By : Triono Akhmad Munib
Perdagangan bebas berangkat dari keinginan untuk menghilangkan kemiskinan dengan cara membuat negara-negara bisa mendapatkan produk yang lebih murah, sementara pada saat bersamaan, negara-negara miskin bisa meningkatkan pendapatan orang-orang miskinnya, terutama petani, peternak, nelayan, dan petambak kecil, dengan cara melakukan ekspor ke negara-negara maju.
Cita-cita yang ideal itu, saat ini, ternyata tidak menguntungkan negara-negara miskin. Terjadi ketidakpuasan di mana-mana. Demonstrasi besar di Seattle, Amerika Serikat (AS), beberapa tahun lalu terhadap negara-negara kaya, adalah salah satu bukti ketidakadilan itu.
Subsidi terhadap petani di negara-negara kaya menyebabkan hasil pertanian di negara-negara berkembang tampak seperti seolah-olah dihasilkan dengan cara tidak efisien. Hambatan impor produk pertanian primer oleh negara kaya atas produk pertanian negara berkembang dalam bentuk nontarif, misalnya melalui standar kesehatan, menyebabkan petani negara miskin tidak bisa menjual produknya.
Selain ketidakadilan yang sangat nyata di dalam liberalisasi perdagangan tersebut, ada hal lain yang sebenarnya jauh lebih merugikan negara-negara miskin. Seolah-olah akses pasar yang lebih besar untuk negara-negara berkembang akan menguntungkan negara-negara ini, tetapi pada kenyataannya justru mereka lebih banyak mengalami kerugian. Dampak lebih jauh dari pilihan komoditas tersebut adalah beralihnya petani ke produksi komoditas ekspor tersebut dan meninggalkan tanaman pangan yang sebenarnya penting untuk ketahanan pangan lokal.
No comments:
Post a Comment