Sunday 12 December 2010

Semenanjung Korea : Sebuah Artefak Perang Dingin

By : Triono Akhmad Munib

Pasca Perang Dingin merupakan sebuah titik awal kebangkitan hubungan internasional beserta diskurus-diskurus barunya. Perang Dunia I, Perang Dunia II hingga Perang Dingin menunjukkan betapa dibutuhkannya eksistensi sebuah negara dalam perpolitikan global. Negara yang menjadi the main actor menjadikan hubungan internasional didefinisikan sebagai hubungan antar negara-negara. Perang Dingin merupakan sebuah perang yang bisa dikatakan berbasis pada ideologi, yaitu antara ideologi Barat (Amerika) dan Komunis (Uni Soviet). Negara bangsa pada masa itu berlomba-lomba membentuk aliansi dengan negara-negara Komunis maupun liberal Barat. Era Perang Dingin membawa dunia terpecah menjadi dua kutub atau bipolar.
Namun pasca Perang Dingin, dunia seolah mulai menunjukkan gairahnya dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Aktor-aktor non-state semakin bermunculan bak air limbah sungai. Negara sudah tidak lagi berkutat pada dua kekuatan besar melainkan dunia sudah memasuki masa multipolaritas seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Secara gamblang memang sulit membayangkan bagaimana dan seperti apa Perang Dingin tersebut. Tetapi masih terdapat artefak peninggalan sejarah Perang Dingin hingga saat ini yang sedikit banyak juga menggambarkan Perang Dingin di era 80-an. Fenomena tersebut diperlihatkan pada konflik Semenanjung Korea.
Konflik di Semenanjung Korea yang masih memanas hingga saat ini merupakan sebuah warisan yang tidak lain akibat tetesan (trickle down effect) daripada Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Di mana satu pihak yaitu AS tidak ingin kedua Negara Korea ini jatuh ke tangan komunis, sedangkan disatu pihak ingin terus menyebarkan paham komunisnya yaitu Uni Soviet. Di bagian utara berdiri Republik Rakyat Demokratis Korea dengan ibu kota Pyongyang, di selatan ada Republik Korea berpusat di Seoul. Sejak awal abad XX, Semenanjung Korea dikuasai Jepang. Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, serentak lahir dua negara, sesuai pengaruh dua pemenang perang, AS dan Uni Soviet, yang sama-sama menduduki sebagian Korea. Dan akhirnya tak bisa dipungkiti lagi pada tahun 1950 pecahlah Perang Korea karena propaganda dan pergerakan politik RRC yang ingin mengkomuniskan negara-negara Asia Timur dan Tenggara tetapi pergerakan RRC dan Uni Soviet diketahui oleh AS dan sekutunya
AS terus membangun pangkalan militernya di negara Asia. Pangkalan militer itu ditempatkan di Jepang dan Filipina yang terus berupaya agar Komunisme tidak bisa ekspansi ke Asia Timur. Tetapi sayangnya, propaganda Komunis RRC sudah masuk ke daratan Korea dari jalur Utara, dan mereka telah berhasil menguasai (cuci otak) para pejabat di daerah Korea Utara dan memproklamirkan tentara Korea Utara sebelum masuk ke Jepang dan Taiwan. Amerika dan sekutunya sudah berusaha menangkal pergerakan pasukan komunis Korea Utara dengan mempersenjatai pasukan Korea yang berada di daerah Selatan. Dengan adanya pemberian persenjataan kepada rakyat Korea yang di selatan. Secara tidak langsung menyulu terjadinya perang saudara, karena Korea Utara bergerak ke Korea Selatan tanpa peringatan dan mereka langsung serbu. Akhirnya Badan PBB menyerukan Amerika untuk turun tangan membela Korea Selatan
Tahun 1953 Perang Korea berakhir, istilah resminya, gencatan senjata disepakati kedua belah pihak. Semenanjung tersebut dibagi dua, batasnya garis lintang 38 derajat dengan dibuatnya perbatasan dibuatnya Korea Demilitarized Zone (DMZ) yang menjadi saksi peperangan yang secara teknis belum berakhir di antara kedua negara.
Bangkitnya Realis
Jika salah satu pendekatan realis adalah tentang dilema keamanan (security dilemma) dan memang pada era Perang Dingin negara dihantui oleh dilema ini yang kemudian implementasinya adalah negara-negara cenderung untuk beraliansi dengan dua kekuatan besar sebagai payung deffence. Konflik di Semenanjung Korea yang berlangsung hingga saat in bisa jadi salah satu contohnya yang kemudian menunjukkan kepada penstudi HI bahwa realis masih mengenggam kejayaannya.
“Jika mereka (Korsel) berani menyulut perang, kami akan menghancurkan mereka tanpa ampun”.
Itulah sekilas cuplikan pernyataan dari Komite Reunifikasi Damai Ibu Pertiwi Pyongyang, Korut pasca perudalan kapal selam Korsel Cheonan yang diduga oleh militer Korut di Laut Kuning pada 26 Maret lalu. Dengan adanya insiden di atas membawa konflik di masa lalu muncul kembali. Pihak Korsel merasa bahwa perbuatan militer Korut dengan merudal kapal selamnya merupakan sebuah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi. Korut memulai untuk menyulut sebuah peperangan dua Korea. Namun, pihak Korut tetap berkilah bahwa tindakan militernya tidak salah karena kapal selam Korsel sudah melewati batas kedaulatan laut yang ditentukan sehingga Korut merasa terancam dengan kedatangan kapal selam Cheonan tersebut. Tiga bulan setelah insiden itu, Korsel melakukan operasi latihan militer besar-besaran dengan bekerjasama dengan militer AS di perbatasan Laut Kuning. Korsel terus meningkatkan anggaran belanja militernya dan terus menciptakan serta mengembangkan alat utama sistem senjata (alutista). Korut pun tak mau kalah, pihaknya juga terus melakukan pengembangan Taepodong-nya. Konflik pun makin memanas, hingga berita terakhir yaitu perudalan pulau Yeonpyeong oleh Korut yang menewaskan 3 penduduk sipil dan melukai tentara serta menghacurkan 29 bangunan
Upaya Korsel dan Korut tersebut membawa kita kepada konsep security dilemma (dilema keamanan). Security Dilemma adalah suatu keadaan di mana negara merasa takut, curiga atas peningkatan aktivitas militer negara tetangga yang kemudian ditafsirkan sebagai sebuah ancaman. Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karenanya, menyebabkan negara yang tertekan tersebut membuat kebijakan untuk meningkatkan persenjataanya baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya. Seoul mencoba menekan dan menakuti pihak Pyongyang dengan menggelar latihan militer massal. Korut pun mencoba untuk mengimbangi Korsel dengan menggelar latihan militer massal pula dan terlebih Korut terus mengembangkan nuklirnya
Ternyata, dampak dilema kemanan tidak berhenti pada kedua Korea. Letak Korsel dan Korut yang langsung berbatasan dengan China membuat pihak Beijing juga kebakaran jenggot. Beijing merasa terancam pula dengan adanya peningkatan aktivitas militer kedua Korea. Kedaulatan negara China merasa terancam. Sesuai berita yang dilangsir Kompas pada hari Jum’at 6 Agustus 2010 diberitakan bahwa Beijing telah kembangkan rudal penghancur kapal induk Dong Feng DF-21D balisitik jarak menengah berhulu ledak konvensional . Untuk siapa? Ya, untuk mengatasi kekuatan kedua Korea jika suatu saat nanti perang akan meletus. Apalagi rudal Korut Taepodong-2 memiliki daya jangkau 4000-6000 km dengan efek ledakan mencapai 15000 km. Bahkan pihak AS mengklaim bahwa Taepodong-2 bisa mencapai daratan Alaska, AS. AS yang letaknuya sangat jauh saja bisa terjangkau, bagaimana dengan China yang langsung berbatasan darat dengan Korut. Memang konsep dilema kemanan ini merupakan sebuah konsep kekhawatiran. Jika ada suatu negara yang meningkatkan aktivitas militer dan menaikkan anggaran militernya maka secara tidak langsung negara tetangga akan merasa terancam. Selalu muncul pertanyaan-pertanyaan ketakutan. Mengapa negara itu meningkatkan aktivitas militernya?, untuk apa?, ditujukan kepada siapa?. Maka mau tidak mau negara tetangga harus mewaspadai dan bersiap siaga dengan ikut meningkatkan kegiatan militernya jika suatu saat serangan itu ditujukan kepadanya maka siap untuk beperang. Konflik Semenanjung Korea merupakan artefak Perang Dingin yang masih menunjukkan eksisnya hingga saat ini. Jika negara-negara sudah menunjukkan proses multipolaritasnya, namun Semenanjung Korea masih berkutat pada bipolaritasnya seperti pada saat Perang Dingin.

No comments:

Post a Comment