Saturday, 29 January 2011

Reformasi "Merembet"

By : Triono Akhmad Munib

Krisis politik saat ini sedang menghantui negara-negara Arab, khususnya Tunisia, Mesir dan Yaman. Menurut berita yang dilansir Kompas edisi Jum’at 28 Januari 2011, aksi demonstrasi di Mesir makin brutal dengan menyerang pos-pos penjagaan di Suez pelabuhan terkenal Mesir. Aksi tesebut muncul menyusul berita tewasnya tiga demonstran akibat kekerasan polisi saat mengamankan demonstrasi. Polisi menggunakan kekerasan menurut salah seorang demonstran.
Belum selesai demonstrasi besar-besaran di Mesir, kini media santer memberitakan bahwa di Yaman juga bergejolak, Presiden didesak mundur. Massa mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh untuk turun. Massa menilai pemerintahan Saleh marak dengan aksi korupsi, kemisikian terus meningkat, buruknya sanitasi, dan terbatasnya infrastruktur. Inikah yang dinamakan reformasi berefek?

Awalnya Tunisia
Aksi demonstrasi yang terjadi, bisa dikatakan bermula dari Tunisia. Aksi massa untuk menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali karena dinilai korupsi yang dilakukan istrinya membuat publik semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintahannya. Faktor yang menyebabkan reformasi di Tunisia bukanlah masalah tingginya angka pengangguran atau kondisi ekonomi yang buruk melainkan korupsi yang merajalela di lingkaran Ben Ali, tutur Syukrie salah seorang peserta demonstran kepada wartawan Kompas. Menurut penulis, demosntasi di Tunisia inilah yang pada akhirnya merembet ke Mesir dan disusul Yaman.
Demonstrasi di Tunisia telah menjadi sebuah “simbol” daripada kebangkitan rakyat. Demontrasi Tunisia menjadi titik awal kebangkitan rakyat yang merasa ditindas, dizalimi di negaranya sendiri. Rakyat sudah merasa tidak aman, nyaman, dan mungkin tidak sejahtera akibat kinerja pemerintahan yang bobrok dan penuh korupsi. Menurut penulis, ketika sesuatu menjadi “simbol” efeknya akan lama dan berkelanjutan. Suatu contoh, ketika China menolak Nobel Perdamaian kepada Lio Xiaobo. Pada kasus ini China memandang bahwa Liu adalah sosok “simbol” daripada kekebasan. Sehingga ditakutkan akan menjadi titik balik kebangkitan gerakan pro-kebebasan di China yang pastinya akan menganggu stabilitas nasional.
Kasus krisis politik di Tunisia, Mesir, dan Yaman pun demikian. Ketika melihat demonstrasi di Tunisia cukup berhasil menekan pemerintahan. Rakyat Mesir yang merasa dirinya senasib dengan rakyat Tunisia yaitu merasa ditindas, dizalimi, tindak korupsi oleh para pejabatnya, mendorong untuk melakukan aksi serupa. Inilah kebangkitan rakyat yang selama ini cukup sabar menghadapi pemerintahan. Namun, kesabaran pun juga ada batasnya. Rakyat Mesir semakin percaya diri dan tekad untuk menggulingkan pemerintahan Mubarak. Melihat Tunisia, rakyat Mesir dan juga Yaman yang mulai bergejolak merasa adanya sebuah dukungan bahwa aksi demonstrasi massa berangkat dari persamaan nasib.
Dari penjelasan di atas penulis berksimpulan, akankah reformasi yang diinginkan rakyat Mesir, Tunisia maupun Yaman akan berefek gerakan-gerakan pro reformasi di negara Arab disekitarnya?. Akankah dunia Arab diguncang isu reformasi?. Kita tunggu saja.

No comments:

Post a Comment