Tuesday, 28 December 2010

Realis Dipuja, Realis Dicerca

By : Triono Akhmad Munib

Realisme dan para kaum realis bisa tersenyum lega ketika bisa menjawab fenomena Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin. Asumsi-asumsi realis bisa menjelaskan fenomena di atas. Perang-perang tersebut menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya jahat dan tidak bisa hidup harmoni. Negara merupakan aktor pertama dan utama walaupun memang negara dipimpin seorang Presiden yang merupakan individu, namun kebijakan dibuat dan atas nama negara. Dan peserta perang adalah negara bukan individu. Kaum realis makin tersenyum lebar ketika perimbangan kekuatan dilakukan oleh negara-negara untuk upaya damai (saat Perang Dingin). Perimbangan kekuatan (balance of power) merupakan salah satu konsep utama dari penciptaan perdamaian oleh para kaum realis. Pada saat itu realisme dipuja bak seorang ksatria yang menyelamatkan kerajaannya dari serbuan musuh. Kaum realis semakin mengukuhkan bahwa realisme sebuah grand theory yang tak terbantahkan dan bisa menjawab segala fenomena internasional yang terjadi. Di sini para kaum liberalis gagal menjelaskan munculnya fenomena di atas.
Namun kaum realis menunjukkan kegelisahan dan kebingunannya pada saat diminta menjawab fenomena yang terjadi pasca Perang Dingin dan di sini kaum liberalis ganti tersenyum lega. Ada banyak pihak yang menggugat pandangan realis. Ada beberapa poin pertanyaan yang hendak diajukan para penggugat realis, antara lain:
1.Apakah benar manusia itu jahat dan tidak bisa bekerja sama sekali pun?
2.Dan apakah aktor utama selalu negara?
3.Apakah realisme sebuah teori yang ilmiah?
Di sini penulis akan menjawab satu peratu gugatan pertanyaan di atas. Pertanyaan pertama dan kedua muncul dari para kaum liberalis. Mereka menganggap realisme telah gagal menjawab fenomena hubungan internasional pasca Perang Dingin. Pasca Perang Dingin merupakan sebuah titik awal kebangkitan penstudi hubungan internasional beserta diskurus barunya. Semakin munculnya kerjsama regional maupun internasional yang berdasar pada ekonomi, sejarah, dan teritori menjelaskan bahwa manusia yang dalam hal ini dibungkus pada level negara-bangsa bisa bekerja sama dan hidup harmoni. Pada dasarnya manusia bisa menepis egonya untuk kepentingan bersama (collective interest). Bukan manusia yang anarki melainkan sistem internasional-lah yang mendorong manusia untuk bertindak jahat terhadap satu sama lain. Pada poin ini jelas realis kesulitan menjawabnya. Mengapa banyak kerja sama semakin bermunculan?. Mengapa perimbangan kekuatan menjadi tidak relevan seperti pada saat Perang Dingin di mana negara cenderung membentuk aliansi dengan negara-negara kuat untuk mengimbangi kekuatan musuh?. Sekali lagi, realis gagal
Kemudian mengarah kepada pertanyaan selanjutnya, apakah harus negara yang bisa mempengaruhi dan melakukan hubungan dengan negara lain?. Lagi dan lagi realis salah memprediksi. Semakin bermunculan aktor non-negara atau yang disebut sebagai aktor transnasional menjadi batu hambatan kaum realis. Faktanya, banyak perusahaaan multinasional yang bisa mempengaruhi hubungan antar negar, bisa menghilangkan kontrol negara, dan bahkan bisa menekan bargaining position negara. Tentu kita masih ingat tentang UU Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia. Sebelumnya pihak asing hanya boleh memiliki saham hanya 5%. Pihak asing merasa tidak puas dengan hanya mendapatkan 5% dari saham di Indonesia, melalui intervensi dalam perubahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1968, pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 49%. Seiring berjalannya waktu pihak asing semakin bebas menguasai Indonesia karena pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 95%. Di sini menunjukkan bahwa negara tidak lagi memiliki power untuk menentukan kehendaknya sendiri. Kuatnya lobi dengan dibungkus oleh perbaikan kesejahteraan (penyerapan tenaga kerja) oleh MNCs (Multinational Corporations) membuat sebuah negara, khusunya negara berkembang lagi-lagi meng-‘iya’ kan saja apa yang diinginkan MNCs. Dalam hal UU PMA yang seharusnya Indonesia yang merupakan aktor yang memiliki porsi lebih tinggi ternyata status ‘state’ tersebut pun juga tidak menjamin kuatnya power dalam hal bargaining position. Pemerintah Indonesia yang semestinya berhak mengontrol dan memanajemen segala bentuk investasi dengan regulasi-regulasi yang diciptakan ternyata menjadi powerless ketika dihadapkan dengan kuatnya lobi aktor transnasional dalam bentuk MNCs di atas.
Berlanjut kepertanyaan ketiga dan terakhir yang timbul dari para kosntruktivis. Mereka menanyakan kembali tentang konsep ke-ilmiahan realis. Masak sih realisme itu ilmiah?. Kaum konstruktivis tidak menyetujuinya. Poin penting dari suatu dikatakan ilmiah seperti ilmu eksak/alam adalah bebas nilai. Menurut kaum konstruktivis ilmu hubungan internasional yang berangkat dari ilmu sosial tidak ada yang bebas nilai. Sebuah teori ilmu sosial diciptakan selalu akan ada nilai/pengaruh dari pemikirnya karena di sini kita tidak melakukan sebuah eksperimen layaknya ilmu alam. Sehingga kebenaran ilmu sosial adalah terletak pada kesalahannya. Dan kebenaran ilmu sosial karena suara mayoritas meng-‘iya’ kan.
Dari penjelasan di atas realisme yang dulu dipuja-puja namun juga dicerca pada saat tidak bisa menjawab sebuah fenomena yang terjadi. Namun penulis berpendapat bahwa sebuah teori diciptakan bukan untuk menjatuhkan ataupun menghilangkan teori sebelumnya. Teori baru muncul dikarenakan memang teori yang sebelumnya kurang bisa menjelaskan perubahan fenomena yang terjadi. Memang teori diciptakan tidak bisa lepas dari ruang dan waktu saat itu. Teori dibuat untuk membantu kita membentuk sebuah kerangka berpikir sebelum menjelaskan sebuah fenomena yang terjadi, karena tanpa sebuah teori tak akan ada artinya kita memandang fenomena

No comments:

Post a Comment