Sunday, 8 August 2010

Redominasi dan Mindset

by : Triono Akhmad Munib

Sepekan ini media massa dibanjiri berita tentang pro dan kontra redominasi mata uang yang diwacanakan pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia (BI). Semua pihak saling semprot dengan segala argumen-argumen yang dipegangnya. Muncul pula sindiran yang diberikan kepada kinerja pemerintah yang menganggap redominasi sebagai rencana yang lucu. Semakin maraknya demonstrasi di sana-sini yang mengecam rencana tersebut. Ya, diterima sajalah sebagai resiko dari demokrasi kita yang amburadul
Perlu ditekankan kembali akan makna redominasi. Redominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan atau penyeteraan nilai mata uang. Misalnya, Rp. 1000,- akan disederhanakan atau disetarakan dengan Rp. 1,-. Menurut pihak BI redominasi akan semakin mempermudah sistem akuntansi perbankan. Ditambahkan pula bahwa redenominasi ini berbeda dengan sanering (pemotongan nilai mata uang). Kalau redenominasi hanya menghilangkan nol saja tetapi nilainya sama, kalau sanering memotong nilai uang. Ya, sudahlah apa kata mereka. Tetapi rakyat masih belum bisa terima. Kenapa?
Di sini, kita akan langsung bersinggungan dengan mindset (pola pikir) masyarakat. Mungkin bagi kalangan pekerja kantoran dan perbankan redominasi bisa dipahami secara baik. Tetapi, bagaimana dengan masyarakat kelas bawah dalam arti masyarakat yang pekerjaannya berdagang di pasar, masyarakat desa. Merek masih tetap beranggapan bahwa 1000 masih lebih besar daripada 1. Jadi mereka merasa ada penurunan nilai mata uang. Itu karena mereka belum memahami makna redominasi secara utuh. Mindset mereka masih belum bisa diajak untuk berpikir ke sana, perlu jangka waktu yang cukup panjang untuk bisa menerima 1000 setara dengan 1

Siapa Yang Salah?

Tidak ada pihak yang perlu disalahkan dalam hal ini. Pihak pemerintah melalui BI pun mewacanakan rencana kebijakan tersebut juga untuk kemakmuran bersama. Mungkin perlunya ditingkatkan kembali kinerja masyarakat. Dalam hal apa?. Dalam hal sosialisasi. Jika memang pemerintah tetap ngotot ingin menerapkan kebijakan redominasi tersebut. Maka perlu ditingkatkan pula sosialisasi tentang redonominasi kepada masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah, pedagang hingga masyarakat desa serta pelosok hingga mereka paham dan bisa menerima arti 1000 setara dengan 1.
Memang secara ekplisit penulis berpendapat bahwa redominasi mata uang dirasakan perlu untuk mempermudah perhitungan keuangan dan menghindari dari salah tulis akibat terlalu banyak nol. Pernah seorang anak bertanya pada Bapaknya, “Pak, seribu triliyun rupiah itu nol-nya berapa?”. Si Bapak pun kelabakan menjawab karena harus menghitung dengan jarinya hingga pinjam jari tetangganya karena tidak cukup. Tetapi redominasi juga akan membawa dampak. Salah satunya adalah berubahnya status miliarder menjadi jutawan dan jutawan menjadi ribuwan.

1 comment: