Friday, 11 February 2011

"Bhinneka" Sudah Tidak "Tunggal Ika"

By : Triono Akhmad Munib

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928


Semua orang yang mengaku bangsa Indonesia pasti paham betul teks di atas. Sedikit mengingatkan kembali tentang teks Sumpah Pemuda yang menjadi titik puncak persatuan bangsa ini. Bangsa ini dibentuk dengan berbagai macam suku, budaya, kepercayaan, etnis. Sehingga keberagaman itu menjadikan Indonesia menjadi negara yang unik di mata dunia. Teks Sumpah Pemuda di atas merupakan sebuah tekad dari keberagaman masyarakat yang ingin bersatu, membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kesatuan. Dan implementasinya, muncul semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda (etnis, suku, kepercayan, kelompok, budaya, dsb) tetapi tetap satu kesatuan. Namun, dengan serentetan berita yang terjadi di negara kita akhir-akhir ini. Masihkah kita percaya kepada “Bhinneka Tunggal Ika”?
Banyak sekali fenomena-fenomena di negeri ini yang menunjukkan bahwa segala perbedaan tidak malah memperkuat dan menyatukan bangsa ini. Kita ambil saja kasus yang bisa dikatakan masih ‘hot’ saat ini, yaitu penyerangan jamaah Ahmadiyah di Pandeglang, Banten yang memakan korban tewas dan perusakan tempat peribadatan. Kasus ini menunjukkan bahwa konsep tentang “Bhinneka Tunggal Ika” hanya benar di atas kertas, namun tidak bisa berlaku sepenuhnya dilapangan. Masyarakat cenderung tidak toleran terhadap perbedaan, apalagi menyangkut agama maupun kepercayaan. Perbedaan itu malah tidak menjadikan bangsa ini menjadi satu, namun malah membuatnya semakin terkotak-kotak dan terpecah belah. Di manakah letak persatuan atas dasar keberagaman itu?. Para founding fathers kita sudah susah payah membentuk sebuah dasar negara yang bisa mencakup seluruh kepentingan masyarakat yang berbeda-beda ini, namun kita malah tidak bisa memaknainya. Penulis ingin menekankan kembali bahwa negara ini dibentuk atas dasar perbedaan yang kemudian menjadi sebuah kesatuan. Apakah “Bhinneka” itu sudah hanya menjadi konsep belaka?. Apakah “Bhinneka” itu sudah tidak “Tunggal Ika”?

Diambang Negara Gagal
Tahun ini akan menjadi periode yang berat bagi pemerintahan SBY. Kerusuhan terjadi di mana-mana, kemiskinan tak kunjung turun, maraknya kekerasan, gizi buruk, kecelakaan transportasi, pengangguran dan sebagainya yang menjadi berita sehari-hari di media massa. Maybe it is early to tell that Indonesia has entered a failed state. Terlau dini memang mengatakan bahwa Indonesia saat ini memasuki era negara gagal. Karena memang ada kriteria-kriteria sebuah negara dikatakan gagal. Terdapat 12 indikator yang melambangkan kelemahan sebuah negara mencakup sektor sosial (tekanan demografis, pengungsian, keluhan oleh kelompok, human flight), politik (kriminalisasi/legitimasi negara, pelayanan publik, HAM, aparat keamanan, faksionalisasi elit, serta intervensi internasional), ekonomi (pembangunan yang tidak merata, dan penurunan ekonomi), dan militer.
Sebuah negara gagal akan terasa tidak ada lagi jaminan keamanan orang merasa tidak aman dan tidak nyaman dan ingin mengungsi ke negeri orang. Kasus perusakan tempat-tempat ibadah merupakan salah satu hal yang khas bagi negara gagal. Pemerintah seakan-akan tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan pokok, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan bahan kebutuhan pokok (gas, minyak, kenaikan harga bahan pokok seperti yang terjadi belakangan ini di Indonesia). Infrastruktur semakin tidak efektif lagi. Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi itu, seperti DPR, DPRD, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan anggota kabinet. Di negara-negara gagal sebenarnya justru negara itu bersekongkol dengan para preman, mafia, dan teroris. Bentrokan-bentrokan horizontal di antara kelompok etnisitas yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hal itu menunjukkan ketidakberdayaan aparat negara. Kehilangan kepercayaan masyarakat yang merata dan menyeluruh.
Apakah Indonesia termasuk dalam negara gagal?. Setidaknya Indonesia masih belum mengarah ke sana. Tetapi menurut penulis, pemerintah harus segera mencari jalan keluar dan membenahi struktur pemerintahannya untuk menjawab fenomena-fenomena yang terjadi. Setidaknya, kasus-kasus yang terjadi saat ini entah menyangkut dimensi sosial, politik, budaya, hukum, agama dan lain sebagainya memberikan sebuah indikator kepada kita bahwa Indonesia diambang negara gagal. Jika pemerintah tak segera berbenah bukan tidak mungkin ekspektasi di atas menjadi kenyataan. Indonesia menjadi negara gagal.

No comments:

Post a Comment