by : Triono Akmad Munib
Gejolak politik abad 21 yang sedang terjadi di Timur Tengah turut memberikan warna perpolitikan dunia kontomporer. Gerakan massif oleh massa berbuntut pada jatuhnya rezim-rezim penguasa Tunisia, Mesir, Yaman hingga Libya. Berbagai upaya dilakukan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, seperti memberikan tawaran perubahan undang-undang seperti yang dilakukan Ben Ali di Tunisia atau menjanjikan perbaikan ekonomi dan kesetaraan kesempatan kerja seperti yang digadang Mubarak di Mesir tak kunjung membuat semangat para demonstran surut dan mau menerima tawaran penguasa. Tampaknya, rakyat sudah merasa bosan dengan kehidupan yang selama ini mereka jalani dinegaranya. Hidup di bawah rezim yang represif, koruptor, tidak adil selama berpuluh-puluh tahun. Aksi gerakan massa tersebut merupakan sebuah akumulasi dari kekecewaan yang dirasakan rakyat selama bertahun-tahun. Isu demokrasi dan kebebasan oleh para aksi jalanan tak ayal hanya sebuah pemantik layaknya pemantik korek api. Faktor pertama dan yang paling utama penyebab dari bergejolaknya perpolitikan di Timur Tengah (Tunisia hingga Libya) adalah kesenjangan ekonomi.
Jika dilihat revolusi yang berawal di Tunisia untuk menggulingkan pimpinan otoriter Ben Ali yang telah berkuasa selama 24 tahun. Pada awalnya hanya dipicu oleh seorang pedagang sayur yang bernama Mohamed Bouazizi, yang melakukan protes dengan membakar diri karena polisi menyita gerobak dagangannya. Sontak aksi heroik tersebut mendapatkan solidaritas yang meluas. Efek domino pun terjadi, dengan dibantu semakin canggihnya teknologi komunikasi. Melalui jejaring sosial, facebook dan twitter, pertukaran informasi pun terjadi antara negara-negara di Timur Tengah. Keberhasilan demonstran meruntuhkan Ben Ali telah mengilhami aksi jalanan di Mesir. Seperti apa yang dilontarkan salah satu pendemo di Mesir di bawah ini :
“Saya sudah muak dengan negeri ini, semuanya rusak, pengangguran, kemisikinan makin tak ada jawabnya. Pemerintah tidak peka, malah enak berpesta ria”
Rakyat merasa keterpurukan ekonomi, meningkatnya pengangguran akibat rezim yang berkuasa memperkaya diri dan koleganya. Rezim tak peduli dengan rakyat. Di saat rakyat sulit mencari makan, pekerjaan, di sisi lain penguasa malah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Misalnya, vila-vila mewah milik Khadafi dan anaknya yang barusan sempat terungkap di media.
REVOLUSI BEREFEK! Seperti apa yang ditulis kolumnis Abdelrahman ar-Rashed dalam surat kabar Asy-Syarq al-Ausat sesaat setelah Ben Ali mundur, “segala apa yang menghalangi protes dan pembangkangan sipil hanyalah penghalang psikologis”. Rakyat sudah (di) miskin (kan) akibat rezim-rezim yang korup, mengambil kekayaan negara untuk mereka sendiri, dan belakangan sistem ekonomi yang dijalankan menyebabkan krisis sehingga kemiskinan meningkat, misalnya kenaikan harga bahan pokok.[1]
Faktor ekonomi yang kemudian merembet menuntut perubahan politik, kebebasan tampak menjadi suatu hal yang sedang diinginkan oleh negara-negara Timur Tengah saat ini. Timbul pertanyaan, lalu, as the effort to make a good and strong state to reach the stability, what is the first thing that we (government) to change?
What is the First : Economic or Politic?
Pertanyaan di atas menjadi menarik, karena menjadi sebuah perdebatan. Banyak pengamat lebih memilih untuk mengkonsolidasikan perekonomian daripada politik. Karena ketika rakyat hidup makmur, harga bahan pokok murah, mudah mendapat akses pekerjaan, akses pendidikan murah akan bisa meminimalisasi gerakan-gerakan massa. Mereka beranggapan bahwa ketika rakyat kenyang akan lebih enggan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dirinya, termasuk demonstrasi yang akan memakan biaya, tenaga, dan waktu. Sehingga implementasinya, rakyat tidak terlalu mempedulikan siapa yang rezim yang berkuasa dan seperti apa sistem pemerintahan. Contohnya, Singapura dan Malaysia adalah negara dengan indeks pendapatan yang cukup tinggi. Rakyat merasa puas dengan kinerja pemerintahan selama ini. Mereka pun tidak peduli dengan rezim yang semi otoriter yang dijalankan oleh kedua negaranya.
Namun, hal di atas pun dibantah oleh orang-orang yang pro kebebasan. Suatu contoh di China. Memang dari segi perekonomian China merupakan negara yang patut diperhitungkan, bahkan oleh negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Banyak pengamat ekonomi dan politik yang memprediksi bahwa China will be the new power around the world besides the U.S. Namun, demikian kemakmuran ekonomi yang dirasakan oleh rakyat China juga tak cukup meredam aksi rakyat untuk menuntut perubahan politik rezim berkuasa yang represif, koersif, dan otoriter. Aksi jalanan masih kerap terjadi di China, mereka menutut perubahan politik yang lebih demokratis, adil.
Kedua contoh kasus di atas membuat kita seakan dilema. Hal mana yang didahulukan?. Akankah kita mengorbankan rakyat hidup sengsara untuk mengkonsolidasikan perpolitikan? (seperti penulis amati di Indonesia saat ini). Atau membiarkan apapun sistem pemerintahan tetapi kesejahteraan ekonomi tercapai?.
Actually, what the people wants? Seyogyanya, rakyat menginginkan keduanya. Hidup makmur dan rezim pemerintahan yang tidak represif dan otoriter. Siapa sih yang nggak mau hidup makmur? Siapa sih yang mau hidup di bawah tekanan, kekangan dan tidak bebas?
Memilih ekonomi sebagai prioritas dalam pembangunan adalah baik. Namun, pembangunan ekonomi tersebut harus dibarengi dengan membangun perpolitikan. Both of them should be work together. Membangun negara yang kuat dalam hal ekonomi dan politik tidaklah mudah. Tetapi, bukan tidak mungkin suatu negara tidak bisa melakukannya. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa mengakomodir kepentingan mayoritas rakyat. Tak pandang sistem pemerintahan negara itu apa, yang penting pemerintahan tersebut mendapatkan legitimasi dari rakyat dan dengan sistem pemerintahan itulah rakyat bisa merasakan kemakmuran dalam hidupnya.
Refferences :
[1]Iqbal, Muhammad dan Nurani Soyomukti. Ben Ali, Mubarak, Khadafi : Pergolakan Politik Jazirah Arab Abad ke-21. 2011. Bandung : Penerbit Medium, hal. 28
No comments:
Post a Comment