By : Triono Akhmad Munib
Question : Bagaimana posisi saudara dan bagaimana sebaiknya dengan keberadaan dan peran pendekatan alternatif, seperti, post-positivism, constructivism, dan semacamnya, dalam isu metodologis dalam penelitian hubungan internasional? Dapatkan mereka berdiri sendiri dengan metodologinya masing-masing? Ataukah menjadi pelengkap/complementary dalam khasanah metodologi penelitian hubungan internasional?
Sebelum penulis menjawab pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita membahas tentang positivisme dalam ilmu hubungan internasional.
Postivisme dalam Hubungan Internasional (HI)
Positivisme mempunyai hasrat untuk menyatukan beragam pengetahuan ke dalam suatu “unified of science” seperti pemikiran ala Barat. Salah satu gerakan positivisme adalah munculnya kaum Behavioralis pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Kaum Behavioralis mendorong studi HI ke arah terciptanya teori yang bersifat eksplanatori dan prediktif. Atau dengan kata lain ilmu HI harus bisa menjelaskan dan mampu memprediksi (meramal). Behavioralis ingin mencoba membuat sebuah universal law atas fenomena HI. Para teoritisi behavioralis akan terus menyelidiki guna mendapatkan sebuah pola yang berulang atas fenomena internasional. Oleh karena itu, toeri HI harus terus dikembangkan, dikaji untuk mendapatkan sebuah generalisasi. Dengan demikian, secara epistemologis, behavioralisme mengarahkan kepada pendekatan saintifik. Tujuannya adalah mempelajari pola-pola dan kecenderungan sehingga bisa dijadikan ramalan tentang apa yang mungkin terjadi dalam hubungan internasional[1]. Behavioralis dituntut dituntut untuk mampu memformulasikan “hukum-hukum” yang objektif untuk menjelaskan fenomena dalam dunia sosial melalui pengumpulan data empiris tentang fakta, lebih disukai data berbentuk angka agar dapat dijadikan pengukuran, klasifikasi. Hemat penulis di sini para behavioralis lebih tertarik pada fakta yang dapat diamati dan yang dapat diukur dalam penghitungan yang tepat agar mendapatkan repeating patterns yaitu hukum-hukum hubugan internasional
Menurut Waltz, teori HI haruslah teori empiris, sebab ia nantinya akan dapat memprediksi perilaku politik internasional. Adapun langkah-langkah untuk membentuk keilmiahan teori menurut Waltz, sebagai berikut (Waltz : 1973 : 13)[2] :
1.Nyatakan teori yang akan diuji
2.Buat hipotesis dari teori tersebut
3.Tempatkan hipotesis tersebut pada uji eksperimental atau observasional
4.Dalam menjalankan kedua dan ketiga, gunakan definisi dari istilah yang ditemukan dalam teori yang sedang diuji
5.Kembangkan sejumlah pengujian yang berbeda dan menekan
6.Jika pengujian tidak berhasil, tanya apakah teori tersebut gagal sepenuhnya, membutuhkan perbaikan dan uraian baru atau memerlukan penyempitan ruang lingkup dari pernyataan eskplanatori
Namun, teori Waltz ini (begitu pula Kaplan dan Deutsch serta para behavioralis lainnya) memiliki tendesi yang sangat belebihan yang hendak melepaskan konteks pada saat penelitianny dilangsungkan dengan harapan dapat menemukan sebuah fakta yang objektif dan bebas nilai sehingga tampak seperti given[3] . Permasalahan ini kemudian menyisakan sebuah pertanyaan-pertanyaan seperti : Bukankah jika peneliti memasukkan kasus tertentu atas dasar apa yang ingin dia ketahui sehingga tampak seperti manipulasi?. Bukankah nanti peneliti juga akan memasukkan variabel dan hipotesia yang sesuai dengan apa yang ingin diteliti saja sehingga variabel-variabel lain yang dianggap ‘negatif’ dan ‘kurang penting’ disingkirkan?. Kemudian bagaimana seorang peneliti bisa lepas dari godaan bias dalam dirinya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menimbulkan keraguan atas validitas teori-teori sosial empiris dalam HI, melainkan juga keraguan akan keabsahan sang peneliti untuk menyatakan evidensinya[4]. Keraguan-keraguan di atas mendorong munculnya teori-teori post-positivisme
Teori-teori Postpositivisme : Sebagai Pelengkap atau Berdiri Sendiri?
Teori-teori post-positivisme antara lain konstruktivisme, teori kritis, posmodernisme dan semacamnya. Teori post-postivis mencoba memberikan kritik terhadap positivisme atas upayanya mengilmiahkan sebuah ilmu sosial, khususnya ilmu hubungan internasional. Di dalam salah satu teori post-poisitivis, yaitu Teori Kritis menolak tiga aspek dasar yang diberikan positivisme : realitas eksternal objektif, perbedaan subjek/objek, dan bebas nilai. Menurut teori kritis, tidak ada politik, ekonomi, dan fenomena global yang berjalan sesuai dengan hukum yang kekal. Dunia sosial adalah sebuah konstruksi waktu dan tempat. Sejak politik dunia ini dikonstruksi oleh negara kuat daripada ditemukan, tidak ada perbedaan mendasar antar subjek (analis) dan objek (fokus analisis)[5] . Menurut teori kritis, pengetahuan tidak bisa netral. Semua pengetahuan merupakan intepretasi dari yang pengamat (subjek). Atau dengan kata lain, pengetahuan selalu bias karena dihasilkan dari perspektif dan analisis.
Seperti halnya teori kritis, kaum kosntruktivis pun juga menyetujui bahwa tidak ada realitas sosial yang objektif, dan bebas nilai. Kunci pemikiran kosntruktivis adalah realitas sosial merupakan hasil konstruksi manusia. Teoritisi konstruktivis antara lain : Alexander Wendt (1992), Nicholas Onuf (1989), dan John Ruggie (1998). Menurut konstruktivis realitas dunia sosial bukanlah sesuatu yang terberi (given), dunia sosial bukan sesuatu yang ‘di luar sana’ yang hukum-hukumnya dapat diteliti melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan pula dengan teori ilmiah. Melainkan, dunia sosial merupakan wilayah inter-subjektif. Dunia dibuat dan dibentuk oleh masyarakat pada ruang dan waktu tertentu[6] . Kaum kosntruktivis begitu pula para posmodernis sepakat bahwa tiada sesuatu yang seperti ‘kebenaran’. Intepretasi subjek membuat manusia bisa mengakumulasi dan memanipulasi pengetahuan. Sedikit berbeda dengan teori kritis, kosntruktivis menekankan pada peran ide/pemikiran, pengetahuan bersama atas dunia sosial. Namun apakah kemunculan teori post-poitivis ini merupakan sebuah metode yang bisa berdiri sendiri atau bisa menjadi sebuah komplemen atas positivis?
Kritik atas post-positivis terhadap positivis hendaknya bukan menjadi sebuah batu sandungan untuk membedakan kedua paradigma tersebut. Sebaliknya, post-poitivis bisa dijadikan complementary (pelengkap). Seperti yang kita tahu, teori positivis melingkupi realisme, neorealis, neoliberalis, dan liberalisme. Menurut penulis di sini, teori-teori di atas terbentuk pun tak lepas dari peran teori post-positivis dalam segi epistemologis. Untuk memperjelas berikut terdapat gambar hubungan positivis dan post-positivis
Dalam melihat fenomena dan dunia sosial seorang peneliti bisa menggunakan asumsi-asumsi dasar dari teori-teori post-positivis. Seorang peneliti perlu menyusun pertanyaan-pertanyaan mendasar dan mendalam. Suatu contoh, peneliti ingin mengetahui kecendrungan negara meningkatkan belanja militernya. Maka pertanyaan-pertanyaannya bisa disusun sebagai berikut :
1.Mengapa negara meningkatkan belanja militernya?
2.Apa tujuannya?
3.Sektor apa saja yang ditingkatkan?
4.Ditujukan untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistemologis di atas bisa didapat dengan mendalami teori-teori post-positivis, khususnya posmodernisme tentang double reading. Di dalam pendekatan posmodernis hendaklah kita melakukan sebuah pembacaan ganda atas fenomena sosial. Kembali kepada contoh di atas. Peneliti akan terus menggali mengapa negara meningkatkan belanja militerya. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendalam perlu dipakai. Peneliti harus terus mengkaji, mengumpulkan data tekait pertanyaan yang hendak ia buktikan. Metode pertanyaan mendalam di atas ditempatkan pada post-positivis
Setelah itu barulah memasuki pada tahap analyzing. Dalam tahap ini materi-materi, data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan atas pertanyaan yang ia kaji akan dianalisa. Di sini peneliti mencoba mencari sebuah repeating patterns atas jawaban-jawaban pertanyaan di atas terhadap perbandingan negara-negara yang cenderung meningkatkan belanja militernya. Setelah menemukan sebuah perulangan pola. Peneliti akan mencoba sebuah generalisasi hipotesa atas kecenderungan peningkatan belanja militer negara-negara. Pada saat penulis mencoba mengeneralisasi itulah akan memasuki ranah positivis yang menurut Waltz, membuat sebuah law like statement atau bentuk hipotesa yang meyerupai hukum universal
Referensi :
[1]Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, Jakarta : LP3ES, 1990, hlm. 185
[2]Robert Jackson and Goerge Sorense, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 110
[3]Ibid, hlm. 296
[4]Saummil Hadi, Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta : Jalasutra 2008, hlm. 125
[5]Robert Jackson and George Soerensen, Pengantar Studi Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 299
[6]Ibid, hlm. 307
No comments:
Post a Comment