by : Triono Akhmad Munib
“Badhe tindak dateng pundi Mbah?” (Mau pergi kemana Mbah?), tanyaku. “Badhe dateng kota mas” (Mau pergi ke kota mas), jawab si Mbah. Mendengar jawaban si Mbah, dalam hati saya bertanya-tanya. Bukankah ini sudah di dalam wilayah satu kota?. Tapi kok si Mbah mau pergi ke kota. Kemanakah yang hendak ditujunya?. Dengan rasa penasaran saya pun mengikuti kemana si Mbah akan pergi. Tak lama setelah itu sampailah pada tempat yang di maksud si Mbah. Saya terkejut, ternyata yang dimaksud dengan kota oleh si Mbah adalah sebuah alun-alun dengan pusat perbelanjaan. Di sini, saya mulai mengerti bahwa konsep kata ‘kota’ menurut si Mbah. Terlepas dari kota metropolitan seperti Jakarta
Kebanyakan orang-orang menyebut suatu tempat dengan sebutan ‘kota’ adalah sebuah tempat dengan definisi memiliki alun-alun, dan pusat perbelanjaan. Konsep tersebut telah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka kepada keturunannya. Mungkin itu semua tak lepas dari sejarah nusantara kita yaitu pada masa kerajaan. Salah satunya adalah kerajaan Majapahit pada abad ke- 12. Konsep kota yang diberikan oleh Majapahit secara tidak langsung hampir menyerupai pembentukan kota-kota di Indonesia. Pada masa Majapahit, terdapat sebuah tanah lapang untuk kegiatan publik dengan dikelilingi pusat kerajaan, pusat perdagangan, tempat ibadah, dan balai prajurit.
Jika dianalisa dengan konsep ‘kota’ di Indonesia. Maka akan ada kesamaan. Pertama, tanah publik diidentikkan dengan alun-alun. Kedua, pusat kerajaan adalah kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Pemerintah Kota (Pemkot). Ketiga, balai tentara disamakan dengan kantor Komando Distrik Militer atau Kodim. Sedangkan pusat dagang adalah pusat perbelanjaan, supermarket atau pun yang lainnya. Jadi si Mbah gak salah dong?. Secara mutlak tidak.
Tetapi mungkin jika si Mbah ingin mengurus KTP mungkin si Mbah bisa salah. Di atas merupakan konsep ‘kota’ menurut orang lama. Tetapi arti tersebut berubah ketika dihadapkan dengan pemerintahan saat ini. Dalam era pemerintahan saat ini. Suatu wilayah bisa terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten dan Kota. Maksudnya, terdapat dua pemerintahan dalam satu daerah. Seperti contohnya, daerah Mojokerto terdapat Pemerintahan Kota dan Pemerintahan Kabupaten yang masing-masing memiliki wilayah kecamatan tersendiri. Jadi jika si Mbah tinggal di salah satu kecamatan di wilayah Pemkab maka si Mbah harus mengurusnya di kantor Pemkab begitu pula sebaliknya. Jadi yang mana yang disebut ‘kota’ dan ‘desa’ kalau begitu?. Entah siapa yang menciptakan. Biasanya orang sering menyebut warga yang tinggal di salah satu kecamatan di wilayah kerja Pemkab sebagai orang ‘desa’ dan sebaliknya sebagai orang ‘kota’ jika tinggal di salah satu kecamatan di wilayah kerja Pemkot.
Tetapi terdapat satu daerah yang memiliki satu pemerintahan seperti Jember. Daerah Jember hanya memiliki Pemerintahan Kabupaten. Tapi tetap warga masih menyebut alun-alun sebagai pusat kota dan menyebut warga kota bagi yang tinggal di sekitar alun-alun. Warga Jember sering menyebut ‘pergi ke kota’ jika mereka hendak ke kantor Pemkab, ke pusat perbelanjaan atau ke alun-alun.
Memang terlihat kata ‘kota’ dan ‘desa’ sedang mengalami perubahan makna. Tetapi itu sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat kita yang sudah salah kaprah.
No comments:
Post a Comment