By : Triono Akhmad Munib
The world was had been changed post cold-war. State attitude and
the issue was also changed
Kutipan di atas merupakan sedikit cuplikan hipotesa penulis memaknai perubahan isu global dewasa ini. Setiap fenomena bisa dikatakan sebagai sebuah isu apabila fenomena itu paling tidak memenuhi kriteria di bawah ini[1] :
1.Fenomena tersebut merebut atau menjadi perhatian para elit pembuat kebijakan dari berbagai negara atau negara-negara yang terlibat dalam perdebatan isu tersebut
2.Fenomena tersebut secara terus menerus terliput oleh media massa dunia.
3.Fenomena tersebut secara terus menerus menjadi objek studi, penelitian, dan perdebatan para ilmuwan, professional, dan para pakar dalam masyarakat internasional.
4.Fenomena tersebut muncul sebagai agenda dalam organisasi internasional
Terkait dengan tema yang akan ditelaah lebih lanjut oleh penulis mengenai perkembangan isu global. Perlulah di sini kita membandingkan isu-isu yang berlangsung di masa lalu dan kontemporer
Perang Dunia hingga Perang Dingin
Di era Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), dan Perang Dingin (1947-1991) keamanan negara menjadi sebuah hal yang sangat diagung-agungkan pada saat itu. Keamanan negara memenuhi agenda pembuatan kebijakan oleh para elit. Setiap berita yang muncul di media massa tak lain adalah masalah aktivitas militer dan tingkah laku militer negara. Ketika sebuah negara ingin mengamankan kedaulatannya sehingga implementasinya pasti ia meningkatkan aktivitas, pendanan maupun inovasi dalam bidang militer. Parahnya, negara tetangga dan akhirnya diikuti oleh negara lain pun melakukan hal yang sama. Si vis pacem, para bellum. Istilah inilah yang menghantui negara-bangsa di era itu yang artinya jika Anda ingin mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah untuk berperang.
Tak ada hal lain yang penting selain mengamankan sebuah negara. Walaupun mengorbankan sektor lain, bahkan rakyatnya sendiri. Semua warga diwajibkan militer dan siap mati demi negara. Dan membunuh adalah hal yang halal dalam perang. Penghargaan atas Hak Asasi Manusia (HAM) mungkin masih belum populer. Dengan semakin seringnya isu keamanan muncul di media. Memenuhi agenda dalam setiap pembuatan kebijakan oleh elit politik. Kosep keamanan negara telah menjadi sebuah isu global di masa itu. Sehingga menurut penulis, di era ini konsep keamanan dan perang merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh negara untuk mencapai tujuannya. Namun, dalam perkembangannya isu menjadi semakin kompleks. Perang bukan lagi sebuah mean bagi state untuk mencapai tujuan
The End of Cold War
Berakhirnya Perang Dingin merupakan titik dunia hubungan internasional beserta diskursus barunya. Pasca Perang Dingin bisa dilihat benar-benar dunia internasional menunjukkan gairahnya yang tak lagi memfokuskan dirinya pada perang dan keamanan. Ini tak lain juga karena semakin munculnya aktor-aktor baru yang tak lagi didominasi oleh state. Dinamika masyarakat pun semakin kompleks dengan membawa serentetan fenomena baru. Masalah-masalah yang dihadapi di era yang semakin canggih dan modern membuat para elit pembuat kebijakan diharuskan sedikit mengeyampingkan agenda militernya. Dahulu keamanan sebuah negara diukur oleh kuatnya militer mereka. Konsep keamanan pun semakin luas dan meliputi banyak hal. Serangan musuh di era ini tidak bisa diterjemahkan secara sederhana lagi seperti di masa Perang Dunia. Di mana, musuh secara jelas membombardir negara. Namun, semakin canggihnya teknologi informasi serangan musuh bisa berasal dari dunia maya (cyber attack). Sedikit mengingat berita bocornya kawat dan informasi diplomatik AS oleh WikiLeaks beberapa bulan lalu. WikiLeaks bukanlah sebuah entitas state. Dia adalah sebuah website dan dikelola orang perseorangan. Tetapi betapa dahsyatnya aktor non-state itu mengancam keamanan negara adidaya sebesar AS. Timbul pertanyaan, apakah AS akan membalas WikiLeaks dengan militer?. Atau membombardir?. Menyatakan perang dengan WikiLeaks?. Tentu tidak, ini adalah dunia maya. Yang harus dilakukan AS adalah bagaimana bisa menghentikan server provider website tersebut bukan dengan militer, melainkan harus bekerjasama dengan para hacker
Perdagangan Organ
Perdagangan organ tubuh manusia sekarang udah jadi isu keamanan non-tradisional yang sangat penting dan mengundang perhatian dari seluruh negara di dunia. Berdasarkan pengamatan World Health Organization (WHO), pencarian organ tubuh di dunia semakin meningkat. Dikarenakan semakin banyak orang yang terkena penyakit ginjal sementara ginjal yang tersedia terbatas. Bahkan, pada tahun 2005, hanya 10% kebutuhan ginjal dunia yang dapat dipenuhi. Akibatnya, perdagangan ginjal secara illegal pun semakin marak di dunia. Nancy Scheper-Hughes, pendiri Organs Watch, mengatakan bahwa berdasarkan perkiraan konservatif yang ditemukan, angka perdagangan ginjal adalah sebesar 15.000 per tahun. Dalam penelitian ini, disebutkan bahwa China, Israel, Mesir, Afrika Selatan, Indonesia, India, Filipina, Pakistan, Israel, dan Irak adalah negara-negara yang banyak memperdagangkan organ tubuh manusia. Di China, pemerintahnya memilih untuk lebih banyak menggunakan organ-organ tubuh para pejuang Falun Gong guna dijual bebas kepada pihak yang membutuhkan organ tubuh secara cepat. Bukan hanya ginjal saja, namun juga kornea mata, hati, dan organ-organ lain[2].
Israel pun juga kerap menggunakan organ-organ tubuh para pejuang Palestina untuk dijual[3]. Sementara itu, di India, banyak orang menggunakan ginjal mereka sebagai penebus hutang terhadap rentenir. Ginjal tersebut kemudian dijual kepada orang-orang kaya di Sri Lanka, Bangladesh, negara-negara Teluk, Inggris, dan AS[4]. Permasalahan ini tentu saja membuat gerah banyak pihak -termasuk juga WHO.
Selama ini, kita mepersepsikan keamanan biasanya ditangani dalam konteks hubungan antar negara, yaitu buat ngejaga dan ngelindungi keamanan sesuatu negara dari ancaman (khususnya ancaman militer) yang datang dari negara lain (ini yang dinamakan Keamanan Tradisional). Namun, dengan munculnya kesadaran bahwa ancaman keamanan datangnya tidak hanya dari negara (tapi ada yang berasal dari isu-isu lain yang sifatnya non-militer), maka konsep keamanan yang bersifat militer pun bergeser jadi konsep keamanan yang lebih luas (kejahatan transnasional, terrorisme, perdagangan obat-obatan terlarang, lingkungan, pelanggaran HAM, dsb). Inilah yang kemudian disebut sebagai Keamanan Non Tradisional. Awalnya, isu perdagangan organ tubuh manusia ini bukan isu keamanan yang bersifat global. Naumn, dengan semakin meningkatnya pengaruh globalisasi, semakin cepatnya arus informasi, serta semakin berkembangnya teknologi, masalah ini kemudian mencuat dan menarik perhatian dunia.
Di atas adalah sedikit contoh semakin berkembangnya isu dewasa ini. Dimulai dengan pembukaan pasca Perang Dingin. Sekali lagi, penulis menanyakan kembali. Apakah perdagangan organ yang sudah menjadi sebuah isu global, negara akan menghadapinya dengan militer atau perang?
Referensi :
[1]DR. Anak Agung Banyu Perwita, dan DR. Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, hal. 135.
[2]http://dunia.vivanews.com/news/read/85587_terungkap__cangkok_organ_tubuh_milik_penjahat
[3]http://www.suaramedia.com/berita-dunia/timur-tengah/9886-perampok-mayat-profesi-baru-tentara-zionis.html
[4]Berdasarkan penelitian dari Lawrence Cohen, professor antropologi di UC Berkeley
No comments:
Post a Comment