By : Triono Akhmad Munib
Source : Noam Chomsky, Neo-imperialisme AS
Imperialisme secara gamblang bisa diartikan sebagai sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu.Namun, alangkah baiknya jika kita mengetahui sejarah munculnya imperialism. Berbicara tentang imperialisme sekilas teringat nama Cecil John Rhodes. Siapakah dia?. Dia adalah seorang pebisnis Inggris yang sempat membangun rel kereta api dan mendirikan negara Rhodesia atau yang dikenal sekarang dengan Zambia dan Zimbabwe. Satu hal yang perlu diketahui bahwa Rhodes ada seorang kolonialis sejati dan salah satu pendukung upaya imperialism Inggris di Afrika. Ia percaya bahwa sejatinya dunia ini akan membawa kesejahteraan dan berjalan lebih baik jika dipimpin oleh warga yang beradab seperti Barat. Kalimatnya demikian, “demi bintang di langitm dan dunia dunia luas di luar jangkauan, jika bisa aku pasti akan mendudukan planet lain”. Kalimat ini yang diyakini oleh Rudyard Kipling, seorang glorifikatif sebagai pemicu semangat munculnya imperialism
Tiga Fase Imperialisme
Bagi Lenin, imperialisme adalah tahapan terkin dari sebuah kapitalisme. Imperialisme menurutnya bisa lahir dari suatu krisis kapitalisme (modal) di dalam negara. Agar negara terbebas atau keluar dari krisis periodiknya, maka kapitalisme itu harus keluar untuk mencari pangsa pasar baru, melewati batas-batas negara untuk mencari bahan mentah yang lebih murah pastinya. Lenin memberikan lima cirri imperialism. Pertama, konsentrasi pasar baik konglomerasi maupun monopoli. Kedua, meleburnya kapital finans, industri, dan birokrasi. Ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi. Keempat, pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan multinasional (MNCs) dan transnasional (TNCs). Kelima, pembagian politik dunia oleh negara-negara maju
Pendapat Lenin di atas mendapat kritikan keras, terutama oleh Adam Smith. Menurutnya, imperialisme bukanlah suatu tahap melainkan lebih dipandang sebagai suatu yang inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang perjalanannya imperialisme telah melewati dua fase dan saat ini sedang memasuki fase ketiga
Fase pertama, terjadi pada masa eskpansi kapitalis Eropa Atlantis yang menghancurkan benua Amerika. Aktor dalam masa ini adalah Spanyol dan Inggris. Hasilnya adalah lenyapnya pribumi Amerika, yaitu Indian dan terjadinya Hispano-Kristenisasi serta genosida terhadap etnis Indian. Mungkin, kita ingat tentang tujuan penjajahan di masa lalu adalah 3G (Gold, Glory, Gospel). Salah satu dari 3G di atas adalah penyebaran agama dan pada fase pertama ini Spanyol dan Inggris menjajah Amerika dengan dalih agama yang memang ada hidden agenda didalamnya mengenai ‘memperadabkan dunia’.
Fase kedua, pada masa ini terjadi pada saat Revolusi Industri Inggris yang akhirnya berujung pada penaklukan Asia dan Afrika. Penaklukan ini bertujuan untuk mencari pasar baru bagi perdagangan Eropa. Rhodes lah yang berpendapat bahwa ekspansi pasar ke Afrikan akan mengembalikan iklim ekonomi Inggris. Fase kedua ini yang menjadi cikal bakal kesenjangan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh dunia hingga saat ini. Jika pada tahun 1800-an rasio ketidaksetaraan adalah 2 : 1, maka saat ini menjadi 60 : 1 dengan 20% penduduk dunia yang merasakan keuntunga. Sementara 80% lainnya hidup dalam ketidakpastian sosio-ekonomi. Yang menarik di sini adalah, walaupun negara-negara Asia dan Afrika semakin banyak yang merdeka. Namun, tidak lantas menghancurkan sistem imperialis itu sendiri. Para kekuatan imperialis tidak begitu sulit beradapatsi dengan keadaan baru ini. Mereka hanya mengubah sedikit pandangan tradsionalnya menjadi imperialisme baru tanpa koloni
Saat ini imperialism memasuki fase ketiga dengan ditandai oleh runtuhnya rejim Soviet dan komunisme Eropa Timur. Fase ini, berada pada sebuah jaman yang dicirikan oleh terjadinya persenyawaan yang halus antara menguatnya kekusaan ekonomi, korporasi, teknologi yang dibungkus dalam bentuk globalisasi. Pada masa ini, aktor imperialism berkembang menjadi tidak hanya negara-bangsa atau bisa dikatakan melampauinya. Dunia yang semakin terglobalisi membuat peran perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional serta munculnya masyarakat yang berbasis jaringan (social network) menjadi semakin meningkat. Sebagian memahaminya sebagai jaman post-imperialis. Sementara yang lain masih meneguhkan pendapatnya bahwa imperialisme masih tetap ada hanya saja berubah bentuk dan wajah
New Imperialism
Imperialisme pada dekade hemat penulis mengalami transformasi ke dalam bentuk baru. Jika dahulu secara nyata negara dijajah dan dieksploitasi SDA-nya untuk kepentingan pasar penjajah. Namun, di era dunia semakin terglobalisasi yang implementasinya menjadi “one dimensional man” bentuk penjajahan dan eksploitasi tersebut menjadi semakin halus dan “tak tampak”. Seyogyanya imperialisme adalah sama. Negara-negara, khususnya negara berkembang masih tetap menjadi daerah “jajahan”. Keuntungan pasti kembali kepada negara yang menjajah (negara maju). Sebuah contoh kasus adalah PT. Freeport Indonesia (FI). PT. FI adalah anak perusahan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, sebuah perusahaan emas tersbesar di dunia yang dimiliki AS. Keuntungan besar yang diperoleh dari hasil aktivitas produksi PT. FI tidak serta merta digunakan untuk reinvestasi dan proses alih
teknologi namun direpatriasikan ke negara asal (home country). Praktik-praktik seperti ini sangat merugikan Indonesia terutama posisi neraca pembayaran
Sebagai analisis adalah masalah keuntungan yang diperoleh PT. Freeport Indonesia. Seperti apa yang diungkapkan Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies bahwa kita (Indonesia) tak sampai mendapatkan setengah keuntungan dari aktivitas pertambangan PT. Freeport. Berdasarkan laporan keuangan Freeport pada 2008, total pendapatan Freeport adalah US$ 3,703 miliar dengan keuntungan US$ 1,415 miliar. Adapun penerimaan negara dari Freeport melalui pajak maupun royalti hanya US$ 725 juta. Bisa dilihat bahwa penerimaan negara lebih kecil daripada Freeport. Bila ditarik hingga lima tahun ke belakang, periode 2008-2004, Freeport menerima total pendapatan US$ 17,893 miliar. Bila diasumsikan pengeluaran biaya operasi dan pajak 50 persen, maka total penerimaan bersih Freeport adalah US$ 8,964 miliar. Sementara itu total pendapatan negara dalam kurun waktu 2004-2008 lewat royalti mencapai US$ 4,411 miliar.
Dari penjelasan di atas. PT. FI menurut penulis tetap saja merupakan sebuah imperialisme, hanya saja berubah bentuknya. Jika dulu secara blak-blakan negara dihisap, PT. FI juga tak jauh berbeda. Mereka sebenarnya mengeksploitasi SDA Indonesia. Indonesia yang seharusnya mendapatkan jatah lebih banyak dari penjualan emas, namun faktanya hanya sedikit persen yang masuk ke pendapatan negara sisanya kembali kepada AS. PT. Dengan iming-iming penyediaan lapangan kerja sehingga seolah PT. FI merupakan sebuah perusahaan “murni” yang lepas dari nilai imperialis. Tetapi sejatinya adalah agen imperialisme. Dampak kehadiran PT. FI di Papua pun beragam, mulai dari lingkungan hingga sosial. Pada sektor lingkungan berapa juta hektar lahan rusak akibat eksploitasi, yang implementasinya bencana longsor kerap terjadi. Tentu kita ingat longsor di tahun 2008 yang menewaskan 19 orang dan di tahun 2010 yang menewaskan sedikitnya 13 orang. Belum lagi limbah yang sering membuat masyarakat Timika, Papua sulit mendapatkan akses air besih. Kemudian dampak sosial yang ditimbulkan adalah di Papua hingga saat ini gerakan massa yang menuntut hak mereka atas PT. FI masih terus berlanjut, kerap terjadi bentrok dengan aparat yang kerap pula memakan korban.
Masyarakat AS sejatinya tahu bahwa imperialisme yang dilakukan negaranya kerap membuat kerusakan di sebuah negara. Namun mengapa mereka hanya “diam” saja?. Mengapa imperialisme bisa mendapatkan tempat dan legitimasi di mata masyarakat AS?.
Aparatus Ideologis : Tonggak Imperialisme AS
Imperialisme di luar negeri tidak akan bisa bertahan (survive) apalagi dikukuhkan dalam jangka waktu yang lama tanpa adanya pengkuhuan terlebih dahulu di dalam negeri dengan membentuk pikiran publik dan represi aktif. Althusser menyebutnya sebagai apparatus ideologi negara (Ideological State Aparatusses). Hal ini juga diterapkan oleh AS melalui sistem pendidikannya dan manipulasi media massa
•Pendidikan Doktriner
Jalur pertama yang dilakukan AS adalah melalui pendidikan. Hal ini dilakukan bersamaan dengan semakin menjamurnya gerakan-gerakan yang menentang imperialism, menutut hak sosio-politik pada era 60-70an. Upaya untuk membendung itu semua, pemerintah AS sempat mendirikan Komisi Trilateral yang fungsinya untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi munculnya pemikiran yang mandiri dan kritis. Dengan demikian sekolah (pendidikan) memainkan peranan yang sangat vital sebagai sistem kontrol dan koersi. AS sebagai kampiun demokrasi sempat membuat Chomsky menyimpulkan bahwa pada dasarnya AS sendiri jauh dari demokrasi.
“Jauh dari pendidikan demokratik , apa yang sesungguhnya kita (AS) miliki ialah suatu model yang kolonial yang dipercanggih yang dirancang terutama untuk mendidik guru-guru dengan cara-cara di mana dimensi intelektual pengajaran seringkali diabaikan. Tujuan utama dari pendidikan kolonial ini adalah untuk melenyapkan ketrampilan guru-guru dan siswanya dan mebuat mereka semakin pandai mengikuti secara otomatis prosedur labirin dan teknik”
Seyogyanya hakikat pendidikan adalah bukan untuk menanamkan kepatuhan, melainkan untuk membuat masyarakat dalam kondisi yang merdeka, kesetaraan bersama. Ada dua hal yang menjadi analisa utama pendidikan AS. Pertama, kalangan kelas menengah terdidik AS tidak membiasakan dirinya dengan model pendidikan kritis yang berupaya membongkar segala macam kekuasaan dan hegemoni. Hemat penulis, model sistem pendidikan AS memang dirancang tidak untuk membangun jiwa kritis masyarakat. Kedua, sebagai akibatnya, AS menjelmakan dirinya sendiri sebagai sebuah negara imperialis utama yang berhak untuk mendikte, mendisiplinkan dan ‘memperadabkan negara lain
•Manipulasi Media
Dalam sistem trias politica yang menjadi dasar kekuatan sebuah pemerintahan, yaitu ekskutif, legislatif, dan judikatif mungkin bisa dikatakan kurang jika dibenturkan dengan dunia yang semakin modern dalam berbagai bidang. Peran media menjadi penting saat ini. Media yang berfungsi sebagai pembentuk opini publik perlu pula ditambahkan ke dalam tiga pilar di atas menjadi ekskutif, legislatif, judikatif, dan media. Cara inilah yang dipakai AS untuk bisa melanggengkan imperialisnya. Kontrol dan penguasaan atas sumber informasi, media diyakini merupakan elemen kekuasaan yang sangat berpengaruh. Di AS, penguasaan atas aparatus ideologis itu beriringan dengan penguasaan terhadap sumber informasi dan media massa. Hasilnya adalah rekayasa fenomena oleh media-media besar
Suatu contoh kasus Sandinista, Chomsky menggambarkan rejim Sandinista sebagai pemerintahan yang sedang mengerjakan pembaharuan pembangunan yang unik dan alternatif. Chomsky menambahkan bahwa rejim Sandinista adalah sebuah rejim yang menggunakan sumber daya mereka yang terbatas untuk rakyat miskin. Inilah mengapa angka melek huruf meningkat. Inilah mengapa angka kesehatan juga meningkat. Inilah mengapa reformasi agrarian berjalan serta konsumsi bahan pangan dan subsistensi pangan Nikaragua juga meningkat
Namun, analisa Chomsky di atas berbalik 180 derajat dengan gambaran pemerintah AS dan media massanya. AS melalui media massanya sebagai sumber publikasi menggambarkan rejim Sandinista sebgai rejim teroris yang berkerjasama dan M-19 di Kolombia. Pemerintahan Regan saat itu merespon dengan mendukung gerakan kontra terorisme menggulingkan pemerintahan Kiri. Untuk mendapatkan dukungan publik, AS melalui media massa terkenal Times menyatakan bahwa pemerintah AS mestinya mengambil tindakan terhadap “pelanggaran moral Sandinista” demi memajukan demokrasi di Nikaragua yang komunis dan totaliter. Hasilnya, semakin munculnya tentara-tentara kontra terror yang didukung dan dibiayai AS untuk melawan pemerintahan Nikaragua. Sebuah kasus lain adalah manipulasi oleh New York Times yang menggambarkan Israel sebagai “simbol kebaikan manusia”. Padahal di sisi lain pendudukan dan kekerasan atas Palestina merupakan tindakan keji dan tidak manusiawi.
Praktek semacam inilah sering dilakukan AS untuk mencampurkadukkan antara fakta dan kebohogan. Semakin kabur batas antara realita dan kebohongan, menjadi semakin kabur batas antara kawan dan musuh. Inilah mengapa imperialisme yang buruk bisa mendapat pengukuhan di mata masyarakat, termasuk kasus PT. FI di atas. BANGKITLAH INDONESIAKU!
No comments:
Post a Comment