Sunday, 5 December 2010

Menunggu Kehancuran Ekonomi Eropa

By : Trion Akhmad Munib

Kegamangan dan kekhwatiran para investor dan ekonom tentang masa depan ekonomi Eropa bisa jadi ada benarnya. Itu pun tak luput dari krisis-krisis yang didera negara-negara Eropa akhir-akhir ini. Yunani merupakan pembukaan awal guncangnya perekenomian Eropa. Kita tentu masih ingat krisis yang mendera Yunani lalu. Krisis Yunani merupakan krisis yang sudah terakumulasi. Salah satunya adalah penyelenggaraan olimpiade tahun 2004 di Yunani. Kecanggihan olimpiade 6 tahun lalu, menjadi salah satu penyebab dari sekian banyak penyebab kebangkrutan Yunani. Hutang Yunani menumpuk sekitar 300 milyar euro. Faktor inilah yang akhirnya mau tidak mau mendorong Athena menyetujui bailout sebesar 22.4 miliar Euro. Namun tampaknya masalah tak berhenti sampai disitu. Setelah Yunani ‘sakit’, giliran Irlandia. Irlandia pun mengalami hal yang serupa. Dan lagi-lagi masalah hutang yang melilit negara. Menurut Standard and Poor's menyatakan biaya asuransi terhadap utang negara Irlandia mencapai rekor tertinggi atau melebihi standar. Biaya untuk mendukung Bank Anglo Irlandia dapat memicu penurunan peringkat utang negara tersebut. Dalam lima tahun ini, Credit Default Swaps (CDS) utang Pemerintah Irlandia naik 519 poin dibanding sebelumnya 488,5 bps, berdasarkan pengamatan CMA. Ini berarti dibutuhkan biaya sebesar 519 ribu euro untuk melindungi 10 juta euro terhadap obligasi Irlandia . Sekali lagi kondisi tersebut pun akhirnya mendorong pihak Dublim mau tidak mau meng-iyakan resep bailout.
Banyak pihak memprediksi bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Yunani maupun Irlandia akan memberikan spill over effect kepada negara-negara Eropa lain yang di sini sempat disorot adalah Portugal dan Spanyol. Kawasan Eropa yang terinterdependensi menjadi satu salah satu faktor penguat spill over effect. Dunia yang semakin terinterdependensi membuat sebuah ‘kejadian yang terjadi di luar sana akan memberikan dampak pada yang lain’. Namun apakah perekonomian Eropa akan hancur?
Only Waiting Time
Menjawab pertanyaan di atas, penulis memiliki sebuah hipotesa tinggal menunggu waktu. Kekhawatiran akan spill over effect kepada negara-negara Eropa lain bisa dibenarkan dengan konsep interdependensi di atas. Hanya tinggal menunggu waktu saja apakah krisis ekonomi tersebut terus berdampak pada negara-negara sekitar atau tidak. Tetapi jika dibaca tanda-tandanya bisa jadi ada benarnya. Seperti jatuhnya nilai kurs Euro pasca dana talangan Irlandia. Euro menyentuh terendah karena paket penyelamatan resmi untuk Irlandia yang dilit utang gagal meredakan kekhawatiran pasar tentang kesehatan ekonomi zona euro. Euro turun menjadi 1,3181 dolar sebelum pulih ke 1,3232 di perdagangan di Tokyo (29 November 2010) . Euro berangsur-angsur kehilangan kekuatan dan merosot ke level terendah sejak akhir September di tengah kekhawatiran terus-menerus bahwa negara lain, yaitu Spanyol dan Portugal akan bernasib sama seperti dua rekannya Yunani dan Irlandia. Namun apakah Eropa akan terus mengandalkan resep bailout-nya jika memang benar krisis ekonomi tersebut pun akhirnya merembet ke negara lain (Portugal dan Spanyol)?. Dan apakah perekonomian Eropa akan kandas?. Lalu kemanakah pusat perekonomian akan bergeser?.
Asia, the New Economic Global Player
Kawasan Eropa perlu membenahi regulasi-regulasi dalam konsep Uni Eropa dan pemberian sanksi tegas kepada negara yang memiliki hutan diatas 100 persen dan pendapatan nasionalnya agar tidak selalu mengandalkan resep dana talangan jika tidak ingin kandas. Untuk pertanyaan selanjutnya, penulis mempunyai jawaban ‘Asia, the New Economic Global Player’. Asia yang dalam G-20 disebut-sebut sebagai new emerging market bisa jadi sebagai kekuatan dan pusat perekonomian baru. Jepang, China dan India adalah tiga serangkai Asia yang mulai awal abad 21 makin menunjukkan kekuatan ekonominya sebagai pemain yang dalam waktu dekat ini kian mengarah ke integrasi regional Asia. Hasil penghitungan baru PDB negara-negara di dunia versi Bank Dunia di tahun 2005 cukup mengejutkan yakni munculnya angka PDB negara China sebesar $2,2638 triliun. Tentu saja menempatkan China sebagai negara dengan besaran ekonomi nomor 4 dunia, menggeser Inggris. Berada di atasnya adalah pertama Amerika Serikat, kedua Jepang, dan ketiga Jerman. Lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan PDB China akan melampaui Jerman pada 2010, Jepang pada 2015, dan Amerika Serikat pada 2040. Kejutan lainnya adalah Negara Asia lainnya, India. PDB negara India di tahun 2005 sebesar $300 milliar.Diprediksi PDB India akan mengalahkan Italia di tahun 2015, Perancis di tahun 2020, Jerman di tahun 2025, Jepang antara tahun 2030-2035, dan Amerika Serikat di tahun 2040. Di 2040, China dan India tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi di mana pusatnya tak lagi di benua Amerika/Eropa, namun di Asia, bekas negara berkembang. Hal ini tentunya akan melengkapi sejarah sukses Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Namun kita pun harus bangga dengan negara kita. Indonesia yang menurut pakar ekonomi masuk dalam calon kekuatan ekonomi baru di dunia. Menurut Morgan Stanley, diperkirakan lima tahun ke depan PDB Indonesia bakal mencapai US$800 miliar. Senada dengan itu, majalah bergengsi The Economist, pada Juli 2010 juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Dan bahkan Indonesia pun berpotensi menggeser Rusia dalam BRIC.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa jika memang Eropa tidak ingin perekonomiannya hancur maka Eropa harus memperjelas dan memperketat regulasi-regulasinya yang dibungkus dalam konsep Uni Eropa. Namun tidak menutup kemungkinan pusat perekonomian akan bergeser ke Asia. Dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh negara-negara Asia, penulis berspekulasi ‘yes, we can to be new economic global player’

No comments:

Post a Comment