By : Triono Akmad Munib
Serangan terhadap Pentagon dan WTC tanggal 11 September 2001, membuat arah kebijakan luar negeri AS berubah secara drastis, yaitu untuk perang terhadap “terorisme global”. Ini terlihat, pada persetujuan Bush kepada NATO untuk menempatkan pasukan AS di Balkan dan menegaskan kembali mengenai hubungan dengan negara-negara Arab
AS juga memulai kampanyae diplomatic yang berkesinambungan untuk mendaftar bantuan luar negeri agar bersama “dunia” ia bisa mendongkel organisasi teroris yang masih tersisa. Para pejabat AS menekankan bahwa serangan ini mungkin akan lama dan memperingatkan bahwa tindakan militer terhadap jaringan teroris yang dicurigai mungkin berlanjut setelah gempuran pertama atas Al-Qaeda dan tuan rumah mereka, Taliban
•Kebijakan Luar Negeri AS Tidaklah Bebas Biaya
Sejak awal 1990-an, para pemimpin AS bersikap seolah-olah AS bisa mengejar sasaran-sasaran kebijakan luar negeri yang ambisius tanpa harus membuat pengorbanan yang signifikan.
Perasaan congkak ini tumbuh bersama kemenangan AS dalam Perang Dingin dan kian diperkuat oleh pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir. Sekalipun pasukan militer AS sangat sibuk, ongkos manusia dan ekonomi dari kegiatan-kegiatan ini ternyata sangat rendah. Korban jiwa dalam Perang Teluk Persia pada 1991 jaug lebih sedikit daripada yang diperkirakan, dan Angkatan Udara AS telah berpatroli di zona larangan terbang di Irak dan melakukan serangan bom sporadis di sana selama hampir 10 tahun tanpa kehilangan satu pesawat pun
Dekade 1990-an juga merupakan sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang memperkuat kepercayaan diri AS dan membuatnya bisa dengan mudah menanggung beban internasional tanpa merasa berat secara keuangan
•Amerika Serikat Tak Sepopuler Yang Mereka Kira
Rakyat AS cenderung melihat negara mereka sebagai sebuah “kota yang bersinar gemilang di atas bukit” dan sering menganggap bahwa negara-negara lain menghormati dan menghargai peran globalnya. Namun baik serangan 11 September maupun reaksi internasional terhadap serangan ini telah memperjelas tingkat di mana banyak orang di luar AS sebenarnya bersikap ambivalen mengenai posisi AS di dunia
Di satu eksterm, organisasi teroris seperti Al-Qaeda terilhami oleh antipasti yang demikian besar terhadap AS dan dominasi globalnya. Sebagian dari antipati ini bukan hanya bersumber dari sebuah visi tentang AS sebagai masyarakat yang korup dan tak bertuhan, melainkan juha dipicu oleh hubungan AS-Israel, dukungannya terhadap beberapa rezim konservatif Arab, dan konfliknya dengan Irak yang tak berujung. Di mata para ekstremis radikal anti-AS ini, AS adalah seorang preman global yang campur tangannya di dunia Islam harus dibendung dengan segala cara yang diperlukan
•Negara-negara Gagal (Failed States) Merupakan Suatu Masalah Keamanan Nasional
Ketika pemerintahan-pemerintahan, anarki yang ditimbulkannya sering memicu migrasi besar-besaran, kekacauan ekonomi, dan kekerasan massal. Sekalipun dampak-dampak ini sering menyebar ke negara-negara tetangga, masalah “negara gagal” seperti: Somalia, Sierra Leone, Liberia, Rwanda, dan Afghanistan pada umumnya dillihat hanya sebagai isu kemanusiaan. Akibatnya, reaksi internasional biasanya setengah hati dan hanya berhasil sebagian
Bahaya yang dihadirkan beberapa negara gagal juga mengingatkan kita bahwa konflik-konflik yang tak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial. Konflik yang berkepanjangan mendorong timbulnya kebencian dan keinginan untuk balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah mengobarkan perang, dan memperkuat para pemimpin yang bertindak semena-mena karena adanya suasana ketakutan
Kondisi-kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. Jaringan teroris yang sekarang ingin disingkirkan AS adalah produk dari konflik berlarut-larut Afghanistan, Kashmir, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Serangan 11 September mungkin tak akan pernah terjadi seandainya pertempuran penuh kekerasan di tempat-tempat itu terselesaikan. Dengan demikian, membantu penyelesaian konflik sipil yang berlarut-larut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, melainkan hal ini juga bisa membuat AS lebih aman
•Mengobarkan Perang Melawan Terorisme: Implikasi Bagi Kebijakan Luar Negeri AS
Serangan 11 September sampai hari ini tidak mempengaruhi posisi utamanya ataupun inti kepentingan nasionalnya. AS masih merupakan kekuatan terbesar dan terdepan dalam ekonomi maupun militer di dunia, dan konsesus global bahwa terorisme adalah masalah serius mungkin bias meningkatkan pengaruh AS dalam jangka pendek. Tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS juga tak terpengaruh: AS tetap ingin menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal, dan menyebar-luaskan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia (human right)
•Pengawasan Senjata Pemusnah Massal
Peristiwa 11 September memperlihatkan bahwa para teroris internasional lebih lihai dan keji dari yang diyakini banyak pakar. Untuk mengurangi ancaman ini diperlukan sebuah upaya baru pengawasan yang ketat terhadap pasokan senjata nuklir, kimia, dan biologi yang ada. Risiko yang paling nyata adalah Rusia, yang persediaan besar SPM-nya masih berada di bawah pengawasan yang tak bias dibiarkan
Untuk menyelesaikan tugas penting ini, pemerintahan Bush harus begerak cepat untuk menerapkan rekomendasi laporan Baker-Cutler 2001 mengenai program pemusnahan senjata nuklir di Rusia, dan mendorong Kongres untuk memberi dana jauh lebih besar daripada sebelumnya terhadap program-program yang dibutuhkan
•Memperbaiki Negara Yang Gagal
Satu bulan setelah serangan atas AS, pemerintahan Bush secara terbuka mengakui bahwa serangannya untuk menggulingkan Taliban akan disertai upaya serius untuk membentuk sebuah pemerintahan Afghanistan yang kukuh dan membangun kembali Negara yang terkoyak-koyak oleh perang ini
Pergeseran kebijakan ini mencerminkan dua hal: pertama, negara-negara gagal seperti Afghanistan telah menjadi tempat bersemainya dan perlindungan yang aman bagi kaum ekstremis anti-AS; kedua, pengakuan bahwa AS ikut bertanggungjawab terhadap kondisi yang dialami Afghanistan saat ini. Kegagalan AS untuk membangun kembali Afghanistan setelah penarikan Uni Soviet pada 1989 menyebabkan munculnya radikalisasi progresif masyarakat Afghan dan kemenangan gemilang Taliban. Jika AS mengulangi kesalahan ini sekali lagi begitu Taliban dikalahkan, bin Ladin-bin Ladin baru sepertinya akan muncul.
•Membangun Kembali Hubungan Dengan Negara Arab dan Islam
Reaksi negara-negara Arab dan Islam terhadap serangan Al-Qaeda dan balasan militer awal AS memperlihatkan derajat di mana AS terasing dari negara-negara ini. Agar risiko bagi pemerintah negara Arab dan Islam yang mendukung upaya AS dan mengisolasi kaum ekstremis anti-AS di negara-negara Islam berkurang, AS harus membangun kembali hubungannya dengan negara-negara ini. Untuk jangka panjang, AS tak bias semata-mata mengandalkan pertemanan dengan negara Arab tapi juga harus memperbaiki citranya di mata publik yang lebih luas
Langkah awal yang nyata adalah melakukan pendekatan yang tak sepihak terhadap konflik Israel-Palestina. AS tidak serta-merta selalu pro-Israel seperti yang diyakini banyak orang Arab, namun kebijakan-kebijakannya di masa lalu belum tertebus. Di saat menegaskan komitmennya terhadap keamanan Israel di dalam tapal batas pra-1967, AS harus jelas-jelas menyatakan bahwa tapal inilah batasan final terhadap kebijakan pemukiman Israel yang ekpansionis dan tak menganggap bahwa kebijakan ini masuk ke dalam kepentingan jangka panjang AS
AS juga harus menjernihkan posisinya menyangkut syarat-syarat bagi sebuah negara Palestina dan menegaskan bahwa sebuah negara yang kukuh mengharuskan Israel menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak yang diusulkan di Camp David pada bulan Juli 2000.
KESIMPULAN (Opini Saya)
Di sini AS yang menjadi kekuatan dan pemain dalam dunia global saat ini, harus lebih berhati-hati dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya. Campur tangan AS dalam berbagai konflik di belahan dunia, membuatnya semakin terjerumus ke dalam citra yang memperburuk dirinya sendiri
Keterlibatan AS pada konflik-konflik di Timur Tengah, semakin memperbanyak daftar musuh AS pada dekade ini. AS memerlukan diplomasi tingkat tinggi yang super hati-hati dan tangkas, serta cermat sehingga Washington seolah tak terlihatr terdesak oleh lobi-lobi dalam proses decision making. Dekade ini kita berharap Obama lebih tepat dalam membuat kebijakan luar negeri AS, khususnya menyangkut konflik Timur Tengah. Tetapi menurut saya, arah kebijakan luar negeri AS itu tak akan ada arah perubahan yang cukup signifikan. Semua itu disebabkan oleh kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang dibuat oleh Bush, yang membuat AS semakin terjermus dalam jurang campur tangan konflik di seluruh belahan dunia. Sehingga membuat opini publik internasional terus mengalir dalam hal-hal yang negatif tetntunya. Di sini, Obama seolah "got the trap". Mr. Barry (Barrack Obama) seolah tak bisa leluasa bergerak untuk mencoba menentukan kebijakan yang lebih baik
No comments:
Post a Comment