komunis, kerajaan, otoriter, maupun totaliter sekalipun. AS malah mengkhawatirkan jika Arab Saudi didemokrasikan maka nantinya pemerintahannya tidak pro-AS lagi dan sulit mendapatkan minyak.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seyogyanya negara demokrasi dan non-demokrasi esesnsinya adalah sama, tergantung sejauh mana sebuah pemerintahan tersebut bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat banyak. Dan terkait dengan upaya AS yang terus mengusung isu-isu mendemokrasikan negara yang belum demokrasi sarat akan politisasi dan tampak seperti demokrasi tebang pilih

'Andai Aku Gayus Tambunan'

By : Triono Akhmad Munib


Sebelas Maret, diriku masuk penjara
Mulai menjalani proses masa tahanan
Di dalam penjara. Hidupku jadi tak enak
Badanku kurus…..

Andaiku Gayus Tambunan
Yang bisa pergi ke Bali
Semua keinginannya, pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini
Hukuman bisa dibeli…


Itulah sekilas cuplikan lagu yang berjudul “Andai Aku Jadi Gayus” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Bona Paputungan merupakan seorang mantan nara pidana dari Gorontalo. Memang lirik lagu di atas tak seindah lirik-lirik lagu ST12, Dewa, D’Bagindas, Ungu, dan band-band pop Indonesia papan atas. Namun setidaknya lirik di atas merupakan ungkapan uneg-uneg seorang anak bangsa melihat fenomena hukum di Indonesia. Ya, akhir-akhir ini lembaga dan proses hukum di Indonesia sedang mendapat sorotan dan kritikan tajam dari masyarakat terkait lolosnya Gayus ke Bali dan luar negeri dengan menggunakan paspor palsu. Mengapa seorang yang dipenjara malah bisa pergi berplesiran hingga ke luar negeri. Mengapa seorang yang dipenjara bisa menikmati layanan yang super mewah layaknya sebuah apartemen seperti Artalyta Suryani (Ayin). Jika ini dibiarkan maka ini akan membuat hukum menjadi tak lagi bisa dijadikan penegak keadilan. Penjara bukan lagi memegang stigma yang menakutkan di mata masyarakat, penjara bukan lagi tempat yang memberikan efek jera kepada para narapidana. Namun, dalam kesempatan kali ini penulis tidak membahas lebih jauh mengenai lembaga judikati Indonesia dengan kaitannya kasus Gayus, melainkan akan membahas lagu di atas yang diciptakan oleh Saudara kita Bona Paputungan dengan demokrasi Indonesia.
Sempat Bona Paputungan diundang oleh Metro TV untuk diwawancarai mengenai sebuah pesan singkat (SMS) yang berisi ancaman kepada dirinya pasca video klip karyanya muncul di Youtube. Menurut pengakuan yang dipaparkan Bona, SMS tersebut berasal dari Jakarta dan dari seorang anggota Brimob. Kenapa bisa muncul ancaman seperti ini?. Itulah bentuk ketakutan pihak-pihak yang terkait masalah Gayus. Lagu “Andai Aku Jadi Gayus” merupakan wujud demokrasi Indonesia dalam hal kebebasan berkekspresi. Disinilah proses check and balances akan terjadi. Pemerintah seharusnya mengerti dan merasa tersindir bahwa lirik lagu di atas itulah yang pantas menggambarkan fenomena hukum di Indonesia. Jika kasus Gayus hingga Hendarman Supanji tak bisa diungkap karena akan menganggu stabilitas nasional, negara macam apa ini?. Kita teringat masa Orde Baru di mana segala bentuk kegiatan dan hal-hal yang dianggap mengancam keamanan nasional harus dibumi hanguskan. Implementasinya adalah rakyat menjadi enggan dan takut menyuarakan kebenaran dan mengkritik kinerja pemerintah karena resiko yang akan dihadapinya entah dibunuh melalui petrus (penembak misterius) yang sempat heboh di era Soeharto ataupun dipenjara. Akankah Indonesia kembali ke masa lalu itu?. Mungkinkah Indonesia menuju negara otoriter, yang di mana hal-hal yang di nilai mengancam negara perlu dibinasakan sehingga penguasa bisa terus melanggengkan kekuasaannya?. Sampai dimana level demokrasi Indonesia?. Ancaman yang diterima oleh Bang Bona di atas merupakan jawabannya.

Sunday 9 January 2011

Penolakan China Atas Nobel Perdamaian : Ada Apa Sebenarnya?

By : Triono Akhmad Munib
Sumber : Catatan kuliah, koran, situs internet, dan analisa penulis


Pemberian Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize) oleh Lembaga Nobel Perdamaian kepada Liu Xiaobo membuat Pemerintah China geram. Hingga hari yang ditentukan penerima Nobel Perdamaian, Liu Xiabo masih menjalani hukuman tahanan rumah oleh Pemerintah China. Sehingga acara penerimaan nobel yang berlangsung di Balai Kota Oslo, Norwegia berlangsung tanpa kehadiran Lui Xiabo. Pemerintah China pun sempat memboikot acara tersebut. Dan hasilnya pun bisa dikatakan cukup berpengaruh, 18 negara mengkuti China untuk tidak hadir dalam acara tersebut yang diantaranya Rusia, Arab Saudi, Iran, Pakistan, Venezuela, Mesir, Filipina, Sudan, Ukraina, Kuba, Serbia, Vietnam, Maroko, dan Afganistan. Terlepas dari alasan kedelapanbelas negara di atas untuk memboikot acara penerimaan nobel, di sini timbul sebuah pertanyaan mendasar, mengapa Pemerintah China menolak pemberian nobel atas Liu Xiaobo?. Bukankah sebuah negara akan merasa bangga jika seorang warganya mendapatkan sebuah penghargaan internasional?. Ada apa sebenarnya?, Untuk menjawab pertanyaan di atas, hendaknya kita perlu mengetahui siapa sebenarnya Liu Xiaobo

Liu Xiaobo : Pejuang Kebebasan

Liu Xiaobo lahir di Cina, 28 Desember 1955 dan saat ini berumur 54 tahun. Ia seorang intelektual dan aktivis hak asasi manusia di China. Liu Xiaobo sempat menempuh pendidikan di Departemen Sastra China, Universitas Jilin dan meraih gelar sarjana pada tahun 1982. Kemudian, Liu menjadi mahasiswa riset di Departemen Sastra China, Universitas Normal Beijing dan meraih gelar Master of Arts pada tahun 1986. Setahun kemudian, dia memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra Cina. Di universitas tersebut, Liu sempat bekerja sebagai pengajar dan akademisi. Hasil disertasi doktoralnya diterbitkan menjadi buku berjudul Aesthetic and Human Freedom. Buku tersebut menjadi perdebatan filsafat dan estetika yang komprehensif sehingga membuat Liu mulai dikenal dunia dan diundang sebagai dosen tamu di sejumlah universitas seperti Universitas Oslo (Norwegia), University of Hawaii, dan Columbia University (AS). Dia memiliki istri bernama Liu Xia yang merupakan seorang pelukis, penyair, dan fotografer .
Karir politiknya dimulai ketika ikut dalam aksi demonstrasi mahasiswa di lapangan Tiananmen pada April 1989. Sejak 2 Juni 1989, Liu dan tiga temannya melakukan aksi mogok makan dan berseru kepada pemerintah ataupun gerakan mahasiswa untuk meninggalkan ideologi perjuangan kelas dan mengadopsi budaya politik baru yang terbuka bagi dialog dan kompromi. Liu sempat bernegosiasi dengan pimpinan militer dan gerakan mahasiswa untuk mengakhiri demonstrasi secara damai, namun pembantaian para demonstran tetap terjadi sejak 3 Juni 1989. Negosiasi yang dilakukan Liu dan teman-temannya berhasil mencegah pertumpahan darah dan membuat para demonstran membubarkan diri pada 4 Juni 1989. Dua hari setelah aksi tersebut berakhir, dia dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan melakukan propaganda kontrarevolusi dan menghasut orang. Tiga bulan kemudian, Liu dipecat dari Universitas Normal Beijing dan dilarang menerbitkan tulisan serta berbicara di depan umum.
Melalui berbagai tulisannya, Liu Xiaobo mengungkapkan kritiknya terhadap penerapan sistem satu partai dan pemberangusan kebebasan berbicara serta pers. Buku pertama Liu berjudul Criticism of the Choice : Dialogues with Li ZeHou (1987) berisikan tentang kritik terhadap tradisi Konfusianisme dan menantang pendapat Profesor Li ZeHou, tokoh intelektual dan ideologi besar di Cina saat itu. Tulisan-tulisan Liu lebih banyak diterbitkan di luar Cina sehingga dia berada di pengawasan ketat kepolisian. Pada tahun 2000, Liu mendirikan Independent Chinese PEN Center (ICPC) dan pada tahun 2003 terpilih sebagai presiden dan anggota dewan pengarah ICPC. Pada 1995-1996, Liu dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah, kemudian dimasukkan ke kamp kerja paksa selama kurun waktu 1996-1999 karena mendesak pembebasan aktivis Tiananmen. Pada 25 Desember 2009, Liu divonis hukuman penjara selama 11 tahun aas tuduhan subversi. Hukuman tersebut didapat akibat gagasannya tentang Charter 08, sebuah manifesto politik yang mengadaptasi Charter 77 dari gerakan prodemokrasi Cekoslowakia. Sebagian isi Charter 08 tersebut berisi upaya menjadikan kebebasan berbicara sebagai penjamin hak warga untuk mendapatkan informasi dan pengawasan politik . Lantas, atas dasar apa ketakutan China kepada Liu Xiaobo. Okey..we just start!

China and Confidence Building Measurements (CBMs) Consept

CBMs merupakan sebuah konsep dari Barat yang memiliki makna sebuah konsep untuk menanamkan semua foreign policy maupun domestic policy suatu negara agar mendapatkan rasa percaya diri. Di dalam konsep CBMs China sangat dipengaruhi oleh Middle Kingdom Syndrome. Middle Kingdom Syndrome merupakan sebuah ide yang mengandaikan bahwa China masih merasa dirinya belum aman baik dari sisi domestik maupun internasional. Sehingga implementasinya untuk membuat China yang aman, China membagi space centric menjadi empat zona yang menurut China sebagai sumber ketidakamanan/ketidakstabilan. Pembagian empat zona tersebut, yaitu :
•Zona I (Main) : China daratan (Beijing)
•Zona II (Inner) : Manchuria, Korea, Mongol, dan Tibet
•Zona III (Outer) : India, Asia Tenggara, Persia, Filipina, dan Jepang
•Zona IV (Foreign) : Australia, dan Amerika
Ancaman di Zona I menurut China berasal dari dalam negeri China sendiri. Seperti yang kita tahu terdapat banyak gerakan-gerakan pemberontakan atas pengekangan kebebasan oleh Pemerintah China. Kemudian untuk Zona II dan III yang merupakan negara-negara yang berbatasan darat langsung dengan China. China merasa musuh bukan berasal dari luar namun musuh berasal dan masuk lewat negara perbatasan. Sedikit mengingat kisah Perang Mongol, kasus Tibet, serta persetruan China dengan India dan Jepang pada masa Perang Dunia II. Maka di sini Zona II dan III merupakan zona yang sangat penting bagi China melihat sejarah peperangan yang pernah dialami China, di mana musuh masuk melewati perbatasan. Kemudian untuk Zona IV merupakan musuh China secara ideologi, yaitu AS. China kurang begitu memberikan tekanan terhadap Zona IV, karena letaknya yang sangat jauh. Namun, negara di Zona IV ini bisa menjadi ancaman bagi China ketika AS menggunakan sekutunya di kawasan Asia Timur, yaitu Korea Selatan dan Jepang untuk menyerang China. Sehingga untuk menciptakan negara China yang aman, dibutuhkan China yang kuat di dalam (Zona I) serta Zona II dan III yang aman. Walaupun bisa dikatakan China saat ini lebih kuat dibandingkan dengan yang dulu, namun Middle Kingdom Syndrome terus dijadikan pedoman bagi China agar terus waspada
Berkaitan dengan Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Liu Xiaobao, China memiliki dua pandangan akan hal ini, yaitu :
1.Liu Xiaobao dan Ancaman Zona I
Menurut China dengan pemberian Nobel Perdamaian tersebut dikhawatirkan sebagai titik awal kebangkitan gerakan-gerakan pro kebebasan semakin menjamur di China. Memang Liu Xiaobao adalah seseorang pro kebebasan dalam hal berpendapat. Namun ditakutkan kebebasan tersebut merembet ke hal-hal lain yang di mana sangat bertentangan dengan prinsip Partai Komunis China (PKC). Liu dipandang sebagai simbol dari kebebasan itu sendiri. Ketika seseorang dijadikan simbol maka pengaruhnya akan lebih lama walaupun seseorang itu sudah meninggal. Suatu contoh di Indonesia adalah sosok Bung Karno. Bung Karno menjadi simbol kepemimpinan yang tegas dan berjiwa nasionalis. Sehingga walaupun Bung Karno telah tiada, pengaruh dan pemikiran sosok Bung Karno masih tetap tertancap dalam benak dan pikiran masyarakat Indonesia. Implementasinya munculnya gerakan-gerakan Soekarnosime, partai politik yang mengatasnamakan penerus Bung Karno seperti PDI-P, dan lain-lain. Oleh karenanya, pemberian Nobel Perdamaian kepada Liu dipandang sebagai ancaman akan stabilitas dalam negeri China. China mengkhawatirkan pemikiran-pemikiran Liu akan kebebasan semakin memperbanyak gerakan pro kebebasan dan implementasinya jika China menjadi lebih demokrasi, maka akan semakin banyak pula partai-partai baru bermunculan dan menjadi hambatan bagi PKC untuk melanggengkan kekuasaan. Selain itu, semakin munculnya pemikiran tentang pro kebebasan tersebut juga ditakutkan merambah menjadi sebuah kekacauan dalam negeri yang bisa menghambat jalannya pemerintahan. Kembali kepada konsep pembagian zona, maka Liu dipandang sebagai ancaman dari Zona I.
2.Lembaga Nobel Perdamaian
Pandangan kedua menurut China di sini adalah menyangkut kredibilitas Lembaga Nobel Perdamaian itu sendiri. China mempertanyakan, mengapa seseorang yang membuat ketidakstabilan sebuah negara atas pemikirannya bisa diberikan penghargaan?. Menurut China, Liu dan gerakannya telah membuat negara menjadi chaos ke arah perang melawan pemerintahan. China melihat Lembaga Nobel Perdamaian tidak profesional. Selanjutnya, menurut China dengan diberikannya Nobel Perdamaian kepada salah satu warganya itu semakin menyudutkan posisi China di kancah global atau internasional. Berarti di sini, China dipandang oleh Lembaga Nobel Perdamaian sebagai negara yang masih otoriter dan mengekang kebebasan atas rakyatnya. Inilah yang membuat China risih. China sudah bukanlah seperti pada masa lalu. China has been changed, China telah berubah. China saat bukanlah sebuah negara yang masih mengkontrol dan membatasi kebebasan warganya. Pemerintah sudah memberikan kebebasan berpendapat di dalam negerinya. Lembaga Nobel Perdamaian telah salah menilai China sekarang. Sehingga jika China oleh Lembaga Nobel Perdamaian masih dipandang sebagai negara yang otoriter maupun Komunis, maka perlulah memberikan tekanan kembali kepada China agar menjadi lebih demokratis, khususnya negara di Zona IV yaitu AS yang akan terus menuntut China demkoratis. Oleh karena itu, adanya 18 negara yang ikut memboikot acara Nobel Perdamaian di Balai Kota Oslo tersebut merupakan negara-negara yang paham dan mengetahui akan kondisi China saat ini yang sudah mulai mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep Middle Kingdom Syndrome yang diterapkan China akan selalu menjadikan China waspada. China hanya ingin mengamankan negaranya. Untuk mencapai China yang aman, dibutuhkan China yang stabil di dalam negeri dan negara-negara yang berbatasan langsung dengan China (Zona II dan III) juga aman. Karena, China belajar dari sejarahnya bahwa perang-perang yang dialaminya menunjukkan musuh bukan berasal dari luar melainkan dari perbatasan.

Thursday 6 January 2011

The Debate of Positivism and Post-positivism in IR

By : Triono Akhmad Munib
Question : Bagaimana posisi saudara dan bagaimana sebaiknya dengan keberadaan dan peran pendekatan alternatif, seperti, post-positivism, constructivism, dan semacamnya, dalam isu metodologis dalam penelitian hubungan internasional? Dapatkan mereka berdiri sendiri dengan metodologinya masing-masing? Ataukah menjadi pelengkap/complementary dalam khasanah metodologi penelitian hubungan internasional?

Sebelum penulis menjawab pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita membahas tentang positivisme dalam ilmu hubungan internasional.

Postivisme dalam Hubungan Internasional (HI)
Positivisme mempunyai hasrat untuk menyatukan beragam pengetahuan ke dalam suatu “unified of science” seperti pemikiran ala Barat. Salah satu gerakan positivisme adalah munculnya kaum Behavioralis pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Kaum Behavioralis mendorong studi HI ke arah terciptanya teori yang bersifat eksplanatori dan prediktif. Atau dengan kata lain ilmu HI harus bisa menjelaskan dan mampu memprediksi (meramal). Behavioralis ingin mencoba membuat sebuah universal law atas fenomena HI. Para teoritisi behavioralis akan terus menyelidiki guna mendapatkan sebuah pola yang berulang atas fenomena internasional. Oleh karena itu, toeri HI harus terus dikembangkan, dikaji untuk mendapatkan sebuah generalisasi. Dengan demikian, secara epistemologis, behavioralisme mengarahkan kepada pendekatan saintifik. Tujuannya adalah mempelajari pola-pola dan kecenderungan sehingga bisa dijadikan ramalan tentang apa yang mungkin terjadi dalam hubungan internasional[1]. Behavioralis dituntut dituntut untuk mampu memformulasikan “hukum-hukum” yang objektif untuk menjelaskan fenomena dalam dunia sosial melalui pengumpulan data empiris tentang fakta, lebih disukai data berbentuk angka agar dapat dijadikan pengukuran, klasifikasi. Hemat penulis di sini para behavioralis lebih tertarik pada fakta yang dapat diamati dan yang dapat diukur dalam penghitungan yang tepat agar mendapatkan repeating patterns yaitu hukum-hukum hubugan internasional
Menurut Waltz, teori HI haruslah teori empiris, sebab ia nantinya akan dapat memprediksi perilaku politik internasional. Adapun langkah-langkah untuk membentuk keilmiahan teori menurut Waltz, sebagai berikut (Waltz : 1973 : 13)[2] :
1.Nyatakan teori yang akan diuji
2.Buat hipotesis dari teori tersebut
3.Tempatkan hipotesis tersebut pada uji eksperimental atau observasional
4.Dalam menjalankan kedua dan ketiga, gunakan definisi dari istilah yang ditemukan dalam teori yang sedang diuji
5.Kembangkan sejumlah pengujian yang berbeda dan menekan
6.Jika pengujian tidak berhasil, tanya apakah teori tersebut gagal sepenuhnya, membutuhkan perbaikan dan uraian baru atau memerlukan penyempitan ruang lingkup dari pernyataan eskplanatori
Namun, teori Waltz ini (begitu pula Kaplan dan Deutsch serta para behavioralis lainnya) memiliki tendesi yang sangat belebihan yang hendak melepaskan konteks pada saat penelitianny dilangsungkan dengan harapan dapat menemukan sebuah fakta yang objektif dan bebas nilai sehingga tampak seperti given[3] . Permasalahan ini kemudian menyisakan sebuah pertanyaan-pertanyaan seperti : Bukankah jika peneliti memasukkan kasus tertentu atas dasar apa yang ingin dia ketahui sehingga tampak seperti manipulasi?. Bukankah nanti peneliti juga akan memasukkan variabel dan hipotesia yang sesuai dengan apa yang ingin diteliti saja sehingga variabel-variabel lain yang dianggap ‘negatif’ dan ‘kurang penting’ disingkirkan?. Kemudian bagaimana seorang peneliti bisa lepas dari godaan bias dalam dirinya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menimbulkan keraguan atas validitas teori-teori sosial empiris dalam HI, melainkan juga keraguan akan keabsahan sang peneliti untuk menyatakan evidensinya[4]. Keraguan-keraguan di atas mendorong munculnya teori-teori post-positivisme

Teori-teori Postpositivisme : Sebagai Pelengkap atau Berdiri Sendiri?
Teori-teori post-positivisme antara lain konstruktivisme, teori kritis, posmodernisme dan semacamnya. Teori post-postivis mencoba memberikan kritik terhadap positivisme atas upayanya mengilmiahkan sebuah ilmu sosial, khususnya ilmu hubungan internasional. Di dalam salah satu teori post-poisitivis, yaitu Teori Kritis menolak tiga aspek dasar yang diberikan positivisme : realitas eksternal objektif, perbedaan subjek/objek, dan bebas nilai. Menurut teori kritis, tidak ada politik, ekonomi, dan fenomena global yang berjalan sesuai dengan hukum yang kekal. Dunia sosial adalah sebuah konstruksi waktu dan tempat. Sejak politik dunia ini dikonstruksi oleh negara kuat daripada ditemukan, tidak ada perbedaan mendasar antar subjek (analis) dan objek (fokus analisis)[5] . Menurut teori kritis, pengetahuan tidak bisa netral. Semua pengetahuan merupakan intepretasi dari yang pengamat (subjek). Atau dengan kata lain, pengetahuan selalu bias karena dihasilkan dari perspektif dan analisis.
Seperti halnya teori kritis, kaum kosntruktivis pun juga menyetujui bahwa tidak ada realitas sosial yang objektif, dan bebas nilai. Kunci pemikiran kosntruktivis adalah realitas sosial merupakan hasil konstruksi manusia. Teoritisi konstruktivis antara lain : Alexander Wendt (1992), Nicholas Onuf (1989), dan John Ruggie (1998). Menurut konstruktivis realitas dunia sosial bukanlah sesuatu yang terberi (given), dunia sosial bukan sesuatu yang ‘di luar sana’ yang hukum-hukumnya dapat diteliti melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan pula dengan teori ilmiah. Melainkan, dunia sosial merupakan wilayah inter-subjektif. Dunia dibuat dan dibentuk oleh masyarakat pada ruang dan waktu tertentu[6] . Kaum kosntruktivis begitu pula para posmodernis sepakat bahwa tiada sesuatu yang seperti ‘kebenaran’. Intepretasi subjek membuat manusia bisa mengakumulasi dan memanipulasi pengetahuan. Sedikit berbeda dengan teori kritis, kosntruktivis menekankan pada peran ide/pemikiran, pengetahuan bersama atas dunia sosial. Namun apakah kemunculan teori post-poitivis ini merupakan sebuah metode yang bisa berdiri sendiri atau bisa menjadi sebuah komplemen atas positivis?
Kritik atas post-positivis terhadap positivis hendaknya bukan menjadi sebuah batu sandungan untuk membedakan kedua paradigma tersebut. Sebaliknya, post-poitivis bisa dijadikan complementary (pelengkap). Seperti yang kita tahu, teori positivis melingkupi realisme, neorealis, neoliberalis, dan liberalisme. Menurut penulis di sini, teori-teori di atas terbentuk pun tak lepas dari peran teori post-positivis dalam segi epistemologis. Untuk memperjelas berikut terdapat gambar hubungan positivis dan post-positivis


Dalam melihat fenomena dan dunia sosial seorang peneliti bisa menggunakan asumsi-asumsi dasar dari teori-teori post-positivis. Seorang peneliti perlu menyusun pertanyaan-pertanyaan mendasar dan mendalam. Suatu contoh, peneliti ingin mengetahui kecendrungan negara meningkatkan belanja militernya. Maka pertanyaan-pertanyaannya bisa disusun sebagai berikut :
1.Mengapa negara meningkatkan belanja militernya?
2.Apa tujuannya?
3.Sektor apa saja yang ditingkatkan?
4.Ditujukan untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistemologis di atas bisa didapat dengan mendalami teori-teori post-positivis, khususnya posmodernisme tentang double reading. Di dalam pendekatan posmodernis hendaklah kita melakukan sebuah pembacaan ganda atas fenomena sosial. Kembali kepada contoh di atas. Peneliti akan terus menggali mengapa negara meningkatkan belanja militerya. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendalam perlu dipakai. Peneliti harus terus mengkaji, mengumpulkan data tekait pertanyaan yang hendak ia buktikan. Metode pertanyaan mendalam di atas ditempatkan pada post-positivis
Setelah itu barulah memasuki pada tahap analyzing. Dalam tahap ini materi-materi, data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan atas pertanyaan yang ia kaji akan dianalisa. Di sini peneliti mencoba mencari sebuah repeating patterns atas jawaban-jawaban pertanyaan di atas terhadap perbandingan negara-negara yang cenderung meningkatkan belanja militernya. Setelah menemukan sebuah perulangan pola. Peneliti akan mencoba sebuah generalisasi hipotesa atas kecenderungan peningkatan belanja militer negara-negara. Pada saat penulis mencoba mengeneralisasi itulah akan memasuki ranah positivis yang menurut Waltz, membuat sebuah law like statement atau bentuk hipotesa yang meyerupai hukum universal

Referensi :
[1]Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, Jakarta : LP3ES, 1990, hlm. 185
[2]Robert Jackson and Goerge Sorense, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 110
[3]Ibid, hlm. 296
[4]Saummil Hadi, Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta : Jalasutra 2008, hlm. 125
[5]Robert Jackson and George Soerensen, Pengantar Studi Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 299
[6]Ibid, hlm. 307

Wednesday 5 January 2011

Qualitative and Quantitative in IR : A Debate

Pertanyaan :
Bagaimana posisi saudara dalam perdebatan pendekatan qualitative dan quantitative dalam penelitian hubungan internasional? Betulkan ada jurang yang memisahkan mereka? Dapatkah pendekatan qualitative dalam penelitian hubungan internasional sepenuhnya dijalankan? Ataukah pendekatan quantitative lebih sesuai? Apa kelebihan dan kelemahan dua pendekatan tadi? Mungkinkah ada kombinasi antara kedua pendekatan tadi?

By : Triono Akhmad Munib

Jika ditanya tentang posisi, maka saya lebih cenderung memegang posisi kualitatif dalam penelitian hubungan internasional. Penulis setuju bahwa metode kuantitatif memang diakui keunggulan dan tingkat akurasinya, namun penulis menganggap metode kuantitatif adalah reduksionis, hanya terfokus pada variabel-variabel yang bersifat manipulatif. Metode kuantitatif yang berakar dari positivisme menginginkan obyek yang teramati dan terukur membuatnya hanya terbatas pada korelasi dan eksperimen yang mencari hubungan/pengaruh satu atau beberapa variabel terhadap variabel lain. Menurut saya sesungguhnya tidak ada variabel X yang benar-benar mengakibatkan Y. Hubungan kausalitas dalam ilmu-ilmu sosial harus dipahami dalam kerangka nilai dan sistem sosial, bahkan seringkali terkait atau dipengaruhi oleh keyakinan. Dengan kata lain, tata relasi antara X dengan Y harus dipahami dalam konteks yang bersifat alamiah. Penelitian kuantitatif dan kualititatif hingga saat ini masih debatable atau unfinished debate oleh para pakar metode penelitian. Namun merujuk pada pertanyaan selanjutnya, apakah ada jurang perbedaan diantara keduanya?. Oke, kita akan bahas di sini lebih lanjut.
Kualitatif vs Kuantitatif
Paradigma penelitian kualitatif di antaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan makna di balik fakta empiris sensual[1] . Secara epistemologis di sini bahwa metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalitas menuntut agar obyek yang diteliti tidak terlepas dan dilepaskan dari konteksnya (eliminasi konteks). Penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural, saling terkait satu sama lain (Moleong: 1989). Sedangkan penelitian kuantitatif menggunakan paradgma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan (Sunarto, 1993: 3). Karena itu, metode kuantitatif melahirkan berbagai bentuk percobaan (eksperimen), perlakuan, pengukuran, uji lapangan, dan uji-uji statistik
Metode kualititatif disebut sebagai paradigma alamiah. Berakar dari kata alamiah itu sendiri yang berarti alami, apa adanya. Maka metode kualitatif merupakan pengungkapan realitas tanpa melakukan pengukuran yang baku, pasti, dan non-manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat ditekankan. Karena itu, kriteria kualitatif lebih ditekankan pada relevansi, yakni signifikasi dan kepekaan individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya. Sedangkan metode kuantitatif lebih ditekankan pada validitas internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan obyektivitas yang bersifat ilmiah.



Penelitian kuntitatif khususnya eksperimen, menggambarkan sebab-akibat. Peneliti seringkali tertarik untuk mengetahui: apakah X mengakibatkan Y? atau, sejauh mana X mengakibatkanY?. Jika peneliti hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X terhadap Y, maka logikanya di sini adalah soerang peneliti bisa mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3 dan seterusnya) yang diduga dan berharap akan berpengaruh terhadap Y. Sehingga peneliti bisa memanipulasinya. Kontrol dilakukan sedemikian rupa bukan hanya melalui teknik-teknik penelitian melainkan juga melalui analisis statistk[2] .
Berbeda dengan metode kualitatif. Seorang peneliti kualitatif memang juga tertarik mencari hubungan sebab-akibat, namun lebih melihat dengan cara yang alamiah. Peneliti melihat gejala, kondisi, dan fenomena sosial yang terjadi kemudian melihat kembali apakah fenomena tersebut mempengaruhi atau mengakibatkan fenomena lain atau tidak. Misalnya : peneliti melihat security dilemma di kawasan Asia Timur. Ia mengamati apakah pengembangan militer dan nuklir Korea Utara (Korut) mengakibatkan perilaku negara-negara di Asia Timur dalam hal militer. Dan ternyata memang menunjukkan bahwa pengembangan militer Korut mengakibatkan Korea Selatan (Korsel) dan Jepang turut meningkatkan aktivitas militernya pula. Karaterisrik security dilemma tidak disiapkan oleh peneliti sebelumnya. Konseptual dari security dilemma diformulasikan sesuai dengan realitas fenomena yang ada. Penelitian kualitatif mengembangkan perspektif, konsep, dan teori yang akan digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas. Karena itu, peneliti kualitatif berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia tidak menggunakan proposisi yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif yang hendak diuji berdasarkan data lapangan.
Sebaliknya penelitian kuantitatif, seorang peneliti harus berangkat dari teori terlebih dahulu kemudian diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat iduji kebenarannya) dan selanjutnya menjadi sebuah turunan, yaitu hipotesis. Kemudian menguji hipotesis itu dengan eksperimen dan olah data (statistik). Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial yang sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya. Dengan kata lain, seorang peneliti kuantitatif tidak bisa bekerja tanpa teori
Penjelasan di atas menggambarkan jurang perbedaan antara kualitatif dan kuantitatif. Dapa kita tarik sebuah kesimpulan di sini yang merujuk pada pertanyaan selanjutnya yaitu mengenai metode apa yang paling sesuai dengan ilmu hubungan internasional. Penulis meneguhkan bahwa metode kualititatif lebih sesuai dengan bidang ilmu hubungan internasional. Objek dari hubungan internasional adalah gejala sosial, dan fenomena sosial sehingga peneliti perlu melihat terlebih dahulu fenomena yang terjadi kemudian bisa mengkaitkan dengan teori maupun konsep yang ada. Bukan menetapkan teori terlebih dahulu kemudian melihat fenomena seperti para peneliti kuantitatif. Karena belum tentu teori yang dipilih selalu sesuai dengan gejala yang terjadi. Harus disesuaikan, jika tidak akan terlihat seperti memaksakan teori dan penuh manipulasi. But, can we combine both of them?
Mengkombinasikan Kualitatif-Kuantitatif
Perbedaan antara metode kualitatif maupun kuantitatif hendaknya bukan menjadi sebuah hambatan yang signifikan dan akhirnya membuat dua metode tersebut seolah-olah berbeda dan berseberangan. Antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif memang seakan-akan terdapat perbedaan paradigmatif yang tidak ada titik temu. Namun sebenarnya mereka ada kesamaan dan bisa dikombinasikan. Tata pikir logika penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata pikir korelasi, sebab akibat, dan tata pikir timbal-balik atau interaktif, seperti nampak dalam model-model uji statistik inferensial[3] , menurut Muhadjir (2000), dapat ditempatkan dalam sebuah grand theory artau grand consept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.
Apa yang dimaksud dengan grand theory, sesungguhnya tiada lain ialah teori-teori besar yang menjadi kunci analisis untuk memahami fenomena sosial, baik statika maupun dinamika sosial. Ini merupakan logika makro yang menjadi pijakan analisis. Penelitian kuantitatif hanya menggunakan logika mikro, seperti korelasi dan hubungan sebab akibat, sedangkan penelitian kualitatif seringkali tertarik pada logika makro. Karena itu, Muhadjir (2000) mengusulkan agar logika mikro kuantitatif ditempatkan dalam kerangka logika makro. Di antara logika makro itu ialah : Pertama, pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua, pola pikir yang terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola pikir sistemik, fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir yang mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika sosial. Ketiga, pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara berbagai fenomena dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena yang lain[4]
Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.
Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.
Hasil dari penelitian kualitatif adalah bersifat deskriptif yaitu berusaha menggambarkan suatu gejala sosial, ekonomi dan keagamaan. Misalnya : seorang peneliti menulis judul penelitian: “Tingkat Kedisplinan Karyawan FISIP Unej dan Produktivitas Kerja”. Namun penelitian ini bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengukur tingkat kedisiplinan dengan menggunakan skala interval berdasarkan indikator-indikator kedisiplinan. Penelitian kemudian mengambil sampel agar mewakili populasi yakni karyawan-karyawan FISIP Unej. Karena sampel bersifat representatif, peneliti menyimpulkan populasi berdasarkan sampel tersebut.
Penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif. Namun bersamaan dengan itu, peneliti dapat mengungkap latar yang bersifat alamiah seperti sifat dari kualitatif. Ia dapat mempertanyakan mengapa terjadi perbedaan tingkat kedisiplinan?. Bagaimana wujud kedisiplinan dalam kerja?. Bagaimana mereka meningkatkan produktivitas kinerja?. Bagaimana proses munculnya ketidak-displinan tersebut?. Beberapa pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara kuantitatif melainkan memerlukan jawaban yang bersifat kualitatif dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Dengan demikian, dalam hal ini terdapat titik temu antara kuantitatif dengan kualitatif. Antara kedua jenis penelitian itu ternyata saling melengkapi dan saling membutuhkan.

References
[1]Menurut catatan Prof.Dr. Noeng Muhadjir, penelitian kualitatif yang bertolak dari pemikiran post-positivisme memiliki empat kerangka berfikir, yaitu: (a) post-positivisme-rasionalistik, (b) postpositivisme phenomenologik-interpretif, (c) postpositivisme dengan teori kritis dan weltanschauung, dan (d) pragmatisme meta-etik. Lihat: Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000)
[2]Mengenai kontrol variabel pengganggu dalam eksperimen dapat dilakukan dengan memilih berbagai bentuk desain penelitian eksperimen yang paling tepat. Mengenai berbagai bentuk penelitian eksperimen, lihat antara lain, l, Donald T. Campbel dan Julian C. Stanley, Experimental and Quasi-Experimental Designs for Research (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1963)
[3]Salah satu ciri khas penellitian positivisme-kuantitatif ialah menggunakan uji-uji statistik inferensial yang membuktikan keeratan hubungan atau pengaruh yang bersifat kausalitas variabel X dengan Y. Lebih jelasnya mengenai hubungan ini, lihat anatra lain, D.I. Champion, Basic Statistic for Social Research (New York: Macmillan Publishing Co.,1981)
[4]Mengenai logika-logika atau ragam tata pikir penelitian kualitatif, lihat Noeng Muhadjir (2000): 86-107.

Regional Security Complexes Theory

Sumber : Buzan, Barry and Wæver, Ole. 2003. Regions and Powers: The Structer of International Security. London : Cambrige University Press.

Regional Security Complexes Theory sebuah dimensi sejarah yang memungkinkan untuk menghubungkan perkembangan sekarang dengan pola-pola sebelum dan saat perang dingin berlangsung dalam system internasional. Artinya dimana Regional Security Complexes Theory berisi salah satu model keamanan regional yang memungkinkan seseorang menganalisis, mengarah pada antisipasi dan menjelaskan perkembangan dalam setiap regional. Defenisi Regional Security Complexes banyak mengalami perubahan oleh para pemikir-pemikirnya dan kemudian didefenisikan kembali. Unit analisisnya berfokus pada Negara-sentris, politik dan militer. Regional Security Complexes digambarkan sebagai satu set unit utama dalam proses keamanan atau sebaliknya yang dimana keduanya saling terkait bahwa untuk menyelesaikan masalah keamanan mereka tidak bisa dianalisis terpisah satu dengan yang lainya. Pendefenisian ulang ini kemudian tidak merubah konsep dasar dari teori ini bahwa sebagian besar negara dalam proses keamanan akan mengelompokan diri dalam kawasan-kawasan tertentu.
1. Amity and Enmity
Dalam Regional Security Complexes terdapat beberapa variabel utama yaitu pola amity dan enmity (persahabatan dan permusuhan). Pola dari persahabatan dan permusuhan dalam bentuk subglobal, secara geografis berhubungan dengan pola ketergantungan keamanan. Premis dasar dari pola ketergantungan keamanan cenderung pada proses mediasi dari kekuatan yang bersangkutan. Karakter khusus dari Regional Security Complexes dalam pola ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah seperti permusuhan yang berkepanjangan, atau kebudayaan masyarakat daerah. Formasi atau struktur dari Regional Security Complexes ialah usaha pengaruh-mempengaruhi dan disisi lain merupakan struktur yang anarkis dan konsekuensi dari perimbangan kekuatan serta tekanan-tekanan yang diakibatkan oleh kedekatan secara geografis. Dampak dari kedekatan geografis tersebut sangat jelas terlihat di sektor militer, politik, sosial dan di sektor lingkungan.
2. Distribution of Power
Keseluruhan pola dari distribusi kekuatan antara kekuatan-kekuatan global dan dinamika regional dari Regional Security Complexes adalah apa yang disebut sebagai mekanisme penetrasi. Penetrasi terjadi ketika keberpihakan kekuatan luar yang masuk dalam suatu regional dalam Regional Security Complexes. Salah satu tujuan Regional Security Complexes ialah untuk mengurangi kecenderungan peran dari kekuatan global tersebut yang kemudian memastikan porsi yang tepat dari faktor lokal dalam analisis keamanan. Bentuk standar dari Regional Security Complexes adalah pola dari persaingan, perimbangan kekuatan dan pola aliansi antara kekuatan utama dalam regional.
Regional Security Complexes sebagai teori yang khusus dalam kerangka studi empiris keamanan regional memiliki empat level analisis dan yang menghubungkan satu dengan yang lain, yaitu : analisis pada level domestik; kemudian hubungan antar negara-negara tersebut dalam suatu regional; interaksi regional tersebut dengan regional lain yang berdekatan secara geografis; dan peran kekuatan global dalam regional tersebut.
Selain itu, tujuan Regional Security Complexes adalah untuk memberi patokan yang jelas dalam mengidentifikasi dan menilai perubahan dalam level regional. Untuk itu ada empat struktur penting dari Regional Security Complexes yang mencakup empat variabel: batas; struktur anarkis, yang berarti bahwa RSC harus terdiri dari dua atau lebih unit otonom; polaritas, yang meliputi distribusi kekuasaan di antara unit; konstruksi sosial, yang meliputi pola persahabatan dan permusuhan di antara unit.

Tuesday 4 January 2011

Final Piala AFF : Jangan Jadikan Momen Propaganda

By : Triono Akhmad Munib


Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) sontak gemuruh ketika kaki kanan M. Nasuha berhasil menjebol gawang Malaysia yang dikawal oleh Fahmi dan merubah kedudukan menjadi imbang 1-1. Suporter Indonesia kembali meluapkan kegembiraannya tatkala M. Ridwan menjebol kembali gawang Malaysia pada 3 menit sebelum pertandingan babak kedua usai dan merubah posisi menjadi Indonesia unggul 2-1. Namun ternyata, keunggulan tersebut tak bisa membawa Indonesia juara Piala AFF kali ini karena kalah selisih agregat gol yaitu 4-2.

Namun hendaknya kita bisa menerima kekalahan dengan lapang dada dan penuh rasa bangga atas perjuangan Firman Utina, dkk hingga sampai pada babak final. Inilah memang wajah realita sepak bola Indonesia. Kemenangan di laga penyisihan dan semi final pada saat menghadapi Filipina bisa dikatakan karena faktor tuan rumah. Inilah mental Timnas kita, mental kandang tak mental tandang. Perlulah PSSI kembali membenahi manajemen Timnas dan pemainnya jangan ribut internal saja. Penulis ucapkan selamat kepada Malaysia, kau memang layak juara. Kepada Timnas Indonesia, jadikan pelajaran berharga untuk berbenah dan jangan malu untuk belajar.

Di sini penulis tidak akan membahas mengenai PSSI dan Timnas lebih lanjut. Namun penulis hendak menyoroti final piala AFF yang mempertemukan Indonesia dengan Malaysia. Lho, kenapa memangnya bung?. Apa yang salah?. Apakah jikalau final kali ini mempertemukan Indonesia vs Filipina atau Indonesia vs Vietnam ada yang beda?. Jawaban pertanyaan yang kedua adalah tidak ada salah dan untuk jawaban pertanyaan selanjutnya adalah jelas berbeda. Yang menarik di sini adalah pertemuan Indonesia dan Malaysia di final piala AFF bisa jadi ajang pertaruhan harga diri dan gengsi. Kok bisa begitu?. Masyarakat luas pun tahu akan naiknya tensi hubungan Indonesia-Malaysia belakangan ini mulai dari kasus lepasnya Pulau Sipadan Ligitan, klaim Pulau Ambalat, Lagu Rasa Sayange, Tari Pendet, Reog Ponorogo, hingga alat musik angklung. Sempat muncul kata-kata yang 47 tahun terkubur lama pada era Bung Karno, yaitu “Ganyang Malaysia”. Tensi hubungan yang memanas tersebut pun akhirnya ikut merasuk dalam jiwa para supoter Timnas kita. Mungkin karena kekesalan rakyat Indonesia atas kelakukan Malaysia yang selama ini dinilai menginjak-injak harga diri dan martabat bangsa Indonesia, apalagi ditambah dengan insiden laser yang dilakukan para suporter Malaysia pada tubuh Markus Horizon saat laga tandang di Stadion Bukit Jalil. Kelakuan Malaysia semakin menaikkan tensi dan mengakumulasi kebencian rakyat Indonesia. Sehingga, sempat penjual di sekitar SUGBK mengaku kebanjiran pembeli kaos Timnas yang bertuliskan “Ganyang Malaysia”. Jika memang perang belum terjadi, tetapi final piala AFF merupakan ajang unjuk kekuatan kedua negara dalam hal sepak bola.

But one thing that the writer want to underline here that do not make AFF Cup Final become means of politicization and propaganda. Hendaknya kita jangan menjadikan momen final piala AFF ini menjadi ajang propaganda untuk terus membenci Malaysia. Jangan mencampuradukkan politik dengan olah raga karena memang tidak ada kaitannya. Dalam setiap pertandingan sepak bola semua kemungkinan bisa terjadi. Lihat kekalahan tim-tim raksasa seperti Inggris, Perancis, Argentina di Piala Dunia 2010 kemarin. Mungkin kita sempat tak percaya ketika Inggris dibantai Jerman 4-1. Tetapi itulah terjadi tanpa rekayasa. Kekalahan Indonesia 3-0 atas Malayasia pada leg pertama di Stadion Bukit Jalil haruslah kita terima. Kita harus berbenah bukan malah mencari-cari kesalahan yang inilah, yang sinar laserlah, dan tetek bengek lainnya. Itulah faktanya, itulah yang terjadi, itulah mental Timnas kita jika main tandang. Apalagi dengan menyalahkan kepengurusan PSSI-lah, mengusut Nurdin untuk turun jabatan segala. Sudahlah sekali lagi jangan mempolitisasinya, khususnya buat para partai politik. Harimau Malaya kali ini memang layak dan pantas juara. Indonesia belajarlah darinya jangan enggan. Jangan dijadikan momen propaganda piala AFF kali ini. Penulis di sini menganalisa bahwa akan mudah memproganda rakyat Indonesia untuk saat ini karena bisa dikatakan jiwa nasionalisme bangsa sedang dalam posisi puncak sehingga apa pun yang menyangkut Indonesia rakyat akan merasa gerah, apalagi jika dibungkus dengan kegagalan Timnas memboyong piala AFF. Dan jangan jadikan kekalahan Timnas sebagai ajang kebencian terhadap Malaysia terus menerus. Maybe it is early to tell, but if indeed the war between Malaysia and Indonesia can not be prevented, the authors expect we are not necessarily to be winner.
Kalimat terakhir dari penulis.Majulah Indonesiaku. Terbanglah Garuda. Kepakkan sayap gagahnu kembali di angkasa. Garuda didadaku. Garuda kebangganku. Sampai kapanpun merah putih akan menjadi jiwa dan ragaku.

Sekilas Tentang Pemilu AS

By : Triono Akhmad Munib
Sumber : Diolah dari berbagai sumber, antara lain : catatan kuliah, koran, situs, dan buku serta analisa dari penulis


Pemilu AS bisa dikatakan undirect election (pemilu tak langsung) karena rakyat tidak langsung memberikan suaranya kepada kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Rakyat akan memberikan suaranya kepada anggota Dewan Pemilih (Electoral College) dan selajutnya Dewan Pemilih sebagai pemegang mandate dari rakyat yang akan memilih bakal presiden dan wakilnya. Untuk lebih jelasnya, berikut poin-poin penting dalam sistem pemilu AS :
•Pemilu AS ada dua jenis :
1.Pemilu Raya : setiap 4 tahun sekali, memilih Presiden dan Wakil Presiden
2.Pemilu Sela (Paruh Waktu) : dilakukan setiap pertengahan masa jabatan Presiden atau 2 tahun sekali, memilih anggota House of Representative (HoR) dan 1/3 dari anggota Senat
•Tahap pemilu AS :
1.Super Tuesday
Istilah “Super Tuesday” merupakan sebuah tanda di mana pemilu awal atau pendahuluan dilaksanakan. Pemilu pendahuluan di AS dilaksanakan pada hari Selasa pertama pada bulan Februari. Dalam pemilu pendahuluan ini ada dua cara yang digunakan oleh negara-negara bagian, yaitu Primary dan Kaukus. Primary dipakai oleh 18 negara bagian sedangkan Kaukus dipakai oleh 32 negara bagian.
Primary diselenggarakan oleh pemerintah negara bagian, pemilihan dengan mencoblos kandidat Presiden. Berbeda dengan di Indonesia, Primary merupakan kampanye kandidat yang sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah bukan internal partai politik. Sedangkan kaukus diselenggarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat, media, LSM, dll. Biasanya Kaukus dibungkus dengan acara debat isu-isu politik. Sistem pemilihannya tergantung pada yang menyelenggarakan. Super Tuesday merupakan hari yang paling menentukan. Karena kita bisa melihat siapa Capres favorit pilihan rakyat
2.Electoral College
Electoral College merupakan sebuah dewan yang bakal memilih Presiden nantinya. Electoral College berjumlah 2 orang ditambah dengan anggota HoR negara bagian. Sehingga beberapa negara bagian seperti Florida memiliki jumlah utusan terbanyak dan sangat menentukan pemenangan dalam pemilu
Rakyat akan mencoblos 2 kali dalam surat suara. Yang pertama adalah memilih Presiden dan selanjutnya adalah memilih anggota Electoral College. Tujuan dari rakyat memilih langsung Presiden dalam surat suara tersebut tak lain hanyalah untuk mengetahui Presiden favorit masyarakat. Namun yang menentukkan kemenangan adalah para Electoral College. Sehingga walaupun dalam surat suara seorang Capres memiliki banyak suara dan favorit di mata masyarakat, tetapi dalam Electoral College kalah. Maka tidak bisa menjadi Presiden. Ingat kemenangan George Bush atas Al Gore.
Untuk memperjelas proses Pemilu AS, di bawah ini terdapat diagram Pemilu AS