Monday, 17 January 2011

Demokrasi, Non-Demokrasi Sama Saja

By : Triono Akhmad Munib


Ketika Amerika dinobatkan sebagai kampiun demokrasi dan implementasinya adalah negara-negara lain dituntut untuk demokrasi agar bisa ‘menjadi’ seperti AS dalam hal pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, dan sebagainya. Kemudian yang lebih mengejutkan lagi adalah AS memberikan label negara non-demokrasi atau komunis bagi negara-negara yang dalam pemerintahannya hanya ada satu partai seperti China, Vietnam, dan Korea Utara. Namun, apakah negara yang hanya memiliki satu partai itu tidak demokratis?. Apakah negara non-demokrasi tidak bisa mencapai pertumbuhan ekonomi seperti layaknya negara-negara demokrasi?. Penulis menjawab belum tentu. Apakah demokrasi itu hanya diukur dari banyaknya partisipasi partai politik dalam pemerintahan. Ada negara yang malah menolak pluralisme dalam pemerintahannya. Kita ambil contoh Vietnam dengan partai tunggalnya Partai Komunis Vietnam (PKV). Di Vietnam justru pluralisme partai ditolak. Rakyat menganggap bahwa PKV adalah partai perjuangan rakyat pada masa Vietnam dijajah. PKV partai yang berjasa memerdekakan Vietnam. Dalam benak masyarakat Vietnam, PKV adalah partai bersejarah melekat di hati rakyat. Sehingga pertanyaannya, mengapa harus ada banyak partai jika satu partai saja sudah mendapatkan legitimasi dari seluruh masyarakat?. Mengapa harus ada banyak partai jika satu partai saja sudah bisa menyerap aspirasi dan tuntutan rakyat?. Seperti yang kita ketahui bahwa munculnya sebuah partai baru disebabkan partai lama yang kurang bisa menjawab tuntutan dan aspirasi masyarakat. Dan inilah bentuk demokrasi oleh Vietnam, sejauh pemerintah dengan satu partainya bisa menjawab tuntutan rakyat dalam hal ekonomi dan sebagainya serta sejauh mana aspirasi rakyat didengar oleh pemerintah, mengapa tidak?. Dan memang Vietnam bisa mengentaskan kemiskinan dinegaranya. Inilah demokrasi ala Vietnam. Penulis teringat kalimat yang sempat dilontarkan oleh Deng Xiaoping pada saat dia melakukan reformasi di China, yaitu ‘we do not care about the colour of cat, the most important that the cat can catch the mouse’ (kita tidak peduli akan warna seekor kucing, yang penting kucing itu bisa menangkao tikus). Deng Xiaoping tidak peduli dengan sistem pemerintahan China yang bisa dikatakan komunis, yang penting bisa membangun negara dan memang hasilnya perekonomian China tumbuh pesat di era Deng yang kemudian saat ini China menjadi salah satu kandidat pemegang perekonomian dunia menyaingi AS. Sehingga implementasinya adalah apapun bentuk pemerintahan entah demokrasi, komunis, otoriter, kerajaan, dan sebagainya. Yang terpenting adalah bagaimana bentuk pemerintahan itu bisa mensejahterahkan rakyatnya. Jika rakyat yang menghendaki dan memberikan legitimasi kepada pemerintahan yang walaupun partai tunggal, mengapa harus merubah tatanan perpolitikan yang malah membawa ketidakstabilan nasional?. Seperti Vietnam di atas, memang faktanya demikikian dan itulah yang membentuk identitas nasional Vietnam. Namun, sayangnya hal ini kadang tidak bisa dipahami dan dimengerti oleh pihak-pihak Barat (AS) yang memberikan label komunis pada pemerintahan yang satu partai.

Demokrasi Tebang Pilih
Invasi AS ke Irak tahun 2003 dengan dalih senjata pemusnah massal dan faktanya tak pernah ditemukan yang akhirnya beralih menjadi dalih ingin mendemokrasikan Irak memperlihatkan kepada kita betapa fatalnya AS diberi label kampiun demokrasi. Demokrasi menjunjung tinggi HAM, namun berapa ratus rakyat Irak tewas akibat invasi AS. Isu ingin mendemokrasikan Irak sarat politisasi. AS tahu bahwa Irak memilik sumber daya minyak yang di mana minyak adalah national interest AS. Irak yang sebelumnya dipimpin oleh Saddam Husein yang otoriter dan jelas-jelas anti-AS akan menyulitkan keinginan AS menguasai ladang minyak Irak. Oleh karenanya, langkah pertama adalah dengan menggulingkan Saddam dan membentuk sebuah pemerintahan ‘demokrasi’ dengan calon pemimpin yang telah disiapkan dan pastinya pro-AS sehingga akan memudahkan AS mengkontrol ladang minyak Irak. Ya, semacam negara boneka lah.
Namun, sikap ini berbeda ketika dihadapkan dengan Arab Saudi. Semua orang tahu, Arab Saudi adalah negara yang berbentuk kerajaan yang proses suksesi kepemimpinanya adalah turun temurun dari keluarga kerajaan dan tidak ada partai. Tetapi, mengapa AS tidak berniat ingin mendemokrasikan Arab Saudi?. Jawabannya cukup mudah, yaitu karena kepentingganya terpenuhi. Kepentingan AS akan minyak di Arab Saudi telah terpenuhi tampak adanya kerjasama perusahaan minyak AS-Arab, yaitu ARAMCO. Selama keinginannya tercapai, AS tidak akan mengutak-atik negara tersebut entah negara itu komunis, kerajaan, otoriter, maupun totaliter sekalipun. AS malah mengkhawatirkan jika Arab Saudi didemokrasikan maka nantinya pemerintahannya tidak pro-AS lagi dan sulit mendapatkan minyak.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seyogyanya negara demokrasi dan non-demokrasi esesnsinya adalah sama, tergantung sejauh mana sebuah pemerintahan tersebut bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat banyak. Dan terkait dengan upaya AS yang terus mengusung isu-isu mendemokrasikan negara yang belum demokrasi sarat akan politisasi dan tampak seperti demokrasi tebang pilih

No comments:

Post a Comment