SOAL :
1. Mengapa muncul berbagai alternatif persfektif terhadap realisme dan liberalisme dalam studi HI?
2. Sekarang ini muncul berbagai gerakan seperti gerakan anti perang, gerakan anti-neolib, gerakan feminisme, gerakan linkungan hidup, gerakan terorisme, gerakan gay dan lesbian, gerakan anti-rasisme dan gerakan-gerakan sejenisnya yang kegiatan mereka seringkali lintas negara. Bisakah persfektif realisme menjelaskan munculnya gerakan-gerakan di atas? Jelaskan jawaban anda!
3. Jelaskan mengapa gerakan-gerakan di pertanyaan nomor 2 muncul dan apa tujuannya, dengan menggunakan satu persfektif alternatif yang telah anda pelajari. Gunakan satu contoh kasus saja.
By : Triono Akhmad Munib
JAWABAN :
1.
Kemunculan teori alternatif hubungan internasional saat ini seperti: teori kritis, konstruktivisme, feminisme, posmodernisme, world system, dll bukanlah tanpa sebab. Itu semua muncul karena teori hubungan internasional realisme dan liberalisme bisa dikatakan kurang bisa menjawab dan meramalkan kondisi hubungan internasional saat ini
Seperti apa yang dikatakan Jack Donnelley dalam tulisannya yang berjudul Realism dalam buku Theories of International Relations menyatakan bahwa realisme bukan merupakan teori preskriptif, atau teori yang memberikan petunjuk. Selain itu, realisme juga teori yang fokusnya terlalu sempit. Jackson dan Sorensen menambahkan bahwa realisme gagal menangkap perluasan politik internasional. Realisme hanya menjelaskan masalah politik internasional melalui aspek historis. Para scholar hanya melihat berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi, seperti Thucydides yang mengangkat teori realisme klasik berdasarkan fakta persaingan state pada masa Yunani kuno. Sedangkan ketidakmampuan realis dalam memprediksikan apa yang akan terjadi dalam politik internasional semakin nyata terlihat manakala tidak dapat menjelaskan dan menangkap adanya aktor penting lain yang bukan negara. Misalnya saja transnasional company (TNC) dan Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO. Padahal pada saat ini NGOs dan TNCs memiliki peran penting dalam mempengaruhi aktor negara untuk membuat kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka. Kurang terbukanya realisme terhadap perubahan konstelasi politik internasional ini menyebabkan kurang “luwes”nya teori realisme jika diterapkan pada kondisi dunia saat ini.
Kemudian perlu juga dikritik bahwa argumen realis yang menyatakan bahwa anarki adalah suatu yang alamiah dan takdir atau terlihat seperti seseuatu yang biasa. Menurut pandangan posmodernisme yang apa yang dikatakan oleh Der Derrian tentang pembacaan ganda (double reading). Ternyata di sini, konsep anarki itu diciptakan oleh aktor hubungan internasional untuk maksu dan tujuan tertentu.
Kemudian liberalisme pun juga bisa dikatakan gagal dalam menganalisa hubungan internasional. Salah satu contoh dari produk liberal adalah perdagangan bebas (free trade). Ternyata, free trade pun tidak membawa kemakmuran seperti apa yang diyakini para kaum liberalis bahwa perdagangan bebas akan membawa kemakmuran. Salah satu bukti nyata adalah perdagangan bebas membuat krisis pangan.
Krisis pangan yang terjadi belakangan ini adalah bentuk nyata kegagalan model pembangunan pertanian yang berlandaskan perdagangan bebas pertanian dan pangan. Krisis ini adalah buah dari hasil rekayasa kebijakan pangan dan pertanian dari bank-bank multilateral seperti IMF, Bank Dunia, ADB, IFC dll yang didukung oleh negara maju baik melalui Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Programs/SAP), organisasi perdagangan dunia atau WTO dan berbagai kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) secara bilateral maupun regional dengan negara lain seperti dengan Jepang melalui IJEPA, ASEAN dll. Produsen pangan (petani kecil, perempuan, nelayan tradisional dan masyarakat adat) telah kehilangan pengetahuan dan pengalamannya dalam memproduksi, konsumsi dan distribusi pangan secara berkelanjutan karena negara telah kehilangan kedaulatan untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak warga negaranya atas pangan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemunculan teori-teori alternative HI merupakan jawaban dari kegagalan teori HI klasik (realis dan liberalis) untuk merumuskan perkembangan dunia internasional saat ini sehingga muncul teori-teori alternatif HI yang mencoba untuk membuka pikiran manusia atas sistem yang terlihat mapan saat ini.
2.
Menurut saya, prespektif realis jelas tidak bisa menjawab munculnya gerakan-gerakan di atas. Di sini, saya ambil satu contoh gerakan, yaitu gerakan lingkungan hidup. Berangkat dari asumsi realis yang menyebutkan bahwa aktor dalam hubungan internasional hanya negara. Tetapi gerakan lingkungan hidup tersebut menunjukkan bahwa aktor dalam hubungan internasional sebenarnya tidak hanya negara. Aktor tersebut bisa berupa non-stae actor seperti: MNCs (Multinational Coorporations), TNCs (Transnational Coorporations), NGO (Non-government Organization), individu, dll. Gerakan lingkungan hidup merupakan aktor NGO yang bisa mempengaruhi negara dan hubungan internasional saat ini
Gerakan lingkungan hidup yang muncul dan berkembang pada dekade 70-an dan 80-an mendapat dukungan publik yang belum pernah sedemikian kuatnya selama abad ini. Alasan pertama adalah bahwa kelompok-kelompok kepentingan yang bermunculan di sekitar masalah lingkungan adalah kelompok yang sangat mengedepankan kepentingan masyarakat umum, dan sama sekali tidak menonjolkan pamrih individu atau kelompok tertentu. Mereka tidak terikat sama kelompok kekuasaan sehingga benar-benar indenpenden.
Gerakan lingkungan hidup ini mengkritik modernitas dengan proyek industrialisasi telah menimbulkan permasalahan baru dalam kalangan umat manusia dan mengkritik kemapanan sistem yang dibuat oleh realis yang tampak seolah-olah alamiah. Gerakan ini muncul akibat terlalu dominannya peran negara sehingga membuat suara rakyat tidak pernah didengar oleh pemerintah. Gerakan ini, secara tidak langsung akan menjadi suatu aktor tersendiri selain negara di duina internasional. Green Movement merupakan suatu gerakan yang bisa dikatakan sudah menglobal saat ini seiring dengan perubahan iklim bumi yang semakin ke arah kehancuran. Gerakan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi negara jika mereka ingin membuat suatu kebijakan, terutama kebijakan tentang industrialisasi yang akan dijalankan. Saat ini, pasca Konferensi Iklim di Copenhagen, negara dituntut untuk menjalankan industri dengan berbasis save the earth. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini negara tidak menjadi aktor utama yang bisa mempengaruhi dunia seperti apa yang dikatakan kaum realis. Tetapi gerakan lingkungan hidup tersebut yang notabene aktod NGO bahkan bisa mempengaruhi negara dan dunia
3.
Kemunculan gerakan-gerakan di atas dewasa ini bukanlah tanpa sebab. Itu semua terjadi karena adanya penolakan terhadap sistem dunia yang tercipta saat ini. Di mana, seolah-olah sistem tersebut terlihat ‘mapan’, objektif dan alamiah. Di sini, saya mengambil contoh gerakan anti-perang, yang lebih khususnya yaitu gerakan anti-perang terhadap Afghanistan dan tuntutan akan penarikan militer AS dari Afghanistan
Seperti apa yang dikatakan kaum realis bahwa secara alamiah dunia ini anarki. Di sini, saya berangkat dari pemikiran posmodernisme bahwa kita perlu melihat kembali secara ontologis. Apa benar dunia ini memang secara alamiah anarki atau pada dasarnya manusia adalah jahat. Sesuai dengan apa yang dikonsepkan oleh Der Derrian (1989 : 6) bahwa diperlukan adanya pembacaan ganda (double reading) yang berarti :
“Seseorang dalam menerima suatu wacana, suatu teks yang telah
diproduksi oleh pemilik kepentingan untuk tujuan tertentu harus
membandingkan wacana yang satu dengan wacana lain dalam
pembentukan intepretasi terhadap dunia sosial”
Kondisi anarki ternyata bukan benar-benar suatu yang alamiah. Dengan melakukan pembacaan ganda, ternyata anarki telah diciptakan sedemikian rupa untuk tujuan tertentu sehingga anarki tampak secara alamiah. Misalnya ketika dunia sedang memusatkan perhatian pada peristiwa penabrakan gedung WTC 11 September 2001, kerangka pikir posmodernisme dapat mendekonstruksi apa kepentingan AS dalam menempatkan label ‘terorisme’ pada pihak-pihak tertentu sehingga kemungkinan perang dan terbawa oleh konstruksi perang seperti pada era Perang Dunia dan Perang Dingin akan dapat dihindarkan.
Menarik untuk diamati bahwa wacana tentang terorisme tidak bisa dilepaskan dari awal mula kampanye perang melawan terorisme oleh Amerika Serikat. Serangan 11 September 2001 menjadi tonggak penting bagi pemerintahan sayap kanan konservatif George W Bush untuk mengabsahkan "perang melawan terorisme", yang ujung-ujungnya adalah pembasmian terhadap aktivitas-aktivitas bersenjata kelompok Al-Qaeda dan teman-temannya, termasuk negara-negara yang dianggap mensponsori terorisme, yaitu Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein dan Afghanistan di bawah pemerintahan Talib.
Kita perlu melakukan pembacaan berulang lagi di sini. Ternyata, Kampanye "perang melawan terorisme" oleh Amerika Serikat adalah produk ideologi sayap kanan. Harap dicatat bahwa dalam selubung ideologi, sebagaimana ditemukan oleh Karl Manheim, selalu ada ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap pihak lain
Kampanye itu masih dibubuhi dengan atribut yang efektif: terorisme internasional sebagai ancaman global. Sebetulnya, sulit untuk menjustifikasi terminologi teorisme internasional sebagai ancaman global. Sebab, data-data , bahkan data dari Departemen Pertahanan AS sendiri menunjukkan bahwa insiden-insiden teror pada skala domestik sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan insiden teror berskala internasional. Lalu, mengapa terorisme internasional menjadi ancaman? Jawaban cukup jujur sebenarnya sudah diberikan oleh Kementerian Luar Negeri AS dalam laporannya, "Karena, terorisme internasional membawa dampak langsung terhadap Amerika Serikat." (Laporan Kementerian Luar Negeri AS, Review of Terrorism).
Lima tahun setelah perang melawan terorisme dikumandangkan, kampanye itu kini makin kuat menjadi "perang global melawan terorisme". Namun, lima tahun sejak saat itu, jawaban atas pertanyaan mendasar masih tetap belum tersedia secara memuaskan. Pertanyaan mengenai siapakah dan apakah terorisme itu, masih tetap menjadi sesuatu hal yang kabur. Invasi AS ke Afghanistan semakin tidak menyurutkan gerakan terorisme. Terorisme malah semakin bermuculan
Kembali kepada teori posmodernisme tentang pembacaan ganda. Isu terorisme tersbut merupakan suatu formulasi wacana. Secara teoritik, formulasi wacana itu disebut sebagai political discourse (diskursus politik). Diskursus dalam pengertian ini adalah sistem "praktik-praktik bermakna dan praktik-praktik pemaknaan" yang membentuk identitas subjek dan objek.
Diskursus selalu mencakup tiga elemen penting. Yakni, konstruksi antagonisme, dikotomi antara "pihak dalam" (insiders) dan "pihak luar" (outsiders), serta logika nodal points. Nodal points ini berfungsi untuk strukturisasi elemen-elemen ke dalam sistem makna. Nodal points menjadi signifiers (penanda) utama atau points reference (de capiton menurut Lacan) yang menyatukan sistem makna atau "rantai signifikasi". Sebagai contoh, dalam wacana komunis di Eropa Timur, kata kebebasan, negara, dan demokrasi mendapat makna baru di sekitar kata "komunisme''. Dalam hal ini, komunisme berfungsi sebagai nodal point.
Begitu pula halnya dalam fenomena terorisme. Kata "terorisme" dan "perang melawan terorisme" menjadi nodal point atau titik awal referensi bagi makna kekerasan, pengeboman, radikalisme dan Islam. Diskursus politik terorisme kini makin jelas membentuk identitas subjek-objek, yakni Amerika Serikat dan sekutu sebagai subjek melawan Al Qaedah dan sekutunya sebagai objek.
Di sini, terorisme internasional saya katakan sebagai konstruksi ideologis semata. Ideologi sesungguhnya adalah proses signifikasi. Ideologi menjadi penting karena siapa saja yang mampu mengendalikan proses signifikasi itu memiliki kekuasaan untuk mendefinisikan realitas. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mengapa muncul gerakan anti-perang terhadap Afghanistan dan tuntutan akan penarikan militer AS dari Afghanistan. Itu semua karena “terorisme” merupakan buah kepentingan AS semata
No comments:
Post a Comment