Thursday 3 February 2011

Dilemma Demokrasi AS

By : Triono Akhmad Munib

Amerika Serikat (AS) memanglah negara yang menyandang gelar kampiun demokrasi. Sehingga implementasinya AS mentransformasikan dirinya menjadi negara yang menghargai kebebasan, HAM, dan pemerintahan yang non-otoriter. Tetapi ketika nilai dari demokrasi tersebut bergaung di negara Arab, AS pun tampak “kelabakan”. Aksi massa Tunisia hingga Jordania untuk menutuntut kebebasan dan penolakan pemerintahan yang otoriter membuat AS bak macan ompong. Bagaimana tidak, disaat AS ingin melanggengkan rezim Mubarak yang otoriter, pengekangan kebebasan, dan pelanggaran HAM. Di sisi lain, AS diwajibkan mendukung aksi demonstrasi massa yang menjujung nilai-nilai demokrasi termasuk nilai kebebasan. Jika aksi massa di Mesir berhasil menuai kesuksesan seperti di Tunisia degan menggulingkan Presiden Ben Ali, bukan tidak mungkin AS akan kehilangan satu “teman” di negara-negara Arab. Husni Mubarak yang menjabat selama 32 tahun merupakan sosok pemimpin yang pro-Barat (AS). Mesir merupakan sekutu AS paling penting. Di bawah rezim Anwar Sadat, Mesir merupakan negara Arab pertama yang mau meratifikasi Perjanjian Camp David dengan Israel di tahun 1979. Dengan penandatanganan perjanjian di atas AS menjadi sedikit lega, karena sekutu utamanya Israel paling tidak mendapatkan “teman” di kawasan Timur Tengah. Namun, jika nantinya Mubarak lengser, hal yang ditakutkan AS adalah naiknya pemimpin dari gerakan oposisi Ikhwanul Muslimin yang jelas anti-Israel dan pastinya juga sangat anti-AS. Siapa lagi yang akan “meng-amini” keinginan AS di kawasan Timur Tengah?. Siapa lagi yang akan pro kepada Israel?. Ini adalah perjuangan mati-matian AS untuk menjaga stabilitas Timur Tengah melalui Mesir. Namun, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah dilema kampiun demokrasinya
Israel Pun Panik
Kepanikan akan jatuhnya Mubarak, tak hanya dirasakan oleh AS. Israel pun demikian. Menurut berita yang dilansir Kompas edisi Selasa 1 Februari 2011, Israel bersiap menggeser operasi militernya ke kawasan Selatan yang berbatasan dengan Mesir. Seperti apa yang dijelaskan di atas, Mesir merupakan salah satu sekutu Israel di Timur Tengah. Selain terikat Perjanjian Camp David, Mesir turut pula membantu menekan Hamas di perbatasan Gaza, mendukung proses perdamaian Israel-Palestina, ikut menghalangi ambisi Iran, serta memasok 40 persen kebutuhan gas alam kepada Israel. Mesir memiliki posisi geopolitik yang cukup penting dimata Israel. Tidak aka nada negara Arab yang akan perang melawan Israel tanpa melibatkan Mesir. Apabila rezim Mubarak runtuh Perjanjian Camp David tak ayal hanya akan menjadi sebuah kertas tak bermakna. Perdamaian akan rusak. Hemat penulis, Perjanjian Camp David hanya akan memiliki kekuatan bagi pemimpin yang menjadi sekutunya, termasuk Husni Mubarak.
Ketika sebuah negara telah lama menjadi teman, namun berbalik menjadi musuh. Bukan tidak mungkin segala kebaikan pada saat berteman tak akan bisa didapatkannya lagi. Wajar sudah, jika Israel pun menjadi panik tak karuan.

No comments:

Post a Comment