Monday, 2 August 2010

UU No. 24 Tahun 2007 dan Maraknya Gedung Sekolah Roboh

By : Triono Akhmad Munib

Maraknya bencana alam maupun non-alam yang terjadi di tanah air membuat pemerintah terus menghimbau pemerintah daerah maupun propinsi untuk selalu mengutamakan penganggulangan bencana di setiap sektor pembangunan. Bencana alam didefinisikan sebagai segala bentuk bencana yang benar-benar murni karena proses alam, seperti : gempa bumi, tsunami, dll. Sedangkan bencana non-alam diartikan sebagai bencana yang timbul akibat ulah manusia, seperti : banjir, bangunan roboh, elpiji meledak, gagal teknologi dan modernisasi, dll. Telah terjadi perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana, yaitu di mana pendekatan tanggap darurat berubah menjadi pengurangan resiko bencana. Sehingga perencanaan pembangunan harus memasukkan pengarusutamaan penanggulangan bencana. Sesuai dengan pembagian bentuk bencana menurut UU No.24 Tahun 2007 penulis akan membahas tentang bencana non-alam serta dampak yang ditimbulkannya dari segi sosial
Untuk lebih memfokuskan pembahasan agar tidak melebar jauh penulis mengambil contoh kasus bencana non-alam, yaitu banyaknya gedung sekolah yang roboh di tanah air, khususnya Jawa Timur. Sudah banyak media elektronik, surat kabar yang memberitakan robohnya gedung sekolah di kota-kota di Jawa Timur. Sebut saja di Kabupaten Mojokerto terdapat dua kasus sekolah roboh, yaitu di tahuun 2008 dan 2010. Padahal salah satu dari sekolah tersebut baru saja mengalami renovasi dan yang lain memang sudah dimakan usia. Kemudian juga di Kabupaten Kediri, yang mengakibatkan para siswa-siswi harus rela tersengat matahari karena kegiatan belajar mengajar di pindahkan di pelataran sekolah. Entah berapa banyak lagi kasus yang terjadi, penulis kira tidak hanya yang disebutkan di atas saja. Jika bersandar pada UU No. 24 Tahun 2007, seharusnya bencana tersebut tidak perlu terjadi. Pemerintah telah berkomitmen untuk mencoba mencegah resiko bencana. Sehingga pemerintah seharusnya tanggap terhadap kondisi gedung-gedung sekolah di tanah air. Sungguh ironis memang, ketika menaikkan angka 20% dalam APBN dan APBD tidak mungkin lagi dilakukan, ternyata di sisi lain ada kenyataan daftar gedung sekolah yang roboh justru semakin panjang.
Di setiap bencana selalu membawa dampak. Gedung sekolah roboh juga membawa dampak bagi masyarakat khususnya siswa-siswi. Suasana panas di luar pelataran sekolah menjadi keseharian para siswa sehingga kadang siswa kurang bisa berkonsentarsi akibat menahan panasnya sengatan matahari. Atau bahkan hingga kematian seorang siswa akibat tertimpa material bangunan yang roboh seperti yang menimpa pada Doni siswa SDN 3 Karang Anyar, Kecamatan Gedung Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Bongkahan material yang keras membuat ia gegar otak dan menemui ajalnya saat dilarikan ke Puskesmas setempat. Sungguh tragis melihat kejadian di atas. Kondisi ini menempatkan pemerintah dalam putaran dilema. Di satu sisi pemerintah telah meratifikasi komitmen Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) dalam bidang pendidikan yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi di sisi lain sarana prasarana pendidikan masih belum terpenuhi. Di sini timbul pertanyaan kenapa kejadian tersebut terjadi dan masih terus berlangsung, kan pemerintah sudah membuat sebuah undang-undang tentang penanggulangan bencana setidaknya kejadian di atas tidak perlu terjadi?

Perlu Pembenahan Kembali
Secara teori pertanyaan di atas memang benar. Jika pemerintah sudah membuat sebuah undang-undang berarti aturan tersebut memiliki legislasi yang kuat dan wajib dijalankan. Tetapi pada prakteknya tidak begitu. Memang dalam poin 2 pasal 3 tentang prinsip-prinsip penanggulangan bencana telah disebutkan cepat dan tepat, prioritas serta transparansi dan akuntabilitas. Jika dikaitkan dengan kejadian maraknya gedung sekolah yang roboh kiranya prinsip tersebut masih belum bisa terpenuhi, mengapa?. Yang pertama cepat dan tepat, jika mengetahui kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak lagi sehingga butuh di Jawa Timur seharusnya pemerintah cepat melakukan renovasi. Tetapi nyatanya tidak begitu. Ini dialami pada SD Negeri 2 Lengkong Kabupaten Mojokerto. Kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak lagi masih belum mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Pemerintah Kabupaten Mojokerto dinilai acuh. Kedua, prinsip prioritas. Kiranya pemerintah masih belum memprioritaskan renovasi gedung sekolah dalam agenda pembangunannya. Jika pemerintah sudah membuat undang-undang tentang penanggulangan bencana setidaknya program renovasi gedung sekolah perlu diperbanyak lagi sesuai dengan komitmen mengurangi resiko bencana seperti apa yang telah disebutkan diatas. Yang terakhir adalah transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini penulis berpendapat masih rendah. Tidak transparansinya aliran dana untuk merenovasi sekolah merupakan salah satu penyebab robohnya gedung sekolah. Lho, kok bisa?. Tentu bisa. Seperti yang dialami salah satu sekolah di Kabupatan Mojokerto. Sekolah tersebut baru saja direnovasi tetapi 4 bulan ambruk. Setelah diselidiki ternyata memang material yang digunakan untuk merenovasi merupakan material yang jelek. Itu dikarenakan dana renovasi disunat oleh oknum yang bertanggungjawab. Demi mendapatkan keuntungan, oknum tersebut melalaikan prinsip penanggulangan bencana.

Siapa Yang Salah?
Tidak ada yang secara mutlak benar dan salah. Upaya pemerintah sudah bagus dengan membuat undang-undang penanggulangan bencana. Tetapi perlu dianalisa bahwa di sini timbul sebuah dialektika segitiga setan.


Undang-undang

Pemerintah pusat
Pemerintah
daerah



Percuma jika undang-undangnya sudah baik dan mengikat tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah pusat kurang koordinasi dan masih mlempem menjalankan undang-udang tersebut. Atau mungkin sebaliknya undang-undang dan pemerintah pusat sudah melakukan sinkronisasi dengan baik tetapi di pemerintah daerah masing belum bisa menerapkan secara optimal undang-undang tersebut. Lalu, bagaimana solusinya?
Mungkin sulit memberikan sebuah solusi yang bisa fleksibel karena hal tersebut langsung berkaitan dengan gejala sosial. Di sini, penulis memberikan sedikit solusi agar kejadian bencana gedung roboh tak terulang kembali di tanah air. Yang pertama, perlu ditingkatkan kembali sosialisasi akan UU No.24 tahun 2007 di atas khususnya mengenai dasar perubahan paradigma. Jadi pemerintah pusat maupun daerah diminta untuk mengubah cara pandang mereka ke arah pengurangan resiko bencana sehingga mereka akan bersiap sebelum bencana datang. Maksudnya, terus melakukan dan meningkatkan survei terhadap gedung-gedung sekolah di Jawa Timur agar sebelum roboh bisa dicegah dengan renovasi dini. Sosialisasi ini tidak hanya diberikan kepada pemerintah pusat maupun daerah tetapi juga kepada masyarakat sesuai dengan amanat UU No. 24 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa perlunya partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat diminta untuk cepat dan tanggap untuk melaporkan kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai ataupun yang lapuk dimakan usia kepada Dinas Pendidikan setempat disamping pemerintah melakukan survei sendiri. Kedua, perlunya ditingkatkan anggaran pendidikan dari yang sekarang 20%. Jika kita melihat negara tentangga seperti Singapura yang memberikan 25% dan Malaysia 26% dari APBN. Karena dirasa kurang dengan menganggarkan 20% untuk pendidikan. Oke lah jika untuk pembiayaan sekolah gratis bagi anak miskin dan kurang mampu tetapi kita dihadapkan pula dengan maraknya gedung sekolah yang bobrok. Di satu sisi untuk pembiayaan sekolah gratis, namun di sisi lain untuk pembiayaan renovasi. Jadi anggaran tersebut dianggap kurang. Yang ketiga dan terakhir adalah masalah korupsi yang menjadi momok dan bahaya laten di tanah air. Pemerintah harus terus memberantas dan mengusut tuntas kasus korupsi di tanah air. Korupsi membuat dana pendidikan semakin mengerucut kecil jika sampai pada pemerintah daerah. Misalnya, dana pendidikan dari pemerintah pusat sebesar 20 triliyun rupiah. Karena panjangnya birokrasi dan maraknya korupsi bisa-bisa dana sampai ke pemerintah daerah menjadi 17 triliyun atau mungkin kurang dari itu. Banyaknya oknum-oknum yang suka menyunat dana membuat Indonesia tidak bisa maju.
Di atas merupakan sedikit analisa penulis tentang pengarustamaan resiko bencana dalam pembangunan khusunya di Jawa Timur dengan mengambil kasus maraknya bencana gedung sekolah yang roboh. Kita semua, khususnya para orang tua tidak ingin apabila pada saat kegiatan belajar mengajar di sekolah, rekan kita atau mungkin putra-putri kita tertimpa bongkahan material gedung akibat bobroknya kondisi gedung. Berharap kedepannya pemerintah pusat maupun daerah bisa memperbaiki kinerjanya seperti solusi yang diberikan penulis di atas

No comments:

Post a Comment