By : Triono Akhmad Munib
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan Internasional (HI) dan diplomasi mempunyai kaitan yang sangat erat. Diplomasi dewasa ini merupakan salah satu instrument yang penting oleh negara-negara dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lainnya. Hubungan baik kedua negara biasanya ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik, di mana kedua negara saling mengutus perwakilannya (duta besar) untuk ditempatkan di negara lain.
Hubungan antara RI (Republik Indonesia) dan Australia sejak peristiwa Balibo pada tanggal 16 Oktober 1975 hingga saat ini selalu mengalami pasang surut. Peristiwa terbunuhnya lima wartawan Australia yang sedang meliput berita di Timor Timur, mengakibatkan turunnya citra Indonesia di mata dunia internasional. Selain itu juga berdampak dengan menurunnya kepercayaan publik Australia terhadap pemerintahan RI.
Yang disebutkan di atas hanyanlah sebagian dampak kecil. Dampak yang sampai saat ini kita rasakan adalah lepasnya provinsi RI ke-27 yakni Timor Timur. Semenjak peristiwa Balibo, pemerintahan Australia mendukung upaya Timor Timur untuk lepas dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Tentu lepasnya Timor Timur tidak terjadi secara spontan. RI terus melakukan diplomasi bilateral dengan pemerintahan Australia, untuk mempertahankan Timor Timur. Tetapi apa daya dari hasil referendum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur telah menentukan nasibnya sendiri untuk ,menjadi negara yang berdaulat dengan presiden pertamanya Xanana Gusmao.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mempunyai beberapa rumusan masalah yang akan dibahas, antara lain :
1.Bagaimana peran diplomasi RI dengan Australia sehingga mengakibatkan lepasnya Timor Timur?
2.Siapa saja aktor-aktor yang berperan dalam diplomasi antara pihak RI dengan Australia?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, diantaranya :
1.Untuk mengetahui bagaimana peran diplomasi RI dengan Australia sehingga mengakibatkan lepasnya Timor Timur.
2.Untuk mengetahi siapa saja aktor-aktor yang berperan dalam diplomasi antara pihak RI dengan Australia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Diplomasi Bilateral
Diplomasi bilateral terdiri dua suku kata, yaitu diplomasi dan bilateral. Arti diplomasi adalah sebagai aplikasi intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan antara pemerintahan yang berdaulat.
Sedangkan bilateral adalah hubungan yang melibatkan dua negara. Jadi bisa disimpulkan bahwa diplomasi bilateral adalah sebagai aplikasi intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan antara pemerintahan yang berdaulat yang hanya melibatkan dua negara saja.
2.2 Diplomasi Republik Indonesia-Australia
2.2.1 Peran Departemen Luar Negeri (DEPLU)
Peran kuat militer di Deplu dilakukan melalui penguasaan jabatan-jabatan strategis dalam struktur organisasi. Konsep dwifungsi diterapkan dalam tubuh Deplu melalui penunjukan pesonel-personel militer pada posisi-posisi penting seperti Inspektur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Dirjen Hubungan Sosial, Budaya dan Penerangan (Hubsosbudpen), Direktur Asia-Pasifik, dan lain-lain.
Di sini, walaupun ada Menteri Luar Negeri, yaitu Adam Malik tapi Deplu di bawah kepemimpinannya tersebut tetap bukan merupakan institusi penting dalam sistem politik Orde Baru. Posisi Menteri Luar Negeri di sini hanya untuk kebijakan domestik saja, kebijakan yang berhubngan dengan politik luar negeri lebih banyak ditangani pleh pejabat militer
Diplomasi Indonesia juga ditandai oleh dominasi Presiden . Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatannya menangani politik luar negeri dan diplomasi tingkat tinggi. Deplu kemudian hanya berperan sebagai departemen teknis yang menangani masalah-masalah rutin yang tidak signifikan. Untuk masalah-masalah yang berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan personil militer, Deplu semata-mata berperan sebagai agen hubungan masyarakat yang harus menjelaskan kepada dunia internasional alasan dan justifikasinya
2.2.2 Strategi dan Taktik Diplomasi Deplu
Secara umum, Deplu tidak menerapkan taktik dan strategi khusus untuk menangani diplomasi Timor Timur. Tidak adanya taktik dan strategi tersebut terkait dengan persepsi pemerintah Indonesia yang tidak menganggap kasus Timor Timur sebagai isu penting meskipun pada kenyataannya sangat mempengaruhi hubungan dengan negara-negara lain. Pemerintah Indonesia menganggap segala permasalahan. kejadian, dan kebijakannya merupakan masalah domestik dan campur tangan pihak luar dianggap sebagai bentuk intervensi asing.
Rusaknya hubungan Indonesia dengan mesia massa Australia terutama sejak terjadinya peristiwa Balibo 1975, ketika pemerintah Indonesia dianggap bertanggung jawab atas meninggalnya lima wartawan Australia.
Sehingga ini menyebabkan ketidakpercayaan publik Australia terhadap pemerintah Indonesia yang berimplikasi pada lemahnya dukungan publik Australia terhadap Indonesia. Di sini, setiap isu negatif yang mencontreng citra dan reputasi Indonesia justru menjadi komoditas utama berita di media massa Australia.
Selain itu, peran dominan politik militer dan birokrasi yang membuat diplomasi Indonesia mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi terutama untuk memenangkan opini publik internasional.
2.2.3 Kendala-Kendala Internal Deplu
Masalah-masalah organisasional di dalam tubuh Deplu juga berpengaruh terhadap diplomasi. Deplu memiliki beberapa kelemahan dalam proses rekrutmen diplomat karir dan penunjukkan diplomat non-karir. Kelemahan tersebut persyaratan bagi pejabat-pejabat militer dari luar Deplu untuk mencapai posisi sebagai Duta Besar. Seorang Duta Besar dan Konsul Jenderal dengan latar belakang militer lebih banyak ditunjuk atas pertimbangan politis daripada kualitas dan prestasi. Meskipun terdapat sejumlah kecil pejabat militer yang berhasil dalam menjalakannya tugasnya sebagai Duta Besar, dalam banyak kasus prestasi mereka tidak signifikan. Petunjuk politis juga mengurangi bobot dan profesionalisme seorang Duta Besar dan dalam beberapa kasus, diplomat militer cenderung lebih mewakili kepentingan Dephankam daripada Deplu
Selain itu, pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) menyebabkan informasi internal hanya dimiliki segelintir petinggi inteljen dan militer. Tertutupnya informasi juga merupakan upaya ABRI untuk melindungi para anggotanya yang terlibat dalam berbagai pelanggaran. Pembatasan informasi sangat terlibat dalam berbagai pelanggaran. Pembatasan informasi sangat terasa ketika terjadi peristiwa Santa Cruz di Dili tanggal 11 November 1991. Peristiwa ini berawal dari demonstrasi menuju pekuburan Santa Cruz untuk menghormati seorang demonstran yang tertembak satu minggu sebelumnya. Dalam perjelanannya, sejumlah anggota ABRI melepaskan tembakan kepada para demonstran tembakan kepada para demonstran, sehingga menyebabkan sekitar 100 orang meninggal dunia dan sejumlah besar korban luka-luka
2.3 Aktor-Aktor Diplomasi Indonesia
2.3.1 Militer (ABRI)
Peran militer terlihat dominan sepanjang masa integrasi Timor Timur dengan Indonesia . Hubungan militer dengan Deplu yang tidak harmonis seringkali merugikan bagi kepentingan diplomasi Indonesia. Kepentingan ABRI mempertahankan keamanan Timor Timur telah member kewenangan yang besar untuk menempuh segala cara, termasuk mengabaikan hak asasi manusia. Aktivitas-aktivitas politik rakyat Timor-Timur yang bertujuan kemerdekaan, bertentangan tujuan ABRI mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Salah satu cara yang diterapkan adalah memberlakukan sensor yang ketat terhadap segala bentuk aktivitas penyebaran informasi dari dan ke Timor Timur. ABRI hanya meneruskan informasi-informasi yang sifatnya tidak substansial dan rutin kepada pemerintah. Serta media massa nasional. Kebijakan ini bertentangan dengan tujuan Deplu untuk mempertahankan citra pemerintah yang menghormati hak asasi manusia
Insiden Balibo dan Santa Cruz telah menunjukkan kegagalan Deplu memperoleh informasi yang diperlukan dari TNI dan badan-badan inteljen. Keterbatasan ini menyebabkan terhambatnya aktivitas-aktivitas diplomasi dan upaya-upaya penyebaran informasi yang akurat dan tepat kepada masyarakat internasional, selain menimbulkan kesalahpahaman dan menurunkan citra Deplu sebagai agen informasi dan komunikasi internasional. Meskipun ketika menghadapi peristiwa ini pemerintah Australia menyadari peran Deplu yang tidak memiliki informasi mengenai keberadaan jurnalis Australia yang meninggal di Balibo, akan tetapi secara formal-prosedural, Kedutaan Australia mengajukan pertanyaan kepada Deplu
2.3.2 Intervensi Presiden
Pada masa orde baru, Presiden Soeharto (1966-1999) berperan sebagai aktor utama dalam merancang kebijakan dalam maupun luar negeri Indonesia. Pada dua dekade awal orde baru, kebijakan Soeharto dan ABRI sulit dipisahkan. Kekuasaan Soeharto diperoleh karena dukungan ABRI dan kenyataan bahwa ABRI bersatu di bawah komandonya. Panglima ABRI cenderung menghindari cara-cara langsung untuk menyatakan ketidakpuasan terhadap distribusi kekuasaan. selain itu, jika pendapat Soeharto bertentangan dengan militer, autoritasnya sebagai Presiden dan Penglima tertinggi akan dipergunakan secara efektif.
Dalam suatu kasus, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan alternatif-alternatif penyelesaian. Dan dalam masa orde baru, tidak ada satupun kebijakan penting pemerintah yang diterapkan tanpa dukungan atau persetujuan Dephankam maupun institusi militer lain seperti Badan Intelijen Nasional. Dalam hal ini peran ABRI dinyatakan sebagai intervensi bukan koordinasi.
Otoritas Soeharto semakin menonjol pada awal dan pertengahan 1980-an. dalam kaitannya dengan diplomasi Indonesia, sistem ini menyebabkan praktik diplomasi tidak bisa berjalan tanpa dukungan Soeharto. Hal ini mengarah pada birokrasi yang lebih bersifat responsive daripada pro-aktif. Deplu hanya menjalankan aktivitas-aktivitas politik tingkat menengah dan rendah.
2.3.3 Diplomasi Masa Presiden Habbie
Ketika Soeharto dipaksa turun dari jabatan Presiden oleh kondisi politik dan ekonomi turun dari jabatan Presiden oleh kondisi politik dan ekonomi pada tahun 1998, posisi Presiden digantikan oleh B.J. Habibie. Cara pandang Habibie terhadap masalah Timor Timur berbeda dengan Soeharto, di mana Soeharto ingin mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia dengan berbagai cara, sementara Habibie lebih memandang sebagai beban ekonomi. Dari segi gaya diplomasi, keduanya memiliki persamaan yang lebih memfokuskan pada diplomasi untuk meningkatkan hubungan antar pemerintah. Diplomasi publik hanya ditangani dalam kasus-kasus khusus. Kesaman lain adalah keduanya lebih mempercayai orang-orang terdekatnya daripada sistem pengambilan keputusan politik yang berlaku
Tawaran otonomi luas (Juni 1998), yang diikuti opsi referendum (Januari 1999), memunculkan perdebatan yang seru di dalam negeri. Dalam pandangan Habibie, referendum merupakan cara penyelesaian masalah sekali dan untuk selamanya . Akan tetapi Habibie luput untuk memperhitungkan faktor-faktor eksternal seperti perubahan politik dunia pasca Perang Dingin, bergesernya peran AS dan PBB, dan perubahan cara pandang pemerintah di Australia terhadap isu Timor Timur. Selain itu, peran media massa dan NGO (Non Goverenment Organisation) internasional juga semakin besar sebagai kelompok penekan yang dapat berpengaruh kebijakan pemerintah.
Di dalam negeri, Habibie juga salah memperhitungkan situasi ekonomi dan politik pasca Soeharto. Ketika keputusan untuk memberikan opsi kedua diumumkan, rakyat tengah mengalami krisis ekonomi yang belum pulih sejak tahun 1997. Secara umum, kebijakan yang diambil Habibie mencerminkan kurangnya informasi dan pemahaman terhadap masalah Timor Timur. Ini terlihat dari penyederhanaan pandangan terhadap masalah dan diredusinya isu sebagai semata-mata ketergantungan ekonomi Timor Timur yang besar terhadap Indonesia
Referensi :
Djelantik, Sukawarsini. 2006. Diplomasi Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu
Ernest, Sir Satow. 1992. A Guide to Diplomatic Practice. New York : Longman Green & Co
Fortuna, Dewi Anwar. 2001. Implementasi Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Australia Terhadap Indonesia, Studi Kasus Timor Timur (1966-2000), dalam Ganewati Wuryandari, Indonesia dan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Australia 1966-2001. Jakarta : Pusat Pendidikan Politik (P2P) LIPI
Lowry, Robert. 1996. The Armed Forces of Indonesia. Syedney : Allen and Unwin,
R.E, Elson, Soeharto. 2001. A Political Biography. London : Cambridge University Press
Sukma, Rizal. 1999. Indonesia and China, The Politics of Troubled Relationship. New York : Routhledge
Way, Wendy (Ed). 2000. Document on Australian Foreign Policy, Australia and Indonesian non-corporation of Portugese Timor, 1974-1976. Melbourne University Press : Departement of Foreign Affairs and Trade
No comments:
Post a Comment