by : Triono Akmad Munib[1]
Negara dengan ekonomi terkuat dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami guncangan hebat. Hal ini berapa dari fenomena gagal bayar kredit perumahan atau yang biasa disebut dengan subprime mortgage. Para ekonom dunia pun khawatir krisis tersebut berdampak pada perekonomian secara global. Namun, faktanya tidak semua negara turut terdampak krisis tersebut, salah satunya adalah negara kita Indonesia.
Fenomena krisis perekonomian sebenarnya bukan yang pertama kali dialami oleh AS. Mengingat kembali di tahun 1930-an, kita mendengar fenomena Great Depression. Fenomena tersebut diawali dari kejatuhan pasar modal Wall Street pada bulan Oktober 1929, AS dirundung krisis ekonomi besar yang baru bisa pulih sekitar sepuluh tahun kemudian. Itupun berkat Perang Dunia II, di mana ekonomi AS ketika itu mulai bergerak kembali karena banyak perusahaan menerima pesanan senjata dan pesawat terbang dari negara-negara di Eropa.
Perekonomian AS yang dari tahun ke tahun mengalami permasalahan turut berdampak pada sektor politik. Saat ini, rakyat AS lebih tertarik dengan program-program kandidat Presiden tahun 2012 mendatang yang mengangkat isu-isu perbaikan ekonomi. Misalnya, dua bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Rick Perry dan Mitt Romney beradu ide dan gagasan tentang penciptaaan lapangan kerja.[2] Atau yang lebih ekstrim lagi kita bisa melihat Revolusi Melati yang terjadi di dunia Arab yang lalu. Husni Mubarak, Ali Abudllah Saleh yang diturunkan secara paksa oleh rakyatnya hingga Moammar Khadafi yang akhirnya tewas tertembak dikepalanya salah satu faktor penyebabnya adalah gagalnya negara membangun perekonomian.
Tulisan ini akan membahas tentang krisis ekonomi yang dialami AS di tahun 2008, penyebab-penyebabnya dan prediksi munculnya kekuatan ekonomi dunia baru.
Prime dan Subprime Mortgage
Kebanyakan masyarakat lebih familiar mendengar kata subprime mortgage ketimbang prime mortgage. Namun, sebelum penulis menjelaskan perbedaan keduanya perlulah kita menerjemahkan mortgage itu sendiri. Mortgage yang kita bahas di sini adalah hutang untuk membeli properti di mana properti tersebut kemudian dipakai sebagai jaminan. Contohnya adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Peminjaman mortgage itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu prime dan subprime. Untuk kategori prime adalah orang-orang yang memiliki track record kredit bagus, penghasilan tinggi, tingkat gagal bayar yang rendah atau bisa dikatakan mereka yang kaya. Kebalikannya, subprime adalah orang-orang yang tidak memenuhi kriteria di atas atau bisa kita sebut orang miskin. Munculnya industri subprime mortgage membuka peluang orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, persentase subprime mortgage adalah 23.8%, 25.5%, dan 22.8% dari total pemberian pinjaman mortgage pertahunnya.[3] Karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank komersial terus meningkat. Tak heran jika pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di AS juga meningkat pesat (housing boom).
Number of Subprime ARM Resets (as of 4th quarter 2007)
Sumber: Federal Reserve Board calculations from First American LoanPerformance Data.
Bisa dibayangkan ketika orang miskin memutuskan untuk membeli rumah secara kredit dan ketika sudah jatuh tempo mereka tidak bisa membayar. Sekarang Anda bayangkan orang yang lebih susah membayar hutang harus membayar bunga yang lebih tinggi. Tingkat gagal bayar pun semakin tinggi dan membuat bank-bank pemberi kredit perumahan menjadi kelabakan.
Tingkat Gagal Bayar Subprime Mortgage di AS
Sumber : Board of Governors of the Federal Reserve System
Bagaimana Bisa Menjadi Krisis Global?
Penjelasannya cukup simpel, seperti di bawah ini :
1. Penduduk AS dengan track record kredit relatif buruk membeli rumah melalui industri/perusahaan subprime mortgage. Terjadi transaksi individual antara peminjam (subprime borrowers) dan pemberi mortgage (subprime lenders);
2. Kemudian, para subprime lenders (perusahaan perumahan) ini mengumpulkan berbagai mortgage (berbentuk surat hutang) dan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial. Bank komersial kemudian menjual sebagian portfolio mortgage tersebut kepada investment bank;
3. Subprime mortgage itu bisa juga dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage Backed Securitites atau MBS. MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan: yaitu ketika pemimjam mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Pendapatan ini bisa dipilah-pilah menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Semua bunga dari peminjam mortgage pertama kali akan dibayar sebagai bunga kepada pemilik MBS dengan senioritas paling tinggi. Kalau ada sisa, baru pendapatan itu masuk ke pemilik dengan senioritas lebih rendah. Demikian seterusnya. Bisa dilihat bahwa semakin rendah tingkat senioritasnya, semakin tinggi resiko dari MBS ini. Karena resikonya yang paling rendah, maka MBS paling senior harganya juga paling mahal.
4. Rating agencies semacam Standard & Poor’s (S&P) memberikan rating terhadap MBS ini. Ternyata, rating AAA untuk MBS lebih besar resiko gagal bayarnya dibanding dengan surat hutang dengan rating AAA juga.
5. Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi Collateralized Debt Obligations (CDOs). Sama seperti MBS, CDOs juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. CDOs juga dipilah-pilah lagi menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS aset CDOs yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgage (dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS).[4]
6. CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dll baik di Amerika Serikat maupun di luar. Jadilah resiko subprime mortgage tersebar ke mana-mana.
7. Jangka waktu kredit perumahan adalah panjang sekitar 10-20 tahun, namun jangka waktu kredit oleh bank terhadap bank lain cukup pendek sekitar 1-5 tahun.
Skema Krisis Subrpime Mortgage
Sumber : Analisa penulis
Krisis Juga Terjadi di Erop
Krisis ekonomi juga terjadi di Benua Eropa. Kasusnya hampir sama dengan AS, namundi Eropa kali ini bukan dikarenakn kredit rumah macet, melainkan gagal bayarnya negara terhadap hutang-hutangnya.
Krisis keuangan Eropa saat ini juga telah mengancam perekonomian dunia. Krisis yang berakar pada kegagalan zona euro untuk memperbaiki perbankan. Gejolak zona euro sebagai salah satu faktor asing yang telah membantu memperlambat perekonomian dunia. Sebenarnya perekonomian Eropa belum sepenuhnya sembuh kembali dari krisis 2007 dan tidak pernah sepenuhnya menangani semua tantangan yang dihadapi sistem perbankan mereka. Salah satu faktor penting krisis Eropa adalah faktor krisis utang di negara Yunani.
Krisis utang yang berawal dari Yunani, yang kemudian merembet ke Irlandia dan Portugal. Ketiga negara tersebut memiliki utang yang lebih besar dari GDP-nya, dan juga sempat mengalami defisit (pengeluaran negara lebih besar dari GDP). Krisis mulai terasa pada akhir tahun 2009, dan semakin seru dibicarakan pada pertengahan tahun 2010.
Para pakar melihat kemegahan perayaan Olimpiade tahun 2004 silam turut menjerumuskan Yunani pad hutang-hutang besar. Selain itu, adanya pejabat pemerintah yang menghindari pembayaran pajak. Para pejabat pemerintah menggunakan celah-celah hukum untuk bisa lolos dari pajak. Salah satunya contohnya adalah adanya sekitar 57 dokter yang menghindar dari pajak.[5] Diperkirakan, potensi pajak yang digelapkan para dokter mencapai US$40 miliar (sekitar Rp. 360 triliun) atau setara dengan 10% utang Yunani.
Krisis ekonomi Yunani membuat negara-negara di zona euro ambil tindakan, salah satunya adalah Jerman. Jerman merasa krisis tersebut akan berdampak sistemik. Oleh karena itu, Jerman merencanakan akan memberikan bantuan sebesar 22.4 miliar euro. Selain itu pemerintah Jerman juga melarang naked short sell[6]. Seperti yang diungkapkan BaFin, otoritas pasar modal Jerman, melarang transaksi short sell tanpa aset dasar (naked) untuk beberapa jenis instrumen. Hal tersebut mulai dilakukan pada tanggal 18 Mei 2010 hingga 31 Maret 2011, kebijakan tersebut ditempuh karena Jerman menilai aksi para spekulan sudah di luar batas.
Namun, krisis ekonomi Eropa tersebut terus berlanjut dan menjalar ke Irlandia, Spanyol, Portugal, dan Italia. Mungkin inilah resiko yang harus diterima dari terinterdepensinya dan terintegrasinya perekonomian dunia. Kejadian di sebuah negara, akan berdampak pula dengan negara lain di sekitar dan di luar sana.
Asia, the New Economic Global Player
Asia yang dalam G20 disebut-sebut sebagai new emerging market bisa jadi sebagai kekuatan dan pusat perekonomian baru. Jepang, China dan India adalah tiga serangkai Asia yang mulai awal abad 21 makin menunjukkan kekuatan ekonominya sebagai pemain yang dalam waktu dekat ini kian mengarah ke integrasi regional Asia. Hasil penghitungan baru PDB negara-negara di dunia versi Bank Dunia di tahun 2005 cukup mengejutkan yakni munculnya angka PDB negara China sebesar $2,2638 triliun. Tentu saja menempatkan China sebagai negara dengan besaran ekonomi nomor 4 dunia, menggeser Inggris. Berada di atasnya adalah pertama Amerika Serikat, kedua Jepang, dan ketiga Jerman. Lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan PDB China akan melampaui Jerman pada 2010, Jepang pada 2015, dan Amerika Serikat pada 2040. Kejutan lainnya adalah Negara Asia lainnya, India. PDB negara India di tahun 2005 sebesar $300 milliar.Diprediksi PDB India akan mengalahkan Italia di tahun 2015, Perancis di tahun 2020, Jerman di tahun 2025, Jepang antara tahun 2030-2035, dan Amerika Serikat di tahun 2040. Di 2040, China dan India tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi di mana pusatnya tak lagi di benua Amerika/Eropa, namun di Asia, bekas negara berkembang. Hal ini tentunya akan melengkapi sejarah sukses Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Chindonesia, 3 Kekuatan Dahsyat Ekonomi Dunia
Namun kita pun harus bangga dengan negara kita. Indonesia yang menurut pakar ekonomi masuk dalam calon kekuatan ekonomi baru di dunia. Menurut Morgan Stanley, diperkirakan lima tahun ke depan PDB Indonesia bakal mencapai US$800 miliar. Senada dengan itu, majalah bergengsi The Economist, pada Juli 2010 juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Dan bahkan Indonesia pun berpotensi menggeser Rusia dalam BRIC.
Laporan CLSA (Credit Lyonnais Securities Asia) Asia-Pasific Markets, sebuah lembaga investasi berjudul Chindonesia: Enter the Komodo, berisi prospek perekonomian di tiga negara China-India-Indonesia, di mana ketiganya dianggap sebagai triangle kekuatan ekonomi di Asia. Berikut kutipan dalam laporan tersebut:[7]
“China dan India sering disebut sebagai penggerak perekonomian global masa depan dan sekarang waktunya Indonesia masuk barisan bersama mereka. Negara tersebut adalah sumber pemasok marginal untuk Chindia, dimana dalam kurun waktu terakhir memiliki pertumbuhan percapita yang kuat dan demografi yang atraktif. Bacalah laporan CLSA Asia-Pasifik market tersebut untuk mengetahui lebih banyak tentang segitiga pertumbuhan Asia selanjutnya yaitu Chindonesia”.
Dalam laporan CLSA tersebut, Indonesia memiliki dua kekuatan penting yaitu sumber daya manusia dan sumber daya alam. Bahkan di tahun 2030, saat negara maju seperti Jepang, Jerman, Prancis dan sebagainya mengalami persoalan dengan jumlah penduduk yang menyusut Indonesia justru dalam fase puncak mendapat keuntungan dari jumlah penduduk dengan usia kerja terbanyak.
Bahkan, CLSA menyebutkan ketika semua negara hampir mengalami tren pertumbuhan GDP negatif, namun China, India dan Indonesia tetap menunjukkan tren positif. Pertumbuhan GDP China sebesar 17 persen, India 13,5 persen dan Indonesia 7,7 persen.
Runtuhnya kekuatan ekonomi dunia (AS dan Eropa) membuat para investor melarikan dana-dananya ke negara-negara Asia yang di mana tidak tedampak krisis ekonomi global dan stabil. Hal ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik oleh negara Asia. Dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh negara-negara Asia, penulis berspekulasi ‘yes, we can to be new economic global player’
[1]Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
[2]”Dua Kandidat Republikan Adu Strategi Penciptaan Lapangan Kerja”, diakses dari www.suarapembaruan.com
[3]Loan Performance Estimates
[4]“Financial Chernobyl or Manageable Risk?”, diakses dari www.thehedgefundjournal.com
[5] http://www.forumbebas.com/thread-123053.html
[6]http://www.wartaekonomi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4926:jerman-terapkan-larangan-naked-short-sale-dan-mulai-ajak-eropa&catid=53:aumum
[7]“ Chindonesia, 3 Kekuatan Dahsyat Ekonomi Dunia”, diakses dari www.bisnis.vivanews.com
Saturday, 10 December 2011
Sunday, 6 November 2011
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri AS
By : Triono Akmad Munib
Serangan terhadap Pentagon dan WTC tanggal 11 September 2001, membuat arah kebijakan luar negeri AS berubah secara drastis, yaitu untuk perang terhadap “terorisme global”. Ini terlihat, pada persetujuan Bush kepada NATO untuk menempatkan pasukan AS di Balkan dan menegaskan kembali mengenai hubungan dengan negara-negara Arab
AS juga memulai kampanyae diplomatic yang berkesinambungan untuk mendaftar bantuan luar negeri agar bersama “dunia” ia bisa mendongkel organisasi teroris yang masih tersisa. Para pejabat AS menekankan bahwa serangan ini mungkin akan lama dan memperingatkan bahwa tindakan militer terhadap jaringan teroris yang dicurigai mungkin berlanjut setelah gempuran pertama atas Al-Qaeda dan tuan rumah mereka, Taliban
•Kebijakan Luar Negeri AS Tidaklah Bebas Biaya
Sejak awal 1990-an, para pemimpin AS bersikap seolah-olah AS bisa mengejar sasaran-sasaran kebijakan luar negeri yang ambisius tanpa harus membuat pengorbanan yang signifikan.
Perasaan congkak ini tumbuh bersama kemenangan AS dalam Perang Dingin dan kian diperkuat oleh pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir. Sekalipun pasukan militer AS sangat sibuk, ongkos manusia dan ekonomi dari kegiatan-kegiatan ini ternyata sangat rendah. Korban jiwa dalam Perang Teluk Persia pada 1991 jaug lebih sedikit daripada yang diperkirakan, dan Angkatan Udara AS telah berpatroli di zona larangan terbang di Irak dan melakukan serangan bom sporadis di sana selama hampir 10 tahun tanpa kehilangan satu pesawat pun
Dekade 1990-an juga merupakan sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang memperkuat kepercayaan diri AS dan membuatnya bisa dengan mudah menanggung beban internasional tanpa merasa berat secara keuangan
•Amerika Serikat Tak Sepopuler Yang Mereka Kira
Rakyat AS cenderung melihat negara mereka sebagai sebuah “kota yang bersinar gemilang di atas bukit” dan sering menganggap bahwa negara-negara lain menghormati dan menghargai peran globalnya. Namun baik serangan 11 September maupun reaksi internasional terhadap serangan ini telah memperjelas tingkat di mana banyak orang di luar AS sebenarnya bersikap ambivalen mengenai posisi AS di dunia
Di satu eksterm, organisasi teroris seperti Al-Qaeda terilhami oleh antipasti yang demikian besar terhadap AS dan dominasi globalnya. Sebagian dari antipati ini bukan hanya bersumber dari sebuah visi tentang AS sebagai masyarakat yang korup dan tak bertuhan, melainkan juha dipicu oleh hubungan AS-Israel, dukungannya terhadap beberapa rezim konservatif Arab, dan konfliknya dengan Irak yang tak berujung. Di mata para ekstremis radikal anti-AS ini, AS adalah seorang preman global yang campur tangannya di dunia Islam harus dibendung dengan segala cara yang diperlukan
•Negara-negara Gagal (Failed States) Merupakan Suatu Masalah Keamanan Nasional
Ketika pemerintahan-pemerintahan, anarki yang ditimbulkannya sering memicu migrasi besar-besaran, kekacauan ekonomi, dan kekerasan massal. Sekalipun dampak-dampak ini sering menyebar ke negara-negara tetangga, masalah “negara gagal” seperti: Somalia, Sierra Leone, Liberia, Rwanda, dan Afghanistan pada umumnya dillihat hanya sebagai isu kemanusiaan. Akibatnya, reaksi internasional biasanya setengah hati dan hanya berhasil sebagian
Bahaya yang dihadirkan beberapa negara gagal juga mengingatkan kita bahwa konflik-konflik yang tak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial. Konflik yang berkepanjangan mendorong timbulnya kebencian dan keinginan untuk balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah mengobarkan perang, dan memperkuat para pemimpin yang bertindak semena-mena karena adanya suasana ketakutan
Kondisi-kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. Jaringan teroris yang sekarang ingin disingkirkan AS adalah produk dari konflik berlarut-larut Afghanistan, Kashmir, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Serangan 11 September mungkin tak akan pernah terjadi seandainya pertempuran penuh kekerasan di tempat-tempat itu terselesaikan. Dengan demikian, membantu penyelesaian konflik sipil yang berlarut-larut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, melainkan hal ini juga bisa membuat AS lebih aman
•Mengobarkan Perang Melawan Terorisme: Implikasi Bagi Kebijakan Luar Negeri AS
Serangan 11 September sampai hari ini tidak mempengaruhi posisi utamanya ataupun inti kepentingan nasionalnya. AS masih merupakan kekuatan terbesar dan terdepan dalam ekonomi maupun militer di dunia, dan konsesus global bahwa terorisme adalah masalah serius mungkin bias meningkatkan pengaruh AS dalam jangka pendek. Tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS juga tak terpengaruh: AS tetap ingin menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal, dan menyebar-luaskan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia (human right)
•Pengawasan Senjata Pemusnah Massal
Peristiwa 11 September memperlihatkan bahwa para teroris internasional lebih lihai dan keji dari yang diyakini banyak pakar. Untuk mengurangi ancaman ini diperlukan sebuah upaya baru pengawasan yang ketat terhadap pasokan senjata nuklir, kimia, dan biologi yang ada. Risiko yang paling nyata adalah Rusia, yang persediaan besar SPM-nya masih berada di bawah pengawasan yang tak bias dibiarkan
Untuk menyelesaikan tugas penting ini, pemerintahan Bush harus begerak cepat untuk menerapkan rekomendasi laporan Baker-Cutler 2001 mengenai program pemusnahan senjata nuklir di Rusia, dan mendorong Kongres untuk memberi dana jauh lebih besar daripada sebelumnya terhadap program-program yang dibutuhkan
•Memperbaiki Negara Yang Gagal
Satu bulan setelah serangan atas AS, pemerintahan Bush secara terbuka mengakui bahwa serangannya untuk menggulingkan Taliban akan disertai upaya serius untuk membentuk sebuah pemerintahan Afghanistan yang kukuh dan membangun kembali Negara yang terkoyak-koyak oleh perang ini
Pergeseran kebijakan ini mencerminkan dua hal: pertama, negara-negara gagal seperti Afghanistan telah menjadi tempat bersemainya dan perlindungan yang aman bagi kaum ekstremis anti-AS; kedua, pengakuan bahwa AS ikut bertanggungjawab terhadap kondisi yang dialami Afghanistan saat ini. Kegagalan AS untuk membangun kembali Afghanistan setelah penarikan Uni Soviet pada 1989 menyebabkan munculnya radikalisasi progresif masyarakat Afghan dan kemenangan gemilang Taliban. Jika AS mengulangi kesalahan ini sekali lagi begitu Taliban dikalahkan, bin Ladin-bin Ladin baru sepertinya akan muncul.
•Membangun Kembali Hubungan Dengan Negara Arab dan Islam
Reaksi negara-negara Arab dan Islam terhadap serangan Al-Qaeda dan balasan militer awal AS memperlihatkan derajat di mana AS terasing dari negara-negara ini. Agar risiko bagi pemerintah negara Arab dan Islam yang mendukung upaya AS dan mengisolasi kaum ekstremis anti-AS di negara-negara Islam berkurang, AS harus membangun kembali hubungannya dengan negara-negara ini. Untuk jangka panjang, AS tak bias semata-mata mengandalkan pertemanan dengan negara Arab tapi juga harus memperbaiki citranya di mata publik yang lebih luas
Langkah awal yang nyata adalah melakukan pendekatan yang tak sepihak terhadap konflik Israel-Palestina. AS tidak serta-merta selalu pro-Israel seperti yang diyakini banyak orang Arab, namun kebijakan-kebijakannya di masa lalu belum tertebus. Di saat menegaskan komitmennya terhadap keamanan Israel di dalam tapal batas pra-1967, AS harus jelas-jelas menyatakan bahwa tapal inilah batasan final terhadap kebijakan pemukiman Israel yang ekpansionis dan tak menganggap bahwa kebijakan ini masuk ke dalam kepentingan jangka panjang AS
AS juga harus menjernihkan posisinya menyangkut syarat-syarat bagi sebuah negara Palestina dan menegaskan bahwa sebuah negara yang kukuh mengharuskan Israel menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak yang diusulkan di Camp David pada bulan Juli 2000.
KESIMPULAN (Opini Saya)
Di sini AS yang menjadi kekuatan dan pemain dalam dunia global saat ini, harus lebih berhati-hati dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya. Campur tangan AS dalam berbagai konflik di belahan dunia, membuatnya semakin terjerumus ke dalam citra yang memperburuk dirinya sendiri
Keterlibatan AS pada konflik-konflik di Timur Tengah, semakin memperbanyak daftar musuh AS pada dekade ini. AS memerlukan diplomasi tingkat tinggi yang super hati-hati dan tangkas, serta cermat sehingga Washington seolah tak terlihatr terdesak oleh lobi-lobi dalam proses decision making. Dekade ini kita berharap Obama lebih tepat dalam membuat kebijakan luar negeri AS, khususnya menyangkut konflik Timur Tengah. Tetapi menurut saya, arah kebijakan luar negeri AS itu tak akan ada arah perubahan yang cukup signifikan. Semua itu disebabkan oleh kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang dibuat oleh Bush, yang membuat AS semakin terjermus dalam jurang campur tangan konflik di seluruh belahan dunia. Sehingga membuat opini publik internasional terus mengalir dalam hal-hal yang negatif tetntunya. Di sini, Obama seolah "got the trap". Mr. Barry (Barrack Obama) seolah tak bisa leluasa bergerak untuk mencoba menentukan kebijakan yang lebih baik
Serangan terhadap Pentagon dan WTC tanggal 11 September 2001, membuat arah kebijakan luar negeri AS berubah secara drastis, yaitu untuk perang terhadap “terorisme global”. Ini terlihat, pada persetujuan Bush kepada NATO untuk menempatkan pasukan AS di Balkan dan menegaskan kembali mengenai hubungan dengan negara-negara Arab
AS juga memulai kampanyae diplomatic yang berkesinambungan untuk mendaftar bantuan luar negeri agar bersama “dunia” ia bisa mendongkel organisasi teroris yang masih tersisa. Para pejabat AS menekankan bahwa serangan ini mungkin akan lama dan memperingatkan bahwa tindakan militer terhadap jaringan teroris yang dicurigai mungkin berlanjut setelah gempuran pertama atas Al-Qaeda dan tuan rumah mereka, Taliban
•Kebijakan Luar Negeri AS Tidaklah Bebas Biaya
Sejak awal 1990-an, para pemimpin AS bersikap seolah-olah AS bisa mengejar sasaran-sasaran kebijakan luar negeri yang ambisius tanpa harus membuat pengorbanan yang signifikan.
Perasaan congkak ini tumbuh bersama kemenangan AS dalam Perang Dingin dan kian diperkuat oleh pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir. Sekalipun pasukan militer AS sangat sibuk, ongkos manusia dan ekonomi dari kegiatan-kegiatan ini ternyata sangat rendah. Korban jiwa dalam Perang Teluk Persia pada 1991 jaug lebih sedikit daripada yang diperkirakan, dan Angkatan Udara AS telah berpatroli di zona larangan terbang di Irak dan melakukan serangan bom sporadis di sana selama hampir 10 tahun tanpa kehilangan satu pesawat pun
Dekade 1990-an juga merupakan sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang memperkuat kepercayaan diri AS dan membuatnya bisa dengan mudah menanggung beban internasional tanpa merasa berat secara keuangan
•Amerika Serikat Tak Sepopuler Yang Mereka Kira
Rakyat AS cenderung melihat negara mereka sebagai sebuah “kota yang bersinar gemilang di atas bukit” dan sering menganggap bahwa negara-negara lain menghormati dan menghargai peran globalnya. Namun baik serangan 11 September maupun reaksi internasional terhadap serangan ini telah memperjelas tingkat di mana banyak orang di luar AS sebenarnya bersikap ambivalen mengenai posisi AS di dunia
Di satu eksterm, organisasi teroris seperti Al-Qaeda terilhami oleh antipasti yang demikian besar terhadap AS dan dominasi globalnya. Sebagian dari antipati ini bukan hanya bersumber dari sebuah visi tentang AS sebagai masyarakat yang korup dan tak bertuhan, melainkan juha dipicu oleh hubungan AS-Israel, dukungannya terhadap beberapa rezim konservatif Arab, dan konfliknya dengan Irak yang tak berujung. Di mata para ekstremis radikal anti-AS ini, AS adalah seorang preman global yang campur tangannya di dunia Islam harus dibendung dengan segala cara yang diperlukan
•Negara-negara Gagal (Failed States) Merupakan Suatu Masalah Keamanan Nasional
Ketika pemerintahan-pemerintahan, anarki yang ditimbulkannya sering memicu migrasi besar-besaran, kekacauan ekonomi, dan kekerasan massal. Sekalipun dampak-dampak ini sering menyebar ke negara-negara tetangga, masalah “negara gagal” seperti: Somalia, Sierra Leone, Liberia, Rwanda, dan Afghanistan pada umumnya dillihat hanya sebagai isu kemanusiaan. Akibatnya, reaksi internasional biasanya setengah hati dan hanya berhasil sebagian
Bahaya yang dihadirkan beberapa negara gagal juga mengingatkan kita bahwa konflik-konflik yang tak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial. Konflik yang berkepanjangan mendorong timbulnya kebencian dan keinginan untuk balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah mengobarkan perang, dan memperkuat para pemimpin yang bertindak semena-mena karena adanya suasana ketakutan
Kondisi-kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. Jaringan teroris yang sekarang ingin disingkirkan AS adalah produk dari konflik berlarut-larut Afghanistan, Kashmir, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Serangan 11 September mungkin tak akan pernah terjadi seandainya pertempuran penuh kekerasan di tempat-tempat itu terselesaikan. Dengan demikian, membantu penyelesaian konflik sipil yang berlarut-larut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, melainkan hal ini juga bisa membuat AS lebih aman
•Mengobarkan Perang Melawan Terorisme: Implikasi Bagi Kebijakan Luar Negeri AS
Serangan 11 September sampai hari ini tidak mempengaruhi posisi utamanya ataupun inti kepentingan nasionalnya. AS masih merupakan kekuatan terbesar dan terdepan dalam ekonomi maupun militer di dunia, dan konsesus global bahwa terorisme adalah masalah serius mungkin bias meningkatkan pengaruh AS dalam jangka pendek. Tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS juga tak terpengaruh: AS tetap ingin menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal, dan menyebar-luaskan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia (human right)
•Pengawasan Senjata Pemusnah Massal
Peristiwa 11 September memperlihatkan bahwa para teroris internasional lebih lihai dan keji dari yang diyakini banyak pakar. Untuk mengurangi ancaman ini diperlukan sebuah upaya baru pengawasan yang ketat terhadap pasokan senjata nuklir, kimia, dan biologi yang ada. Risiko yang paling nyata adalah Rusia, yang persediaan besar SPM-nya masih berada di bawah pengawasan yang tak bias dibiarkan
Untuk menyelesaikan tugas penting ini, pemerintahan Bush harus begerak cepat untuk menerapkan rekomendasi laporan Baker-Cutler 2001 mengenai program pemusnahan senjata nuklir di Rusia, dan mendorong Kongres untuk memberi dana jauh lebih besar daripada sebelumnya terhadap program-program yang dibutuhkan
•Memperbaiki Negara Yang Gagal
Satu bulan setelah serangan atas AS, pemerintahan Bush secara terbuka mengakui bahwa serangannya untuk menggulingkan Taliban akan disertai upaya serius untuk membentuk sebuah pemerintahan Afghanistan yang kukuh dan membangun kembali Negara yang terkoyak-koyak oleh perang ini
Pergeseran kebijakan ini mencerminkan dua hal: pertama, negara-negara gagal seperti Afghanistan telah menjadi tempat bersemainya dan perlindungan yang aman bagi kaum ekstremis anti-AS; kedua, pengakuan bahwa AS ikut bertanggungjawab terhadap kondisi yang dialami Afghanistan saat ini. Kegagalan AS untuk membangun kembali Afghanistan setelah penarikan Uni Soviet pada 1989 menyebabkan munculnya radikalisasi progresif masyarakat Afghan dan kemenangan gemilang Taliban. Jika AS mengulangi kesalahan ini sekali lagi begitu Taliban dikalahkan, bin Ladin-bin Ladin baru sepertinya akan muncul.
•Membangun Kembali Hubungan Dengan Negara Arab dan Islam
Reaksi negara-negara Arab dan Islam terhadap serangan Al-Qaeda dan balasan militer awal AS memperlihatkan derajat di mana AS terasing dari negara-negara ini. Agar risiko bagi pemerintah negara Arab dan Islam yang mendukung upaya AS dan mengisolasi kaum ekstremis anti-AS di negara-negara Islam berkurang, AS harus membangun kembali hubungannya dengan negara-negara ini. Untuk jangka panjang, AS tak bias semata-mata mengandalkan pertemanan dengan negara Arab tapi juga harus memperbaiki citranya di mata publik yang lebih luas
Langkah awal yang nyata adalah melakukan pendekatan yang tak sepihak terhadap konflik Israel-Palestina. AS tidak serta-merta selalu pro-Israel seperti yang diyakini banyak orang Arab, namun kebijakan-kebijakannya di masa lalu belum tertebus. Di saat menegaskan komitmennya terhadap keamanan Israel di dalam tapal batas pra-1967, AS harus jelas-jelas menyatakan bahwa tapal inilah batasan final terhadap kebijakan pemukiman Israel yang ekpansionis dan tak menganggap bahwa kebijakan ini masuk ke dalam kepentingan jangka panjang AS
AS juga harus menjernihkan posisinya menyangkut syarat-syarat bagi sebuah negara Palestina dan menegaskan bahwa sebuah negara yang kukuh mengharuskan Israel menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak yang diusulkan di Camp David pada bulan Juli 2000.
KESIMPULAN (Opini Saya)
Di sini AS yang menjadi kekuatan dan pemain dalam dunia global saat ini, harus lebih berhati-hati dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya. Campur tangan AS dalam berbagai konflik di belahan dunia, membuatnya semakin terjerumus ke dalam citra yang memperburuk dirinya sendiri
Keterlibatan AS pada konflik-konflik di Timur Tengah, semakin memperbanyak daftar musuh AS pada dekade ini. AS memerlukan diplomasi tingkat tinggi yang super hati-hati dan tangkas, serta cermat sehingga Washington seolah tak terlihatr terdesak oleh lobi-lobi dalam proses decision making. Dekade ini kita berharap Obama lebih tepat dalam membuat kebijakan luar negeri AS, khususnya menyangkut konflik Timur Tengah. Tetapi menurut saya, arah kebijakan luar negeri AS itu tak akan ada arah perubahan yang cukup signifikan. Semua itu disebabkan oleh kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang dibuat oleh Bush, yang membuat AS semakin terjermus dalam jurang campur tangan konflik di seluruh belahan dunia. Sehingga membuat opini publik internasional terus mengalir dalam hal-hal yang negatif tetntunya. Di sini, Obama seolah "got the trap". Mr. Barry (Barrack Obama) seolah tak bisa leluasa bergerak untuk mencoba menentukan kebijakan yang lebih baik
Format Ideal Parlemen Indonesia : What Should They (parliament) Do?
By : Triono Akmad Munib
Sebuah tulisan yang berangkat dari keprihatinan penuilis atas kinerja parlemen Indonesia. Boleh setuju maupun tidak setuju. Perbedaan pemikiran justru hal yang diharapkan penulis. Pemikiran-pemikiran 'fantastis dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk bersama-sama mencari sebuah format ideal parlemen Indonesia guna menuju Indonesia yang baik ke depan. SAVE OUR NATIONS!
Fenomena yang terjadi di parlemen negara ini memang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Lihat saja mulai dari yang tertidur saat sidang, ricuh saat pengambilan keputusan (kasus Bank Century) hingga nonton film porno (anggota dari fraksi PKS, Arifinto) saat rapat berlangsung. Ironi memang, ketika mereka dipilih oleh rakyat dengan harapan bisa mengemban amanah rakyat. Tetapi, dalam kinerjanya sangat memprihatinkan. Mereka (anggota parlemen) digaji dari uang rakyat melalui pajak. Mereka bisa duduk dikursi yang empuk juga karena dukungan rakyat. Seakan anggota dewan yang katanya ‘terhormat’ lupa akan asal-usulnya, ribuan janji yang diucapkannya saat kampanye. Empuknya kursi dewan membuatnya lupa akan apa yang pernah diucapkannya.
Saat ratusan juta rakyat Indonesia, ribuan rakyat miskin berharap kebijakan yang berpihak pada mereka. Mereka yang ‘terhormat’ malah sibuk sendiri dengan kepentingan partai politik yang menjadi kendaraannya di parlemen. Sibuk dengan bagi-bagi dana proyek, saling sikut kepentingan. Di saat jutaan anak tak bisa sekolah, mereka malah asyik melancong ke luar negeri dengan berbagai macam alasan yang menurut tidak masuk akal. Suatu contoh, Komisi VIII DPR beberapa bulan lalu tepat bulan Mei 2011 melawat ke Australia guna mempelajari penanganan fakir mikin. Tujuan dari lawatan yang dibungkus dengan agenda studi banding tersebut sangat baik. Namun, kenapa anggora Komisi VIII tetap ngotot pergi disaat parlemen Australia sedang mengalami masa reses kepada konstituennya alias libur? Jelas yang sebenarnya agenda utama adalah bukan untuk bertemu dengan Parlemen Australia tetapi hanya pelesiran untuk menghabiskan uang negara. Lawatan tersebut menyedot dana sebesar Rp. 811 juta dengan masing-masing dianggarkan Rp 56 juta per anggota per tujuh hari. Sungguh ironi anggota parlemen di negeri ini.
Namun, bagaimanapun juga kehadiran parlemen dalam sebuah negara menjadi penting karena parlemen merupakan representasi dari masyarakat negara tersebut. Dulunya, di jaman sebelum Westphalia (1648) mungkin tidak diperlukan sebuah parlemen, cukup mengumpulkan masyarakat untuk berkumpul bersama mengambil sebuah keputusan berdasarkan musyawarah. Tetapi, semenjak munculnya konsep negara dan tingginya tingkatnya laju pertumbuhan penduduk membuat hal klasik tersebut sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, muncul istilah parlemen yang merupakan perwakilan dari rakyat yang di mana anggotanya pun dipilih langsung oleh rakyat dengan rasio yang berbeda-beda di setiap negara. Misalnya jumlah anggota House of Representative (HoR)/DPR Amerika Serikat (AS) ditentukan oleh Kongres, yaitu berdasarkan jumlah penduduk tiap negara bagian. Konstitsusi AS menetapkan 1 kursi setiap 600.000 penduduk dan rasio ini terus berubah sesuai pertumbuhan penduduk.
Selain itu, parlemen juga berfungsi sebagai check and balance kinerja pemimpin. Dalam prinsip demokrasi, check and balance menjadi hal yang mutlak penting untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin. Atau lebih mudahnya parlemen menjadi sebuah kontrol atas kinerja pemimpin. Hal ini juga bisa dilihat sebagai upaya pencegahan pemimpi ke arah otoriter (karena seorang pemimpin negara harus mendiskusikan dengan parlemen jika ingin mengambil sebuah kebijakan).
Sebagai perwakilan dari masyarakat sebuah parlemen seyogyanya harus bertindak sesuai dengan keinginan rakyat. Jika kita telaah lebih dalam kata ‘perwakilan’ itu sendiri, maka maknanya yang bertindak sebagai majikan adalah rakyat sehingga tak ayal parlemen hanyalah sebuah penyambung lidah atau lebih sederhana dikatakan kurir bagi rakyat. Namun, dalam prakteknya hal tersebut sulit diwujudkan di hampir semua negara di dunia termasuk di Indonesia. Anggota parlemen sering membawa-bawa kalimat demi kepentingan rakyat. Terkadang kita pun sulit membedakan arti ‘kepentingan rakyat’ itu sendiri. Kepentingan rakyat siapa yang mereka maksud? Rakyat anggota parpol? Rakyat yang seideologi dengannya saja? Kita pun terkadang tampak terbuai ketika para anggota parlemen membawah embel-embel demi kepentingan rakyat.
Menyoroti kinerja parlemen Indonesia yang dari tahun ke tahun selalu mendapatkan kritik dari masyarakat atas tingkah laku anggotanya yang ‘aneh-aneh’ turut membuat penulis memikirkan hal ini. Ada apa dengan parlemen negara ini? Sistem pemerintahan negara ini menurut penulis adalah sistem pemerintahan yang sangat representatif di dunia. Betapa tidak, hanya di Indonesia yang di mana para anggota parlemen (DPRD, DPD, DPR-RI) dan presidennya dipilih secara langsung, one man one vote. Negara yang empunya demokrasi saja, yaitu AS tidak demikian. Mereka masih ada lembaga electoral college yang menentukan hasil akhir pemilihan umum (pemilu). Tetapi, mengapa parlemen Indonesia dalam mengambil maupun merancang sebuah UU terkadang tidak sesuai dengan tuntutan rakyat. Lebih kepada tuntutan partai politik yang menjadi kendaraannya menuju kursi empuk anggota dewan.
Dalam kesempatan ini, penulis mencoba menuangkan ide-ide untuk setidaknya menyelematkan parlemen negara kita untuk menuju parlemen Indonesia yang lebih baik ke depan. Ide tersebut penulis rangkum dalam sebuah saran-saran yang dirangkum ‘what should they (parliament) do’, sebagai berikut :
1. Return to the your basic work
Parlemen adalah wakil rakyat, dasar pekerjaannya adalah penyambung lidah rakyat. Untuk para anggota parlemen kembalilah ke pekerjaan dasarmu. Lebih profesional dan independen dalam membawa tuntutan rakyat. Suarakan dengan kencang jika memang itu kepentingan rakyat. Dan satu hal yang penulis tidak toleran. Jangan membawa embel-embel demi kepentingan rakyat hanya untuk menutupi kepentingan-kepentingan lain.
2. Transparancy
Terkadang rakyat dibuat bingung oleh informasi-informasi media terkait dengan kinerja parlemen. Hal ini disebabkan kurangnya transparansi. Lobi tidak transparan antara pejabat di tingkat pusat dan daerah dengan parlemen sangat mungkin terjadi dan rawan korupsi. Penulis pun sempat berfikir, apakah memang kurang transaparan atau memang harus disembunyikan agar tidak diketahui oleh publik? Untuk para anggota Komisi di parlemen yang doyan mengajukan proposal untuk hal-hal yang terkadang tidak jelas dan tidak masuk akal. Untuk ke depan diharapkan untuk lebih transparan atas proyek-proyek yang diajukan agar masyarakat tidak menebak-nebak sesuatu yang tidak akurat kebenarannya. Ingat prinsip ‘wakil rakyat’!
3. Accountability
Jelas para wakil rakyat harus bertanggungjawab. Hal ini menjadi penting karena mereka (wakil rakyat) mengemban amanah dari rakyat. Namun, penulis melihat kebanyakan mereka kurang bertanggungjawab. Coba kita lihat, saat sidang yang jelas-jelas akan membahas tuntutan rakyat jarang sekali kursi anggota dewan terisi penuh. Hampir tidak pernah 100 persen bisa hadir semua mereka. Atau mereka hadir, tapi tertidur saat sidang berlangsung (lihat berita-berita terkait kemarahan Presiden SBY melihat anggota dewan tertidur saat mendengarkan pengarahan darinya). Hanya jas yang diletakkan di kursi, tapi mereka hilang entah ke mana. Pantas kalo ada yang memberi gelar 3P untuk anggota dewan, yaitu pemalas, pembolos, dan pembual. Anggota dewan yang bertanggungjawab itu perlu dan penting.
4. Have a strong strategic vision
Parlemen harus memiliki visi yang jelas. Sebuah visi akan menjadi hal yang mutlak penting karena visi akan menjadi guide (pemandu) dalam mengemban amanah rakyat. Bak mencari pintu keluar dalam kegelapan tanpa sinar sedikitpun, sebuah visi akan menjadi cahaya untuk menuntun kita mencapai tujuan, yaitu jalan keluar. Visi itu sendiri harus berorientasikan pada upaya mensejahterahkan masyarakat. Sehingga dalam perjalanan nantinya, para anggota dewan dalam membuat atau merancang sebuah UU akan sangat berguna bagi rakyat.
5. Make a two ticket system
Melihat sistem pemilu di Indonesia, membuat penulis sempat memikirkan sistem dua tiket. Pemilu selama ini hanya memberikan satu tiket kepada rakyat. Rakyat hanya bisa menaikkan anggota parlemen dengan mencoblos kandidat yang sesuai dengannya secara langsung. Namun, rakyat tidak bisa menurunkan mereka. Meminjam istilah acara yang diselenggarakan Beswan Djarum. Penulis mencoba think out of the box. Sistem dua tiket yang penulis maksudnya adalah, rakyat seharusnya juga bisa menurunkan anggota parlemen yang dinilai kinerjanya merosost dan selalu bikin ‘ulah’. Jadi, tidak usah menunggu masa jabatan selama 5 tahun untuk mengganti mereka. Selain bisa menaikkan, rakyat juga bisa menurunkan mereka secara langsung.
Lima poin di atas setidaknya merupakan hasil pemikiran penulis guna memberikan sedikit saran dan masukan terhadap format ideal parlemen Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia yang prihatin terhadap kondisi pemerintahan dan perpoltikan Indonesia.Pemikiran-pemikiran dari seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan untuk menuju Indonesia yang lebih baik ke depan
Untuk para anggota dewan yang merupakan representasi dari rakyat, emban tugasmu dengan penuh tanggungjawab dan profesionalisme. Sedikit joke dari penulis, ada turis mengunjungi gedung DPR-RI. Melihat para anggota dewan yang berdatangan dengan mobil-mobil mewah, lengkap dengan gadget canggih ditangan. Turis pun berkata kepada penerjamah bahasanya, “ternyata rakyat Indonesia makmur semuanya”. Penerjemah menjawab, “bagaimana bisa mister?”. Bule balik menjawab, “lihat tuh, para wakil rakyatnya hidup mewah”. HIDUP PARLEMEN INDONESIA!
Sebuah tulisan yang berangkat dari keprihatinan penuilis atas kinerja parlemen Indonesia. Boleh setuju maupun tidak setuju. Perbedaan pemikiran justru hal yang diharapkan penulis. Pemikiran-pemikiran 'fantastis dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk bersama-sama mencari sebuah format ideal parlemen Indonesia guna menuju Indonesia yang baik ke depan. SAVE OUR NATIONS!
Fenomena yang terjadi di parlemen negara ini memang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Lihat saja mulai dari yang tertidur saat sidang, ricuh saat pengambilan keputusan (kasus Bank Century) hingga nonton film porno (anggota dari fraksi PKS, Arifinto) saat rapat berlangsung. Ironi memang, ketika mereka dipilih oleh rakyat dengan harapan bisa mengemban amanah rakyat. Tetapi, dalam kinerjanya sangat memprihatinkan. Mereka (anggota parlemen) digaji dari uang rakyat melalui pajak. Mereka bisa duduk dikursi yang empuk juga karena dukungan rakyat. Seakan anggota dewan yang katanya ‘terhormat’ lupa akan asal-usulnya, ribuan janji yang diucapkannya saat kampanye. Empuknya kursi dewan membuatnya lupa akan apa yang pernah diucapkannya.
Saat ratusan juta rakyat Indonesia, ribuan rakyat miskin berharap kebijakan yang berpihak pada mereka. Mereka yang ‘terhormat’ malah sibuk sendiri dengan kepentingan partai politik yang menjadi kendaraannya di parlemen. Sibuk dengan bagi-bagi dana proyek, saling sikut kepentingan. Di saat jutaan anak tak bisa sekolah, mereka malah asyik melancong ke luar negeri dengan berbagai macam alasan yang menurut tidak masuk akal. Suatu contoh, Komisi VIII DPR beberapa bulan lalu tepat bulan Mei 2011 melawat ke Australia guna mempelajari penanganan fakir mikin. Tujuan dari lawatan yang dibungkus dengan agenda studi banding tersebut sangat baik. Namun, kenapa anggora Komisi VIII tetap ngotot pergi disaat parlemen Australia sedang mengalami masa reses kepada konstituennya alias libur? Jelas yang sebenarnya agenda utama adalah bukan untuk bertemu dengan Parlemen Australia tetapi hanya pelesiran untuk menghabiskan uang negara. Lawatan tersebut menyedot dana sebesar Rp. 811 juta dengan masing-masing dianggarkan Rp 56 juta per anggota per tujuh hari. Sungguh ironi anggota parlemen di negeri ini.
Namun, bagaimanapun juga kehadiran parlemen dalam sebuah negara menjadi penting karena parlemen merupakan representasi dari masyarakat negara tersebut. Dulunya, di jaman sebelum Westphalia (1648) mungkin tidak diperlukan sebuah parlemen, cukup mengumpulkan masyarakat untuk berkumpul bersama mengambil sebuah keputusan berdasarkan musyawarah. Tetapi, semenjak munculnya konsep negara dan tingginya tingkatnya laju pertumbuhan penduduk membuat hal klasik tersebut sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, muncul istilah parlemen yang merupakan perwakilan dari rakyat yang di mana anggotanya pun dipilih langsung oleh rakyat dengan rasio yang berbeda-beda di setiap negara. Misalnya jumlah anggota House of Representative (HoR)/DPR Amerika Serikat (AS) ditentukan oleh Kongres, yaitu berdasarkan jumlah penduduk tiap negara bagian. Konstitsusi AS menetapkan 1 kursi setiap 600.000 penduduk dan rasio ini terus berubah sesuai pertumbuhan penduduk.
Selain itu, parlemen juga berfungsi sebagai check and balance kinerja pemimpin. Dalam prinsip demokrasi, check and balance menjadi hal yang mutlak penting untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin. Atau lebih mudahnya parlemen menjadi sebuah kontrol atas kinerja pemimpin. Hal ini juga bisa dilihat sebagai upaya pencegahan pemimpi ke arah otoriter (karena seorang pemimpin negara harus mendiskusikan dengan parlemen jika ingin mengambil sebuah kebijakan).
Sebagai perwakilan dari masyarakat sebuah parlemen seyogyanya harus bertindak sesuai dengan keinginan rakyat. Jika kita telaah lebih dalam kata ‘perwakilan’ itu sendiri, maka maknanya yang bertindak sebagai majikan adalah rakyat sehingga tak ayal parlemen hanyalah sebuah penyambung lidah atau lebih sederhana dikatakan kurir bagi rakyat. Namun, dalam prakteknya hal tersebut sulit diwujudkan di hampir semua negara di dunia termasuk di Indonesia. Anggota parlemen sering membawa-bawa kalimat demi kepentingan rakyat. Terkadang kita pun sulit membedakan arti ‘kepentingan rakyat’ itu sendiri. Kepentingan rakyat siapa yang mereka maksud? Rakyat anggota parpol? Rakyat yang seideologi dengannya saja? Kita pun terkadang tampak terbuai ketika para anggota parlemen membawah embel-embel demi kepentingan rakyat.
Menyoroti kinerja parlemen Indonesia yang dari tahun ke tahun selalu mendapatkan kritik dari masyarakat atas tingkah laku anggotanya yang ‘aneh-aneh’ turut membuat penulis memikirkan hal ini. Ada apa dengan parlemen negara ini? Sistem pemerintahan negara ini menurut penulis adalah sistem pemerintahan yang sangat representatif di dunia. Betapa tidak, hanya di Indonesia yang di mana para anggota parlemen (DPRD, DPD, DPR-RI) dan presidennya dipilih secara langsung, one man one vote. Negara yang empunya demokrasi saja, yaitu AS tidak demikian. Mereka masih ada lembaga electoral college yang menentukan hasil akhir pemilihan umum (pemilu). Tetapi, mengapa parlemen Indonesia dalam mengambil maupun merancang sebuah UU terkadang tidak sesuai dengan tuntutan rakyat. Lebih kepada tuntutan partai politik yang menjadi kendaraannya menuju kursi empuk anggota dewan.
Dalam kesempatan ini, penulis mencoba menuangkan ide-ide untuk setidaknya menyelematkan parlemen negara kita untuk menuju parlemen Indonesia yang lebih baik ke depan. Ide tersebut penulis rangkum dalam sebuah saran-saran yang dirangkum ‘what should they (parliament) do’, sebagai berikut :
1. Return to the your basic work
Parlemen adalah wakil rakyat, dasar pekerjaannya adalah penyambung lidah rakyat. Untuk para anggota parlemen kembalilah ke pekerjaan dasarmu. Lebih profesional dan independen dalam membawa tuntutan rakyat. Suarakan dengan kencang jika memang itu kepentingan rakyat. Dan satu hal yang penulis tidak toleran. Jangan membawa embel-embel demi kepentingan rakyat hanya untuk menutupi kepentingan-kepentingan lain.
2. Transparancy
Terkadang rakyat dibuat bingung oleh informasi-informasi media terkait dengan kinerja parlemen. Hal ini disebabkan kurangnya transparansi. Lobi tidak transparan antara pejabat di tingkat pusat dan daerah dengan parlemen sangat mungkin terjadi dan rawan korupsi. Penulis pun sempat berfikir, apakah memang kurang transaparan atau memang harus disembunyikan agar tidak diketahui oleh publik? Untuk para anggota Komisi di parlemen yang doyan mengajukan proposal untuk hal-hal yang terkadang tidak jelas dan tidak masuk akal. Untuk ke depan diharapkan untuk lebih transparan atas proyek-proyek yang diajukan agar masyarakat tidak menebak-nebak sesuatu yang tidak akurat kebenarannya. Ingat prinsip ‘wakil rakyat’!
3. Accountability
Jelas para wakil rakyat harus bertanggungjawab. Hal ini menjadi penting karena mereka (wakil rakyat) mengemban amanah dari rakyat. Namun, penulis melihat kebanyakan mereka kurang bertanggungjawab. Coba kita lihat, saat sidang yang jelas-jelas akan membahas tuntutan rakyat jarang sekali kursi anggota dewan terisi penuh. Hampir tidak pernah 100 persen bisa hadir semua mereka. Atau mereka hadir, tapi tertidur saat sidang berlangsung (lihat berita-berita terkait kemarahan Presiden SBY melihat anggota dewan tertidur saat mendengarkan pengarahan darinya). Hanya jas yang diletakkan di kursi, tapi mereka hilang entah ke mana. Pantas kalo ada yang memberi gelar 3P untuk anggota dewan, yaitu pemalas, pembolos, dan pembual. Anggota dewan yang bertanggungjawab itu perlu dan penting.
4. Have a strong strategic vision
Parlemen harus memiliki visi yang jelas. Sebuah visi akan menjadi hal yang mutlak penting karena visi akan menjadi guide (pemandu) dalam mengemban amanah rakyat. Bak mencari pintu keluar dalam kegelapan tanpa sinar sedikitpun, sebuah visi akan menjadi cahaya untuk menuntun kita mencapai tujuan, yaitu jalan keluar. Visi itu sendiri harus berorientasikan pada upaya mensejahterahkan masyarakat. Sehingga dalam perjalanan nantinya, para anggota dewan dalam membuat atau merancang sebuah UU akan sangat berguna bagi rakyat.
5. Make a two ticket system
Melihat sistem pemilu di Indonesia, membuat penulis sempat memikirkan sistem dua tiket. Pemilu selama ini hanya memberikan satu tiket kepada rakyat. Rakyat hanya bisa menaikkan anggota parlemen dengan mencoblos kandidat yang sesuai dengannya secara langsung. Namun, rakyat tidak bisa menurunkan mereka. Meminjam istilah acara yang diselenggarakan Beswan Djarum. Penulis mencoba think out of the box. Sistem dua tiket yang penulis maksudnya adalah, rakyat seharusnya juga bisa menurunkan anggota parlemen yang dinilai kinerjanya merosost dan selalu bikin ‘ulah’. Jadi, tidak usah menunggu masa jabatan selama 5 tahun untuk mengganti mereka. Selain bisa menaikkan, rakyat juga bisa menurunkan mereka secara langsung.
Lima poin di atas setidaknya merupakan hasil pemikiran penulis guna memberikan sedikit saran dan masukan terhadap format ideal parlemen Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia yang prihatin terhadap kondisi pemerintahan dan perpoltikan Indonesia.Pemikiran-pemikiran dari seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan untuk menuju Indonesia yang lebih baik ke depan
Untuk para anggota dewan yang merupakan representasi dari rakyat, emban tugasmu dengan penuh tanggungjawab dan profesionalisme. Sedikit joke dari penulis, ada turis mengunjungi gedung DPR-RI. Melihat para anggota dewan yang berdatangan dengan mobil-mobil mewah, lengkap dengan gadget canggih ditangan. Turis pun berkata kepada penerjamah bahasanya, “ternyata rakyat Indonesia makmur semuanya”. Penerjemah menjawab, “bagaimana bisa mister?”. Bule balik menjawab, “lihat tuh, para wakil rakyatnya hidup mewah”. HIDUP PARLEMEN INDONESIA!
Sunday, 30 October 2011
Permainan Modern vs Permainan Tradisional (Case : Komunitas Tanoker Ledokombo Kab. Jember - Peluang, Tantangan, dan Strategi)
oleh : Triono Akmad Munib, Gangsar Parikesit, Boby Ibipurwo
dipresentasikan dalam acara "Youth Power, Take Action Build Nation" Univ. Gadjah Mada Yogyakarta, 21-23 Oktober 2011
Globalisasi
Belakangan ini globalisasi menjadi sebuah istilah hangat yang selalu diperbincangkan oleh para penstudi hubungan internasional serta berbagai lapisan masyarakat terutama mereka yang menjadi pelaku dan “korban” globalisasi. Walaupun sering diperbincangkan, seringkali mereka tidak mengetahui secara jelas mengenai makna sebenarnya dari globalisasi. Berbagai usaha dilakukan oleh para ahli dari berbagai macam latar belakang untuk merumuskan jawaban dari pertanyaan, “apa sebenarnya globalisasi itu?”. Bermacam-macam definisi dihasilkan dari sudut pandang keilmuan yang berbeda satu sama lain.
Salah satu definisi yang paling mudah dipahami dan paling sering dipakai untuk menjelaskan apa sebenarnya globalisasi itu adalah definisi globalisasi yang diberikan oleh Jan Art Scholte. Scholte[1] memdefinisikan proses globalisasi menjadi lima proses. Pertama, globalisasi merupakan fenomena internationalization yang diartikan sebagai meningkatnya hubungan lintas batas antar negara. Kedua, globalisasi Scholte maknai sebagai liberalization yaitu penghapusan hambatan baik tarif maupun non-tarif dalam aliran barang dan jasa untuk membentuk suatu perekonomian yang terintegrasi. Ketiga, globalisasi dimaknai sebagai universalization yang berarti menyebarnya berbagai nilai, serta pemikiran manusia sehingga menjadi hak milik secara universal. Konsep keempat untuk mendefinisikan globalisasi identik dengan fenomena westernization, yang diartikan sebagai peniruan berbagai budaya dan system barat yang lazim dianggap sebagai yang terbaik. Konsep terakhir yang berkaitan erat dengan definisi globalisasi menurut scholte adalah konsep deterritorialization yaitu munculnya berbagai entitas suprateritorial di atas negara.
Definisi dari Scholte yang cukup memiliki kaitan dengan bahasan dalam karya tulis ini adalah konsep universalization dan westernization. Kedua konsep ini berpandangan bahwa suatu nilai, norma serta kebudayaan dari negara-negara maju yang didominasi Eropa serta Amerika Utara atau lebih sering kita sebut sebagai barat, adalah lebih baik daripada budaya, nilai serta norma yang dimiliki bangsa timur. Bukan menjadi rahasia bahwa Barat membentuk sebuah persepsi bersama di dunia internasional bahwa sesuatu yang mereka hasilkan akan lebih baik daripada yang dihasilkan dari bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab tergerusnya berbagai nilai, norma serta hasil kebudayaan bangsa timur yang kemudian tidak laku dijual di mata bangsanya sendiri.
Semakin berkembangnya teknologi informasi (TI) serta dinamika komunikasi yang semakin modern telah membuat berbagai nilai serta norma sosial di suatu masyarakat menjadi suatu hal yang universal dan dimiliki bersama. Tetapi, kenyataannya norma serta nilai tersebut merupakan sesuatu yang dikuasai oleh negara-negara dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tinggi. Sehingga mayoritas nilai serta norma yang tersebar secara global adalah hasil dari kebudayaan negara-negara maju (barat).
Permainan Modern Produk Globalisasi
Di abad ke-21 sekarang ini kita hampir tidak bisa mengindari pengaruh globalisasi dan modernisasi, bahkan entitas negara pun sulit membendung derasnya arus globalisasi. Mau tidak mau, suka tidak suka, terpaksa atau pun secara sukarela manusia dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Era globalisasi dan modernisasi menuntut kita untuk bertindak cepat, mudah, efektif, hingga instan. Globalisasi mendidik kita untuk mencapai tujuan (hasil) sesempurna mungkin, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Oleh sebab itu manusia modern cenderung individualistik.
Pengaruh globalisasi ini sudah menjalari manusia modern sejak usia balita mulai hingga dewasa mulai dari hal terkecil seperti mainan anak-anak sampai hal yang terbesar seperti perubahan gaya hidup (life style). Dalam hal ini, usia anak-anak adalah usia bermain, istilahnya tiada hari tanpa bermain bagi anak-anak. Berbeda dengan 10 atau 15 tahun yang lalu, Jjika dahulu anak-anak bermain hanya dengan bermodal batu, tongkat, dan karet gelang, namun dewasa ini anak-anak sudah dihadapkan dengan hal-hal yang berbau digital, modern dan canggih.
Di era yang serba modern saat ini hampir tidak ada mainan yang gratis. Ingin mobil-mobilan, boneka-bonekaan, game online, PS, game watch, X-Box dan lain sebagainya semuanya harus membeli. Anak-anak di dunia ini telah menjadi korban dari globalisasi permainan modern. Globalisasi selalu dikaitkan dengan modernsiasi, tidak kuno, tidak ketinggalan jaman, dsb. Sehingga implementasinya, anak akan dicap ‘ndeso’ atau ‘katrok’ jika tidak mencoba atau mengganti permainan-permainan tradisionalnya dengan mainan produk globalisasi tersebut.
Masyarakat dunia saat ini telah menjadi one global village. Artinya, bahwa masyarakat di dunia hidup dalam satu planet, satu pola hidup, dan satu selera. Globalisasi telah membuat masyarakat bisa menikmati apapun di dunia ini tanpa harus pergi ke negara pembuatnya. Apalagi, semakin gencarnya negara-negara mempromosikan free trade atau perdagangan bebas yang berdampak cukup besar terhadap arus barang yang masuk ke Indonesia. Misalnya, kita saat ini bisa menikmati KFC tanpa harus ke AS, menggunakan handphone Samsung, LG tanpa harus ke Korea Selatan, memakai produk laptop Acer tanpa harus ke Taiwan, dan sebagainya. Hal ini pun juga terjadi pada bidang permainan anak-anak. Baik di kota maupun di desa saat ini semakin menjamur bisnis rental PS, warnet dan game online.
Permainan modern produk globalisasi tersebut membawa dampak yang cukup signifikan bagi anak-anak dewasa ini. Sub bab berikutnya akan dibahas mengenai dampak permainan modern bagi anak-anak.
Dampak Permainan Modern Bagi Anak
Berbeda jauh dengan permainan anak-anak zaman dahulu yang sarat dengan nilai kejujuran, kebersamaan, kekompakan, kerjasama, keuletan dan olah fisik. Permainan modern saat ini membuat anak-anak mengalami kekurangan komunikasi dengan teman sebayanya atau lebih condong ke sifat individualistik. Mereka memainkan permainan tersebut sendirian tanpa teman.
Bersosialisasi tentunya perlu dalam proses perkembangan anak. Faktanya memang, permainan modern bisa dinikmati sendiri, sehingga anak kurang bersosialisasi dan melakukan komunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan anak.
Suatu contoh, akses online game melalui internet sudah mewabah di setiap daerah di Indonesia tak mengenal di desa maupun di kota, apalagi sekarang ini banyak sekali teknologi-teknologi yang memberikan kemudahan akses internet, seperti maraknya modem USB. Hal ini membuat anak-anak remaja, mulai bangku sekolah dasar, menengah pertama sampai mahasiswa, betah duduk berjam-jam bermain online game baik pagi, sore, maupun malam hari. Di kota-kota metropolitan saat ini, sering kita jumpai warung internet (warnet) yang memberikan pelayanan 24 jam.
Melalui media internet, mereka dapat mengakses online game untuk mencari lawan tanding dengan reward tertentu (poin diperjualbelikan) atau chatting dengan temannya di dunia maya tanpa dapat kita ketahui bagaimana perilaku dan sifat temannya. Tidak ada sebuah proses komunikasi dan sosialiasi secara langsung atau face to face dalam hal ini. Sebagian anak-anak dan remaja sampai kecanduan dan berakibat negatif kepada kehidupan sosial dan pelajarannya di sekolah, karena mereka tidak bisa menahan diri untuk bermain dan sebagian besar waktunya digunakan di warnet untuk bermain online game.
Beberapa dampak buruk yang berbahaya bagi anak-anak dan remaja yang kecanduan game online, diantaranya :
1. Pemborosan, karena harus membayar sewa online game maupun rental PS.
2. Anak menjadi malas belajar, karena pikirannya terfokus pada game.
3. Merusah kesehatan mata, karena terlalu lama di depan monitor komputer/televisi.
4. Anak menjadi individualistik.
5. Terjadi perkelahian antar pemain jika bersaing dan akumulasi emosi negatif apabila kalah didalam bermain, bahkan sampai terjadi pembunuhan seperti apa yang terjadi di Perancis pada November 2009 silam.
Julien Barreaux, 20, told police he wanted to see his rival player "wiped out" after his character in the game Counter-Strike died in a virtual knife fight.[2]
Atau seperti yang terjadi di Bandung tahun 2005, seorang mahasiswa Universitas Maranatha tewas ditikam temannya sendiri akibat kalah bermain PS.
Krisna Cahyadi (19), mahasiswa ekonomi angkatan 2004 Universitas Maranatha, ditemukan sudah menjadi mayat di tempat kosnya, di lantai 3 kamar C-20 Tulip Home Jln. Babakanjeruk IV No. 30 Kota Bandung, Kamis (1/12) sekira pukul 13.30 WIB. Dalam pemeriksaan awal, tersangka mengaku menghabisi nyawa korban karena kalah judi bola dan bermain Play Station dengan korban.[3]
Terpengaruh dengan kekerasan dalam game. Seperti perisitiwa yang terjadi di Wellington Amerika Serikat, seorang anak tega membunuh ibu kandungnya setelah bermain Halo 3
Daniel Petric, the Wellington teenager who claimed to be addicted to video games, was sentenced to at least 23 years in prison Tuesday for killing his mother and shooting his father after they forbade him from playing the game Halo 3.[4]
Beberapa kasus kriminal akibat permainan PS maupun online game di atas membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa dampak permainan modern sangat menakutkan. Permainan modern bisa mengubah mental, moral, bahkan kejiwaan anak-anak. Harus ada sebuah pewaspadaan terhadap pemilihan permainan anak-anak. Dan pastinya kita semua tidak ingin anak-anak Indonesia mengalami hal-hal seperti di atas.
Pelestarian permainan tradisional dalam hal ini, dipandang sebagai sebuah upaya counter globalisasi permainan modern. Sebuah permainan akan sangat besar pengaruhnya terhadap pembinaan budaya anak-anak dalam masyarakat. Artinya bahwa anak-anak lebih bisa menerima dengan cepat suatu pengetahuan melalui permainan. Sebab dalam permainan anak terkandung nilai-nilai pendidikan yang tidak secara langsung terlihat nyata, tetapi terlindung dalam sebuah simbol. Nilai-nilai tersebut memiliki banyak dimensi , antara lain rasa kebersamaan, kejujuran, kedisiplinan, sopan-santun dan aspek-aspek kepribadian yang lain atau bahkan mengandung nilai kekerasan.
PERAN KOMUNITAS TANOKER LEDOKOMBO KABUPATEN JEMBER DALAM MELESTARIKAN PERMAINAN TRADISIONAL(Peluang, Tantangan, dan Strategi)
Sekilas Kecamatan Ledokombo Kab. Jember
Kecamatan Ledokombo merupakan salah satu dari sekian Kecamatam di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Kecamatan ini berpenduduk sekitar 56.000 jiwa.[5] Mata pencaharian masyarakatnya pada umumnya buruh tani. Sisanya berjuang di sektor informal (pedagang kecil) disamping menjadi buruh perusahaan, pegawai negeri/swasta. Dalam dua dasa warsa terakhir semakin banyak penduduk pergi untuk mencari nafkah keluar Ledokombo, baik didalam negeri (terbanyak ke Bali) maupun keluar negeri (TKI/TKW) ke Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong. Kabupaten Jember adalah salah satu sending area para migrant workers di Jatim (Jatim dan NTB merupakan dua daerah sending area TKW/TKI papan atas di Indonesia).[6]
Di Ledokombo, banyak masalah sosial yang muncul. Hal ini merupakan dampak sosial dari banyaknya orang tua yang mencari kerja diluar Ledokombo. Beberapa seperti anak-putus sekolah, pengangguran (terutama kaum muda), kekerasan terhadap anak, dampak migrasi (dalam dan luar negeri) seperti eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja, berbagai penyakit sosial dari luar Ledokombo seperti kecanduan narkoba.[7] Akhir-akhir ini juga ditemukan kasus HIV/AIDS (bahkan telah menginfeksi anak-anak). Hal-hal seperti di atas dapat mengakibatkan lost generation.
Selain itu, Ledokombo merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak dari globalisasi permainan modern. Hal Ini tampak dengan semakin menjamurnya bisnis warnet dan rental PS di sana.[8] Hal ini membuat khawatir orang tua anak-anak Ledokombo. Anak-anak suka sering keluar tanpa pamit ke rental PS dan juga sering lupa waktu belajar dan mengaji.[9] Pulang sekolah anak-anak langsung menyerbu rental PS maupun warnet game online.[10] Yang cukup menyedihkan, kebanyakan orang tua mereka bekerja menjadi TKI atau TKW sehingga pengawasan kepada anak sangat kurang.
Peluang, Tantangan, dan Strategi
Sebuah tempat dimana pertemuan berbagai kalangan dari berbagai latar belakang (golongan, ras, etnis, bangsa dan kelompok budaya) dikelola untuk mempertahankan nilai-nilai budaya luhur saling menguatkan demi menciptakan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan khususnya untuk anak-anak, generasi penerus bangsa, harapan dunia, dimanapun mereka berada. “Bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”.[11]
Komunitas Tanoker (kepompong dalam bahasa Madura) resmi dibentuk pada tanggal 10 Desember 2009. Dengan semboyan “bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”, Tanoker saat ini tumbuh dan terus berkembang menjadi tempat belajar permainan tradisional egrang
Awalnya Tanoker dibentuk sebagai sebuah bentuk keprihatinan terhadap anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang bekerja di luar Ledokombo bahkan ke luar negeri untuk menjadi TKW atau TKI. Ternyata dari ide luhur tersebut ditambah dengan tanggapan positif serta dukungan masyarakat Ledokombo, Tanoker berubah menjadi sebuah komunitas dengan efek yang lebih luas lagi. Tanoker berkembang menjadi sebuah media filter globalisasi permainan modern. Di sisi lain Tanoker juga menjadi salah satu alternatif tempat bermain anak-anak. Globalisasi memang sulit untuk dibendung, namun setidaknya bisa disaring untuk diambil nilai-nilai positifnya.
Berkaitan dengan globalisasi, pendiri komunitas Tanoker tidak pernah berpikir bahwa globalisasi merupakan suatu hal yang selalu negatif. Dalam pandangannya budaya barat dan modern yang dibawa globalisasi dapat menjadi sebuah peluang untuk memperkaya budaya lokal, sinkretisme antara budaya lokal dan global lebih tepatnya. Komunitas ini (Tanoker) berupaya untuk mengambil sisi positif dari globalisasi itu sendiri untuk memperkaya kreativitas permainan tradisional egrang. Misalnya, dengan memadukan gerakan-gerakan modern dance ke dalam egrang, memasukkan aliran musik hip-hop, R n B ke dalam unsur alat-alat musik tradisional.
Globalisasi dinilai bukan merupakan sebuah universalisme atau westernisasi, namun globalisasi dapat mengenalkan hal-hal baru. Di mana, dahulu sebelum ada globalisasi batas-batas negara sangat rigid dan perkembangan IPTEK belum mampu menjangkaunya. Namun dengan adanya globalisasi ini diharapkan akan tumbuh multikulturalisme. Di mana melalui globalisasi ini banyak juga warga asing yang tertarik untuk belajar egrang. Di sisi lain anak-anak dalam komunitas Tanoker juga diajari bahasa asing, dikenalkan kebudayaannya sehingga tak jarang gerakan-gerakan dalam permainan egrang mereka juga dipadukan dengan gerakan-gerakan modern dance.[12]
Selain itu, dengan adanya globalisasi yang berdampak pada pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) turut memberikan peluang bagi Komunitas Tanoker untuk berkembang. Kemajuan teknologi informasi menjadi peluang Komunitas Tanoker untuk memperkenalkan permainan tradisional egrang Ledokombo pada dunia, baik secara nasional ataupun internasional. Tersedianya fasilitas internet menjadi pemicu hal tersebut. Di Youtube dengan mudah kita dapat men-download video anak-anak Tanoker sedang bermain egrang, selain itu komunitas ini juga memiliki official website yaitu, www. tanoker.org dan akun facebook, yaitu Tanoker Ledokombo
Dengan adanya website ini, Komunitas Tanoker mempunyai akses yang lebih besar untuk melestarikan budaya luhur dengan memberikan informasi kepada masyarakat dalam negeri maupun luar negeri akan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan egrang tersebut. Hasilnya pun cukup berhasil dengan mendatangkan wisatawan asing untuk belajar egrang.[13] (baca Tempo edisi Sabtu 23 Juli 2011)
Komunitas Tanoker berupaya untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui permainan tradisional egrang. Hal yang menjadi tantangan di sini adalah ketertarikan anak-anak kepada PS maupun game online lebih besar karena dari segi audio maupun visual mereka memang lebih bagus dan menarik daripada sebuah egrang yang hanya terbuat dari bambu.
Ini semua bukan hanya perkara permainan yang secara tampilan menarik atau tidak. Ketika kita mampu mengemas permainan-permainan tradisional ini dengan menarik, niscaya anak-anak kecil masih meminatinya. Tidaklah erlalu khawatir dengan permainan tradisional yang akan hilang ditelan kemajuan zaman dan teknologi. Egrang masih bisa survive.[14]
Accsesable merupakan keunggulan permainan tradisional egrang ini dibandingkan dengan permainan modern. Selain itu permainan tradisional yang dikemas menarik melalui berbagai macam perlombaan sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologis anak.
Komunitas ini cukup memberikan dampak bagi anak-anak di sana, dari yang sebelumnya suka bermain PS atau game online. Semenjak ada komunitas ini anak-anak menjadi tertarik bermain egrang.
Dahulu anak-anak sering bermain PS sepulang sekolah, mengaji. Orang tua kesulitan mencari anaknya, saat mereka pulang sekolah tapi tak kunjung sampai rumah. Sekitar 30% anak di sini sudah mulai berkurang pergi ke rental PS. Dan jika orang tua melihat anaknya tidak rumah, mereka langsung menuju markas Tanoker dan anak-anak pasti di sana bermain egrang.[15]
Permainan egrang ini memiliki nilai filosofis yang positif. Seperti yang tertuang pada bait lagu di bawah ini.
Versi bahasa Madura :
Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’
Ker-tanoker lagguna nyapa e songay
Ker-tanoker lagguna nyapa e lorong
Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar
Versi bahasa Indonesia :
Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan
Boleh bertengkar besok menyapa di sendang
Boleh bertengkar besok menyapa di jalan
Boleh bertengkar besok menyapa di langgar
Bait-bait sederhana yang terdapat pada syair “ker-tanoker” mengajak setiap pribadi untuk menunjukkan kematangan pribadi, baik kematangan psikis maupun fisik. Dengan memiliki kematangan kepribadian, maka perbedaan pendapat, perbedaan persepsi, perbedaan keinginan, karakter maupun watak bukan berarti membuka lebar jalan pertentangan atau pertikaian, malah sebaliknya akan membuka pintu kerukunan dan perdamaian. Sebagaimana dikatakan bahwa perbedaan itu adalah suatu rahmat. Nilai etika dan moralitas tinggi inilah yang mesti dijadikan bahan renungan panjang setiap pribadi untuk membangun masyarakat komunal yang rukun, guyub dan ber-keadilan.
Di dalam Tanoker mendidik anak-anak untuk saling bekerja sama, saling menghargai, menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan asas-asas demokrasi.[16]
Dari penjelasan di atas, menujukkan kepada kita bahwa seyogyanya globalisasi bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi dengan menyaring nilai-nilai positifnya. Di sinilah dibutuhkan peran kita semua, khususnya para pemuda untuk melihat globalisasi secara bijaksana.
Tanoker merupakan sebuah usaha daripada anak-anak, pemuda, dan remaja di Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember untuk memberikan alternatif permainan anak-anak dengan mencoba menghidupkan kembali permainan tradisional egrang yang sarat nilai filosofis kehidupan didalamnya.
TAKE ACTION, BUILD NATION!
Referensi :
[1]Jan Aart Scholte dalam buku John Baylis dan Steve Smith (eds. 2001), Globalization of World Politics Edisi Kedua, Oxford : Oxford University Press.
[2]http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/7771505/Video-game-fanatic-hunts-own-and-stabs-rival-player-who-killed-character-online.html [diakses pada 28 September 2011]
[3]http://m.detik.com/read/2005/12/02/074118/490688/131/mahasiswa-maranatha-tewas-dibunuh [diakses pada 28 September 2011]
[4]http://www.cleveland.com/news/plaindealer/index.ssf?/base/news/1245227634164350.xml&coll [diakes pada 28 September 2011]
[5]Hasil Sensus Penduduk 2010, Data Agregat Per Kecamatan Kabupaten Jember
[6]http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewcat&cid=5&min=15[diakses pada 02 Oktober 2011]
[7]Hasil Sensus Penduduk 2010, Op. Cit
[8]Hasil observasi penulis di sekitar Kecamatan Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[9]Hasil wawancara penulis dengan orang tua anak-anak di sekitar Kecamatan Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[10]Op. Cit
[11]Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker Ledokombo
[12]Hasil wawancara dengan Ibu Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[13]http://www.tempo.co/hg/perjalanan/2011/07/23/brk,20110723-347982,id.html [diakses pada 02 Oktober 2011]
[14]Op. Cit
[15]Hasil wawancara dengan Ibu Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker, tanggal 01 Oktober 201
[16]Op. Cit
dipresentasikan dalam acara "Youth Power, Take Action Build Nation" Univ. Gadjah Mada Yogyakarta, 21-23 Oktober 2011
Globalisasi
Belakangan ini globalisasi menjadi sebuah istilah hangat yang selalu diperbincangkan oleh para penstudi hubungan internasional serta berbagai lapisan masyarakat terutama mereka yang menjadi pelaku dan “korban” globalisasi. Walaupun sering diperbincangkan, seringkali mereka tidak mengetahui secara jelas mengenai makna sebenarnya dari globalisasi. Berbagai usaha dilakukan oleh para ahli dari berbagai macam latar belakang untuk merumuskan jawaban dari pertanyaan, “apa sebenarnya globalisasi itu?”. Bermacam-macam definisi dihasilkan dari sudut pandang keilmuan yang berbeda satu sama lain.
Salah satu definisi yang paling mudah dipahami dan paling sering dipakai untuk menjelaskan apa sebenarnya globalisasi itu adalah definisi globalisasi yang diberikan oleh Jan Art Scholte. Scholte[1] memdefinisikan proses globalisasi menjadi lima proses. Pertama, globalisasi merupakan fenomena internationalization yang diartikan sebagai meningkatnya hubungan lintas batas antar negara. Kedua, globalisasi Scholte maknai sebagai liberalization yaitu penghapusan hambatan baik tarif maupun non-tarif dalam aliran barang dan jasa untuk membentuk suatu perekonomian yang terintegrasi. Ketiga, globalisasi dimaknai sebagai universalization yang berarti menyebarnya berbagai nilai, serta pemikiran manusia sehingga menjadi hak milik secara universal. Konsep keempat untuk mendefinisikan globalisasi identik dengan fenomena westernization, yang diartikan sebagai peniruan berbagai budaya dan system barat yang lazim dianggap sebagai yang terbaik. Konsep terakhir yang berkaitan erat dengan definisi globalisasi menurut scholte adalah konsep deterritorialization yaitu munculnya berbagai entitas suprateritorial di atas negara.
Definisi dari Scholte yang cukup memiliki kaitan dengan bahasan dalam karya tulis ini adalah konsep universalization dan westernization. Kedua konsep ini berpandangan bahwa suatu nilai, norma serta kebudayaan dari negara-negara maju yang didominasi Eropa serta Amerika Utara atau lebih sering kita sebut sebagai barat, adalah lebih baik daripada budaya, nilai serta norma yang dimiliki bangsa timur. Bukan menjadi rahasia bahwa Barat membentuk sebuah persepsi bersama di dunia internasional bahwa sesuatu yang mereka hasilkan akan lebih baik daripada yang dihasilkan dari bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab tergerusnya berbagai nilai, norma serta hasil kebudayaan bangsa timur yang kemudian tidak laku dijual di mata bangsanya sendiri.
Semakin berkembangnya teknologi informasi (TI) serta dinamika komunikasi yang semakin modern telah membuat berbagai nilai serta norma sosial di suatu masyarakat menjadi suatu hal yang universal dan dimiliki bersama. Tetapi, kenyataannya norma serta nilai tersebut merupakan sesuatu yang dikuasai oleh negara-negara dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tinggi. Sehingga mayoritas nilai serta norma yang tersebar secara global adalah hasil dari kebudayaan negara-negara maju (barat).
Permainan Modern Produk Globalisasi
Di abad ke-21 sekarang ini kita hampir tidak bisa mengindari pengaruh globalisasi dan modernisasi, bahkan entitas negara pun sulit membendung derasnya arus globalisasi. Mau tidak mau, suka tidak suka, terpaksa atau pun secara sukarela manusia dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Era globalisasi dan modernisasi menuntut kita untuk bertindak cepat, mudah, efektif, hingga instan. Globalisasi mendidik kita untuk mencapai tujuan (hasil) sesempurna mungkin, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Oleh sebab itu manusia modern cenderung individualistik.
Pengaruh globalisasi ini sudah menjalari manusia modern sejak usia balita mulai hingga dewasa mulai dari hal terkecil seperti mainan anak-anak sampai hal yang terbesar seperti perubahan gaya hidup (life style). Dalam hal ini, usia anak-anak adalah usia bermain, istilahnya tiada hari tanpa bermain bagi anak-anak. Berbeda dengan 10 atau 15 tahun yang lalu, Jjika dahulu anak-anak bermain hanya dengan bermodal batu, tongkat, dan karet gelang, namun dewasa ini anak-anak sudah dihadapkan dengan hal-hal yang berbau digital, modern dan canggih.
Di era yang serba modern saat ini hampir tidak ada mainan yang gratis. Ingin mobil-mobilan, boneka-bonekaan, game online, PS, game watch, X-Box dan lain sebagainya semuanya harus membeli. Anak-anak di dunia ini telah menjadi korban dari globalisasi permainan modern. Globalisasi selalu dikaitkan dengan modernsiasi, tidak kuno, tidak ketinggalan jaman, dsb. Sehingga implementasinya, anak akan dicap ‘ndeso’ atau ‘katrok’ jika tidak mencoba atau mengganti permainan-permainan tradisionalnya dengan mainan produk globalisasi tersebut.
Masyarakat dunia saat ini telah menjadi one global village. Artinya, bahwa masyarakat di dunia hidup dalam satu planet, satu pola hidup, dan satu selera. Globalisasi telah membuat masyarakat bisa menikmati apapun di dunia ini tanpa harus pergi ke negara pembuatnya. Apalagi, semakin gencarnya negara-negara mempromosikan free trade atau perdagangan bebas yang berdampak cukup besar terhadap arus barang yang masuk ke Indonesia. Misalnya, kita saat ini bisa menikmati KFC tanpa harus ke AS, menggunakan handphone Samsung, LG tanpa harus ke Korea Selatan, memakai produk laptop Acer tanpa harus ke Taiwan, dan sebagainya. Hal ini pun juga terjadi pada bidang permainan anak-anak. Baik di kota maupun di desa saat ini semakin menjamur bisnis rental PS, warnet dan game online.
Permainan modern produk globalisasi tersebut membawa dampak yang cukup signifikan bagi anak-anak dewasa ini. Sub bab berikutnya akan dibahas mengenai dampak permainan modern bagi anak-anak.
Dampak Permainan Modern Bagi Anak
Berbeda jauh dengan permainan anak-anak zaman dahulu yang sarat dengan nilai kejujuran, kebersamaan, kekompakan, kerjasama, keuletan dan olah fisik. Permainan modern saat ini membuat anak-anak mengalami kekurangan komunikasi dengan teman sebayanya atau lebih condong ke sifat individualistik. Mereka memainkan permainan tersebut sendirian tanpa teman.
Bersosialisasi tentunya perlu dalam proses perkembangan anak. Faktanya memang, permainan modern bisa dinikmati sendiri, sehingga anak kurang bersosialisasi dan melakukan komunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan anak.
Suatu contoh, akses online game melalui internet sudah mewabah di setiap daerah di Indonesia tak mengenal di desa maupun di kota, apalagi sekarang ini banyak sekali teknologi-teknologi yang memberikan kemudahan akses internet, seperti maraknya modem USB. Hal ini membuat anak-anak remaja, mulai bangku sekolah dasar, menengah pertama sampai mahasiswa, betah duduk berjam-jam bermain online game baik pagi, sore, maupun malam hari. Di kota-kota metropolitan saat ini, sering kita jumpai warung internet (warnet) yang memberikan pelayanan 24 jam.
Melalui media internet, mereka dapat mengakses online game untuk mencari lawan tanding dengan reward tertentu (poin diperjualbelikan) atau chatting dengan temannya di dunia maya tanpa dapat kita ketahui bagaimana perilaku dan sifat temannya. Tidak ada sebuah proses komunikasi dan sosialiasi secara langsung atau face to face dalam hal ini. Sebagian anak-anak dan remaja sampai kecanduan dan berakibat negatif kepada kehidupan sosial dan pelajarannya di sekolah, karena mereka tidak bisa menahan diri untuk bermain dan sebagian besar waktunya digunakan di warnet untuk bermain online game.
Beberapa dampak buruk yang berbahaya bagi anak-anak dan remaja yang kecanduan game online, diantaranya :
1. Pemborosan, karena harus membayar sewa online game maupun rental PS.
2. Anak menjadi malas belajar, karena pikirannya terfokus pada game.
3. Merusah kesehatan mata, karena terlalu lama di depan monitor komputer/televisi.
4. Anak menjadi individualistik.
5. Terjadi perkelahian antar pemain jika bersaing dan akumulasi emosi negatif apabila kalah didalam bermain, bahkan sampai terjadi pembunuhan seperti apa yang terjadi di Perancis pada November 2009 silam.
Julien Barreaux, 20, told police he wanted to see his rival player "wiped out" after his character in the game Counter-Strike died in a virtual knife fight.[2]
Atau seperti yang terjadi di Bandung tahun 2005, seorang mahasiswa Universitas Maranatha tewas ditikam temannya sendiri akibat kalah bermain PS.
Krisna Cahyadi (19), mahasiswa ekonomi angkatan 2004 Universitas Maranatha, ditemukan sudah menjadi mayat di tempat kosnya, di lantai 3 kamar C-20 Tulip Home Jln. Babakanjeruk IV No. 30 Kota Bandung, Kamis (1/12) sekira pukul 13.30 WIB. Dalam pemeriksaan awal, tersangka mengaku menghabisi nyawa korban karena kalah judi bola dan bermain Play Station dengan korban.[3]
Terpengaruh dengan kekerasan dalam game. Seperti perisitiwa yang terjadi di Wellington Amerika Serikat, seorang anak tega membunuh ibu kandungnya setelah bermain Halo 3
Daniel Petric, the Wellington teenager who claimed to be addicted to video games, was sentenced to at least 23 years in prison Tuesday for killing his mother and shooting his father after they forbade him from playing the game Halo 3.[4]
Beberapa kasus kriminal akibat permainan PS maupun online game di atas membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa dampak permainan modern sangat menakutkan. Permainan modern bisa mengubah mental, moral, bahkan kejiwaan anak-anak. Harus ada sebuah pewaspadaan terhadap pemilihan permainan anak-anak. Dan pastinya kita semua tidak ingin anak-anak Indonesia mengalami hal-hal seperti di atas.
Pelestarian permainan tradisional dalam hal ini, dipandang sebagai sebuah upaya counter globalisasi permainan modern. Sebuah permainan akan sangat besar pengaruhnya terhadap pembinaan budaya anak-anak dalam masyarakat. Artinya bahwa anak-anak lebih bisa menerima dengan cepat suatu pengetahuan melalui permainan. Sebab dalam permainan anak terkandung nilai-nilai pendidikan yang tidak secara langsung terlihat nyata, tetapi terlindung dalam sebuah simbol. Nilai-nilai tersebut memiliki banyak dimensi , antara lain rasa kebersamaan, kejujuran, kedisiplinan, sopan-santun dan aspek-aspek kepribadian yang lain atau bahkan mengandung nilai kekerasan.
PERAN KOMUNITAS TANOKER LEDOKOMBO KABUPATEN JEMBER DALAM MELESTARIKAN PERMAINAN TRADISIONAL(Peluang, Tantangan, dan Strategi)
Sekilas Kecamatan Ledokombo Kab. Jember
Kecamatan Ledokombo merupakan salah satu dari sekian Kecamatam di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Kecamatan ini berpenduduk sekitar 56.000 jiwa.[5] Mata pencaharian masyarakatnya pada umumnya buruh tani. Sisanya berjuang di sektor informal (pedagang kecil) disamping menjadi buruh perusahaan, pegawai negeri/swasta. Dalam dua dasa warsa terakhir semakin banyak penduduk pergi untuk mencari nafkah keluar Ledokombo, baik didalam negeri (terbanyak ke Bali) maupun keluar negeri (TKI/TKW) ke Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong. Kabupaten Jember adalah salah satu sending area para migrant workers di Jatim (Jatim dan NTB merupakan dua daerah sending area TKW/TKI papan atas di Indonesia).[6]
Di Ledokombo, banyak masalah sosial yang muncul. Hal ini merupakan dampak sosial dari banyaknya orang tua yang mencari kerja diluar Ledokombo. Beberapa seperti anak-putus sekolah, pengangguran (terutama kaum muda), kekerasan terhadap anak, dampak migrasi (dalam dan luar negeri) seperti eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja, berbagai penyakit sosial dari luar Ledokombo seperti kecanduan narkoba.[7] Akhir-akhir ini juga ditemukan kasus HIV/AIDS (bahkan telah menginfeksi anak-anak). Hal-hal seperti di atas dapat mengakibatkan lost generation.
Selain itu, Ledokombo merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak dari globalisasi permainan modern. Hal Ini tampak dengan semakin menjamurnya bisnis warnet dan rental PS di sana.[8] Hal ini membuat khawatir orang tua anak-anak Ledokombo. Anak-anak suka sering keluar tanpa pamit ke rental PS dan juga sering lupa waktu belajar dan mengaji.[9] Pulang sekolah anak-anak langsung menyerbu rental PS maupun warnet game online.[10] Yang cukup menyedihkan, kebanyakan orang tua mereka bekerja menjadi TKI atau TKW sehingga pengawasan kepada anak sangat kurang.
Peluang, Tantangan, dan Strategi
Sebuah tempat dimana pertemuan berbagai kalangan dari berbagai latar belakang (golongan, ras, etnis, bangsa dan kelompok budaya) dikelola untuk mempertahankan nilai-nilai budaya luhur saling menguatkan demi menciptakan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan khususnya untuk anak-anak, generasi penerus bangsa, harapan dunia, dimanapun mereka berada. “Bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”.[11]
Komunitas Tanoker (kepompong dalam bahasa Madura) resmi dibentuk pada tanggal 10 Desember 2009. Dengan semboyan “bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”, Tanoker saat ini tumbuh dan terus berkembang menjadi tempat belajar permainan tradisional egrang
Awalnya Tanoker dibentuk sebagai sebuah bentuk keprihatinan terhadap anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang bekerja di luar Ledokombo bahkan ke luar negeri untuk menjadi TKW atau TKI. Ternyata dari ide luhur tersebut ditambah dengan tanggapan positif serta dukungan masyarakat Ledokombo, Tanoker berubah menjadi sebuah komunitas dengan efek yang lebih luas lagi. Tanoker berkembang menjadi sebuah media filter globalisasi permainan modern. Di sisi lain Tanoker juga menjadi salah satu alternatif tempat bermain anak-anak. Globalisasi memang sulit untuk dibendung, namun setidaknya bisa disaring untuk diambil nilai-nilai positifnya.
Berkaitan dengan globalisasi, pendiri komunitas Tanoker tidak pernah berpikir bahwa globalisasi merupakan suatu hal yang selalu negatif. Dalam pandangannya budaya barat dan modern yang dibawa globalisasi dapat menjadi sebuah peluang untuk memperkaya budaya lokal, sinkretisme antara budaya lokal dan global lebih tepatnya. Komunitas ini (Tanoker) berupaya untuk mengambil sisi positif dari globalisasi itu sendiri untuk memperkaya kreativitas permainan tradisional egrang. Misalnya, dengan memadukan gerakan-gerakan modern dance ke dalam egrang, memasukkan aliran musik hip-hop, R n B ke dalam unsur alat-alat musik tradisional.
Globalisasi dinilai bukan merupakan sebuah universalisme atau westernisasi, namun globalisasi dapat mengenalkan hal-hal baru. Di mana, dahulu sebelum ada globalisasi batas-batas negara sangat rigid dan perkembangan IPTEK belum mampu menjangkaunya. Namun dengan adanya globalisasi ini diharapkan akan tumbuh multikulturalisme. Di mana melalui globalisasi ini banyak juga warga asing yang tertarik untuk belajar egrang. Di sisi lain anak-anak dalam komunitas Tanoker juga diajari bahasa asing, dikenalkan kebudayaannya sehingga tak jarang gerakan-gerakan dalam permainan egrang mereka juga dipadukan dengan gerakan-gerakan modern dance.[12]
Selain itu, dengan adanya globalisasi yang berdampak pada pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) turut memberikan peluang bagi Komunitas Tanoker untuk berkembang. Kemajuan teknologi informasi menjadi peluang Komunitas Tanoker untuk memperkenalkan permainan tradisional egrang Ledokombo pada dunia, baik secara nasional ataupun internasional. Tersedianya fasilitas internet menjadi pemicu hal tersebut. Di Youtube dengan mudah kita dapat men-download video anak-anak Tanoker sedang bermain egrang, selain itu komunitas ini juga memiliki official website yaitu, www. tanoker.org dan akun facebook, yaitu Tanoker Ledokombo
Dengan adanya website ini, Komunitas Tanoker mempunyai akses yang lebih besar untuk melestarikan budaya luhur dengan memberikan informasi kepada masyarakat dalam negeri maupun luar negeri akan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan egrang tersebut. Hasilnya pun cukup berhasil dengan mendatangkan wisatawan asing untuk belajar egrang.[13] (baca Tempo edisi Sabtu 23 Juli 2011)
Komunitas Tanoker berupaya untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui permainan tradisional egrang. Hal yang menjadi tantangan di sini adalah ketertarikan anak-anak kepada PS maupun game online lebih besar karena dari segi audio maupun visual mereka memang lebih bagus dan menarik daripada sebuah egrang yang hanya terbuat dari bambu.
Ini semua bukan hanya perkara permainan yang secara tampilan menarik atau tidak. Ketika kita mampu mengemas permainan-permainan tradisional ini dengan menarik, niscaya anak-anak kecil masih meminatinya. Tidaklah erlalu khawatir dengan permainan tradisional yang akan hilang ditelan kemajuan zaman dan teknologi. Egrang masih bisa survive.[14]
Accsesable merupakan keunggulan permainan tradisional egrang ini dibandingkan dengan permainan modern. Selain itu permainan tradisional yang dikemas menarik melalui berbagai macam perlombaan sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologis anak.
Komunitas ini cukup memberikan dampak bagi anak-anak di sana, dari yang sebelumnya suka bermain PS atau game online. Semenjak ada komunitas ini anak-anak menjadi tertarik bermain egrang.
Dahulu anak-anak sering bermain PS sepulang sekolah, mengaji. Orang tua kesulitan mencari anaknya, saat mereka pulang sekolah tapi tak kunjung sampai rumah. Sekitar 30% anak di sini sudah mulai berkurang pergi ke rental PS. Dan jika orang tua melihat anaknya tidak rumah, mereka langsung menuju markas Tanoker dan anak-anak pasti di sana bermain egrang.[15]
Permainan egrang ini memiliki nilai filosofis yang positif. Seperti yang tertuang pada bait lagu di bawah ini.
Versi bahasa Madura :
Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’
Ker-tanoker lagguna nyapa e songay
Ker-tanoker lagguna nyapa e lorong
Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar
Versi bahasa Indonesia :
Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan
Boleh bertengkar besok menyapa di sendang
Boleh bertengkar besok menyapa di jalan
Boleh bertengkar besok menyapa di langgar
Bait-bait sederhana yang terdapat pada syair “ker-tanoker” mengajak setiap pribadi untuk menunjukkan kematangan pribadi, baik kematangan psikis maupun fisik. Dengan memiliki kematangan kepribadian, maka perbedaan pendapat, perbedaan persepsi, perbedaan keinginan, karakter maupun watak bukan berarti membuka lebar jalan pertentangan atau pertikaian, malah sebaliknya akan membuka pintu kerukunan dan perdamaian. Sebagaimana dikatakan bahwa perbedaan itu adalah suatu rahmat. Nilai etika dan moralitas tinggi inilah yang mesti dijadikan bahan renungan panjang setiap pribadi untuk membangun masyarakat komunal yang rukun, guyub dan ber-keadilan.
Di dalam Tanoker mendidik anak-anak untuk saling bekerja sama, saling menghargai, menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan asas-asas demokrasi.[16]
Dari penjelasan di atas, menujukkan kepada kita bahwa seyogyanya globalisasi bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi dengan menyaring nilai-nilai positifnya. Di sinilah dibutuhkan peran kita semua, khususnya para pemuda untuk melihat globalisasi secara bijaksana.
Tanoker merupakan sebuah usaha daripada anak-anak, pemuda, dan remaja di Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember untuk memberikan alternatif permainan anak-anak dengan mencoba menghidupkan kembali permainan tradisional egrang yang sarat nilai filosofis kehidupan didalamnya.
TAKE ACTION, BUILD NATION!
Referensi :
[1]Jan Aart Scholte dalam buku John Baylis dan Steve Smith (eds. 2001), Globalization of World Politics Edisi Kedua, Oxford : Oxford University Press.
[2]http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/7771505/Video-game-fanatic-hunts-own-and-stabs-rival-player-who-killed-character-online.html [diakses pada 28 September 2011]
[3]http://m.detik.com/read/2005/12/02/074118/490688/131/mahasiswa-maranatha-tewas-dibunuh [diakses pada 28 September 2011]
[4]http://www.cleveland.com/news/plaindealer/index.ssf?/base/news/1245227634164350.xml&coll [diakes pada 28 September 2011]
[5]Hasil Sensus Penduduk 2010, Data Agregat Per Kecamatan Kabupaten Jember
[6]http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewcat&cid=5&min=15[diakses pada 02 Oktober 2011]
[7]Hasil Sensus Penduduk 2010, Op. Cit
[8]Hasil observasi penulis di sekitar Kecamatan Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[9]Hasil wawancara penulis dengan orang tua anak-anak di sekitar Kecamatan Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[10]Op. Cit
[11]Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker Ledokombo
[12]Hasil wawancara dengan Ibu Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[13]http://www.tempo.co/hg/perjalanan/2011/07/23/brk,20110723-347982,id.html [diakses pada 02 Oktober 2011]
[14]Op. Cit
[15]Hasil wawancara dengan Ibu Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker, tanggal 01 Oktober 201
[16]Op. Cit
Tuesday, 25 October 2011
Mereka Ulang Hubungan AS-Pakistan Pasca Kematian Osama bin Laden
by : Triono Akmad Munib
"Kami berpikir, pasti ada semacam jaringan dukungan untuk Osama dalam pemerintahan Pakistan. Namun, kami tidak tahu siapa atau apa jaringan itu. Kami tidak tahu apakah mungkin ada beberapa orang di dalam pemerintahan atau orang luar pemerintah, dan itulah yang kami harus selidiki dan, yang lebih penting, Pemerintah Pakistan harus selidiki itu".[1]
Paragraf di atas merupakan pernyataan Presiden Amerika Serikat (selanjutnya disingkat AS), Barack Husein Obama pasca terungkapnya persembunyian gembong teroris nomor satu dunia, Osama bin Laden. Osama bin Laden tewas dinyatakan tewas oleh AS setelah dilakukan operasi penggerebekan yang dinamakan ‘Geronimo Operation’ oleh pasukan gabungan militer AS pada tanggal 01 Mei 2011 dini hari di Abbotabad. Abbotabad merupakan sebuah kota pinggiran yang terletak di Pakitsan barat laut. Lokasi kompleks tersebut letaknya hanya 800 meter dari Akademi Militer Pakistan, sebuah pusat pelatihan elite militer Pakistan. Barak-barak di Abbottabad diduga juga digunakan sebagai basis pasukan khusus AS sebelum menyerang kompleks perumahan bin Laden. Menurut sumber militer kepada BBC berbahasa Urdu, operasi dimulai sekitar pukul 22.30 waktu setempat dan berlangsung sekitar 45 menit.[2] Dalam baku tembak yang terjadi, Osama bin Laden tewas oleh timah panas yang menembus kepalanya. Selain Osama, seorang putra Osama dan tiga pengawalnya juga tewas, dan seorang perempuan yang mencoba melindungi Osama.[3]
Pakistan yang secara resmi bernama Republik Islam Pakistan adalah sebuah negara di Asia Selatan. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang 1.046 kilometer (650 mil) dengan Laut Arab dan Teluk Oman di bagian selatan, berbatasan dengan negara Afghanistan dan Iran di bagian barat, India di bagian timur dan China di arah timur laut.[4] Tajikistan terletak sangat berdekatan dengan Pakistan, namun dibatasi oleh daratan sempit yang disebut Koridor Wakhan. Pakistan terletak secara strategis di antara daerah-daerah penting di Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah.
Kerjasama antara AS dan Pakistan dimulai pada 20 Oktober 1947, awal kemerdekaan Pakistan. Kerjasama pada waktu itu menitikberatkan pada bantuan dibidang ekonomi dan militer oleh AS kepada Pakistan.[5] Pakistan juga anggota dari Pakta Baghdad tahun 1955. Pakta Baghdad adalah sebuah perjanjian aliansi yang dirumuskan oleh AS untuk memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Iran, Irak, Pakistan, Turki, dan Inggris pada masa Perang Dingin.[6] Pakta Baghdad menjadi bukti eratnya hubungan AS dan Pakistan, bahkan AS menyebut Pakistan sebagai ‘sekutu setia’ di Asia.
Pada bulan April 1979 hubungan AS dan Pakistan sempat mengalami titik surut. AS menghentikan semua bantuan ekonomi ke Pakistan (dengan pengecualian bantuan makanan, seperti yang dipersyaratkan oleh Amandemen Symington tahun 1977, UU Bantuan Asing AS 1961 ) atas keprihatinan tentang program nuklir Pakistan.[7] Badan Bantuan Luar Negeri AS (U.S. Foreign Assistance Act) menyatakan seperti apa yang termaktub dalam Undang-undang AS bahwa AS tidak akan memberikan bantuan kepada negara-negara yang pemerintahannya melanggar hak asasi manusia, termasuk proyek pembangunan reaktor nuklir yang bisa menjadi ancaman manusia di dunia karena dampak dari ledakan yang diakibatkannya.
Namun, di tahun yang sama, invasi Uni Soviet ke Afghanistan turut membuat AS dan Pakistan mau tidak mau menjalin hubungan kembali terkait kepentingan mereka bersama akan perwujudan stabilitas kawasan Asia Selatan. Baik AS maupun Pakistan tidak ingin negara-negara di Asia Selatan jatuh ke tangan Soviet. Pada tahun 1981, Pakistan dan AS menyepakati program bantuan militer dan ekonomi sebesar 32 miliar US Dollar yang bertujuan membantu Pakistan terhadap ancaman keamanan di kawasan dan pembangunan ekonomi. AS memasok senjata kepada para pejuang anti-Soviet di perbatasan Pakistan-Afghanistan dan Soviet resmi menarik pasukannya dari Afghanistan pada tahun 1988.
Isu nuklir tampaknya menjadi penyebab naik turunnya hubungan AS dengan Pakistan. Keputusan India untuk melakukan uji coba nuklir pada Mei tahun 1998 mendorong Pakistan merencanakan kembali program pembangunan rekator nuklir. Pakistan melihat bahwa keamanan nasionalnya tidak bisa hanya bergantung pada jamian aliansi dengan negara lain. Keputusan Pakistan ini mendorong Pemerintahan AS di bawah Bill Clinton merevisi ulang bantuan-bantuan yang selama ini diberikan kepada Pakistan. Di bawah Amandemen Glenn tentang Nuclear Enrichment and Reprocessing Transfers; Nuclear Detonations[8], AS akan membatasi pemberian kredit, penjualan alat-alat militer, bantuan ekonomi, dan pinjaman kepada pemerintah Pakistan.
Hubungan AS dan Pakistan mengalami titik puncak pasca Persitiwa 11 September 2001, yaitu pengeboman gedung World Trade Center (WTC) di AS. Sebelum serangan 11 September 2001, Pakistan dan Arab Saudi adalah pendukung utama dari Taliban di Afghanistan, sebagai bagian dari strategi politik luar negeri mereka. Dukungan ini sebagai bentuk peghargaan atas bantuan para pejuang Taliban mengusir pendudukan Soviet di Afghanistan pada tahun 1979. Namun, Setelah tragedi 11 September 2001, di bawah tekanan AS, Pakistan yang dipimpin oleh Jenderal Pervez Musharraf pada saat itu, berbalik arah 180 derajat dengan bergabung pada program AS "War on Terror". AS menunduh Taliban melindungi kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Al-Qaeda dituduh oleh AS sebagai dalang dibalik peristiwa yang menewaskan lebih dari 3000 jiwa.[9] Pakistan menjadi sekutu kunci dalam perang melawan teror karena letaknya yang cukup strategis, yaitu berbatasan langsung dengan Afghanistan di sebelah barat. Pakistan diberi fasilitas oleh AS sejumlah bandara udara militer untuk menyerang Afghanistan yang diduga sarang Taliban, beserta dengan bantuan logistik lainnya.
Sejak tahun 2001, Pakistan telah menangkap lebih dari lima ratus anggota Al-Qaeda dan menyerahkannya kepada AS. Seperti apa yang diungkapkan Musharraf dalam bukunya :
“Kami telah menangkap 689 anggota Al-Qaeda dan menyerahkan 369 ke Amerika Serikat. Kami telah menerima jutaan dolar.”[10]
Sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap program “War on Terror” AS, sanksi yang selama ini diterima Pakistan dicabut. Pakistan menerima kembali bantuan dana militer dari AS sekitar 10 miliar US Dollar sejak tahun 2001. Pada tahun 2003, AS secara resmi menghapuskan utang Pakistan sebesar 1 miliar US Dollar. Pada bulan Juni 2004, AS di bawah Presiden George W. Bush menunjuk Pakistan sebagai sekutu utama non-NATO[11] sehingga implementasinya, Pakistan diberikan akses kemudahan untuk membeli teknologi militer canggih dari AS. Bulan Oktober 2005, Menteri Luar Negeri AS, Condoleezza Rice membuat pernyataan di mana ia bahwa AS akan membantu korban gempa Khasmir dan upaya pembangunan kembali pasca gempa.[12]
Pentingnya geopolitik Pakistan di mata AS menempatkan Pakistan menjadi faktor kunci bagi AS dalam mencapai keberhasilan memberantas terorisme di Afghanisatan. Kedua negara telah berusaha untuk membangun kemitraan strategis sejak Pakistan merdeka. Namun, dalam perjalanannya selalu mengalami pasang surut. Meskipun demikian, baik Pakistan dan AS terus meningkatkan hubungannya untuk berkomitmen memberantas teroris.[13]
Berita kematian Osama bin Laden yang merupakan gembong teroris dunia di Abbotabad, Pakistan sontak menjadi sebuah berita yang mengguncang perpolitikan dunia. Timbul berbagai pertanyaan, bagaimana bisa pemerintah Pakistan selama ini tidak mengetahui keberadaan Osama. Bagaimana bisa pimpinan tertinggi Al-Qaeda tersebut justru malah diketemukan bersembunyi di Pakistan, bukan di Afghanistan. Apakah selama ini pemerintah Pakistan memang sengaja menyembunyikan Osama dari kejaran AS?
Berita kematian Osama tersebut turut mempengaruhi hubungan AS dan Pakistan. Pakistan yang selama ini dikenal sebagai ‘sekutu utama’ dan garda depan perang melawan teror bersama AS justru kecolongan. Dengan diketemukannya persembunyian Osama di Pakistan membuat AS merasa dikhianati. Akankah AS terus memberikan bantuan kepada Pakistan? Bagaimana hubungan AS dan Pakistan pasca kematian Osama kelak? Akankah Pakistan tetap menjadi sekutu utama AS di Asia Selatan? Dan akankah AS terus menggerojok bantuannya ke Pakistan? Tampaknya baik AS maupun Pakistan harus mereka ulang hubungan keduanya. Namun, satu hal yang pasti Pakistan masih memilih posisi yang penting bagi AS untuk menciptakan stabilitas keamanan di Asia Selatan.
Referensi
[1]Obama dalam sebuah wawancara dengan CBS News, Minggu (8/5/2011), sebagaimana dikutip CNN dan The Telegraph.
[2]http://internasional.kompas.com/read/2011/05/02/1627040/Inilah.Kronologi.Serangan.terhadap.Osama [diakses pada 26 September 2011]
[3]http://www.wartaberita.net/2011/05/kronologi-kematian-osama-bin-laden.html [diakses pada 26 September 2011]
[4]Daerah Kashmir merupakan daerah yang disengketakan baik oleh Pakistan maupun India. Pemerintah Pakistan menganggap bagian Kashmir India sebagai daerah jajahan India.
[5]“U.S.-Pakistan relations: An unhappy alliance". Los Angeles Times. May 7, 2011.
[6]http://www.globalsecurity.org/military/world/int/cento.htm [diakses pada 27 September 2011]
[7]http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3453.htm#relations [diakses pada 27 September 2011]
[8]http://www.irmep.org/ila/nukes/glenn/default.asp [diakses pada 27 September 2011]
[9]http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/09/110911_911silence.shtml [diakses pada 27 September 2011]
[10]Pernyataan Presiden Pakistan Pervez Musharraf atas dukungannya terhadap program ‘War on Terror’ AS
[11]"US and Pakistan, Not Allies But Enemies". Theworldreporter.com, 02 November 2010
[12]"Rice : U.S. will support Pakistan – Oct 12, 2005". CNN.com. Retrieved May 20, 2010.
[13]Mark C. Toner, Deputy Department Spokesman, Daily Press Briefing, Washington DC. http://www.state.gov/r/pa/prs/dpb/2011/07/169177.htm#PAKISTAN. July 27, 2011
"Kami berpikir, pasti ada semacam jaringan dukungan untuk Osama dalam pemerintahan Pakistan. Namun, kami tidak tahu siapa atau apa jaringan itu. Kami tidak tahu apakah mungkin ada beberapa orang di dalam pemerintahan atau orang luar pemerintah, dan itulah yang kami harus selidiki dan, yang lebih penting, Pemerintah Pakistan harus selidiki itu".[1]
Paragraf di atas merupakan pernyataan Presiden Amerika Serikat (selanjutnya disingkat AS), Barack Husein Obama pasca terungkapnya persembunyian gembong teroris nomor satu dunia, Osama bin Laden. Osama bin Laden tewas dinyatakan tewas oleh AS setelah dilakukan operasi penggerebekan yang dinamakan ‘Geronimo Operation’ oleh pasukan gabungan militer AS pada tanggal 01 Mei 2011 dini hari di Abbotabad. Abbotabad merupakan sebuah kota pinggiran yang terletak di Pakitsan barat laut. Lokasi kompleks tersebut letaknya hanya 800 meter dari Akademi Militer Pakistan, sebuah pusat pelatihan elite militer Pakistan. Barak-barak di Abbottabad diduga juga digunakan sebagai basis pasukan khusus AS sebelum menyerang kompleks perumahan bin Laden. Menurut sumber militer kepada BBC berbahasa Urdu, operasi dimulai sekitar pukul 22.30 waktu setempat dan berlangsung sekitar 45 menit.[2] Dalam baku tembak yang terjadi, Osama bin Laden tewas oleh timah panas yang menembus kepalanya. Selain Osama, seorang putra Osama dan tiga pengawalnya juga tewas, dan seorang perempuan yang mencoba melindungi Osama.[3]
Pakistan yang secara resmi bernama Republik Islam Pakistan adalah sebuah negara di Asia Selatan. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang 1.046 kilometer (650 mil) dengan Laut Arab dan Teluk Oman di bagian selatan, berbatasan dengan negara Afghanistan dan Iran di bagian barat, India di bagian timur dan China di arah timur laut.[4] Tajikistan terletak sangat berdekatan dengan Pakistan, namun dibatasi oleh daratan sempit yang disebut Koridor Wakhan. Pakistan terletak secara strategis di antara daerah-daerah penting di Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah.
Kerjasama antara AS dan Pakistan dimulai pada 20 Oktober 1947, awal kemerdekaan Pakistan. Kerjasama pada waktu itu menitikberatkan pada bantuan dibidang ekonomi dan militer oleh AS kepada Pakistan.[5] Pakistan juga anggota dari Pakta Baghdad tahun 1955. Pakta Baghdad adalah sebuah perjanjian aliansi yang dirumuskan oleh AS untuk memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Iran, Irak, Pakistan, Turki, dan Inggris pada masa Perang Dingin.[6] Pakta Baghdad menjadi bukti eratnya hubungan AS dan Pakistan, bahkan AS menyebut Pakistan sebagai ‘sekutu setia’ di Asia.
Pada bulan April 1979 hubungan AS dan Pakistan sempat mengalami titik surut. AS menghentikan semua bantuan ekonomi ke Pakistan (dengan pengecualian bantuan makanan, seperti yang dipersyaratkan oleh Amandemen Symington tahun 1977, UU Bantuan Asing AS 1961 ) atas keprihatinan tentang program nuklir Pakistan.[7] Badan Bantuan Luar Negeri AS (U.S. Foreign Assistance Act) menyatakan seperti apa yang termaktub dalam Undang-undang AS bahwa AS tidak akan memberikan bantuan kepada negara-negara yang pemerintahannya melanggar hak asasi manusia, termasuk proyek pembangunan reaktor nuklir yang bisa menjadi ancaman manusia di dunia karena dampak dari ledakan yang diakibatkannya.
Namun, di tahun yang sama, invasi Uni Soviet ke Afghanistan turut membuat AS dan Pakistan mau tidak mau menjalin hubungan kembali terkait kepentingan mereka bersama akan perwujudan stabilitas kawasan Asia Selatan. Baik AS maupun Pakistan tidak ingin negara-negara di Asia Selatan jatuh ke tangan Soviet. Pada tahun 1981, Pakistan dan AS menyepakati program bantuan militer dan ekonomi sebesar 32 miliar US Dollar yang bertujuan membantu Pakistan terhadap ancaman keamanan di kawasan dan pembangunan ekonomi. AS memasok senjata kepada para pejuang anti-Soviet di perbatasan Pakistan-Afghanistan dan Soviet resmi menarik pasukannya dari Afghanistan pada tahun 1988.
Isu nuklir tampaknya menjadi penyebab naik turunnya hubungan AS dengan Pakistan. Keputusan India untuk melakukan uji coba nuklir pada Mei tahun 1998 mendorong Pakistan merencanakan kembali program pembangunan rekator nuklir. Pakistan melihat bahwa keamanan nasionalnya tidak bisa hanya bergantung pada jamian aliansi dengan negara lain. Keputusan Pakistan ini mendorong Pemerintahan AS di bawah Bill Clinton merevisi ulang bantuan-bantuan yang selama ini diberikan kepada Pakistan. Di bawah Amandemen Glenn tentang Nuclear Enrichment and Reprocessing Transfers; Nuclear Detonations[8], AS akan membatasi pemberian kredit, penjualan alat-alat militer, bantuan ekonomi, dan pinjaman kepada pemerintah Pakistan.
Hubungan AS dan Pakistan mengalami titik puncak pasca Persitiwa 11 September 2001, yaitu pengeboman gedung World Trade Center (WTC) di AS. Sebelum serangan 11 September 2001, Pakistan dan Arab Saudi adalah pendukung utama dari Taliban di Afghanistan, sebagai bagian dari strategi politik luar negeri mereka. Dukungan ini sebagai bentuk peghargaan atas bantuan para pejuang Taliban mengusir pendudukan Soviet di Afghanistan pada tahun 1979. Namun, Setelah tragedi 11 September 2001, di bawah tekanan AS, Pakistan yang dipimpin oleh Jenderal Pervez Musharraf pada saat itu, berbalik arah 180 derajat dengan bergabung pada program AS "War on Terror". AS menunduh Taliban melindungi kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Al-Qaeda dituduh oleh AS sebagai dalang dibalik peristiwa yang menewaskan lebih dari 3000 jiwa.[9] Pakistan menjadi sekutu kunci dalam perang melawan teror karena letaknya yang cukup strategis, yaitu berbatasan langsung dengan Afghanistan di sebelah barat. Pakistan diberi fasilitas oleh AS sejumlah bandara udara militer untuk menyerang Afghanistan yang diduga sarang Taliban, beserta dengan bantuan logistik lainnya.
Sejak tahun 2001, Pakistan telah menangkap lebih dari lima ratus anggota Al-Qaeda dan menyerahkannya kepada AS. Seperti apa yang diungkapkan Musharraf dalam bukunya :
“Kami telah menangkap 689 anggota Al-Qaeda dan menyerahkan 369 ke Amerika Serikat. Kami telah menerima jutaan dolar.”[10]
Sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap program “War on Terror” AS, sanksi yang selama ini diterima Pakistan dicabut. Pakistan menerima kembali bantuan dana militer dari AS sekitar 10 miliar US Dollar sejak tahun 2001. Pada tahun 2003, AS secara resmi menghapuskan utang Pakistan sebesar 1 miliar US Dollar. Pada bulan Juni 2004, AS di bawah Presiden George W. Bush menunjuk Pakistan sebagai sekutu utama non-NATO[11] sehingga implementasinya, Pakistan diberikan akses kemudahan untuk membeli teknologi militer canggih dari AS. Bulan Oktober 2005, Menteri Luar Negeri AS, Condoleezza Rice membuat pernyataan di mana ia bahwa AS akan membantu korban gempa Khasmir dan upaya pembangunan kembali pasca gempa.[12]
Pentingnya geopolitik Pakistan di mata AS menempatkan Pakistan menjadi faktor kunci bagi AS dalam mencapai keberhasilan memberantas terorisme di Afghanisatan. Kedua negara telah berusaha untuk membangun kemitraan strategis sejak Pakistan merdeka. Namun, dalam perjalanannya selalu mengalami pasang surut. Meskipun demikian, baik Pakistan dan AS terus meningkatkan hubungannya untuk berkomitmen memberantas teroris.[13]
Berita kematian Osama bin Laden yang merupakan gembong teroris dunia di Abbotabad, Pakistan sontak menjadi sebuah berita yang mengguncang perpolitikan dunia. Timbul berbagai pertanyaan, bagaimana bisa pemerintah Pakistan selama ini tidak mengetahui keberadaan Osama. Bagaimana bisa pimpinan tertinggi Al-Qaeda tersebut justru malah diketemukan bersembunyi di Pakistan, bukan di Afghanistan. Apakah selama ini pemerintah Pakistan memang sengaja menyembunyikan Osama dari kejaran AS?
Berita kematian Osama tersebut turut mempengaruhi hubungan AS dan Pakistan. Pakistan yang selama ini dikenal sebagai ‘sekutu utama’ dan garda depan perang melawan teror bersama AS justru kecolongan. Dengan diketemukannya persembunyian Osama di Pakistan membuat AS merasa dikhianati. Akankah AS terus memberikan bantuan kepada Pakistan? Bagaimana hubungan AS dan Pakistan pasca kematian Osama kelak? Akankah Pakistan tetap menjadi sekutu utama AS di Asia Selatan? Dan akankah AS terus menggerojok bantuannya ke Pakistan? Tampaknya baik AS maupun Pakistan harus mereka ulang hubungan keduanya. Namun, satu hal yang pasti Pakistan masih memilih posisi yang penting bagi AS untuk menciptakan stabilitas keamanan di Asia Selatan.
Referensi
[1]Obama dalam sebuah wawancara dengan CBS News, Minggu (8/5/2011), sebagaimana dikutip CNN dan The Telegraph.
[2]http://internasional.kompas.com/read/2011/05/02/1627040/Inilah.Kronologi.Serangan.terhadap.Osama [diakses pada 26 September 2011]
[3]http://www.wartaberita.net/2011/05/kronologi-kematian-osama-bin-laden.html [diakses pada 26 September 2011]
[4]Daerah Kashmir merupakan daerah yang disengketakan baik oleh Pakistan maupun India. Pemerintah Pakistan menganggap bagian Kashmir India sebagai daerah jajahan India.
[5]“U.S.-Pakistan relations: An unhappy alliance". Los Angeles Times. May 7, 2011.
[6]http://www.globalsecurity.org/military/world/int/cento.htm [diakses pada 27 September 2011]
[7]http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3453.htm#relations [diakses pada 27 September 2011]
[8]http://www.irmep.org/ila/nukes/glenn/default.asp [diakses pada 27 September 2011]
[9]http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/09/110911_911silence.shtml [diakses pada 27 September 2011]
[10]Pernyataan Presiden Pakistan Pervez Musharraf atas dukungannya terhadap program ‘War on Terror’ AS
[11]"US and Pakistan, Not Allies But Enemies". Theworldreporter.com, 02 November 2010
[12]"Rice : U.S. will support Pakistan – Oct 12, 2005". CNN.com. Retrieved May 20, 2010.
[13]Mark C. Toner, Deputy Department Spokesman, Daily Press Briefing, Washington DC. http://www.state.gov/r/pa/prs/dpb/2011/07/169177.htm#PAKISTAN. July 27, 2011
Sunday, 9 October 2011
Memikir Ulang Konsep Integrasi Regional
By : Triono Akmad Munib
Berakhirnya Perang Dingin (Cold War), menjadi sebuah pintu bagi dinamika hubungan internasional. Mengapa menjadi sebuah pintu? Bak keran air, pasca Perang Dingin merupakan era di mana geliat perpolitikan dunia menjadi beragam dan kompleks dari segi pola hubungan, isu-isu yang berkembang serta aktor/pelaku didalamnya. Hal terpenting adalah kandasnya fragmentasi dunia menjadi dua kutub (bipolar) sebelumnya, yaitu Blok Barat (liberal) dan Blok Timur (komunis). Dunia menjadi multipolar dengan tidak berpusat pada kedua kekuatan di atas. Berakhirnya Perang Dingin menuntut negara-negara di kawasan untuk memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar soal keamanan dan kemakmuran negaranya. Runtuhnya bipolaritas kekuatan dunia membuat negara-negara aliansi sebelumnya baik Uni Soviet maupun aliansi dengan Barat (AS) harus memikirkan masa depan keamanan negaranya yang sudah tidak bergantung pada mereka berdua.
Desentralisasi sistem internasional membuat Negara-negara yang menjadi motor dalam blok Barat maupun blok Timur mempunyai keinginan yang sama untuk memperluas regionalisme. AS dengan ‘open regionalism’-nya dan Rusia yang mengusung visi ‘common European home’. Namun, kemuculan regionalisme yang semakin intensif bukan hanya dikarenakan upaya dari kedua negara teresbut, melainkan sebuah kesadaran identitas regional negara-negara untuk mau membentuk sebuah kerjasama regional guna meningkatkan perekonomian maupun keamanan negaranya.
The Depth of Integration
Dalam studi hubungan internasional, terdapat sebuah konsep derajat kedalaman integrasi kerjasama regional atau lebih sering dikenal dengan the depth of integration. Kupchan mendefinisikan the depth of intergration sebagai ‘sejauh mana negara mengidentifikasikan dirinya ke dalam kerjasama regional’.[1]
Derajat kedalam integrasi regional itu sendiri terbagi menjadi 5 kedalaman, antara lain :
a. Free trade area
b. Costum union
c. Common market
d. Economic union
e. Monetary union
Dari kelima derajat kedalaman tersebut yang paling mempunyai kedalaman yang sangat jauh adalah monetary union. Maksudnya, ketika kerajasama regional tersebut mentransformasikan dirinya dengan berubah menjadi monetary union, implementasinya adalah negara-negara anggota harus menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada organisasi tersebut. Kerjasama regional yang telah mencapai derajat monetary union adalah organisasi supranasional, sebuah organisasi tertinggi di atas negara-negara anggota, seperti PBB.
Salah satu dan mungkin satu-satunya kerjasama regional yang mencapai monetary union adalah Uni Eropa. Hal ini, tampak dari adanya mata uang tunggal, yaitu Euro yang dipakai oleh negara-negara anggotanya dalam bertransaksi ekonomi. Uni Eropa adalah bentuk kerjasama regional yang supranasional. Dia lembaga tertinggi di atas negara-negara anggotanya. Beberapa karateristik dari kerjasama yang berderajat monetary union adalah mudahnya masyarakat berlalu lintas ke negara-negara anggota hanya dengan menggunakan satu visa maupun paspor, yaitu Uni Eropa. Interdependensi antar negara anggotanya sangat kuat. Saking kuatnya, keruntuhan ekonomi disalah satu negara anggotanya baru-baru ini (Portugal, Spanyol, dan Yunani) turut memberikan spill over effect kepada negara-negara anggota lainnya. Hal ini disebabkan sistem ekonomi mereka yang terinterdependensi dan terintegarsi sangat kuat sehingga ketika sebuah negara gagal bayar hutang (Yunani) saat jatuh tempo pembayaran akan berimbas pada negara anggota lain yang memberikan pinjaman kepada Yunani.
Namun, bentuk Uni Eropa secara tidak langsung menjadi sebuah contoh yang ingin dicapai kerjasama-kerjasama regional di kawasan lain. Mereka menginginkan tercapainya integrasi yang baik antar negara-negara anggotanya layaknya negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa tampak menjadi sebuah telos of development dari setiap kerjasama regional
Suatu contoh, geliat ASEAN (Association of South East Asian Nations) untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara layaknya Uni Eropa tampak dari kesepakatan-kesepakatan yang dibuat pemimpin negara anggota ASEAN beberapa tahun belakangan. Mulai dari AFTA (ASEAN Free Trade Area), ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), ASEC (ASEAN Economic Community) hingga proyek besar menuju ASEAN Community di tahun 2015 mendatang.
Dari tahapan-tahapan yang dibuat oleh ASEAN tersebut menunjukkan bahwa ada upaya untuk mengikuti jejak Uni Eropa. Apalagi konsep ASEAN Community 2015. Konsep ini bertujuan menjadikan ASEAN sebagai one regional, one identity. Dalam arti, ASEAN adalah sebuah entitas tunggal. ASEAN dipandang sebagai satu wilayah, sehingga masyarakat bisa dengan bepergian kemanapun di negara anggota ASEAN dengan mudah layakanya Uni Eropa. Jika proyek ini tercapai, kita bisa bayangkan orang-orang Filipina, Malaysia, Vietnam berkeliaran di negara Indonesia. Namun, patut digarisbawahi bahwa ASEAN masih jauh dari derajat monetary union. Hal ini disebabkan ASEAN bukan organisasi supranasional (lihat ASEAN Charter), dan masih belum adanya upaya membuat mata uang tunggal.
Memikir Ulang Konsep Integrasi
Kita hendaknya memikir ulang untuk mencontoh Uni Eropa sebagai arah pembangunan kerjasama regional. Layaknya dua sisi koin mata uang, ada segi positif maupun negatif darinya.
Derajat kerjasama regional yang sangat dalam (monetary union) sepertI Uni Eropa memang baik dari segi kelancaran lalu lintas ekonomi, perpindahan penduduk, maupun aliran barang dan jasa. Namun, di sisi lain kerjasama regional yang terlalu dalam juga memberikan efek yang buruk.
Yunani merupakan pembukaan awal guncangnya perekenomian Eropa. Kita tentu masih ingat krisis yang mendera Yunani lalu. Krisis Yunani merupakan krisis yang sudah terakumulasi. Salah satunya adalah penyelenggaraan olimpiade tahun 2004 di Yunani. Kecanggihan olimpiade 6 tahun lalu, menjadi salah satu penyebab dari sekian banyak penyebab kebangkrutan Yunani. Hutang Yunani menumpuk sekitar 300 milyar euro. Faktor inilah yang akhirnya mau tidak mau mendorong Athena menyetujui bailout sebesar 22.4 miliar Euro. Namun tampaknya masalah tak berhenti sampai disitu. Setelah Yunani ‘sakit’, giliran Irlandia. Irlandia pun mengalami hal yang serupa. Dan lagi-lagi masalah hutang yang melilit negara. Menurut lembaga pemeringkat ekonomi, Standard and Poor's menyatakan biaya asuransi terhadap utang negara Irlandia mencapai rekor tertinggi atau melebihi standar. Biaya untuk mendukung Bank Anglo Irlandia dapat memicu penurunan peringkat utang negara tersebut. Dalam lima tahun ini, Credit Default Swaps (CDS) utang Pemerintah Irlandia naik 519 poin dibanding sebelumnya 488,5 bps, berdasarkan pengamatan CMA. Ini berarti dibutuhkan biaya sebesar 519 ribu euro untuk melindungi 10 juta euro terhadap obligasi Irlandia[2]. Tak berhenti sampai Irlandia, efek pun merembet ke Spanyol dan Protugal. Uni Eropa semakin gamang, banyak analis ekonomi yang melihat Eropa akan hancur.
(baca Menunggu Kehancuran Ekonomi Eropa, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3310&type=4)
Mengapa hal di atas bisa terjadi? Jawabannya adalah karena terintegrasinya dan terinterdependensinya ekonomi Eropa dengan sangat dalam. Negara-negara anggota berpedoman pada satu kebijakan ekonomi yang dibuat lembaga supranasional Uni Eropa. Sehingga negara tidak memiliki sebuah kebijakan ekonomi yang otonom untuk melindungi perekonomiannya sendiri. One policy for all, one Europe. Memang dengan satu kebijakan untuk semua mempermudah dalam hal koordinasi ekonomi. Pajak barang dan jasa menjadi satu irama, mata uang tunggal pun menjadi favorit karena berlaku untuk semua negara anggota. Tetapi jika satu negara krisis, semuanya pun tampak menjadi ‘satu irama’ pula.
Yakin dengan ASEAN Community 2015?
Dengan semboyan ‘one vision, one identity, one community’, siapkah kita menyambut ASEAN Community 2015? Siapkah kita menjadi satu identitas, yaitu ASEAN?
Uni Eropa yang saat ini mengalami cobaan terbesar (krisi ekonomi) sejak awal berdirinya menjadi sebuah contoh konsekuensi yang harus diterima jika sebuah kerjasama regional ingin mentransformasikan dirinya menjadi kerjasama dengan derajat yang lebih jauh.
Konsep ASEAN Community 2015 meliputi 3 bidang yaitu : ASEAN Political-Security Community, ASEAN Economic Community, ASEAN Socio-Cultural Community. ASEAN hendak menuju konsep the depth of integration yang lebih jauh dengan memasukkan skema kerjasama keamanan, ekonomi dan sosial-budaya.
Namun, apakah kita siap dan yakin apabila nantinya semakin terintegrasinya perekonomian, keamanan, maupun sosial-budaya negara-negara ASEAN, masalah yang timbul juga semakin kompleks? Tentu kita tidak ingin hal-hal yang dialami Uni Eropa terjadi pada ASEAN. ASEAN harus terus mengembangkan konsep integrasinya, but by own way. Boleh arah pembangunan kita menuju seperti konsep Uni Eropa, tapi harus dengan karakter ASEAN sendiri. Semoga ASEAN Community yang hendak dicapai ditahun 2015 mendatang turut memberikan kontribusi bagi negara Indonesia, anggota ASEAN, dan pastinya pada dunia
[1]Edward D. Mansfield dan Helen V. Milner (ed), 1997, the Poitical Economy of Regionalism, Columbia University Press, hal. 16
[2]http://seruu.com/internasional/bank-anglo-irlandia-terlilit-utang/itemid-695, diakses pada 05 Desember 2010
Berakhirnya Perang Dingin (Cold War), menjadi sebuah pintu bagi dinamika hubungan internasional. Mengapa menjadi sebuah pintu? Bak keran air, pasca Perang Dingin merupakan era di mana geliat perpolitikan dunia menjadi beragam dan kompleks dari segi pola hubungan, isu-isu yang berkembang serta aktor/pelaku didalamnya. Hal terpenting adalah kandasnya fragmentasi dunia menjadi dua kutub (bipolar) sebelumnya, yaitu Blok Barat (liberal) dan Blok Timur (komunis). Dunia menjadi multipolar dengan tidak berpusat pada kedua kekuatan di atas. Berakhirnya Perang Dingin menuntut negara-negara di kawasan untuk memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar soal keamanan dan kemakmuran negaranya. Runtuhnya bipolaritas kekuatan dunia membuat negara-negara aliansi sebelumnya baik Uni Soviet maupun aliansi dengan Barat (AS) harus memikirkan masa depan keamanan negaranya yang sudah tidak bergantung pada mereka berdua.
Desentralisasi sistem internasional membuat Negara-negara yang menjadi motor dalam blok Barat maupun blok Timur mempunyai keinginan yang sama untuk memperluas regionalisme. AS dengan ‘open regionalism’-nya dan Rusia yang mengusung visi ‘common European home’. Namun, kemuculan regionalisme yang semakin intensif bukan hanya dikarenakan upaya dari kedua negara teresbut, melainkan sebuah kesadaran identitas regional negara-negara untuk mau membentuk sebuah kerjasama regional guna meningkatkan perekonomian maupun keamanan negaranya.
The Depth of Integration
Dalam studi hubungan internasional, terdapat sebuah konsep derajat kedalaman integrasi kerjasama regional atau lebih sering dikenal dengan the depth of integration. Kupchan mendefinisikan the depth of intergration sebagai ‘sejauh mana negara mengidentifikasikan dirinya ke dalam kerjasama regional’.[1]
Derajat kedalam integrasi regional itu sendiri terbagi menjadi 5 kedalaman, antara lain :
a. Free trade area
b. Costum union
c. Common market
d. Economic union
e. Monetary union
Dari kelima derajat kedalaman tersebut yang paling mempunyai kedalaman yang sangat jauh adalah monetary union. Maksudnya, ketika kerajasama regional tersebut mentransformasikan dirinya dengan berubah menjadi monetary union, implementasinya adalah negara-negara anggota harus menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada organisasi tersebut. Kerjasama regional yang telah mencapai derajat monetary union adalah organisasi supranasional, sebuah organisasi tertinggi di atas negara-negara anggota, seperti PBB.
Salah satu dan mungkin satu-satunya kerjasama regional yang mencapai monetary union adalah Uni Eropa. Hal ini, tampak dari adanya mata uang tunggal, yaitu Euro yang dipakai oleh negara-negara anggotanya dalam bertransaksi ekonomi. Uni Eropa adalah bentuk kerjasama regional yang supranasional. Dia lembaga tertinggi di atas negara-negara anggotanya. Beberapa karateristik dari kerjasama yang berderajat monetary union adalah mudahnya masyarakat berlalu lintas ke negara-negara anggota hanya dengan menggunakan satu visa maupun paspor, yaitu Uni Eropa. Interdependensi antar negara anggotanya sangat kuat. Saking kuatnya, keruntuhan ekonomi disalah satu negara anggotanya baru-baru ini (Portugal, Spanyol, dan Yunani) turut memberikan spill over effect kepada negara-negara anggota lainnya. Hal ini disebabkan sistem ekonomi mereka yang terinterdependensi dan terintegarsi sangat kuat sehingga ketika sebuah negara gagal bayar hutang (Yunani) saat jatuh tempo pembayaran akan berimbas pada negara anggota lain yang memberikan pinjaman kepada Yunani.
Namun, bentuk Uni Eropa secara tidak langsung menjadi sebuah contoh yang ingin dicapai kerjasama-kerjasama regional di kawasan lain. Mereka menginginkan tercapainya integrasi yang baik antar negara-negara anggotanya layaknya negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa tampak menjadi sebuah telos of development dari setiap kerjasama regional
Suatu contoh, geliat ASEAN (Association of South East Asian Nations) untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara layaknya Uni Eropa tampak dari kesepakatan-kesepakatan yang dibuat pemimpin negara anggota ASEAN beberapa tahun belakangan. Mulai dari AFTA (ASEAN Free Trade Area), ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), ASEC (ASEAN Economic Community) hingga proyek besar menuju ASEAN Community di tahun 2015 mendatang.
Dari tahapan-tahapan yang dibuat oleh ASEAN tersebut menunjukkan bahwa ada upaya untuk mengikuti jejak Uni Eropa. Apalagi konsep ASEAN Community 2015. Konsep ini bertujuan menjadikan ASEAN sebagai one regional, one identity. Dalam arti, ASEAN adalah sebuah entitas tunggal. ASEAN dipandang sebagai satu wilayah, sehingga masyarakat bisa dengan bepergian kemanapun di negara anggota ASEAN dengan mudah layakanya Uni Eropa. Jika proyek ini tercapai, kita bisa bayangkan orang-orang Filipina, Malaysia, Vietnam berkeliaran di negara Indonesia. Namun, patut digarisbawahi bahwa ASEAN masih jauh dari derajat monetary union. Hal ini disebabkan ASEAN bukan organisasi supranasional (lihat ASEAN Charter), dan masih belum adanya upaya membuat mata uang tunggal.
Memikir Ulang Konsep Integrasi
Kita hendaknya memikir ulang untuk mencontoh Uni Eropa sebagai arah pembangunan kerjasama regional. Layaknya dua sisi koin mata uang, ada segi positif maupun negatif darinya.
Derajat kerjasama regional yang sangat dalam (monetary union) sepertI Uni Eropa memang baik dari segi kelancaran lalu lintas ekonomi, perpindahan penduduk, maupun aliran barang dan jasa. Namun, di sisi lain kerjasama regional yang terlalu dalam juga memberikan efek yang buruk.
Yunani merupakan pembukaan awal guncangnya perekenomian Eropa. Kita tentu masih ingat krisis yang mendera Yunani lalu. Krisis Yunani merupakan krisis yang sudah terakumulasi. Salah satunya adalah penyelenggaraan olimpiade tahun 2004 di Yunani. Kecanggihan olimpiade 6 tahun lalu, menjadi salah satu penyebab dari sekian banyak penyebab kebangkrutan Yunani. Hutang Yunani menumpuk sekitar 300 milyar euro. Faktor inilah yang akhirnya mau tidak mau mendorong Athena menyetujui bailout sebesar 22.4 miliar Euro. Namun tampaknya masalah tak berhenti sampai disitu. Setelah Yunani ‘sakit’, giliran Irlandia. Irlandia pun mengalami hal yang serupa. Dan lagi-lagi masalah hutang yang melilit negara. Menurut lembaga pemeringkat ekonomi, Standard and Poor's menyatakan biaya asuransi terhadap utang negara Irlandia mencapai rekor tertinggi atau melebihi standar. Biaya untuk mendukung Bank Anglo Irlandia dapat memicu penurunan peringkat utang negara tersebut. Dalam lima tahun ini, Credit Default Swaps (CDS) utang Pemerintah Irlandia naik 519 poin dibanding sebelumnya 488,5 bps, berdasarkan pengamatan CMA. Ini berarti dibutuhkan biaya sebesar 519 ribu euro untuk melindungi 10 juta euro terhadap obligasi Irlandia[2]. Tak berhenti sampai Irlandia, efek pun merembet ke Spanyol dan Protugal. Uni Eropa semakin gamang, banyak analis ekonomi yang melihat Eropa akan hancur.
(baca Menunggu Kehancuran Ekonomi Eropa, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3310&type=4)
Mengapa hal di atas bisa terjadi? Jawabannya adalah karena terintegrasinya dan terinterdependensinya ekonomi Eropa dengan sangat dalam. Negara-negara anggota berpedoman pada satu kebijakan ekonomi yang dibuat lembaga supranasional Uni Eropa. Sehingga negara tidak memiliki sebuah kebijakan ekonomi yang otonom untuk melindungi perekonomiannya sendiri. One policy for all, one Europe. Memang dengan satu kebijakan untuk semua mempermudah dalam hal koordinasi ekonomi. Pajak barang dan jasa menjadi satu irama, mata uang tunggal pun menjadi favorit karena berlaku untuk semua negara anggota. Tetapi jika satu negara krisis, semuanya pun tampak menjadi ‘satu irama’ pula.
Yakin dengan ASEAN Community 2015?
Dengan semboyan ‘one vision, one identity, one community’, siapkah kita menyambut ASEAN Community 2015? Siapkah kita menjadi satu identitas, yaitu ASEAN?
Uni Eropa yang saat ini mengalami cobaan terbesar (krisi ekonomi) sejak awal berdirinya menjadi sebuah contoh konsekuensi yang harus diterima jika sebuah kerjasama regional ingin mentransformasikan dirinya menjadi kerjasama dengan derajat yang lebih jauh.
Konsep ASEAN Community 2015 meliputi 3 bidang yaitu : ASEAN Political-Security Community, ASEAN Economic Community, ASEAN Socio-Cultural Community. ASEAN hendak menuju konsep the depth of integration yang lebih jauh dengan memasukkan skema kerjasama keamanan, ekonomi dan sosial-budaya.
Namun, apakah kita siap dan yakin apabila nantinya semakin terintegrasinya perekonomian, keamanan, maupun sosial-budaya negara-negara ASEAN, masalah yang timbul juga semakin kompleks? Tentu kita tidak ingin hal-hal yang dialami Uni Eropa terjadi pada ASEAN. ASEAN harus terus mengembangkan konsep integrasinya, but by own way. Boleh arah pembangunan kita menuju seperti konsep Uni Eropa, tapi harus dengan karakter ASEAN sendiri. Semoga ASEAN Community yang hendak dicapai ditahun 2015 mendatang turut memberikan kontribusi bagi negara Indonesia, anggota ASEAN, dan pastinya pada dunia
[1]Edward D. Mansfield dan Helen V. Milner (ed), 1997, the Poitical Economy of Regionalism, Columbia University Press, hal. 16
[2]http://seruu.com/internasional/bank-anglo-irlandia-terlilit-utang/itemid-695, diakses pada 05 Desember 2010
Friday, 23 September 2011
The Middle East Revolution : What the Citizen Wants?
by : Triono Akmad Munib
Gejolak politik abad 21 yang sedang terjadi di Timur Tengah turut memberikan warna perpolitikan dunia kontomporer. Gerakan massif oleh massa berbuntut pada jatuhnya rezim-rezim penguasa Tunisia, Mesir, Yaman hingga Libya. Berbagai upaya dilakukan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, seperti memberikan tawaran perubahan undang-undang seperti yang dilakukan Ben Ali di Tunisia atau menjanjikan perbaikan ekonomi dan kesetaraan kesempatan kerja seperti yang digadang Mubarak di Mesir tak kunjung membuat semangat para demonstran surut dan mau menerima tawaran penguasa. Tampaknya, rakyat sudah merasa bosan dengan kehidupan yang selama ini mereka jalani dinegaranya. Hidup di bawah rezim yang represif, koruptor, tidak adil selama berpuluh-puluh tahun. Aksi gerakan massa tersebut merupakan sebuah akumulasi dari kekecewaan yang dirasakan rakyat selama bertahun-tahun. Isu demokrasi dan kebebasan oleh para aksi jalanan tak ayal hanya sebuah pemantik layaknya pemantik korek api. Faktor pertama dan yang paling utama penyebab dari bergejolaknya perpolitikan di Timur Tengah (Tunisia hingga Libya) adalah kesenjangan ekonomi.
Jika dilihat revolusi yang berawal di Tunisia untuk menggulingkan pimpinan otoriter Ben Ali yang telah berkuasa selama 24 tahun. Pada awalnya hanya dipicu oleh seorang pedagang sayur yang bernama Mohamed Bouazizi, yang melakukan protes dengan membakar diri karena polisi menyita gerobak dagangannya. Sontak aksi heroik tersebut mendapatkan solidaritas yang meluas. Efek domino pun terjadi, dengan dibantu semakin canggihnya teknologi komunikasi. Melalui jejaring sosial, facebook dan twitter, pertukaran informasi pun terjadi antara negara-negara di Timur Tengah. Keberhasilan demonstran meruntuhkan Ben Ali telah mengilhami aksi jalanan di Mesir. Seperti apa yang dilontarkan salah satu pendemo di Mesir di bawah ini :
“Saya sudah muak dengan negeri ini, semuanya rusak, pengangguran, kemisikinan makin tak ada jawabnya. Pemerintah tidak peka, malah enak berpesta ria”
Rakyat merasa keterpurukan ekonomi, meningkatnya pengangguran akibat rezim yang berkuasa memperkaya diri dan koleganya. Rezim tak peduli dengan rakyat. Di saat rakyat sulit mencari makan, pekerjaan, di sisi lain penguasa malah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Misalnya, vila-vila mewah milik Khadafi dan anaknya yang barusan sempat terungkap di media.
REVOLUSI BEREFEK! Seperti apa yang ditulis kolumnis Abdelrahman ar-Rashed dalam surat kabar Asy-Syarq al-Ausat sesaat setelah Ben Ali mundur, “segala apa yang menghalangi protes dan pembangkangan sipil hanyalah penghalang psikologis”. Rakyat sudah (di) miskin (kan) akibat rezim-rezim yang korup, mengambil kekayaan negara untuk mereka sendiri, dan belakangan sistem ekonomi yang dijalankan menyebabkan krisis sehingga kemiskinan meningkat, misalnya kenaikan harga bahan pokok.[1]
Faktor ekonomi yang kemudian merembet menuntut perubahan politik, kebebasan tampak menjadi suatu hal yang sedang diinginkan oleh negara-negara Timur Tengah saat ini. Timbul pertanyaan, lalu, as the effort to make a good and strong state to reach the stability, what is the first thing that we (government) to change?
What is the First : Economic or Politic?
Pertanyaan di atas menjadi menarik, karena menjadi sebuah perdebatan. Banyak pengamat lebih memilih untuk mengkonsolidasikan perekonomian daripada politik. Karena ketika rakyat hidup makmur, harga bahan pokok murah, mudah mendapat akses pekerjaan, akses pendidikan murah akan bisa meminimalisasi gerakan-gerakan massa. Mereka beranggapan bahwa ketika rakyat kenyang akan lebih enggan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dirinya, termasuk demonstrasi yang akan memakan biaya, tenaga, dan waktu. Sehingga implementasinya, rakyat tidak terlalu mempedulikan siapa yang rezim yang berkuasa dan seperti apa sistem pemerintahan. Contohnya, Singapura dan Malaysia adalah negara dengan indeks pendapatan yang cukup tinggi. Rakyat merasa puas dengan kinerja pemerintahan selama ini. Mereka pun tidak peduli dengan rezim yang semi otoriter yang dijalankan oleh kedua negaranya.
Namun, hal di atas pun dibantah oleh orang-orang yang pro kebebasan. Suatu contoh di China. Memang dari segi perekonomian China merupakan negara yang patut diperhitungkan, bahkan oleh negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Banyak pengamat ekonomi dan politik yang memprediksi bahwa China will be the new power around the world besides the U.S. Namun, demikian kemakmuran ekonomi yang dirasakan oleh rakyat China juga tak cukup meredam aksi rakyat untuk menuntut perubahan politik rezim berkuasa yang represif, koersif, dan otoriter. Aksi jalanan masih kerap terjadi di China, mereka menutut perubahan politik yang lebih demokratis, adil.
Kedua contoh kasus di atas membuat kita seakan dilema. Hal mana yang didahulukan?. Akankah kita mengorbankan rakyat hidup sengsara untuk mengkonsolidasikan perpolitikan? (seperti penulis amati di Indonesia saat ini). Atau membiarkan apapun sistem pemerintahan tetapi kesejahteraan ekonomi tercapai?.
Actually, what the people wants? Seyogyanya, rakyat menginginkan keduanya. Hidup makmur dan rezim pemerintahan yang tidak represif dan otoriter. Siapa sih yang nggak mau hidup makmur? Siapa sih yang mau hidup di bawah tekanan, kekangan dan tidak bebas?
Memilih ekonomi sebagai prioritas dalam pembangunan adalah baik. Namun, pembangunan ekonomi tersebut harus dibarengi dengan membangun perpolitikan. Both of them should be work together. Membangun negara yang kuat dalam hal ekonomi dan politik tidaklah mudah. Tetapi, bukan tidak mungkin suatu negara tidak bisa melakukannya. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa mengakomodir kepentingan mayoritas rakyat. Tak pandang sistem pemerintahan negara itu apa, yang penting pemerintahan tersebut mendapatkan legitimasi dari rakyat dan dengan sistem pemerintahan itulah rakyat bisa merasakan kemakmuran dalam hidupnya.
Refferences :
[1]Iqbal, Muhammad dan Nurani Soyomukti. Ben Ali, Mubarak, Khadafi : Pergolakan Politik Jazirah Arab Abad ke-21. 2011. Bandung : Penerbit Medium, hal. 28
Gejolak politik abad 21 yang sedang terjadi di Timur Tengah turut memberikan warna perpolitikan dunia kontomporer. Gerakan massif oleh massa berbuntut pada jatuhnya rezim-rezim penguasa Tunisia, Mesir, Yaman hingga Libya. Berbagai upaya dilakukan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, seperti memberikan tawaran perubahan undang-undang seperti yang dilakukan Ben Ali di Tunisia atau menjanjikan perbaikan ekonomi dan kesetaraan kesempatan kerja seperti yang digadang Mubarak di Mesir tak kunjung membuat semangat para demonstran surut dan mau menerima tawaran penguasa. Tampaknya, rakyat sudah merasa bosan dengan kehidupan yang selama ini mereka jalani dinegaranya. Hidup di bawah rezim yang represif, koruptor, tidak adil selama berpuluh-puluh tahun. Aksi gerakan massa tersebut merupakan sebuah akumulasi dari kekecewaan yang dirasakan rakyat selama bertahun-tahun. Isu demokrasi dan kebebasan oleh para aksi jalanan tak ayal hanya sebuah pemantik layaknya pemantik korek api. Faktor pertama dan yang paling utama penyebab dari bergejolaknya perpolitikan di Timur Tengah (Tunisia hingga Libya) adalah kesenjangan ekonomi.
Jika dilihat revolusi yang berawal di Tunisia untuk menggulingkan pimpinan otoriter Ben Ali yang telah berkuasa selama 24 tahun. Pada awalnya hanya dipicu oleh seorang pedagang sayur yang bernama Mohamed Bouazizi, yang melakukan protes dengan membakar diri karena polisi menyita gerobak dagangannya. Sontak aksi heroik tersebut mendapatkan solidaritas yang meluas. Efek domino pun terjadi, dengan dibantu semakin canggihnya teknologi komunikasi. Melalui jejaring sosial, facebook dan twitter, pertukaran informasi pun terjadi antara negara-negara di Timur Tengah. Keberhasilan demonstran meruntuhkan Ben Ali telah mengilhami aksi jalanan di Mesir. Seperti apa yang dilontarkan salah satu pendemo di Mesir di bawah ini :
“Saya sudah muak dengan negeri ini, semuanya rusak, pengangguran, kemisikinan makin tak ada jawabnya. Pemerintah tidak peka, malah enak berpesta ria”
Rakyat merasa keterpurukan ekonomi, meningkatnya pengangguran akibat rezim yang berkuasa memperkaya diri dan koleganya. Rezim tak peduli dengan rakyat. Di saat rakyat sulit mencari makan, pekerjaan, di sisi lain penguasa malah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Misalnya, vila-vila mewah milik Khadafi dan anaknya yang barusan sempat terungkap di media.
REVOLUSI BEREFEK! Seperti apa yang ditulis kolumnis Abdelrahman ar-Rashed dalam surat kabar Asy-Syarq al-Ausat sesaat setelah Ben Ali mundur, “segala apa yang menghalangi protes dan pembangkangan sipil hanyalah penghalang psikologis”. Rakyat sudah (di) miskin (kan) akibat rezim-rezim yang korup, mengambil kekayaan negara untuk mereka sendiri, dan belakangan sistem ekonomi yang dijalankan menyebabkan krisis sehingga kemiskinan meningkat, misalnya kenaikan harga bahan pokok.[1]
Faktor ekonomi yang kemudian merembet menuntut perubahan politik, kebebasan tampak menjadi suatu hal yang sedang diinginkan oleh negara-negara Timur Tengah saat ini. Timbul pertanyaan, lalu, as the effort to make a good and strong state to reach the stability, what is the first thing that we (government) to change?
What is the First : Economic or Politic?
Pertanyaan di atas menjadi menarik, karena menjadi sebuah perdebatan. Banyak pengamat lebih memilih untuk mengkonsolidasikan perekonomian daripada politik. Karena ketika rakyat hidup makmur, harga bahan pokok murah, mudah mendapat akses pekerjaan, akses pendidikan murah akan bisa meminimalisasi gerakan-gerakan massa. Mereka beranggapan bahwa ketika rakyat kenyang akan lebih enggan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dirinya, termasuk demonstrasi yang akan memakan biaya, tenaga, dan waktu. Sehingga implementasinya, rakyat tidak terlalu mempedulikan siapa yang rezim yang berkuasa dan seperti apa sistem pemerintahan. Contohnya, Singapura dan Malaysia adalah negara dengan indeks pendapatan yang cukup tinggi. Rakyat merasa puas dengan kinerja pemerintahan selama ini. Mereka pun tidak peduli dengan rezim yang semi otoriter yang dijalankan oleh kedua negaranya.
Namun, hal di atas pun dibantah oleh orang-orang yang pro kebebasan. Suatu contoh di China. Memang dari segi perekonomian China merupakan negara yang patut diperhitungkan, bahkan oleh negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Banyak pengamat ekonomi dan politik yang memprediksi bahwa China will be the new power around the world besides the U.S. Namun, demikian kemakmuran ekonomi yang dirasakan oleh rakyat China juga tak cukup meredam aksi rakyat untuk menuntut perubahan politik rezim berkuasa yang represif, koersif, dan otoriter. Aksi jalanan masih kerap terjadi di China, mereka menutut perubahan politik yang lebih demokratis, adil.
Kedua contoh kasus di atas membuat kita seakan dilema. Hal mana yang didahulukan?. Akankah kita mengorbankan rakyat hidup sengsara untuk mengkonsolidasikan perpolitikan? (seperti penulis amati di Indonesia saat ini). Atau membiarkan apapun sistem pemerintahan tetapi kesejahteraan ekonomi tercapai?.
Actually, what the people wants? Seyogyanya, rakyat menginginkan keduanya. Hidup makmur dan rezim pemerintahan yang tidak represif dan otoriter. Siapa sih yang nggak mau hidup makmur? Siapa sih yang mau hidup di bawah tekanan, kekangan dan tidak bebas?
Memilih ekonomi sebagai prioritas dalam pembangunan adalah baik. Namun, pembangunan ekonomi tersebut harus dibarengi dengan membangun perpolitikan. Both of them should be work together. Membangun negara yang kuat dalam hal ekonomi dan politik tidaklah mudah. Tetapi, bukan tidak mungkin suatu negara tidak bisa melakukannya. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa mengakomodir kepentingan mayoritas rakyat. Tak pandang sistem pemerintahan negara itu apa, yang penting pemerintahan tersebut mendapatkan legitimasi dari rakyat dan dengan sistem pemerintahan itulah rakyat bisa merasakan kemakmuran dalam hidupnya.
Refferences :
[1]Iqbal, Muhammad dan Nurani Soyomukti. Ben Ali, Mubarak, Khadafi : Pergolakan Politik Jazirah Arab Abad ke-21. 2011. Bandung : Penerbit Medium, hal. 28
Friday, 9 September 2011
Potensi Perairan Indonesia Sebagai Alat Diplomasi Bangsa
Oleh : Triono Akmad Munib
NKRI merupakan negara dengan luas 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 70 persen dari luas total Indonesia. Besarnya potensi sumber daya kelautan Indonesia tersebut, khususnya sumber daya ikan laut di seluruh perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diduga sebesar 6,26 juta ton per tahun, tercermin dengan besarnya keanekaragaman hayati, selain potensi budidaya perikanan pantai di laut serta pariwisata bahari (Budiharsono S., 2001). Melalui data di atas bisa disimpulkan bahwa 1/3 wilayah negara Indonesia adalah perairan. Ada yang menyebut Indonesia adalah negara perairan yang diatasnya terdiri atas daratan. Namun, ada pula yang menyebut Indonesia sebagai laut yang ditebari pulau-pulau. Kondisi geografis di atas memberikan predikat kepada NKRI sebagai negara maritim.
Melihat keadaan geografis di atas, secara awam kita bisa mengatakan bahwa potensi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia terletak pada bidang perairan. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas potensi perairan Indonesia sebagai tonggak diplomasi bangsa. Alasan penulis memilih judul di atas adalah merupakan salah satu bidang kajian penulis sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dan ingin memberikan pencerahan kepada para pembaca khususnya pemerintah (Kementrian Luar Negeri) untuk lebih memaksimalkan potesnsi perairan sebagai tools of bargaining position (alat posisi tawar menawar) di meja diplomasi.
Potensi Yang Terlupakan
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini tercatat bahwa jatuh dan bangunnya peradaban bangsa yang tinggal di kepulauan nusantara sangat dipengaruhi oleh penguasaan lautan. Kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit berhasil menguasai dan memakmurkan kerajaannya melalui kekuatan armada lautnya. Dan bahkan serikat dagang Belanda (VOC) pun mampu menjajah nusantara selama 350 tahun dengan kemampuannya menguasai lautan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak dapat dipungkiri lagi laut merupakan suatu aset untuk kedaulatan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Wilayah perairan Indonesia merupakan aset negara yang patut untuk dilestarikan. Berikut beberapa potensi laut Indonesia :
1.Perikanan dan Perdagangan
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia memang mempunyai kekayaan laut yang luar biasa. Salah satunya adalah variasi jenis ikan dan biota laut yang melimpah ruah. Indonesia juga mempunyai potensi wisata, seperti taman laut yang berjajar indah di sekitar perairan negeri ini.
Perlu kita ketahui bahwa hasil perikanan budidaya di Indonesia setiap tahunnya sekitar 46,3 juta ton. Hasil tangkapan laut Indonesia mendominasi produksi penangkapan ikan di dunia. Hasil laut Indonesia berkisar 52 persen dari produksi keseluruhan tangkapan laut dunia, yaitu 47,6 juta ton.
Bahkan, menurut Food and Agriculture Organization (FAO), badan PBB yang menaungi berbagai informasi tentang pangan dan pertanian, pada 2006, Indonesia merupakan produsen ikan terbesar di dunia dengan bobot produksi sekitar 87,1 juta ton. Jumlah yang fantastik tersebut meliputi 4,4 juta ton di wilayah tangkap perairan Indonesia, sedangkan 1,8 juta ton lainnya berada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE.
Ekonomi dunia juga sangat bergantung dengan keberadaan negeri-negeri maritim seperti Indonesia. Menurut catatan pada 2006, lebih dari 80 persen perdagangan dunia melalui laut dengan omset lebih dari 500 miliar dollar AS. Pada 2011, nilai tersebut ditaksir akan meningkat hingga 670 miliar dollar AS dengan pertumbuhan perdagangan yang bertambah lebih dari 40 persen pada 2020.
2.Taman Laut dan Terumbu Karang
Fakta menyebutkan bahwa terumbu karang Indonesia menyumbang 21% kekayaan terumbu karang dunia? Luas terumbu karang Indonesia sekitar 51 ribu kilometer persegi. Potensi taman laut dan keindahannya tak perlu diragukan lagi. Badan turisme PBB atau World Tourism Organization, mempunyai penilaian yang mengejutkan terhadap estetika taman laut Indonesia.
Badan ini memberikan index di atas 31 terhadap taman-taman laut di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Sebuah penghargaan yang luar biasa atas potensi kekayaan laut Indonesia. Padahal, index taman-taman laut ternama, seperti Great Reef di Australia, hanya 28. Taman laut Kepulauan Karibia yang terkenal hanya 25. Bahkan, taman laut Tahiti hanya mendapat index 21. Tentunya, index tersebut jauh di bawah taman laut Indonesia.
3.Taman Laut Indonesia
Dari sekitar 24 taman laut yang ada di seluruh dunia, mayoritas taman-taman laut surgawi tersebut berada di Indonesia. Taman-taman cerminan surga tersebut adalah sebagai berikut.
• Taman Laut Padang di Sumatera Barat.
• Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara.
• Taman Laut Kungkungan juga di Sulawesi Utara.
• Pesisir Jawa Barat.
• Perairan Bali.
• Taman Laut Gilis di Pulau Lombok.
• Taman Laut Flores.
• Taman Laut Alor di Nusa Tenggara Timur.
• Taman Laut Rote juga di Nusa Tenggara Timur.
• Perairan Ambon di Maluku.
• Taman Laut Saparua di sekitar Pulau Halmahera.
• Taman Laut Banda.
Dari taman-taman laut tersebut, lebih dari 75 persen jenis karang dunia dapat ditemui. Lebih dari 3000 jenis ikan hidup dan menghiasi perairan. Taman-taman laut tersebut juga telah menjadi kawasan hutan bakau terbesar di dunia. Setidaknya, bila dikelola dengan baik, kawasan-kawasan taman laut di Indonesia dapat bernilai sekitar 2,3 miliar dolar AS atau 21 triliun lebih setiap tahunnya.
Selain itu menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Freedy Number, laut Indonesia yang luasnya mencapai 5,8 juta km2 itu, ternyata mampu menyerap sekitar 44% dari seluruh jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer.[1]
Tidak hanya itu, prakiraan nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia yang telah dihitung para pakar dan lembaga terkait dalam setahun mencapai 149,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.994 triliun. Potensi ekonomi kekayaan laut tersebut meliputi perikanan senilai 31,94 miliar dollar AS, wilayah pesisir lestari 56 miliar dollar AS, bioteknologi laut total 40 miliar dollar AS, wisata bahari 2 miliar dollar AS, minyak bumi sebesar 6,64 miliar dollar AS dan transportasi laut sebesar 20 miliar dollar AS.[2] Diprediksikan pula tahun 2015, Indonesia akan menjadi produsen hasil laut terbesar dunia.[3]
Kekayaan dan potensi lautan Indonesia harus dilihat sebagai karunia Tuhan YME yang harus selalu disyukuri dengan cara mengelolanya secara bijaksana untuk kesejahteraan seluruh bangsa. Beberapa alasan pentingnya pembangunan laut antara lain :
1.Indonesia memiliki sumberdaya alam laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun keanekaragaman hasilnya.
2.Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (sebagian besarnya), artinya bahwa ikan ataupun sumberdaya laut lainnya dapat dimanfaatkan, namun harus memperhatikan kelestariannya.
3.Pusat pertumbuhan ekonomi, dengan proses globalisasi perdagangan di abad 21 ini, akan terbuka peluang untuk bersaing memasarkan produk-produk kelautan dalam perdagangan internasional.
4.Sumber protein hewani, sumberdaya ikan mengandung protein yang tinggi khususnya untuk asam amino tak jenuh, atau biasa dikenal dengan kandungan OMEGA-3 yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia.
Namun sayangnya, kita yang tidak mengenal lebih jauh kekayaan negeri yang melimpah ruah. Banyak di antara potensi berharga tersebut tak terkelola dengan baik, malah ada sebagian yang sengaja dirusak oleh masyarakat negeri sendiri. Oleh sebab itu, butuh keseriusan, kecintaan, dan pemeliharaan yang bertanggung jawab dari setiap warga negara maupun pemerintah untuk mengoptimalkan potensi kekayaan laut Indonesia.
Potensi Laut Sebagai Alat Diplomasi
Dalam ilmu hubungan internasional, jika sebuah negara ingin dipandang ataupun memiliki suara yang kuat dalam meja dipolmasi setidaknya harus memiliki sebuah senjata dalam proses bargaining-nya. Sebuah negara akan memiliki bargaining position yang kuat dalam meja diplomasi jika negara tersebut memiliki sebuah ‘senjata’.[4] Dalam kata senjata diberi tanda kutip oleh penulis dengan maksud bahwa ‘senjata’ yang dimaksud di sini tidak hanya berfokus pada senjata-senjata militer. ‘Senjata’ dalam hal ini adalah segala sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk menakuti lawan. Hal ini bisa berupa kekuatan ekonomi (AS, Jepang, Korea Selatan, China, dll), kekuatan militer (AS, China, Iran, Korea Utara, dll), maupun kekayaan SDA seperti Indonesia.
Potensi kekayaan laut Indonesia seperti yang dijelaskan di atas seyogyanya bisa dijadikan sebuah ‘senjata’ dalam meja perundingan. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, Indonesia mencatat bahwa potensi perairan pernah berhasil menjadi alat diplomasi yang pada akhirnya berbuah manis menjadi sebuah hukum internasional tentang kelautan hingga saat ini. Desember tahun 1957 adalah bulan bersejarah bagi Indonesia dan dunia. Dua peristiwa yang mengubah rezim kelautan nasional dan internasional terjadi di bulan ini. Pertama, Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, dan kedua, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Dalam deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.
Deklarasi tersebut juga menmbahas tentang lalu lintas yang damai melalui perairan-perairan pedalaman Indonesia bagi kapal asing terjamin, selama tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.
Berdasarkan deklarasi tersebut maka mulai saat itu, fungsi laut antara tidak lagi sebagai pemisah antarpulau-pulau Indonesia, tetapi berubah menjadi satu kesatuan NKRI dan alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan, dan pertahanan nasional.
Selanjutnya, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 berlangsung di Montego Bay, Jamaika. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam konvensi itu memberikan pengakuan terhadap negara kepulauan. Indonesia berjuang selama 25 tahun dan berhasil gemilang merebut pengakuan masyarakat internasional atas konsepsi negara kepulauan.
Peristiwa di atas hendaknya menjadi koreksi bagi para pejabat pemerintah saat ini, khususnya Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) bahwa potensi perairan negara kita bisa menjadi alat kuat dalam perundingan internasional. Potensi perairan yang kita miliki hendaknya bisa dipergunakan secara maksimal. Jika kita memang tidak bisa menggunakan kekuatan militer layaknya AS, Korut, dan China maupun kekuatan ekonomi layaknya Korea Selatan dan Jepang untuk bisa menggetarkan lawan, negara kita masih punya potensi laut untuk bisa menggertak lawan.
Penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan menyadarkan kembali bahwa potensi laut kita sangatlah kaya serta kondisi ini bisa menjadikan Indonesia lebih bisa dipandang dimeja perundingan dengan memanfaatkan potensinya secara maksimal. Indonesia bukan negeri Sakura seperti Jepang, bukan negeri Gingseng seperti Korea Selatan, maupun negeri Super Power layaknya AS. Indonesia adalah negara maritim dengan ciri khas wilayah perairan yang luas dan kaya.
Referensi :
[1] http://www.cintailautindonesia.blogspot.com/ [diakses pada 04 September 2011]
[2] Kompas, Edisi Jumat 06 November 2009
[3] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/12/10/151367-tahun-2015-indonesia-jadi-produsen-hasil-laut-terbesar [diakses pada 04 September 2011]
[4] DR. Yudhi Chrisnadi, ME, Anggota Komisi I DPR RI, disampaikan dalam Seminar Internasional pada Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional Ke-22 di Universitas Nasional Jakarta, 21 November 2010
NKRI merupakan negara dengan luas 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 70 persen dari luas total Indonesia. Besarnya potensi sumber daya kelautan Indonesia tersebut, khususnya sumber daya ikan laut di seluruh perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diduga sebesar 6,26 juta ton per tahun, tercermin dengan besarnya keanekaragaman hayati, selain potensi budidaya perikanan pantai di laut serta pariwisata bahari (Budiharsono S., 2001). Melalui data di atas bisa disimpulkan bahwa 1/3 wilayah negara Indonesia adalah perairan. Ada yang menyebut Indonesia adalah negara perairan yang diatasnya terdiri atas daratan. Namun, ada pula yang menyebut Indonesia sebagai laut yang ditebari pulau-pulau. Kondisi geografis di atas memberikan predikat kepada NKRI sebagai negara maritim.
Melihat keadaan geografis di atas, secara awam kita bisa mengatakan bahwa potensi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia terletak pada bidang perairan. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas potensi perairan Indonesia sebagai tonggak diplomasi bangsa. Alasan penulis memilih judul di atas adalah merupakan salah satu bidang kajian penulis sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dan ingin memberikan pencerahan kepada para pembaca khususnya pemerintah (Kementrian Luar Negeri) untuk lebih memaksimalkan potesnsi perairan sebagai tools of bargaining position (alat posisi tawar menawar) di meja diplomasi.
Potensi Yang Terlupakan
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini tercatat bahwa jatuh dan bangunnya peradaban bangsa yang tinggal di kepulauan nusantara sangat dipengaruhi oleh penguasaan lautan. Kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit berhasil menguasai dan memakmurkan kerajaannya melalui kekuatan armada lautnya. Dan bahkan serikat dagang Belanda (VOC) pun mampu menjajah nusantara selama 350 tahun dengan kemampuannya menguasai lautan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak dapat dipungkiri lagi laut merupakan suatu aset untuk kedaulatan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Wilayah perairan Indonesia merupakan aset negara yang patut untuk dilestarikan. Berikut beberapa potensi laut Indonesia :
1.Perikanan dan Perdagangan
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia memang mempunyai kekayaan laut yang luar biasa. Salah satunya adalah variasi jenis ikan dan biota laut yang melimpah ruah. Indonesia juga mempunyai potensi wisata, seperti taman laut yang berjajar indah di sekitar perairan negeri ini.
Perlu kita ketahui bahwa hasil perikanan budidaya di Indonesia setiap tahunnya sekitar 46,3 juta ton. Hasil tangkapan laut Indonesia mendominasi produksi penangkapan ikan di dunia. Hasil laut Indonesia berkisar 52 persen dari produksi keseluruhan tangkapan laut dunia, yaitu 47,6 juta ton.
Bahkan, menurut Food and Agriculture Organization (FAO), badan PBB yang menaungi berbagai informasi tentang pangan dan pertanian, pada 2006, Indonesia merupakan produsen ikan terbesar di dunia dengan bobot produksi sekitar 87,1 juta ton. Jumlah yang fantastik tersebut meliputi 4,4 juta ton di wilayah tangkap perairan Indonesia, sedangkan 1,8 juta ton lainnya berada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE.
Ekonomi dunia juga sangat bergantung dengan keberadaan negeri-negeri maritim seperti Indonesia. Menurut catatan pada 2006, lebih dari 80 persen perdagangan dunia melalui laut dengan omset lebih dari 500 miliar dollar AS. Pada 2011, nilai tersebut ditaksir akan meningkat hingga 670 miliar dollar AS dengan pertumbuhan perdagangan yang bertambah lebih dari 40 persen pada 2020.
2.Taman Laut dan Terumbu Karang
Fakta menyebutkan bahwa terumbu karang Indonesia menyumbang 21% kekayaan terumbu karang dunia? Luas terumbu karang Indonesia sekitar 51 ribu kilometer persegi. Potensi taman laut dan keindahannya tak perlu diragukan lagi. Badan turisme PBB atau World Tourism Organization, mempunyai penilaian yang mengejutkan terhadap estetika taman laut Indonesia.
Badan ini memberikan index di atas 31 terhadap taman-taman laut di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Sebuah penghargaan yang luar biasa atas potensi kekayaan laut Indonesia. Padahal, index taman-taman laut ternama, seperti Great Reef di Australia, hanya 28. Taman laut Kepulauan Karibia yang terkenal hanya 25. Bahkan, taman laut Tahiti hanya mendapat index 21. Tentunya, index tersebut jauh di bawah taman laut Indonesia.
3.Taman Laut Indonesia
Dari sekitar 24 taman laut yang ada di seluruh dunia, mayoritas taman-taman laut surgawi tersebut berada di Indonesia. Taman-taman cerminan surga tersebut adalah sebagai berikut.
• Taman Laut Padang di Sumatera Barat.
• Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara.
• Taman Laut Kungkungan juga di Sulawesi Utara.
• Pesisir Jawa Barat.
• Perairan Bali.
• Taman Laut Gilis di Pulau Lombok.
• Taman Laut Flores.
• Taman Laut Alor di Nusa Tenggara Timur.
• Taman Laut Rote juga di Nusa Tenggara Timur.
• Perairan Ambon di Maluku.
• Taman Laut Saparua di sekitar Pulau Halmahera.
• Taman Laut Banda.
Dari taman-taman laut tersebut, lebih dari 75 persen jenis karang dunia dapat ditemui. Lebih dari 3000 jenis ikan hidup dan menghiasi perairan. Taman-taman laut tersebut juga telah menjadi kawasan hutan bakau terbesar di dunia. Setidaknya, bila dikelola dengan baik, kawasan-kawasan taman laut di Indonesia dapat bernilai sekitar 2,3 miliar dolar AS atau 21 triliun lebih setiap tahunnya.
Selain itu menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Freedy Number, laut Indonesia yang luasnya mencapai 5,8 juta km2 itu, ternyata mampu menyerap sekitar 44% dari seluruh jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer.[1]
Tidak hanya itu, prakiraan nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia yang telah dihitung para pakar dan lembaga terkait dalam setahun mencapai 149,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.994 triliun. Potensi ekonomi kekayaan laut tersebut meliputi perikanan senilai 31,94 miliar dollar AS, wilayah pesisir lestari 56 miliar dollar AS, bioteknologi laut total 40 miliar dollar AS, wisata bahari 2 miliar dollar AS, minyak bumi sebesar 6,64 miliar dollar AS dan transportasi laut sebesar 20 miliar dollar AS.[2] Diprediksikan pula tahun 2015, Indonesia akan menjadi produsen hasil laut terbesar dunia.[3]
Kekayaan dan potensi lautan Indonesia harus dilihat sebagai karunia Tuhan YME yang harus selalu disyukuri dengan cara mengelolanya secara bijaksana untuk kesejahteraan seluruh bangsa. Beberapa alasan pentingnya pembangunan laut antara lain :
1.Indonesia memiliki sumberdaya alam laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun keanekaragaman hasilnya.
2.Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (sebagian besarnya), artinya bahwa ikan ataupun sumberdaya laut lainnya dapat dimanfaatkan, namun harus memperhatikan kelestariannya.
3.Pusat pertumbuhan ekonomi, dengan proses globalisasi perdagangan di abad 21 ini, akan terbuka peluang untuk bersaing memasarkan produk-produk kelautan dalam perdagangan internasional.
4.Sumber protein hewani, sumberdaya ikan mengandung protein yang tinggi khususnya untuk asam amino tak jenuh, atau biasa dikenal dengan kandungan OMEGA-3 yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia.
Namun sayangnya, kita yang tidak mengenal lebih jauh kekayaan negeri yang melimpah ruah. Banyak di antara potensi berharga tersebut tak terkelola dengan baik, malah ada sebagian yang sengaja dirusak oleh masyarakat negeri sendiri. Oleh sebab itu, butuh keseriusan, kecintaan, dan pemeliharaan yang bertanggung jawab dari setiap warga negara maupun pemerintah untuk mengoptimalkan potensi kekayaan laut Indonesia.
Potensi Laut Sebagai Alat Diplomasi
Dalam ilmu hubungan internasional, jika sebuah negara ingin dipandang ataupun memiliki suara yang kuat dalam meja dipolmasi setidaknya harus memiliki sebuah senjata dalam proses bargaining-nya. Sebuah negara akan memiliki bargaining position yang kuat dalam meja diplomasi jika negara tersebut memiliki sebuah ‘senjata’.[4] Dalam kata senjata diberi tanda kutip oleh penulis dengan maksud bahwa ‘senjata’ yang dimaksud di sini tidak hanya berfokus pada senjata-senjata militer. ‘Senjata’ dalam hal ini adalah segala sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk menakuti lawan. Hal ini bisa berupa kekuatan ekonomi (AS, Jepang, Korea Selatan, China, dll), kekuatan militer (AS, China, Iran, Korea Utara, dll), maupun kekayaan SDA seperti Indonesia.
Potensi kekayaan laut Indonesia seperti yang dijelaskan di atas seyogyanya bisa dijadikan sebuah ‘senjata’ dalam meja perundingan. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, Indonesia mencatat bahwa potensi perairan pernah berhasil menjadi alat diplomasi yang pada akhirnya berbuah manis menjadi sebuah hukum internasional tentang kelautan hingga saat ini. Desember tahun 1957 adalah bulan bersejarah bagi Indonesia dan dunia. Dua peristiwa yang mengubah rezim kelautan nasional dan internasional terjadi di bulan ini. Pertama, Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, dan kedua, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Dalam deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.
Deklarasi tersebut juga menmbahas tentang lalu lintas yang damai melalui perairan-perairan pedalaman Indonesia bagi kapal asing terjamin, selama tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.
Berdasarkan deklarasi tersebut maka mulai saat itu, fungsi laut antara tidak lagi sebagai pemisah antarpulau-pulau Indonesia, tetapi berubah menjadi satu kesatuan NKRI dan alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan, dan pertahanan nasional.
Selanjutnya, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 berlangsung di Montego Bay, Jamaika. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam konvensi itu memberikan pengakuan terhadap negara kepulauan. Indonesia berjuang selama 25 tahun dan berhasil gemilang merebut pengakuan masyarakat internasional atas konsepsi negara kepulauan.
Peristiwa di atas hendaknya menjadi koreksi bagi para pejabat pemerintah saat ini, khususnya Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) bahwa potensi perairan negara kita bisa menjadi alat kuat dalam perundingan internasional. Potensi perairan yang kita miliki hendaknya bisa dipergunakan secara maksimal. Jika kita memang tidak bisa menggunakan kekuatan militer layaknya AS, Korut, dan China maupun kekuatan ekonomi layaknya Korea Selatan dan Jepang untuk bisa menggetarkan lawan, negara kita masih punya potensi laut untuk bisa menggertak lawan.
Penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan menyadarkan kembali bahwa potensi laut kita sangatlah kaya serta kondisi ini bisa menjadikan Indonesia lebih bisa dipandang dimeja perundingan dengan memanfaatkan potensinya secara maksimal. Indonesia bukan negeri Sakura seperti Jepang, bukan negeri Gingseng seperti Korea Selatan, maupun negeri Super Power layaknya AS. Indonesia adalah negara maritim dengan ciri khas wilayah perairan yang luas dan kaya.
Referensi :
[1] http://www.cintailautindonesia.blogspot.com/ [diakses pada 04 September 2011]
[2] Kompas, Edisi Jumat 06 November 2009
[3] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/12/10/151367-tahun-2015-indonesia-jadi-produsen-hasil-laut-terbesar [diakses pada 04 September 2011]
[4] DR. Yudhi Chrisnadi, ME, Anggota Komisi I DPR RI, disampaikan dalam Seminar Internasional pada Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional Ke-22 di Universitas Nasional Jakarta, 21 November 2010
Saturday, 4 June 2011
Implementasi Politik Luar Negeri Bebas Aktif
By : Triono Akhmad Munib
Periode awal kemerdekaan Indonesia yang dimulai sejak Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah pada 17 agustus 1945, Bagaimanapun juga telah membawa bangsa ini menuju suatu era yang baru di mana Indonesia resmi menjadi sebuah negara. Sebagai sebuah negara yang baru tentu saja Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain bahwa negara Indonesia sudah berdiri dan siap untuk menjadi anggota dari komunitas internasional. Selain itu juga pada pasca kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya Perang Dunia II, konstelasi politik dunia terbagi menjadi kekuatan besar antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Soviet). Banyak negara-negara di dunia ini pun tak lepas dari arus konstelasi tersebut, mereka berlomba untuk menjadi aliansi Blok Barat maupun Blok Timur. Posisi ini cukup membuat Indonesia mengalami masa-masa sulit. Di satu sisi, Indonesia masih disibukkan menghadapi kembalinya penjajah Belanda dan di sisi lain posisi Indonesia menjadi rebutan dua kekuatan besar antara AS dan Soviet sebagai aliansinya.
Sebagai negara yang pada saat itu masih menghadapi agresi Belanda yang ingin kembali menjajah pasca kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada situasi yang sulit dan dilematis. Kelompok kiri ingin bangsa ini bergabung dengan blok Komunis yang sangat anti Barat, untuk memperkuat perjuangan melawan Belanda yang merupakan anggota dari blok Barat. Sementara para pemimpin nasionalis seperti Hatta dan Sjahrir, tidak ingin Indonesia dikuasai komunis. Inilah alasan kenapa akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, yakni tidak memihak kepada blok manapun.[1]
Dalam situasi politik seperti di atas, Bung Hatta mencoba merumuskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sebagaimana terkenal dalam buku tulisan Beliau yang berjudul “Mendayung Diantara Dua Karang”. Makna politik luar negeri seperti yang pernah diutarakan Bung Hatta pada pidato pertamanya sebagai Perdana Menteri (PM) Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September 1948 adalah sebagai berikut.
“......Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak
manapun sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan
segala bangsa...” (Bung Hatta, 1948)
Dalam hal ini, Indonesia bebas memilih jalan dalam perpolitikan dunia saat. Tidak ada tekanan baik dalam maupun luar. Indonesia tidak kemudian jatuh ke tangan Blok Barat maupun Blok Timur. Indonesia mencoba untuk berdiri di tengah-tengah (di antara dua karang) dengan tidak memihak AS maupun Soviet. Karena jika memihak salah satunya akan melunturkan semangat dan makna dari ‘bebas’ itu sendiri. Ini tampak bahwa Indonesia memprakarsai pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB). Dalam kondisi tekanan perpolitikan dunia, lahir dorongan yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga untuk dapat keluar dari tekanan dua negara super power tersebut. Soekarno, Ghandi dan beberapa pemimpin dari Asia serta Afrika merasakan polarisasi yang terjadi pada masa tersebut adalah tidak jauh berbeda dengan kolonialisme dalam bentuk yang lain.
Pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non Blok. Dengan didasari semangat Dasa Sila Bandung, GNB dibentuk pada tahun 1961 dengan tujuan utama mempersatukan negara-negara yang tidak ingin beraliansi dengan negara-negara adidaya peserta Perang Dingin yaitu AS dan Uni Soviet.
Sedang aktif dalam hal ini berarti bahwa Indonesia menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa.[2] Indonesia pun secara aktif terus mendorong perdamaian dunia seperti yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Dalam hal ini, pada waktu itu Indonesia berusaha untuk terus mendapatkan pengakuan dari dunia internasional dengan cara soft politics ketimbang menggunakan hard politics. Ini terlihat dari perjuangan diplomasi Bung Hatta, dkk untuk mendapat pengakuan dunia internasional. Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan melalui meja perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya. Betapa pada masa ini, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kapabilitas militer dan ekonomi yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan memperoleh kemerdekaannya dengan diplomasi. Selain itu, Bung Karno juga sempat menyatakan penolakan atas ketelibatan AS dalam Perang Vietnam yang dinilai semakin memperkeruh permasalah. Inilah yang menurut penulis makna aktif pada masa itu di mana Indonesia lebih menggunakan jalur diplomasi dan menolak segala bentuk invasi untuk mewujudkan perdamaian dunia.
---------------------
Beralih kepada permasalah yang kedua, yaitu pada peridoe manakah (Orla, Orba atau pasca Orba) penerapan politik luar negeri Indonesia yang berprinsip bebas aktif secara tepat? Penulis, memiliki pandangan pada masa awal kemerdekaan Indonesia (hanya pada saat Bung Hatta masih menjabat sebagai PM dan Wakil Presiden, yaitu antara tahun 1945-1950an) dan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pasca Bung Hatta mundur menjadi PM dan Wakil Presiden, serta semenjak MPRS menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup hingga periode pasca Orba (Habibie sampai Megawati), politik luar negeri Indonesia tampak kehilangan orientasi dari makna awalnya. Namun di era SBY ada politik luar negeri Indonesia mulai tampak terimplementasikan kembali dengan mengalamai peredefinisian makna dengan tidak menyimpang dari substansi awalnya. Untuk lebih memperjelas, penulis membuat sebuah tabel periodisasi implementasi politik luar negeri Indonesia.
Dari tabel perbandingan di atas penulis hanya melihat dua periode yang mengimplementasikan politik luar negeri bebas aktif secara tepat, yaitu pada periode awal kemerdekaan dan periode Presiden SBY. Pada era awal kemerdekaan di mana Bung Hatta masih menjabat sebagai PM dan Wapres. Prinsip bebas aktif masih benar-benar diterapkan, namun di saat Bung Hatta mengundurkan diri menjadi PM, prinsip tersebut semakin kehilangan arah. Peran dominan Soekarno membawa kita kepada politik konfrontasi yang jauh dari makna aktif (turut berperan dalam perdamaian dunia) dan lebih condong ke negara-negara komunis, seperti Uni Soviet dan China (sudah tidak independen atau bebas lagi). Di masa orde baru, Indonesia malah condong ke Barat.
Pasca orde baru penulis ingin lebih memfokuskan kepada era pemerintahan SBY. Karena periode sebelumnya (Habibie hingga Megawati) waktunya cukup singkat sehingga penulis kurang bisa mengeksplor lebih dalam lagi implementasi politik luar negeri bebas aktif.
Di era SBY ini penulis melihat politik luar negeri bebas aktif mulai diaplikasikan kembali dengan sedikit redifinisi untuk menjawab dinamika konstelasi politik internasional saat ini yang semakin kompleks dari segi aktor maupun bentuk hubungannya. Dalam pandangan Presiden Yudhoyono, prinsip bebas-aktif tidak berarti menjadikan Indonesia tidak berani bersikap. Dengan prinsip itu, Indonesia berjuang sebagai pelopor membebaskan bangsa-bangsa dari segala macam penjajahan dan aktif mendorong mewujudkan tata dunia baru yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.
Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa sudah waktunya Indonesia memiliki kebijakan luar negeri baru sesuai dengan perubahan dunia saat ini. Indonesia harus menegakkan harga dirinya dan tidak mengedepankan sikap emosional dalam menghadapi masalah internasional. Melihat realitas yang ada, dalam bersikap kita juga harus dapat memadukan aturan, nilai hubungan internasional, kondisi pasar dunia, demokrasi, dan rasionalitas. Semisal kunjungan SBY menghadiri pemakaman Arafat menunjukkan komitmen politik luar negeri kita pada perjuangan Palestina. Dari pertemuan APEC terekam upaya SBY melakukan 12 pembicaraan bilateral dengan target menarik investasi 1-2 miliar dolar AS per pertemuan. Pembicaraan dengan George W. Bush dimaksudkan SBY untuk melobi Amerika dalam menjalin kerja sama militer yang selama beberapa tahun terputus, termasuk embargo yang diterapkan ke Indonesia.[3]
Tak Kehilangan Orientasi
Seyogyanya tak perlu lah politik luar negeri kita tak kehilangan orientasi. Menurut penulis, sebuah prinsip itu tidak untuk dirubah hanya perlu diredefinisi ulang untuk penyeusian menghadapi dinamika perpolitikan dunia. Kita perlu sedikit memperluas makna bebas-aktif itu sendiri di era saat ini di mana hubungan internasional semakin kompleks dari segi aktor maupun pola hubungannya.
Dalam pencaturan politik yang multipolar saat ini prinsip politik luar negeri bebas aktif kita masih sangat relevan untuk diterapkan dan tidak perlu untuk diganti. Kita bisa mengartikan bebas saat ini adalah bahwa Indonesia sebagai negara yang berdaulat berhak untuk bergaul, berhubungan, mengadakan perjanjian, kerjasama dengan negara manapun sejauh membawa manfaat bagi kepentingan domestik. Karena sudah semestinya politik luar negeri harus tunduk terhadap kepentingan nasional. Foreign policy begins at home. Entah itu negara komunis layaknya China, Korea Utara, atapun liberal layaknya kebanyakan negara Barat. Sejauh dalam hubungannya dengan Indonesia memberikan manfaat dan mendukung pencapaian tujuan maupun kepentingan nasional, mengapa tidak? Toh, faktanya Indonesia beserta negara-negara ASEAN lainnya memasukkan China ke dalam program AFTA yang kemudian berubah menjadi CAFTA. Karena Indonesia melihat China merupakan potensi pasar yang meyakinkan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia juga tetap meningkatakan kerjasama dengan AS di bidang pemberantasan terorisme yang akhir-akhir ini semakin merebak di negara ini
Di sisi lain, aktif di era sekarang ini Indonesia terus mendukung upaya penyelesaian masalah antar negara dengan cara damai ketimbang perang sebagai wujud turut berperan dalam menciptakan perdamaian dunia seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Semisal, Indonesia terus mendorong dan bahkan siap menjadi mediator dalam konflik antara Kamboja dan Thailand serta terus mendorong penyelesaian damai konflik Israel-Palestina
Akhir kata dari penulis, prinsip bebas aktif yang diciptakan oleh para founding fathers kita sebenarnya tak akan usang diterjang perubahan zaman layaknya Pancasila sebagai dasar negara ini berdiri.
[1]Fortuna Anwar, Dewi. 2002. Hatta dan Politik Luar Negeri dalam Seratus Tahun Bung Hatta. Jakarta : Penerbit Buku Kompas, hal. 231
[2]Hatta, Mohammad. 1988. Mendayung Antara Dua Karang. Jakarta : Bulan Bintang, hal 17
[3]http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/29/opi3.htm
Periode awal kemerdekaan Indonesia yang dimulai sejak Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah pada 17 agustus 1945, Bagaimanapun juga telah membawa bangsa ini menuju suatu era yang baru di mana Indonesia resmi menjadi sebuah negara. Sebagai sebuah negara yang baru tentu saja Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain bahwa negara Indonesia sudah berdiri dan siap untuk menjadi anggota dari komunitas internasional. Selain itu juga pada pasca kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya Perang Dunia II, konstelasi politik dunia terbagi menjadi kekuatan besar antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Soviet). Banyak negara-negara di dunia ini pun tak lepas dari arus konstelasi tersebut, mereka berlomba untuk menjadi aliansi Blok Barat maupun Blok Timur. Posisi ini cukup membuat Indonesia mengalami masa-masa sulit. Di satu sisi, Indonesia masih disibukkan menghadapi kembalinya penjajah Belanda dan di sisi lain posisi Indonesia menjadi rebutan dua kekuatan besar antara AS dan Soviet sebagai aliansinya.
Sebagai negara yang pada saat itu masih menghadapi agresi Belanda yang ingin kembali menjajah pasca kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada situasi yang sulit dan dilematis. Kelompok kiri ingin bangsa ini bergabung dengan blok Komunis yang sangat anti Barat, untuk memperkuat perjuangan melawan Belanda yang merupakan anggota dari blok Barat. Sementara para pemimpin nasionalis seperti Hatta dan Sjahrir, tidak ingin Indonesia dikuasai komunis. Inilah alasan kenapa akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, yakni tidak memihak kepada blok manapun.[1]
Dalam situasi politik seperti di atas, Bung Hatta mencoba merumuskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sebagaimana terkenal dalam buku tulisan Beliau yang berjudul “Mendayung Diantara Dua Karang”. Makna politik luar negeri seperti yang pernah diutarakan Bung Hatta pada pidato pertamanya sebagai Perdana Menteri (PM) Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September 1948 adalah sebagai berikut.
“......Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak
manapun sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan
segala bangsa...” (Bung Hatta, 1948)
Dalam hal ini, Indonesia bebas memilih jalan dalam perpolitikan dunia saat. Tidak ada tekanan baik dalam maupun luar. Indonesia tidak kemudian jatuh ke tangan Blok Barat maupun Blok Timur. Indonesia mencoba untuk berdiri di tengah-tengah (di antara dua karang) dengan tidak memihak AS maupun Soviet. Karena jika memihak salah satunya akan melunturkan semangat dan makna dari ‘bebas’ itu sendiri. Ini tampak bahwa Indonesia memprakarsai pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB). Dalam kondisi tekanan perpolitikan dunia, lahir dorongan yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga untuk dapat keluar dari tekanan dua negara super power tersebut. Soekarno, Ghandi dan beberapa pemimpin dari Asia serta Afrika merasakan polarisasi yang terjadi pada masa tersebut adalah tidak jauh berbeda dengan kolonialisme dalam bentuk yang lain.
Pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non Blok. Dengan didasari semangat Dasa Sila Bandung, GNB dibentuk pada tahun 1961 dengan tujuan utama mempersatukan negara-negara yang tidak ingin beraliansi dengan negara-negara adidaya peserta Perang Dingin yaitu AS dan Uni Soviet.
Sedang aktif dalam hal ini berarti bahwa Indonesia menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa.[2] Indonesia pun secara aktif terus mendorong perdamaian dunia seperti yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Dalam hal ini, pada waktu itu Indonesia berusaha untuk terus mendapatkan pengakuan dari dunia internasional dengan cara soft politics ketimbang menggunakan hard politics. Ini terlihat dari perjuangan diplomasi Bung Hatta, dkk untuk mendapat pengakuan dunia internasional. Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan melalui meja perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya. Betapa pada masa ini, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kapabilitas militer dan ekonomi yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan memperoleh kemerdekaannya dengan diplomasi. Selain itu, Bung Karno juga sempat menyatakan penolakan atas ketelibatan AS dalam Perang Vietnam yang dinilai semakin memperkeruh permasalah. Inilah yang menurut penulis makna aktif pada masa itu di mana Indonesia lebih menggunakan jalur diplomasi dan menolak segala bentuk invasi untuk mewujudkan perdamaian dunia.
---------------------
Beralih kepada permasalah yang kedua, yaitu pada peridoe manakah (Orla, Orba atau pasca Orba) penerapan politik luar negeri Indonesia yang berprinsip bebas aktif secara tepat? Penulis, memiliki pandangan pada masa awal kemerdekaan Indonesia (hanya pada saat Bung Hatta masih menjabat sebagai PM dan Wakil Presiden, yaitu antara tahun 1945-1950an) dan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pasca Bung Hatta mundur menjadi PM dan Wakil Presiden, serta semenjak MPRS menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup hingga periode pasca Orba (Habibie sampai Megawati), politik luar negeri Indonesia tampak kehilangan orientasi dari makna awalnya. Namun di era SBY ada politik luar negeri Indonesia mulai tampak terimplementasikan kembali dengan mengalamai peredefinisian makna dengan tidak menyimpang dari substansi awalnya. Untuk lebih memperjelas, penulis membuat sebuah tabel periodisasi implementasi politik luar negeri Indonesia.
Dari tabel perbandingan di atas penulis hanya melihat dua periode yang mengimplementasikan politik luar negeri bebas aktif secara tepat, yaitu pada periode awal kemerdekaan dan periode Presiden SBY. Pada era awal kemerdekaan di mana Bung Hatta masih menjabat sebagai PM dan Wapres. Prinsip bebas aktif masih benar-benar diterapkan, namun di saat Bung Hatta mengundurkan diri menjadi PM, prinsip tersebut semakin kehilangan arah. Peran dominan Soekarno membawa kita kepada politik konfrontasi yang jauh dari makna aktif (turut berperan dalam perdamaian dunia) dan lebih condong ke negara-negara komunis, seperti Uni Soviet dan China (sudah tidak independen atau bebas lagi). Di masa orde baru, Indonesia malah condong ke Barat.
Pasca orde baru penulis ingin lebih memfokuskan kepada era pemerintahan SBY. Karena periode sebelumnya (Habibie hingga Megawati) waktunya cukup singkat sehingga penulis kurang bisa mengeksplor lebih dalam lagi implementasi politik luar negeri bebas aktif.
Di era SBY ini penulis melihat politik luar negeri bebas aktif mulai diaplikasikan kembali dengan sedikit redifinisi untuk menjawab dinamika konstelasi politik internasional saat ini yang semakin kompleks dari segi aktor maupun bentuk hubungannya. Dalam pandangan Presiden Yudhoyono, prinsip bebas-aktif tidak berarti menjadikan Indonesia tidak berani bersikap. Dengan prinsip itu, Indonesia berjuang sebagai pelopor membebaskan bangsa-bangsa dari segala macam penjajahan dan aktif mendorong mewujudkan tata dunia baru yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.
Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa sudah waktunya Indonesia memiliki kebijakan luar negeri baru sesuai dengan perubahan dunia saat ini. Indonesia harus menegakkan harga dirinya dan tidak mengedepankan sikap emosional dalam menghadapi masalah internasional. Melihat realitas yang ada, dalam bersikap kita juga harus dapat memadukan aturan, nilai hubungan internasional, kondisi pasar dunia, demokrasi, dan rasionalitas. Semisal kunjungan SBY menghadiri pemakaman Arafat menunjukkan komitmen politik luar negeri kita pada perjuangan Palestina. Dari pertemuan APEC terekam upaya SBY melakukan 12 pembicaraan bilateral dengan target menarik investasi 1-2 miliar dolar AS per pertemuan. Pembicaraan dengan George W. Bush dimaksudkan SBY untuk melobi Amerika dalam menjalin kerja sama militer yang selama beberapa tahun terputus, termasuk embargo yang diterapkan ke Indonesia.[3]
Tak Kehilangan Orientasi
Seyogyanya tak perlu lah politik luar negeri kita tak kehilangan orientasi. Menurut penulis, sebuah prinsip itu tidak untuk dirubah hanya perlu diredefinisi ulang untuk penyeusian menghadapi dinamika perpolitikan dunia. Kita perlu sedikit memperluas makna bebas-aktif itu sendiri di era saat ini di mana hubungan internasional semakin kompleks dari segi aktor maupun pola hubungannya.
Dalam pencaturan politik yang multipolar saat ini prinsip politik luar negeri bebas aktif kita masih sangat relevan untuk diterapkan dan tidak perlu untuk diganti. Kita bisa mengartikan bebas saat ini adalah bahwa Indonesia sebagai negara yang berdaulat berhak untuk bergaul, berhubungan, mengadakan perjanjian, kerjasama dengan negara manapun sejauh membawa manfaat bagi kepentingan domestik. Karena sudah semestinya politik luar negeri harus tunduk terhadap kepentingan nasional. Foreign policy begins at home. Entah itu negara komunis layaknya China, Korea Utara, atapun liberal layaknya kebanyakan negara Barat. Sejauh dalam hubungannya dengan Indonesia memberikan manfaat dan mendukung pencapaian tujuan maupun kepentingan nasional, mengapa tidak? Toh, faktanya Indonesia beserta negara-negara ASEAN lainnya memasukkan China ke dalam program AFTA yang kemudian berubah menjadi CAFTA. Karena Indonesia melihat China merupakan potensi pasar yang meyakinkan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia juga tetap meningkatakan kerjasama dengan AS di bidang pemberantasan terorisme yang akhir-akhir ini semakin merebak di negara ini
Di sisi lain, aktif di era sekarang ini Indonesia terus mendukung upaya penyelesaian masalah antar negara dengan cara damai ketimbang perang sebagai wujud turut berperan dalam menciptakan perdamaian dunia seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Semisal, Indonesia terus mendorong dan bahkan siap menjadi mediator dalam konflik antara Kamboja dan Thailand serta terus mendorong penyelesaian damai konflik Israel-Palestina
Akhir kata dari penulis, prinsip bebas aktif yang diciptakan oleh para founding fathers kita sebenarnya tak akan usang diterjang perubahan zaman layaknya Pancasila sebagai dasar negara ini berdiri.
[1]Fortuna Anwar, Dewi. 2002. Hatta dan Politik Luar Negeri dalam Seratus Tahun Bung Hatta. Jakarta : Penerbit Buku Kompas, hal. 231
[2]Hatta, Mohammad. 1988. Mendayung Antara Dua Karang. Jakarta : Bulan Bintang, hal 17
[3]http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/29/opi3.htm
Subscribe to:
Posts (Atom)