Tuesday, 28 December 2010

Realis Dipuja, Realis Dicerca

By : Triono Akhmad Munib

Realisme dan para kaum realis bisa tersenyum lega ketika bisa menjawab fenomena Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin. Asumsi-asumsi realis bisa menjelaskan fenomena di atas. Perang-perang tersebut menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya jahat dan tidak bisa hidup harmoni. Negara merupakan aktor pertama dan utama walaupun memang negara dipimpin seorang Presiden yang merupakan individu, namun kebijakan dibuat dan atas nama negara. Dan peserta perang adalah negara bukan individu. Kaum realis makin tersenyum lebar ketika perimbangan kekuatan dilakukan oleh negara-negara untuk upaya damai (saat Perang Dingin). Perimbangan kekuatan (balance of power) merupakan salah satu konsep utama dari penciptaan perdamaian oleh para kaum realis. Pada saat itu realisme dipuja bak seorang ksatria yang menyelamatkan kerajaannya dari serbuan musuh. Kaum realis semakin mengukuhkan bahwa realisme sebuah grand theory yang tak terbantahkan dan bisa menjawab segala fenomena internasional yang terjadi. Di sini para kaum liberalis gagal menjelaskan munculnya fenomena di atas.
Namun kaum realis menunjukkan kegelisahan dan kebingunannya pada saat diminta menjawab fenomena yang terjadi pasca Perang Dingin dan di sini kaum liberalis ganti tersenyum lega. Ada banyak pihak yang menggugat pandangan realis. Ada beberapa poin pertanyaan yang hendak diajukan para penggugat realis, antara lain:
1.Apakah benar manusia itu jahat dan tidak bisa bekerja sama sekali pun?
2.Dan apakah aktor utama selalu negara?
3.Apakah realisme sebuah teori yang ilmiah?
Di sini penulis akan menjawab satu peratu gugatan pertanyaan di atas. Pertanyaan pertama dan kedua muncul dari para kaum liberalis. Mereka menganggap realisme telah gagal menjawab fenomena hubungan internasional pasca Perang Dingin. Pasca Perang Dingin merupakan sebuah titik awal kebangkitan penstudi hubungan internasional beserta diskurus barunya. Semakin munculnya kerjsama regional maupun internasional yang berdasar pada ekonomi, sejarah, dan teritori menjelaskan bahwa manusia yang dalam hal ini dibungkus pada level negara-bangsa bisa bekerja sama dan hidup harmoni. Pada dasarnya manusia bisa menepis egonya untuk kepentingan bersama (collective interest). Bukan manusia yang anarki melainkan sistem internasional-lah yang mendorong manusia untuk bertindak jahat terhadap satu sama lain. Pada poin ini jelas realis kesulitan menjawabnya. Mengapa banyak kerja sama semakin bermunculan?. Mengapa perimbangan kekuatan menjadi tidak relevan seperti pada saat Perang Dingin di mana negara cenderung membentuk aliansi dengan negara-negara kuat untuk mengimbangi kekuatan musuh?. Sekali lagi, realis gagal
Kemudian mengarah kepada pertanyaan selanjutnya, apakah harus negara yang bisa mempengaruhi dan melakukan hubungan dengan negara lain?. Lagi dan lagi realis salah memprediksi. Semakin bermunculan aktor non-negara atau yang disebut sebagai aktor transnasional menjadi batu hambatan kaum realis. Faktanya, banyak perusahaaan multinasional yang bisa mempengaruhi hubungan antar negar, bisa menghilangkan kontrol negara, dan bahkan bisa menekan bargaining position negara. Tentu kita masih ingat tentang UU Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia. Sebelumnya pihak asing hanya boleh memiliki saham hanya 5%. Pihak asing merasa tidak puas dengan hanya mendapatkan 5% dari saham di Indonesia, melalui intervensi dalam perubahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1968, pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 49%. Seiring berjalannya waktu pihak asing semakin bebas menguasai Indonesia karena pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 95%. Di sini menunjukkan bahwa negara tidak lagi memiliki power untuk menentukan kehendaknya sendiri. Kuatnya lobi dengan dibungkus oleh perbaikan kesejahteraan (penyerapan tenaga kerja) oleh MNCs (Multinational Corporations) membuat sebuah negara, khusunya negara berkembang lagi-lagi meng-‘iya’ kan saja apa yang diinginkan MNCs. Dalam hal UU PMA yang seharusnya Indonesia yang merupakan aktor yang memiliki porsi lebih tinggi ternyata status ‘state’ tersebut pun juga tidak menjamin kuatnya power dalam hal bargaining position. Pemerintah Indonesia yang semestinya berhak mengontrol dan memanajemen segala bentuk investasi dengan regulasi-regulasi yang diciptakan ternyata menjadi powerless ketika dihadapkan dengan kuatnya lobi aktor transnasional dalam bentuk MNCs di atas.
Berlanjut kepertanyaan ketiga dan terakhir yang timbul dari para kosntruktivis. Mereka menanyakan kembali tentang konsep ke-ilmiahan realis. Masak sih realisme itu ilmiah?. Kaum konstruktivis tidak menyetujuinya. Poin penting dari suatu dikatakan ilmiah seperti ilmu eksak/alam adalah bebas nilai. Menurut kaum konstruktivis ilmu hubungan internasional yang berangkat dari ilmu sosial tidak ada yang bebas nilai. Sebuah teori ilmu sosial diciptakan selalu akan ada nilai/pengaruh dari pemikirnya karena di sini kita tidak melakukan sebuah eksperimen layaknya ilmu alam. Sehingga kebenaran ilmu sosial adalah terletak pada kesalahannya. Dan kebenaran ilmu sosial karena suara mayoritas meng-‘iya’ kan.
Dari penjelasan di atas realisme yang dulu dipuja-puja namun juga dicerca pada saat tidak bisa menjawab sebuah fenomena yang terjadi. Namun penulis berpendapat bahwa sebuah teori diciptakan bukan untuk menjatuhkan ataupun menghilangkan teori sebelumnya. Teori baru muncul dikarenakan memang teori yang sebelumnya kurang bisa menjelaskan perubahan fenomena yang terjadi. Memang teori diciptakan tidak bisa lepas dari ruang dan waktu saat itu. Teori dibuat untuk membantu kita membentuk sebuah kerangka berpikir sebelum menjelaskan sebuah fenomena yang terjadi, karena tanpa sebuah teori tak akan ada artinya kita memandang fenomena

Utopia Liberalis

By : Triono Akhmad Munib

Sebelum penulis menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang dibahas nanti. Alangkah baiknya kita menerjemahkan judul dari tulisan ini. Utopia merupakan sebuah istilah yang berarti sesuatu yang khayal, angan-angan, sebuah keberharapan. Sedangkan liberalis merupakan salah satu teori dalam hubungan internasional. So, apa hubungannya?. Okey we just start.
Pemikiran liberalisme muncul setelah berakhirnya Perang Dunia I, yaitu akibat dari adanya sebuah keinginan para ilmuwan dan politisi untuk memahami sebab-sebab terjadinya perang dan untuk mewujudkan dunia yang lebih damai. Adapun poin-poin penting dalam liberalisme, antara lain :
1.Manusia esensinya adalah ”baik” dan mementingkan kepentingan orang lain sehingga implementasinya kehidupan manusia adalah harmonis dan bisa bekerja sama
2.Pada dasarnya manusia memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan sesamanya.
3.Masyarakat internasional harus mereorganisasi dirinya sendiri secara institusional untuk melenyapkan anarkhi dan mengkondisikan dunia tidak berperang
Dari basic assumptions itu lah para kaum liberalis meneguhkan dirinya bahwa dunia ini tidak anarki sebenarnya, manusia bisa bekerja sama. Dan memang faktanya semakin bermunculan kerjasama regional yang menjadi bukti terkuat bahwa manusia (negara-bangsa) bisa hidup berdampingan dan bekerja sama dengan menghilangkan egoisitas mereka atas nama kolektif. Namun timbul sebuah pertanyaan ’is that true?’. Berangkat dari pandangan realis dan penuilis meyakini bahwa liberalis adalah sesuatu yang utopia dan tak hanya angan-angan semata. Mengapa bias begitu?. E. H. Carr dalam Twenty Years Crisis mencurahkan kritiknya, yaitu :
1.Liberalis hanya berpegang pada karakter normatif dan mendasarkan politik internasional pada “apa yang seharusnya” bukan “apa yang sebenarnya”.
2.Kaum liberalis mengabaikan elemen sentral dalam politik internasional yaitu pertimbangan kekuasaan padahal ketimpangan distribusi kekuasaan dalam sistem internasional merupakan akar penyebab konflik dan perang.
3.Perdamaian internasional merupakan topeng tirani opresif bagi negara yang ingin merevisi batas teritorial dan kekuatan strategi dan ekonominya sehingga perdamaian internasional merupakan kepentingan tetap dari kelompok-kelompok yang unggul (few winners with many losers)
4.Collective security merupakan sebuah metode yang menempatkan kekuatan unggul pada negara-negara yang memiliki kejayaan yang melembagakan status quo. LBB tidak mampu meningkatkan kepentingan nasional negara anggotanya dan gagal memperhitungkan pergesaran kekuasaaan antara negara yang mempertahankan status quo dengan negara yang menginginkan perubahan.
Dari kritikan Carr di atas, penulis ingin menguatkan kembali dalam poin-poin di bawah ini :
1.Apakah benar semua manusia itu baik?. Kebanyakan manusia adalah jahat. Oleh karenanya perang adalah sesuatu yang inherent, ex : Kegagalan kaum liberalis menjawab adanya Perang Dunia II merupakan jawabannya dan yang paling baru saat ini adalah memanasnya konflik di Semenanjung Korea
2.Mekanisme legal-institusional dari para teoritisi liberalis adalah sangat-sangat normatif, hanya membahas bagaimana seharusnya negara bertindak tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa negara melakukan suatu tindakan tertentu. Penulis meneguhkan bahwa tidak ada sebuah institusi baik regional maupun internasional yang benar-benar berprinsip positive sum-game. PBB pun masih ada yang mendominasi yaitu AS dan banyak keputusan PBB disponsori AS yang hanya memberikan keuntungan kepada AS saja
3.Kaum liberalis terlalu mengaburkan antara national interest dengan prinsip-prinsip moral universal. Demokrasi yang diagung-agungkan dengan berpegang pada prinsip HAM, kesetaraan, dll pun pada faktanya saling menjatuhkan. Suatu contoh invasi AS ke Irak tahun 2003 yang menewaskan banyak penduduk sipil membuka mata kita bahwa negara pioner demokrasi pun tak menunjung tinggi nilai universal itu, yaitu HAM
Dari pemaparan di atas, saya semakin mengukuhkan bahwa liberalis merupakan sebuah pandangan yang berekspektasi belaka. Mereka mengandaikan manusia dan sistem intenasional ’seperti apa yang seharusnya’. Benturan kepentingan adalah hal yang tidak terhindarkan dan its given. Mengejar kepentingan nasional adalah hal alami yang dilakukan negara melalui politik luar negerinya dalam sistem internasional dan untuk menghindari peperangan diperlukan perimbangan kekuasaan (balance of power). Dan faktanya, dunia ini memang anarki dan akan selalu struggle for power. One thing that the writter want to underline here that when we talking about the interest, there is no positive sum-game

Sunday, 19 December 2010

Nuclear and Bargaining Power of North Korea

A country will have a strong bargaining position in the table of diplomacy if that country has a strong economic or military strong defense . Ideally do have them but most do not have one between them could become a bargaining tool in a country negotiating table. In this case, North Korea and in absolute terms tend to use its strong military defense of his that is in the form of the development of nuclear senjatra as a weapon in the bid process.
When North Korea successfully conducted a nuclear test on October 8, 2002, the world was surprised by the ability of the isolated country and could not even feed their own people this. Major North Korean nuclear program, has claimed all-out state finances emerged as a manifestation of two doctrines that guide the actions of military officers and determine the political posture of North Korea since the late 1990s. Two doctrines are:
1.Kangsong Taeguk, which means thinking about the importance of building strong and prosperous country, and
2.Congun Chongchi or military primacy.
Whatever losses to North Korea when it openly declared themselves as nuclear-armed country, there is a logical strategy behind the declaration of North Korea as a nuclear weapons power state. North Korea believes this action will provide a strategic advantage, symbolic, and the technology required in the long term to achieve North Korea's strong and prosperous. In accordance with the definition of nuclear strategy as the use of nuclear weapons to achieve the interests of international politics, nuclear North Korea could become an important tool in international negotiations.
The success of North Korea as a nuclear power amplifier bargaining power of the state looks at the events as follows:
1.Meeting in Beijing 27-29 August 2003 between China, Korea, Japan, South Korea (ROK), U.S., and Russia has succeeded in pressing Bush to give a written security guarantee in some form to the North, provided that North Korea's stance also flexible and be restraint.
2.In 2005, the North succeeded in pressing the IAEA to not freeze the accounts of 25 million U.S. dollars which had been frozen in Macau and in return North Korea would receive energy aid and diplomatic concessions. South Korea's own earlier pledged 50 thousand tons of fuel
The position is something that is clearly visible. North Korea's desire to seriously show ownership of nuclear weapons technology. But the interests behind it is to seek recognition and power through the threat in the negotiations. The aim is none other than North Korea to meet the needs for energy, financial, and economic incentives.
North Korea's nuclear development is intended to strengthen its bargaining position in international negotiations. Through the development of its nuclear program, North Korea seeks to create balance of forces with the Americans, and with it, the country could force Americans to sit at the negotiating table. North Korea uses its nuclear card as the U.S. in diplomacy. North Korea knows very well how to use its nuclear capabilities for diplomacy. With a nuclear North Korea could easily attract aid, start the rice until the fuel. Thus, the various sanctions and UN resolutions were not really affect them. With nuclear Similarly, a country technically still in state of war with South Korea was able to hoist bargaining power when negotiating with its enemies.
Over the last three years, the North recorded twice tested nuclear bombs and missile tests. North Korea will continue to test nuclear weapons to master the technology to put warheads on missiles. The technology will strengthen the power of Kim Jong-un, the prospective successor to Kim Jong-il, while ruling later. Obama has ever berwacana that will give more attention to Japanese intelligence information which states the possibility of long-distance missiles North Korea launched a Taepodong-2 right on U.S. Independence Day celebration. This shows that the North's bargaining position can not be considered trivial in the U.S. Matas. Since North Korea had indeed wanted to negotiate directly with Uncle Sam's country, without going through the intermediary of the state or any agency. They learn from Chinese experience using nuclear threats to U.S. forces in the era of President Richard Nixon to review bilateral relations
In this case shows that a country that only poor countries and have no influence in a region and in international politics can have a fairly strong bargaining power when the country has a deterens, which in this case is the nuclear weapon. The development of nuclear weapons by a country indeed is the right of the country, but when it collided with the international norms it is a choice whether to continue with all the consequences that will be received as experienced by Iran and North Korea in the form of economic embargo and political ostracism. But Iran and North Korea realize that they will have a fairly strong bargaining power when it successfully developed nuclear weapons despite the expense of the welfare of its citizens like that of North Korea.

Friday, 17 December 2010

Peran PBB dalam Proses Perdamaian antara Kosovo dan Pemerintah Serbia

I.Background of Conflict
Kosovo sebuah propinsi yang dibentuk pada tahun 1945 sebagai daerah otonom dalam wilayah Republik Serbia yang merupakan bagian dari Republik Federal Yugoslavia mempunyai sejarah konflik yang sangat panjang. Konflik yang terjadi antara Kosovo dan pemerintah Serbia hingga memberikan kemerdekaan kepada Kosovo pada Februari 2008, merupakan sebuah konflik yang terakumulasi. Berikut beberapa tahapan dan akar permasalahan konflik :
a.Status Otonomi Tak Terealisasi (1974)
Di dalam konstitusi tahun 1974, pemerintahan otonomi Kosovo harusnya memperoleh peningkatan status dengan diperbolehkannya memiliki seorang Presiden dan Perdana Menteri serta duduk dalam Presidensi Federal Yugoslavia, dengan posisi ini secara de facto Kosovo merupakan Republik Sosialis dalam Federasi Yugoslavia, namun kenyataanya Kosovo tetap merupakan propinsi otonom dalam Republik Sosialis Serbia.
b.Etnis Mayoritas Tak Diperhatikan (1970)
Masyarakat Kosovo yang mayoritas etnis Albania merasa tidak diperhatikan oleh Serbia sehingga berniat memisahkan diri. Etnis Albania yang mayoritas sebenarnya, namun merasa minoritas dengan tak pernah didengarkannya suara mereka. Selama bertahun-tahun, etnis Albania merasa didiskriminasi Pemerintah Serbia dan menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif. Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang antara kelompok etnis Albania yang menamakan diri Kosovo Liberation Army (KLA)
c.Masalah Etnis dan Agama
Komposisi etnis yang makin tidak berimbang antara etnis Albania dan etnis Serbia, gerakan nasionalis etnis Albania menuntut pengakuan Kosovo sebagai salah satu Republik dalam Federasi Yugoslavia. Dengan semakin tidak berimbangnya komposisi etnis (etnis Albania dari 65% menjadi lebih dari 80% sedang etnis Serbia turun dari 25% menjadi hanya 10% dari total populasi) , tuntutan untuk pengakuan Kosovo menjadi republik dalam Federasi Yugoslavia makin gencar muncul dari etnis Albania. Akhir-akhir ini berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90 persen tnis Albania yang Muslim, 5,3 persen etnis Serbia yang Katolik Ortodoks, selebihnya etnis Bosnia dan minoritas lain.
Tiga poin di atas merupakan source of conflict (sumber konflik) antara Kosovo dan pemerintah Serbia. Jika di generalisasi source of conflict tersebut adalah : otonomi, political acess, dan diskriminasi. Dalam teori perdamaian menyebutkan bahwa perdamaian bisa tercipta jika sumber konflik tersebut bisa terpenuhi melalui draft perjanjian (treaty of agreement) yang memuat hal-hal yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Penulis berpandangan di sini bahwa ‘conflict will not see a way of peace if it wants the two sides have not met’ (konflik tidaka akan menemui jalan damai jika keinginan dua belah pihak belum bisa terpenuhi).
II.Conflict Resolution
Konflik antara Kosovo dan pemerintah Serbia berakhir dengan memberikan sebuah kemerdekaan kepada daerah otonomi Kosovo pasca jatuhnya Presiden Milosevic yang benar-benar lepas dari Pemerintah Federal Serbia. Namun untuk mencapai kemerdekaan terdapat jalan terjal yang ditempuh. Prinsip perdamaian dunia sebenarnya tidak menghendaki adanya suatu kekerasan dalam bentuk apapun, apalagi serangan bersenjata, kepada suatu negara . Akan tetapi menghadapi Milosevic yang keras kepala, jalan kekerasan merupakan satu-satunya jalan yang dapat membawanya ke meja perundingan. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Menlu Inggris, Robin Cook, yang mengatakan bahwa, aksi militer bukanlah suatu penyelesaian masalah propinsi itu, tapi apabila Anda menghadapi seseorang seperti Presiden Milosevic, ancaman aksi militer, diperlukan untuk membawanya ke perundingan . Demikianlah untuk mengakhiri kekejaman Milosevic terhadap etnis Albania, dilakukan serangan terhadap Kosovo dilakukan dari udara. Pasca serangan tersebut Milosevic ditangkap dan diadili oleh Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda. Akan tetapi walaupun Milosevic telah ditangkap bukan berarti persoalan di Kosovo sudah berakhir. Perlu segera dilakukan pemulihan keadaan di Kosovo pasca konflik etnis .
Di sini penulis menganalisa resolusi konflik antara Kosovo dan pemerintah Serbia dengan menggunakan agenda perdamaian yang dicanangkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali. Terdapat empat hal agenda tersebut, yaitu :
1.Diplomasi Preventif
Adalah diplomasi yang dilakukan dalam rangka pencegahan agar jangan sampai terjadi suatu konflik dalam suatu negara. Diplomasi preventif meliputi penemuan fakta, mediasi, tindakan pencegahan sengketa, dan lain-lain.Diplomasi preventif dilakukan dengan melakukan penyelidikan mengenai penyebab sebenarnya dari konflik yang sedang berlangsung. Selanjutnya berdasarkan hasil penemuan dalam penyelidikan itu diadakan pendekatan kepada para pihak yang bersengketa agar konflik yang terjadi itu tidak memanas dan menjadi perang terbuka. Perlu diketahui bahwa sebelum mengirim United Nations Interim Administration for Kosovo (UNMIK), sebelumnya PBB mengirim KFOR (Kosovo Force) untuk melakukan pendekatan dengan cara diplomasi preventif kepada para pihak yang bertikai di Kosovo. PBB melakukan pendekatan konflik dengan membuat sebuah peta konflik dan keinginan kedua belah pihak
2.Peacemaking
Merupakan tindakan penegakan kembali perdamaian pasca konflik yang meliputi pembentukan perdamaian dengan cara penyelesaian sengketa dengan cara damai melalui konsiliasi, mediasi, arbitrase, dan lain-lain.Di dalam peacemaking ini pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah, akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak ketiga tersebut hanya menengahi apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak bertikai yang sedang berunding. Konflik antara etnis Albania dengan etnis Serbia pernah dipertemukan dengan kehadiran pihak ketiga yaitu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) guna membicarakan kemungkinan perdamaian antara pihak yang bertikai dan keinginan-keinginan kedua belah pihak
3.Peacekeeping
Merupakan tindakan penjagaan perdamaian agar tidak pecah kembali perang terbuka antara pihak yang bertikai dengan cara penempatan tentara untuk menjaga perdamaian di daerah-daerah konflik guna melakukan gencatan senjata dan melindungi penduduk sipil agar tidak menjadi korban perang. Gencatan senjata yang dilakukan oleh para pihak yang sedang terlibat konflik perlu dijaga dan diawasi agar tidak kembali terjadi perang terbuka. Diperlukan adanya de-eskalasi konflik antar pihak yang terlibat. Karena tidak mungkin dialog dilanjutkan jika kedua belah pihal tidak segera menurunkan tingkat eskalasi. Dalam kaitan ini biasanya peacekeeping dilakukan dengan menggunakan pasukan perdamaian yang berasal dari beberapa negara di bawah pimpinan PBB. Dan dalam kasus Kosovo ini PBB melalui pasukan perdamaian yang tergabung didalamnya militer negara-negara di dunia termasuk militer Indonesia untuk menurunkan ketegangan antara pasukan pemerintah Serbia dan KLA
4.Peacebuilding
Adalah tindakan pembangunan kembali daerah-daerah yang mengalami kehancuran akibat terjadinya konflik. Untuk mempercepat peacebuilding dilakukan identifikasi struktur-struktur lokal yang dapat digunakan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian untuk menghindari agar tidak terjadi suatu konflik. Selanjutnya struktur lokal tersebut dengan diperkuat oleh bantuan yang diberikan oleh PBB dipergunakan untuk membangun kembali bidang-bidang kehidupan yang telah mengalami gangguan akibat terjadinya konflik. Peacebuilding merupakan fase pemulihan pasca konflik. Hal-hal yang dilakukan pada fase peacebuilding ini meliputi pemulihan kembali perekonomian, pembangunan kembali sarana pendidikan, kesehatan, jalan, dan sarana-sarana lain yang rusak akibat perang. Dan dalam hal ini PBB membentuk UNMIK. UNMIK melakukan upaya-upaya untuk meretaliasi Kosovo pasca kemerdekaan.
III.The Result
Penulis beragumen bahwa agenda perdamaian PBB yang diterapkan pada konflik antara Kosovo dan pemerintah Serbia bisa dikatakan mutlak berhasil. Walaupun memang akhirnya dengan memberikan kemerdekaan kepada Kosovo. Merujuk pada konsep peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding bahwa perdamaian bisa tercipta dengan mengaplikasikan agenda perdamaian di atas. Kosovo pasca jatuhnya Milosevic merupakan daerah konflik yang memerlukan retaliasi dan rekonsisliasi dalam berbagai bidang. Untuk melaksanakannya, PBB melalui UNMIK memulihkan keadaan di Kosovo pasca konflik.
Dalam rangkaian pelaksanaan tugasnya untuk memulihkan keadaan di Kosovo, UNMIK telah melaksanakan aspek peacemaking dan peacekeeping, dan sekarang sedang menjalankan peacebuilding. Tahap peacebuilding ini merupakan tahap yang paling diinginkan oleh masyarakat Kosovo, karena dalam tahap ini UNMIK melakukan pembangunan kembali daerah Kosovo yang telah lama mengalami konflik etnis, sehingga masyarakat dapat kembali merasakan kehidupan normal seperti sebelum terjadinya konflik. Saat ini operasi UNMIK telah mencapai tahap post-conflict peacebuilding.
Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan UNMIK antara lain :
1.Pertama-tama adalah membangun kembali sarana kesehatan dan pendidikan yang rusak pada saat konflik
2.Kemudian secara bertahap, UNMIK juga mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan modal usaha melalui pinjaman lunak. Pembangunan kembali di bidang ekonomi menjadi prioritas utama UNMIK, karena pembangunan di bidang ini dapat membantu pembangunan di bidang-bidang lainnya.
3.Untuk melaksanakan pembangunan kembali di Kosovo dibutuhkan masyarakat yang secara fisik sehat. Untuk membantu pemulihan kesehatan masyarakat dibutuhkan sarana kesehatan, UNMIK membangun Rumah Sakit. Selama konflik, masyarakat Kosovo banyak yang mengalami gangguan kesehatan bahkan ada yang cacat karena terkena tembakan, tetapi tidak dapat berobat karena selain takut akan ancaman keselamatan, juga karena rumah sakit untuk berobat telah hancur karena konflik bersenjata.
IV.Conclusion
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa agenda perdamaian yang dirancang oleh Broutos Broutus Ghali seyogyanya bisa menjadi prosedur dalam membentuk perdamaian di dunia ini. PBB dengan mengusung empat agenda perdamaian di atas telah bisa dikatakan menciptakan perdamaian di tanah Kosovo. Walaupun memang dengan mendukung Kosovo untruk lepas dari Serbia yang ditakutkan menjadi sebuah titik awal kebangkitan gerakan separatis di dunia. Namun faktanya memang kondisi damai bisa tercipta.
Satu hal penting yang ingin penulis garis bawahi lagi di sini adalah bahwa konflik akan selesai dan damai akan di depan mata jika source of conflict (sumber konflik) bisa terjawab dan keinginan dua belah pihak terpenuhi (conflict will not see a way of peace if it wants the two sides have not met)

Sunday, 12 December 2010

Semenanjung Korea : Sebuah Artefak Perang Dingin

By : Triono Akhmad Munib

Pasca Perang Dingin merupakan sebuah titik awal kebangkitan hubungan internasional beserta diskurus-diskurus barunya. Perang Dunia I, Perang Dunia II hingga Perang Dingin menunjukkan betapa dibutuhkannya eksistensi sebuah negara dalam perpolitikan global. Negara yang menjadi the main actor menjadikan hubungan internasional didefinisikan sebagai hubungan antar negara-negara. Perang Dingin merupakan sebuah perang yang bisa dikatakan berbasis pada ideologi, yaitu antara ideologi Barat (Amerika) dan Komunis (Uni Soviet). Negara bangsa pada masa itu berlomba-lomba membentuk aliansi dengan negara-negara Komunis maupun liberal Barat. Era Perang Dingin membawa dunia terpecah menjadi dua kutub atau bipolar.
Namun pasca Perang Dingin, dunia seolah mulai menunjukkan gairahnya dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Aktor-aktor non-state semakin bermunculan bak air limbah sungai. Negara sudah tidak lagi berkutat pada dua kekuatan besar melainkan dunia sudah memasuki masa multipolaritas seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Secara gamblang memang sulit membayangkan bagaimana dan seperti apa Perang Dingin tersebut. Tetapi masih terdapat artefak peninggalan sejarah Perang Dingin hingga saat ini yang sedikit banyak juga menggambarkan Perang Dingin di era 80-an. Fenomena tersebut diperlihatkan pada konflik Semenanjung Korea.
Konflik di Semenanjung Korea yang masih memanas hingga saat ini merupakan sebuah warisan yang tidak lain akibat tetesan (trickle down effect) daripada Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Di mana satu pihak yaitu AS tidak ingin kedua Negara Korea ini jatuh ke tangan komunis, sedangkan disatu pihak ingin terus menyebarkan paham komunisnya yaitu Uni Soviet. Di bagian utara berdiri Republik Rakyat Demokratis Korea dengan ibu kota Pyongyang, di selatan ada Republik Korea berpusat di Seoul. Sejak awal abad XX, Semenanjung Korea dikuasai Jepang. Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, serentak lahir dua negara, sesuai pengaruh dua pemenang perang, AS dan Uni Soviet, yang sama-sama menduduki sebagian Korea. Dan akhirnya tak bisa dipungkiti lagi pada tahun 1950 pecahlah Perang Korea karena propaganda dan pergerakan politik RRC yang ingin mengkomuniskan negara-negara Asia Timur dan Tenggara tetapi pergerakan RRC dan Uni Soviet diketahui oleh AS dan sekutunya
AS terus membangun pangkalan militernya di negara Asia. Pangkalan militer itu ditempatkan di Jepang dan Filipina yang terus berupaya agar Komunisme tidak bisa ekspansi ke Asia Timur. Tetapi sayangnya, propaganda Komunis RRC sudah masuk ke daratan Korea dari jalur Utara, dan mereka telah berhasil menguasai (cuci otak) para pejabat di daerah Korea Utara dan memproklamirkan tentara Korea Utara sebelum masuk ke Jepang dan Taiwan. Amerika dan sekutunya sudah berusaha menangkal pergerakan pasukan komunis Korea Utara dengan mempersenjatai pasukan Korea yang berada di daerah Selatan. Dengan adanya pemberian persenjataan kepada rakyat Korea yang di selatan. Secara tidak langsung menyulu terjadinya perang saudara, karena Korea Utara bergerak ke Korea Selatan tanpa peringatan dan mereka langsung serbu. Akhirnya Badan PBB menyerukan Amerika untuk turun tangan membela Korea Selatan
Tahun 1953 Perang Korea berakhir, istilah resminya, gencatan senjata disepakati kedua belah pihak. Semenanjung tersebut dibagi dua, batasnya garis lintang 38 derajat dengan dibuatnya perbatasan dibuatnya Korea Demilitarized Zone (DMZ) yang menjadi saksi peperangan yang secara teknis belum berakhir di antara kedua negara.
Bangkitnya Realis
Jika salah satu pendekatan realis adalah tentang dilema keamanan (security dilemma) dan memang pada era Perang Dingin negara dihantui oleh dilema ini yang kemudian implementasinya adalah negara-negara cenderung untuk beraliansi dengan dua kekuatan besar sebagai payung deffence. Konflik di Semenanjung Korea yang berlangsung hingga saat in bisa jadi salah satu contohnya yang kemudian menunjukkan kepada penstudi HI bahwa realis masih mengenggam kejayaannya.
“Jika mereka (Korsel) berani menyulut perang, kami akan menghancurkan mereka tanpa ampun”.
Itulah sekilas cuplikan pernyataan dari Komite Reunifikasi Damai Ibu Pertiwi Pyongyang, Korut pasca perudalan kapal selam Korsel Cheonan yang diduga oleh militer Korut di Laut Kuning pada 26 Maret lalu. Dengan adanya insiden di atas membawa konflik di masa lalu muncul kembali. Pihak Korsel merasa bahwa perbuatan militer Korut dengan merudal kapal selamnya merupakan sebuah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi. Korut memulai untuk menyulut sebuah peperangan dua Korea. Namun, pihak Korut tetap berkilah bahwa tindakan militernya tidak salah karena kapal selam Korsel sudah melewati batas kedaulatan laut yang ditentukan sehingga Korut merasa terancam dengan kedatangan kapal selam Cheonan tersebut. Tiga bulan setelah insiden itu, Korsel melakukan operasi latihan militer besar-besaran dengan bekerjasama dengan militer AS di perbatasan Laut Kuning. Korsel terus meningkatkan anggaran belanja militernya dan terus menciptakan serta mengembangkan alat utama sistem senjata (alutista). Korut pun tak mau kalah, pihaknya juga terus melakukan pengembangan Taepodong-nya. Konflik pun makin memanas, hingga berita terakhir yaitu perudalan pulau Yeonpyeong oleh Korut yang menewaskan 3 penduduk sipil dan melukai tentara serta menghacurkan 29 bangunan
Upaya Korsel dan Korut tersebut membawa kita kepada konsep security dilemma (dilema keamanan). Security Dilemma adalah suatu keadaan di mana negara merasa takut, curiga atas peningkatan aktivitas militer negara tetangga yang kemudian ditafsirkan sebagai sebuah ancaman. Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karenanya, menyebabkan negara yang tertekan tersebut membuat kebijakan untuk meningkatkan persenjataanya baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya. Seoul mencoba menekan dan menakuti pihak Pyongyang dengan menggelar latihan militer massal. Korut pun mencoba untuk mengimbangi Korsel dengan menggelar latihan militer massal pula dan terlebih Korut terus mengembangkan nuklirnya
Ternyata, dampak dilema kemanan tidak berhenti pada kedua Korea. Letak Korsel dan Korut yang langsung berbatasan dengan China membuat pihak Beijing juga kebakaran jenggot. Beijing merasa terancam pula dengan adanya peningkatan aktivitas militer kedua Korea. Kedaulatan negara China merasa terancam. Sesuai berita yang dilangsir Kompas pada hari Jum’at 6 Agustus 2010 diberitakan bahwa Beijing telah kembangkan rudal penghancur kapal induk Dong Feng DF-21D balisitik jarak menengah berhulu ledak konvensional . Untuk siapa? Ya, untuk mengatasi kekuatan kedua Korea jika suatu saat nanti perang akan meletus. Apalagi rudal Korut Taepodong-2 memiliki daya jangkau 4000-6000 km dengan efek ledakan mencapai 15000 km. Bahkan pihak AS mengklaim bahwa Taepodong-2 bisa mencapai daratan Alaska, AS. AS yang letaknuya sangat jauh saja bisa terjangkau, bagaimana dengan China yang langsung berbatasan darat dengan Korut. Memang konsep dilema kemanan ini merupakan sebuah konsep kekhawatiran. Jika ada suatu negara yang meningkatkan aktivitas militer dan menaikkan anggaran militernya maka secara tidak langsung negara tetangga akan merasa terancam. Selalu muncul pertanyaan-pertanyaan ketakutan. Mengapa negara itu meningkatkan aktivitas militernya?, untuk apa?, ditujukan kepada siapa?. Maka mau tidak mau negara tetangga harus mewaspadai dan bersiap siaga dengan ikut meningkatkan kegiatan militernya jika suatu saat serangan itu ditujukan kepadanya maka siap untuk beperang. Konflik Semenanjung Korea merupakan artefak Perang Dingin yang masih menunjukkan eksisnya hingga saat ini. Jika negara-negara sudah menunjukkan proses multipolaritasnya, namun Semenanjung Korea masih berkutat pada bipolaritasnya seperti pada saat Perang Dingin.

Sunday, 5 December 2010

Menunggu Kehancuran Ekonomi Eropa

By : Trion Akhmad Munib

Kegamangan dan kekhwatiran para investor dan ekonom tentang masa depan ekonomi Eropa bisa jadi ada benarnya. Itu pun tak luput dari krisis-krisis yang didera negara-negara Eropa akhir-akhir ini. Yunani merupakan pembukaan awal guncangnya perekenomian Eropa. Kita tentu masih ingat krisis yang mendera Yunani lalu. Krisis Yunani merupakan krisis yang sudah terakumulasi. Salah satunya adalah penyelenggaraan olimpiade tahun 2004 di Yunani. Kecanggihan olimpiade 6 tahun lalu, menjadi salah satu penyebab dari sekian banyak penyebab kebangkrutan Yunani. Hutang Yunani menumpuk sekitar 300 milyar euro. Faktor inilah yang akhirnya mau tidak mau mendorong Athena menyetujui bailout sebesar 22.4 miliar Euro. Namun tampaknya masalah tak berhenti sampai disitu. Setelah Yunani ‘sakit’, giliran Irlandia. Irlandia pun mengalami hal yang serupa. Dan lagi-lagi masalah hutang yang melilit negara. Menurut Standard and Poor's menyatakan biaya asuransi terhadap utang negara Irlandia mencapai rekor tertinggi atau melebihi standar. Biaya untuk mendukung Bank Anglo Irlandia dapat memicu penurunan peringkat utang negara tersebut. Dalam lima tahun ini, Credit Default Swaps (CDS) utang Pemerintah Irlandia naik 519 poin dibanding sebelumnya 488,5 bps, berdasarkan pengamatan CMA. Ini berarti dibutuhkan biaya sebesar 519 ribu euro untuk melindungi 10 juta euro terhadap obligasi Irlandia . Sekali lagi kondisi tersebut pun akhirnya mendorong pihak Dublim mau tidak mau meng-iyakan resep bailout.
Banyak pihak memprediksi bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Yunani maupun Irlandia akan memberikan spill over effect kepada negara-negara Eropa lain yang di sini sempat disorot adalah Portugal dan Spanyol. Kawasan Eropa yang terinterdependensi menjadi satu salah satu faktor penguat spill over effect. Dunia yang semakin terinterdependensi membuat sebuah ‘kejadian yang terjadi di luar sana akan memberikan dampak pada yang lain’. Namun apakah perekonomian Eropa akan hancur?
Only Waiting Time
Menjawab pertanyaan di atas, penulis memiliki sebuah hipotesa tinggal menunggu waktu. Kekhawatiran akan spill over effect kepada negara-negara Eropa lain bisa dibenarkan dengan konsep interdependensi di atas. Hanya tinggal menunggu waktu saja apakah krisis ekonomi tersebut terus berdampak pada negara-negara sekitar atau tidak. Tetapi jika dibaca tanda-tandanya bisa jadi ada benarnya. Seperti jatuhnya nilai kurs Euro pasca dana talangan Irlandia. Euro menyentuh terendah karena paket penyelamatan resmi untuk Irlandia yang dilit utang gagal meredakan kekhawatiran pasar tentang kesehatan ekonomi zona euro. Euro turun menjadi 1,3181 dolar sebelum pulih ke 1,3232 di perdagangan di Tokyo (29 November 2010) . Euro berangsur-angsur kehilangan kekuatan dan merosot ke level terendah sejak akhir September di tengah kekhawatiran terus-menerus bahwa negara lain, yaitu Spanyol dan Portugal akan bernasib sama seperti dua rekannya Yunani dan Irlandia. Namun apakah Eropa akan terus mengandalkan resep bailout-nya jika memang benar krisis ekonomi tersebut pun akhirnya merembet ke negara lain (Portugal dan Spanyol)?. Dan apakah perekonomian Eropa akan kandas?. Lalu kemanakah pusat perekonomian akan bergeser?.
Asia, the New Economic Global Player
Kawasan Eropa perlu membenahi regulasi-regulasi dalam konsep Uni Eropa dan pemberian sanksi tegas kepada negara yang memiliki hutan diatas 100 persen dan pendapatan nasionalnya agar tidak selalu mengandalkan resep dana talangan jika tidak ingin kandas. Untuk pertanyaan selanjutnya, penulis mempunyai jawaban ‘Asia, the New Economic Global Player’. Asia yang dalam G-20 disebut-sebut sebagai new emerging market bisa jadi sebagai kekuatan dan pusat perekonomian baru. Jepang, China dan India adalah tiga serangkai Asia yang mulai awal abad 21 makin menunjukkan kekuatan ekonominya sebagai pemain yang dalam waktu dekat ini kian mengarah ke integrasi regional Asia. Hasil penghitungan baru PDB negara-negara di dunia versi Bank Dunia di tahun 2005 cukup mengejutkan yakni munculnya angka PDB negara China sebesar $2,2638 triliun. Tentu saja menempatkan China sebagai negara dengan besaran ekonomi nomor 4 dunia, menggeser Inggris. Berada di atasnya adalah pertama Amerika Serikat, kedua Jepang, dan ketiga Jerman. Lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan PDB China akan melampaui Jerman pada 2010, Jepang pada 2015, dan Amerika Serikat pada 2040. Kejutan lainnya adalah Negara Asia lainnya, India. PDB negara India di tahun 2005 sebesar $300 milliar.Diprediksi PDB India akan mengalahkan Italia di tahun 2015, Perancis di tahun 2020, Jerman di tahun 2025, Jepang antara tahun 2030-2035, dan Amerika Serikat di tahun 2040. Di 2040, China dan India tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi di mana pusatnya tak lagi di benua Amerika/Eropa, namun di Asia, bekas negara berkembang. Hal ini tentunya akan melengkapi sejarah sukses Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Namun kita pun harus bangga dengan negara kita. Indonesia yang menurut pakar ekonomi masuk dalam calon kekuatan ekonomi baru di dunia. Menurut Morgan Stanley, diperkirakan lima tahun ke depan PDB Indonesia bakal mencapai US$800 miliar. Senada dengan itu, majalah bergengsi The Economist, pada Juli 2010 juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Dan bahkan Indonesia pun berpotensi menggeser Rusia dalam BRIC.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa jika memang Eropa tidak ingin perekonomiannya hancur maka Eropa harus memperjelas dan memperketat regulasi-regulasinya yang dibungkus dalam konsep Uni Eropa. Namun tidak menutup kemungkinan pusat perekonomian akan bergeser ke Asia. Dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh negara-negara Asia, penulis berspekulasi ‘yes, we can to be new economic global player’

Friday, 3 December 2010

Nuklir Sebagai Tools of Bargaining Position Korut

By : Triono Akhmad Munib

Sebuah negara akan memiliki bargaining position yang kuat dalam meja diplomasi jika negara tersebut memiliki strong economic ataupun strong military defense . Idealnya memang memiliki keduanya namun paling tidak memiliki satu diantara keduanya bisa menjadi sebuah alat tawar negara dalam meja perundingan. Dalam hal ini, Korut cenderung dan secara absolut menggunakan its strong military defense-nya yaitu dalam bentuk pengembangan senjatra nuklir sebagai senjata dalam proses tawar menawar.
Ketika Korea Utara sukses melakukan uji coba nuklir pada 8 Oktober 2002, dunia sempat dikejutkan dengan kemampuan negara yang terisolasi dan bahkan tidak mampu memberi makan rakyatnya sendiri ini. Pertunjukan nuklir Korea Utara yang programnya telah menelan keuangan negara habis-habisan muncul sebagai manifestasi dua doktrin yang menuntun tindakan para perwira militer dan menentukan postur politik Korea Utara sejak akhir 1990-an . Dua doktrin ini adalah :
a.Kangsong Taeguk, yang berarti pemikiran mengenai pentingnya membangun negara yang kuat dan sejahtera; dan
b.Congun Chongchi atau keutamaan militer.
Betapa pun kerugian yang dialami Korea Utara ketika secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai negara bersenjata nuklir, ada strategi yang logis dibalik deklarasi Korea Utara sebagai negara berkekuatan senjata nuklir. Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur . Sesuai dengan definisi strategi nuklir sebagai pemanfaatan senjata nuklir untuk meraih kepentingan politik internasional, nuklir bagi Korea Utara dapat menjadi alat penting dalam perundingan internasional.
Keberhasilan kekuatan nuklir Korut sebagai penguat daya tawar negara tampak pada kejadian-kejadian sebagai berikut :
1.Pertemuan di Beijing tanggal 27-29 Agustus 2003 antara China, Korut, Jepang, Korea Selatan (Korsel), AS, dan Rusia telah berhasil menekan Bush untuk memberi jaminan keamanan tertulis dalam bentuk tertentu kepada pihak Korut, dengan syarat Korea Utara juga berpendirian luwes dan bersikap menahan diri.
2.Pada tahun 2005 Korut berhasil menekan IAEA untuk tidak membekukan rekening sejumlah 25 juta dollar AS yang sempat dibekukan di Macau dan sebagai imbalannya Korea Utara akan mendapatkan bantuan energi dan konsesi diplomatik. Korea Selatan sendiri menjanjikan bantuan awal bahan bakar 50 ribu ton
Posisi adalah sesuatu yang terlihat jelas. Korea Utara dengan serius menunjukkan hasrat kepemilikan teknologi senjata nuklir. Namun kepentingan di balik itu adalah untuk mencari pengakuan dan kekuatan melalui ancaman dalam perundingan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan Korea Utara akan energi, finansial, dan juga insentif ekonomi.
Pembangunan nuklir Korut ditujukan untuk memperkuat posisi tawar menawar dalam perundingan internasional . Melalui pengembangan program nuklirnya, Korea Utara berupaya untuk menciptakan perimbangan kekuatan dengan Amerika, dan dengan itu, negara tersebut bisa memaksa Amerika untuk duduk di meja perundingan. Korut menggunakan nuklirnya sebagai kartu AS dalam berdiplomasi. Korut tahu betul bagaimana memanfaatkan kemampuan nuklirnya untuk berdiplomasi. Dengan nuklir Korut bisa dengan mudah menggaet bantuan, mulai beras sampai bahan bakar. Jadi, berbagai sanksi dan resolusi PBB pun tak begitu berdampak bagi mereka. Dengan nuklir pula, negeri yang secara teknis masih berada dalam status perang dengan Korsel itu mampu mengerek daya tawarnya saat bernegosiasi dengan musuh-musuhnya.
Selama tiga tahun terakhir, Korut tercatat dua kali melakukan uji bom nuklir dan sejumlah tes misil . Korut akan terus menguji coba senjata nuklirnya hingga menguasai teknologi untuk menempatkan hulu ledak pada misilnya. Teknologi itu akan menguatkan kekuasaan Kim Jong-un, calon suksesor Kim Jong-il, saat berkuasa nanti. Obama pun pernah berwacana bahwa akan memberikan perhatian lebih pada informasi intelijen Jepang yang menyatakan adanya kemungkinan Korut meluncurkan rudal jarak jauhnya Taepodong-2 tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan AS. Ini menunjukan bahwa bargaining position Korut tidak bisa dipandang sepele di matas AS. Sejak dulu memang Korut memang ingin bernegosiasi langsung dengan Negeri Paman Sam, tanpa melalui perantaraan negara atau badan apapun. Mereka belajar dari pengalaman Tiongkok yang menggunakan ancaman nuklir untuk memaksa AS di era Presiden Richard Nixon untuk mengkaji ulang hubungan kedua negara
Dalam hal ini terlihat bahwa sebuah negara yang hanya negara miskin dan tidak memiliki pengaruh dalam sebuah kawasan maupun pada politik internasional dapat memiliki bargaining power yang cukup kuat ketika negara tersebut memiliki sebuah deterens, yang dalam hal ini adalah senjata nuklir tersebut. Pengembangan senjata nuklir oleh sebuah negara memang merupakan hak dari negara tersebut, namun ketika terbentur dengan norma internasional itu adalah merupakan pilihan apakah akan meneruskan dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara dalam bentuk embargo ekonomi dan pengucilan secara politis. Namun Iran maupun Korea Utara menyadari bahwa mereka akan mempunyai bargaining power yang cukup kuat ketika berhasil mengembangkan senjata nuklir tersebut walaupun dengan mengorbankan kesejahteraan dari warga negaranya seperti yang dialami Korea Utara.