Wednesday 5 January 2011

Qualitative and Quantitative in IR : A Debate

Pertanyaan :
Bagaimana posisi saudara dalam perdebatan pendekatan qualitative dan quantitative dalam penelitian hubungan internasional? Betulkan ada jurang yang memisahkan mereka? Dapatkah pendekatan qualitative dalam penelitian hubungan internasional sepenuhnya dijalankan? Ataukah pendekatan quantitative lebih sesuai? Apa kelebihan dan kelemahan dua pendekatan tadi? Mungkinkah ada kombinasi antara kedua pendekatan tadi?

By : Triono Akhmad Munib

Jika ditanya tentang posisi, maka saya lebih cenderung memegang posisi kualitatif dalam penelitian hubungan internasional. Penulis setuju bahwa metode kuantitatif memang diakui keunggulan dan tingkat akurasinya, namun penulis menganggap metode kuantitatif adalah reduksionis, hanya terfokus pada variabel-variabel yang bersifat manipulatif. Metode kuantitatif yang berakar dari positivisme menginginkan obyek yang teramati dan terukur membuatnya hanya terbatas pada korelasi dan eksperimen yang mencari hubungan/pengaruh satu atau beberapa variabel terhadap variabel lain. Menurut saya sesungguhnya tidak ada variabel X yang benar-benar mengakibatkan Y. Hubungan kausalitas dalam ilmu-ilmu sosial harus dipahami dalam kerangka nilai dan sistem sosial, bahkan seringkali terkait atau dipengaruhi oleh keyakinan. Dengan kata lain, tata relasi antara X dengan Y harus dipahami dalam konteks yang bersifat alamiah. Penelitian kuantitatif dan kualititatif hingga saat ini masih debatable atau unfinished debate oleh para pakar metode penelitian. Namun merujuk pada pertanyaan selanjutnya, apakah ada jurang perbedaan diantara keduanya?. Oke, kita akan bahas di sini lebih lanjut.
Kualitatif vs Kuantitatif
Paradigma penelitian kualitatif di antaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan makna di balik fakta empiris sensual[1] . Secara epistemologis di sini bahwa metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalitas menuntut agar obyek yang diteliti tidak terlepas dan dilepaskan dari konteksnya (eliminasi konteks). Penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural, saling terkait satu sama lain (Moleong: 1989). Sedangkan penelitian kuantitatif menggunakan paradgma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan (Sunarto, 1993: 3). Karena itu, metode kuantitatif melahirkan berbagai bentuk percobaan (eksperimen), perlakuan, pengukuran, uji lapangan, dan uji-uji statistik
Metode kualititatif disebut sebagai paradigma alamiah. Berakar dari kata alamiah itu sendiri yang berarti alami, apa adanya. Maka metode kualitatif merupakan pengungkapan realitas tanpa melakukan pengukuran yang baku, pasti, dan non-manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat ditekankan. Karena itu, kriteria kualitatif lebih ditekankan pada relevansi, yakni signifikasi dan kepekaan individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya. Sedangkan metode kuantitatif lebih ditekankan pada validitas internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan obyektivitas yang bersifat ilmiah.



Penelitian kuntitatif khususnya eksperimen, menggambarkan sebab-akibat. Peneliti seringkali tertarik untuk mengetahui: apakah X mengakibatkan Y? atau, sejauh mana X mengakibatkanY?. Jika peneliti hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X terhadap Y, maka logikanya di sini adalah soerang peneliti bisa mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3 dan seterusnya) yang diduga dan berharap akan berpengaruh terhadap Y. Sehingga peneliti bisa memanipulasinya. Kontrol dilakukan sedemikian rupa bukan hanya melalui teknik-teknik penelitian melainkan juga melalui analisis statistk[2] .
Berbeda dengan metode kualitatif. Seorang peneliti kualitatif memang juga tertarik mencari hubungan sebab-akibat, namun lebih melihat dengan cara yang alamiah. Peneliti melihat gejala, kondisi, dan fenomena sosial yang terjadi kemudian melihat kembali apakah fenomena tersebut mempengaruhi atau mengakibatkan fenomena lain atau tidak. Misalnya : peneliti melihat security dilemma di kawasan Asia Timur. Ia mengamati apakah pengembangan militer dan nuklir Korea Utara (Korut) mengakibatkan perilaku negara-negara di Asia Timur dalam hal militer. Dan ternyata memang menunjukkan bahwa pengembangan militer Korut mengakibatkan Korea Selatan (Korsel) dan Jepang turut meningkatkan aktivitas militernya pula. Karaterisrik security dilemma tidak disiapkan oleh peneliti sebelumnya. Konseptual dari security dilemma diformulasikan sesuai dengan realitas fenomena yang ada. Penelitian kualitatif mengembangkan perspektif, konsep, dan teori yang akan digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas. Karena itu, peneliti kualitatif berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia tidak menggunakan proposisi yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif yang hendak diuji berdasarkan data lapangan.
Sebaliknya penelitian kuantitatif, seorang peneliti harus berangkat dari teori terlebih dahulu kemudian diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat iduji kebenarannya) dan selanjutnya menjadi sebuah turunan, yaitu hipotesis. Kemudian menguji hipotesis itu dengan eksperimen dan olah data (statistik). Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial yang sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya. Dengan kata lain, seorang peneliti kuantitatif tidak bisa bekerja tanpa teori
Penjelasan di atas menggambarkan jurang perbedaan antara kualitatif dan kuantitatif. Dapa kita tarik sebuah kesimpulan di sini yang merujuk pada pertanyaan selanjutnya yaitu mengenai metode apa yang paling sesuai dengan ilmu hubungan internasional. Penulis meneguhkan bahwa metode kualititatif lebih sesuai dengan bidang ilmu hubungan internasional. Objek dari hubungan internasional adalah gejala sosial, dan fenomena sosial sehingga peneliti perlu melihat terlebih dahulu fenomena yang terjadi kemudian bisa mengkaitkan dengan teori maupun konsep yang ada. Bukan menetapkan teori terlebih dahulu kemudian melihat fenomena seperti para peneliti kuantitatif. Karena belum tentu teori yang dipilih selalu sesuai dengan gejala yang terjadi. Harus disesuaikan, jika tidak akan terlihat seperti memaksakan teori dan penuh manipulasi. But, can we combine both of them?
Mengkombinasikan Kualitatif-Kuantitatif
Perbedaan antara metode kualitatif maupun kuantitatif hendaknya bukan menjadi sebuah hambatan yang signifikan dan akhirnya membuat dua metode tersebut seolah-olah berbeda dan berseberangan. Antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif memang seakan-akan terdapat perbedaan paradigmatif yang tidak ada titik temu. Namun sebenarnya mereka ada kesamaan dan bisa dikombinasikan. Tata pikir logika penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata pikir korelasi, sebab akibat, dan tata pikir timbal-balik atau interaktif, seperti nampak dalam model-model uji statistik inferensial[3] , menurut Muhadjir (2000), dapat ditempatkan dalam sebuah grand theory artau grand consept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.
Apa yang dimaksud dengan grand theory, sesungguhnya tiada lain ialah teori-teori besar yang menjadi kunci analisis untuk memahami fenomena sosial, baik statika maupun dinamika sosial. Ini merupakan logika makro yang menjadi pijakan analisis. Penelitian kuantitatif hanya menggunakan logika mikro, seperti korelasi dan hubungan sebab akibat, sedangkan penelitian kualitatif seringkali tertarik pada logika makro. Karena itu, Muhadjir (2000) mengusulkan agar logika mikro kuantitatif ditempatkan dalam kerangka logika makro. Di antara logika makro itu ialah : Pertama, pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua, pola pikir yang terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola pikir sistemik, fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir yang mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika sosial. Ketiga, pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara berbagai fenomena dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena yang lain[4]
Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.
Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.
Hasil dari penelitian kualitatif adalah bersifat deskriptif yaitu berusaha menggambarkan suatu gejala sosial, ekonomi dan keagamaan. Misalnya : seorang peneliti menulis judul penelitian: “Tingkat Kedisplinan Karyawan FISIP Unej dan Produktivitas Kerja”. Namun penelitian ini bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengukur tingkat kedisiplinan dengan menggunakan skala interval berdasarkan indikator-indikator kedisiplinan. Penelitian kemudian mengambil sampel agar mewakili populasi yakni karyawan-karyawan FISIP Unej. Karena sampel bersifat representatif, peneliti menyimpulkan populasi berdasarkan sampel tersebut.
Penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif. Namun bersamaan dengan itu, peneliti dapat mengungkap latar yang bersifat alamiah seperti sifat dari kualitatif. Ia dapat mempertanyakan mengapa terjadi perbedaan tingkat kedisiplinan?. Bagaimana wujud kedisiplinan dalam kerja?. Bagaimana mereka meningkatkan produktivitas kinerja?. Bagaimana proses munculnya ketidak-displinan tersebut?. Beberapa pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara kuantitatif melainkan memerlukan jawaban yang bersifat kualitatif dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Dengan demikian, dalam hal ini terdapat titik temu antara kuantitatif dengan kualitatif. Antara kedua jenis penelitian itu ternyata saling melengkapi dan saling membutuhkan.

References
[1]Menurut catatan Prof.Dr. Noeng Muhadjir, penelitian kualitatif yang bertolak dari pemikiran post-positivisme memiliki empat kerangka berfikir, yaitu: (a) post-positivisme-rasionalistik, (b) postpositivisme phenomenologik-interpretif, (c) postpositivisme dengan teori kritis dan weltanschauung, dan (d) pragmatisme meta-etik. Lihat: Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000)
[2]Mengenai kontrol variabel pengganggu dalam eksperimen dapat dilakukan dengan memilih berbagai bentuk desain penelitian eksperimen yang paling tepat. Mengenai berbagai bentuk penelitian eksperimen, lihat antara lain, l, Donald T. Campbel dan Julian C. Stanley, Experimental and Quasi-Experimental Designs for Research (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1963)
[3]Salah satu ciri khas penellitian positivisme-kuantitatif ialah menggunakan uji-uji statistik inferensial yang membuktikan keeratan hubungan atau pengaruh yang bersifat kausalitas variabel X dengan Y. Lebih jelasnya mengenai hubungan ini, lihat anatra lain, D.I. Champion, Basic Statistic for Social Research (New York: Macmillan Publishing Co.,1981)
[4]Mengenai logika-logika atau ragam tata pikir penelitian kualitatif, lihat Noeng Muhadjir (2000): 86-107.

No comments:

Post a Comment