Wednesday, 12 May 2010

Politik dan Pemerintahan Arab Saudi

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Arab Saudi merupakan salah satu negara di kawasan timur tengah yang memiliki pengaruh yang cukup penting. Arab Saudi beribukota di Riyadh. Wilayah Arab Saudi meliputi empat perlima Semenanjung Arabia, dikelilingi oleh Laut Merah (sebelah barat), Lautan India (sebelah selatan), dan Teluk Arabia (sebelah timur). Di utara Arab Saudi bebatasan dengan Jordania, Irak, dan Kuwait, di timur berbatasan dengan kawasan Teluk Bahrain, Qatar, dan Persatuan Emirat Arab, serta di selatan dengan Kesultanan Oman, Yaman Utara dan Selatan. Di antaran Arab Saudi dengan Kuwait terdapat dua wilayah zona bebas yang berdekatan dan sejak 1966 dibagi dua dan secara administratif masing-masing diatur oleh keduanya. Wilayah zona bebas lainnya, yaitu wilayah yang terletak antara Arab Saudi dengan Irak yang ditetapkan oleh keduanya (1975) .
Luas daratan Arab Saudi meliputi 2.240.000 km2 dengan penduduk 14.435.000 jiwa, dan sekitar 314.000-812.000 adalah jumlah pekerja asing (Arab dan non-Arab). Tingkat pertumbuhan penduduk Saudi adalah 2% per tahun, serta tingkat kepadatan penduduk 5.4 juta jiwa per km2 (1986). Penduduk tersebar di kota-kota besar maupun kecil mendiami wilayah yang kaya akan sumber air (oasis), desa-desa di pegunungan, serta pada suku-suku yang hidup mengembara . Arab Saudi tidak seperti negara Arab lainnya, yaitu tidak mengenal kehadiran kota yang sangat dominan pengaruhnya seperti Kairo, Baghdad, maupun Teheran. Kota-kota utama Arab Saudi, adalah Riyadh, Jeddah, dan Mekkah dengan jumlah penduduk masing-masing kurang dari 500.000 jiwa.
Pada masa dahulu daerah Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian yakni daerah Hijaz yakni daerah pesisir barat Semenanjung Arab yang didalamnya terdapat kota-kota diantaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah serta daerah gurun Najd yakni daerah daerah gurun sampai pesisir timur semenanjung arabia yang umumnya dihuni oleh suku suku lokal Arab (Badui) dan Kabilah kabilah Arab lainnya.
Pada masa awal tumbuh dan berkembangnya Islam. Wilayah ini memiliki pusat pemerintahan di Madinah dari sejak Nabi Muhammad sampai masa khalifah Utsman bin Affan. Sejak masa khalifah Ali bin Abi Thalib pusat pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak sekarang, kemudian berturut turut menjadi bagian wilayah Daulah Ummayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyah Turki.
Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun 1750 ketika Muhammad bin Sa’ud bersama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja sama untuk memurnikan agama Islam yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al Sa’ud atau Abdul Aziz Ibnu Su’ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz yang dulu dikuasai oleh Syarif Husain dengan Najd.
Pada tahun 1902 Abdul Aziz menguasai Riyadh dari penguasa Al-Rashid, kemudian Al-Ahsa kemudian wilayah nejed antara tahun 1913-1926. Pada tanggal 8 Januari 1926, Abdul Aziz menjadi penguasa wilayah Najd. Dengan menandatangani perjanjian di Jeddah pada tanggal 20 Mei 1927 Arab Saudi menyatakan kemerdekaannya. Pada tahun 1936 wilayah itu diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam karya tulis ilmiah ini, penulis mengangkat rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana politik dan pemerintahan Arab Saudi?
2. Apa yang melatar-belakangi pemerintah Arab Saudi mengintervensi pemberontakan di Yaman Utara?

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pemerintahan Arab Saudi
Arab Saudi menggunakan sistem Kerajaan atau Monarki. Hukum yang digunakan adalah hukum Syariat Islam dengan berdasar pada pengamalan ajaran Islam semurni-murninya yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Arab Saudi menyatukan kepercayaan agama dan politik dan tidak mempunyai Undang Undang Dasar serta melarang kegiatan partai politik. Raja adalah kepala negara dan pemimpin agama. Keluarga raja menguasai kekuasaan politik, ekonomi dan militer negara. Keputusan kabinet, perjanjian dan persetujuan yang ditandatangani dengan negeri lain harus disahkan oleh raja. Al-Qur'an dan hadis Nabi adalah dasar penegakan hukum negara. Raja merangkap panglima besar angkatan bersenjata dan Ketua Dewan Menteri yakni perdana menteri. Raja menjalankan kekuasaan eksekutif dan yudikatif tertinggi. Wakil perdana menteri, menteri, wakil menteri, gubernur, wakil gubernur, perutusan diplomatik untuk luar negeri dan pejabat tinggi lainnya serta perwira berpangkat kolonel ke atas diangkat oleh Raja.
Raja berhak membubarkan atau menreshuffle kabinet. Para menteri bertanggungjawab langsung kepada perdana menteri. Raja berhak mengesahkan dan menolak keputusan sidang kabinet serta perjanjian dan persetujuan yang ditandatangani dengan negeri lain. Kabinet terdiri dari wakil perdana menteri, para menteri serta menteri negara dan penasehat raja, dengan masa bakti 4 tahun. Raja berhak mengangkat atau membatalkan putera mahkota serta membubarkan Dewan Musyawarah.

2.1.1 Pergantian Raja-raja Arab Saudi
Sampai saat ini, Arab Saudi telah mengalami 6 kali pergantian kekuasaan (raja), yaitu mulai dari awal negara Arab Saudi beridiri tahun 1932-2005. Adapun periode pergantian raja adalah sebagai berikut :
1. Raja Abdul Aziz (1932-1953)
Abdul Aziz atau Ibnu Saud dilahirkan di Riyadh dan merupakan anak pasangan Abdul Rahman bin Faisal dan Sara binti Ahmad al-Kabir Sudayri. Ibnu Saud, adalah pendiri negara Arab Saudi dengan bantuan para pejuang Wahabbi. Pada saat Perang Dunia I, Ibnu Saud berpihak kepada Britania Raya (Inggris) karena dinasti Rashidi merupakan sekutu Utsmaniyah yang merupakan musuh Britania. Pada tahun 1922 dinasti Saud berhasil mengalahkan dinasti Rashidi dan ini mengakhiri penguasaan dinasti Rashidi di Tanah Arab.
Pada tahun 1932, setelah menguasai sebagian besar Jazirah Arab dari musuh-musuhnya, Ibnu Saud menamakan tanah gabungan Hijaz dan Nejd sebagai Arab Saudi. Beliau kemudiannya menobatkan dirinya sebagai Raja Arab Saudi (Raja Arab Saudi ke-1) dengan dukungan pihak Britania Raya (Inggris).
2. Raja Saud bin Abdul Aziz bin Al-Saud (1953-1964)
Saud bin Abdul Aziz Al-Saud adalah Raja Arab Saudi ke-2 yang berkuasa dari tahun 1953 sampai 2 November 1964. Ia adalah anak sulung Raja Ibu Saud (Abdul Aziz). Ia dilantik menjadi putera mahkota pada 11 Mei 1933 dan diangkat menjadi raja setelah mangkatnya ayahnya pada tahun 1953.
Pada masa pemerintahannya Raja Saud gemar membelanjakan uang negara demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia juga membuat kekisruhan politik yang antaranya dikaitkan dengan percobaan pembunuhan Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir saat itu. Dia juga diketahui dengan sikapnya yang suka minum arak yang nyata-nyata adalah haram menurut Islam.
3. Raja Faisal bin Abdul Aziz Al-Saud (1964-1975)
Faisal bin Abdul Aziz Al-Saudi adalah Raja Arab Saudi yang ke-3 yang menjabat mulai tahun 1964 hingga tahun 1975. Raja Faisal lahir di Riyadh dan merupakan anak ke 4 Raja Abdul Aziz. Ketika Arab Saudi belum didirikan, Faisal membantu ayahnya (Abdul Aziz) dengan memerintah sekumpulan laskar yang memenangkan pertempuran di Hijaz. Oleh karena itu, ia kemudian diangkat menjadi Gubernur Hijaz tahun berikutnya. Setelah Arab Saudi didirikan oleh ayahnya, dia diberi jabatan Menteri Luar Negeri Arab Saudi pada tahun 1932.
Pada tahun 1973, Raja Faisal memulai suatu program yang bertujuan untuk memajukan kekuatan tentara Arab Saudi. Raja Faisal melakukan banyak reformasi sewaktu menjadi raja, diantaranya adalah memperbolehkan anak-anak perempuan bersekolah, memperbolehkan adanya televisi, dan sebagainya. Usahanya ini mendapat tentangan dari berbagai pihak karena perkara-perkara ini dianggap bertentangan dengan Islam.
Pada tanggal 17 Oktober 1973, ia tiba-tiba menghentikan ekspor minyak Arab Saudi ke pasaran internasional (embargo minyak) yang menyebabkan harga minyak melambung tinggi.
4. Raja Khalid bin Abdul Aziz Al-Saud (1975-1982)
Khalid bin Abdul Aziz al-Saud adalah raja Arab Saudi ke-4 selepas peristiwa pembunuhan Raja Faisal, berkuasa dari tahun 1975 sampai 1982. Sebelumnya Khalid dilantik menjadi Putera Mahkota pada tahun 1965. Raja Khalid mengangkat Putera Mahkota Fahd sebagai Wakil Perdana Menteri.
Pada tahun 1976, Raja Khalid terpaksa pergi ke Amerika Serikat untuk mendapatkan perawatan atas penyakit jantungnya. Dalam kesempatan itu Raja Khalid mengutarakan kepada Presiden Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat ketika itu, untuk membeli pesawat tempur F16. Pengantaran pertama 16 buah pesawat pejuang F-15 yang dibelinya di bawah perjanjian dengan Presiden Carter tiba pada tahun 1982.
Raja Khalid membuat keputusan untuk mengundang masuk buruh asing ke dalam negara dalam rangka membantu pembangunan negara Arab Saudi. Raja Khalid meninggal dunia pada tahun 1982 akibat serangan jantung. Beliau digantikan oleh Putera Mahkota Fahd.
5. Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud (1982-2005)
Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud adalah raja Arab Saudi ke-5 sekaligus Perdana menteri Arab Saudi. Raja Fahd membangun ekonomi Arab Saudi dan menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah Amerika Serikat. Raja Fahd terkena stroke pada tahun 1995 dan kondisinya melemah. Tugas menjalankan kerajaan pun diberikan kepada Putra Mahkota Abdullah. Raja Fahd wafat pada 1 Agustus 2005.
6. Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud (2005-sekarang)
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud adalah raja Arab Saudi ke 6. Setelah diangkat sebagai Pangeran, Abdullah akhirnya Abdullah diangkat sebagai Raja pada 3 Agustus 2005 sesaat setelah wafatnya Raja Fahd. Sejak 1997, dia telah meluncurkan program privatisasi dengan menghapus daftar larangan berusaha dan membiarkan perusahaan swasta tumbuh secara bebas. Kebijakan luar negerinya lebih pro-Arab daripada Barat. Pada 1980, ia berhasil sebagai mediator perundingan dalam konflik Suriah-Yordania. Ia juga menjadi arsitek Perjanjian Taif (1989) yang mengakhiri perang sipil di Lebanon pada periode 1975-1990. Selain, meningkatkan kembali hubungan bilateral dengan Mesir, Suriah dan Iran.

2.1.2 Lembaga Pemerintahan Arab Saudi
Negara Arab Saudi memiliki beberapa lembaga pemerintahan, antara lain:
1. Ekskutif
Kepala ekskutif di Arab Saudi adalah Raja dan Perdana Menteri. Arab Saudi merupakan salah satu negara di dunia di mana Raja memegang dua peranan utama yaitu sebagai Kepala Negara dan Kerajaan. Wewenang Raja salah satunya adalah melantik para menteri yang terdiri kaum kerabat terdekat Kerajaan
2. Legislatif
Legistalif Arab Saudi disebut Majelis Al-Shura. Majelis ini terdiri dari 90 anggota ahli. Tugas dari legislatif ini adalah menjadi penasehat Raja dan Majelis Menteri-menteri yang berkaitan dengan isu-isu dan program-program Kerajaan. Wewenang utama legislatif adalah membuat dan merevisi Undang-undang, kontrak, dan perjanjian antar negara. Masa jabatan anggotanya adalah 4-5 tahun. Adapun komisi-komisi dalam Majelis Al-Shura ini antara lain :
1. Komisi Urusan Keislaman, Peradilan dan Hak Asasi Manusia.
2. Komisi Urusan Sosial, Keluarga dan Pemuda.
3. Komisi Urusan Ekonomi dan Energi.
4. Komisi Urusan Keamanan.
5. Komisi Administrasi, SDM dan Petisi.
6. Komisi Urusan Pendidikan dan Riset.
7. Komisi Urusan Kebudayaan dan Informasi.
8. Komisi Urusan Luar Negeri.
9. Komisi Perairan, Infrastruktur dan Layanan Umum.
10. Komisi Urusan Kesehatan dan Lingkungan.
11. Komisi Urusan Keuangan.
12. Komisi Tranportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi Informasi.

3. Judikatif
Lembaga judikatif di Arab Saudi Majelis Kehakiman Agung yang merupakan mahkamah tertinggi. Tugas dari lembaga ini adalah mempertimbangkan dan memutuskan suatu perkara hukum yang termasuk hukuman mati, mutilasi, yang dijatuhkan oleh Mahkamah Rendah
4. Lembaga Pengambilan Keputusan
Lembaga ini bersifat informal yang berfungsi untuk melegitimasi suksesi kerajaan. Badan ini terdiri dari sekitar 100 anggota yang sebagian besar berasal dari keluarga Al-Saud dan sekutunya, yaitu Keluarga Jilwi, Sudaryri, Thunayan, dan Al-Shaykh

2.2 Politik Arab Saudi
2.2.1 Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan di Arab Saudi melibatkan lembaga-lembaga pemerintahan seperti legislatif, judikatif, dan lembaga pengambilan keputusan. Tetapi final answer tetap ditangan Raja. Dalam perpolitikan Arab Saudi, tidak terdapat partai politik dan oposisi sehingga di sini tidak ada proses check and balance. Lembaga-lembaga tersebut bertanggungjawab kepada Raja. Ketiga lembaga diatas mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Badan legislatif, berperan dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan mengenai permasalahan yang sedang terjadi di Arab Saudi, baik permasalahan dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga saat terjadi permasalahan baik dari dalam dan luar negeri badan legislatif ini sangat membantu (dalam memberikan informasi) raja dalam melahirkan suatu kebijakan.
Sedangkan badan yudikatif, yang terdiri dari mahkamah tertinggi dan mahkamah rendah turut membantu, raja dalam masalah hukum. Mahkamah rendah berfungsi sebagai pengadilan yang bertempat di daerah-daerah. Jika terjadi suatu masalah sebagai contoh, kriminalitas dan putusan di mahkamah rendah dirasa tidak memuaskan maka terdakwa bisa mengajukannya kepada majelis tinggi. Namun jika masih belum puas, maka terdakwa masih bisa mengajukan pengampunan kepada raja. Jadi raja lah pemegang yudikatif tertinggi.
Lembaga pengambilan keputusan berfungsi hampir seperti dewan penasehat raja. Sehingga sebagian besar, keputusan raja dipengaruhi oleh lembaga pengambilan keputusan.
2.2.2 Perpolitikan Dalam Arab Saudi
1. Peran Wahabbi
Arab Saudi dikenal sebagai sebagai negara yang menganut sistem monarki mutlak dengan diperintah oleh keluarga Al Saud yang berpijak pada ideologi mazhab Wahabi. Maka, mazhab Wahabi menjadi dasar legitimasi kekuasaan dan pengembangan pengaruh pemerintah keluarga Al Saud di Semenanjung Jazirah Arab. Cikal bakal dari hubungan antara keluarga Kerajaan Al Saud yang terus terbina dengan baik hingga saat ini bermula sejak 1745, yakni koalisi yang terbangun antara Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri mazhab Wahabi) dan keluarga Al Saud.
Hubungan keluarga Al Saud dan para ulama pada abad ke-18 merupakan hubungan kemitraan yang sangat strategis sesuai dengan teori politik Islam tradisional dan prinsip-prinsip yang diletakkan Muhammad bin Abdul Wahab. Hubungan kemitraan yang harmonis antara agama dan negara pada era negara Arab Saudi pertama itu barangkali disebabkan adanya kesamaan tujuan saat itu. Kemitraan strategis itu membuka peluang bagi Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab memiliki kekuatan politik untuk penerapan mazhab Wahabi di Arab Saudi. Dalam waktu yang sama, mazhab Wahabi memberi legitimasi agama pada kekuasaan keluarga Al Saud. Mazhab Wahabi memberi doktrin bahwa patuh pada pemerintah merupakan kewajiban agama selama pemerintah itu melindungi syariat agama dan membangkang pemerintah adalah khianat.
Koalisi yang dibangun antara Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri mazhab Wahabi) dan keluarga Al Saud sebenarnya tidak terlepas dari campur tangan pihak asing, dalam hal ini adalah Inggris. Bagaimana tidak, karena pada dasarnya kelahiran mahzab Wahabi itu sendiri pada kenyataannya Kerajaan Inggris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Seluk beluk mengenai hal ini dapat kita temukan dalam memoar Mr. Hempher : “Confessions of a British Spy”. Hempher sendiri merupakan mata-mata dari Kerajaan Inggris yang menyamar sebagai seorang muslim. Hempher, yang memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka (kaum Muslim) telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik. Hempher juga membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bid’ah dan takhayul. Setelah mendengar mimpi liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab (keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami ajaran Islam) dengan uang, mata-mata Inggris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab. Dari sinilah maka hubungan antara keduanya (Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab dan keluarga Al Saud) bermula. Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga Al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious interpretation). Itulah sebabnya mengapa wahabisme memiliki peranan yang cukup vital dalam perpolitikan Arab Saudi.
2. Peran Perempuan
Pada masa kepemimpinan Raja Fahd transisi Arab Saudi menuju demokrasi masih belum menunjukkan pergerakan yang signifikan. Pada masa Raja Fahd perpolitikan Arab Saudi masih belum memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk ikut terlibat proses politik di Arab Saudi. Tetapi ia telah mendirikan Sekolah Nasional yang memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk bisa mendapatkan pendidikan.
Berbeda dengan masa kepemimpinan Raja Fahd, pada masa Raja Abdullah kaum perempuan sudah mulai diperhitungkan. Kaum perempuan mulai diberi kebebasan untuk ikut terlibat dalam politik. Ini terlihat, dari penunjukkan Noura bin Abdullah Al-Faez sebagai Deputi Menteri Pendidikan dan Pengajaran Urusan Perempuan. Pada masa ini pula, mulai dilaksanakan pemilu, yaitu pada 1 Agustus 2005 dengan memilih dewan kota praja. Masa ini semakin menunjukkan bahwa Arab Saudi memiliki komitmen untuk bergerak ke arah yang lebih demokrasi

2.3 Politik Luar Negeri Arab Saudi
Peran Arab Saudi dalam masalah dunia berasal dari kedudukannya sebagai negara kunci dalam memenuhi impor minyak dunia, maka kebijakan ekonomi luar negeri dan minyaknya akan memberikan dampak besar bagi penyelesaian masalah regional dan dunia . Khususnya kebijakan ekonomi luar negeri Saudi dan minyaknya juga dipengaruhi oleh pandangan Saudi mengenai dunia
Pandangan Saudi atas kuatnya peran AS dan dunia bebas yang didukung o;eh keinginan barat tentunya akan melahirkan reaksi dari pihak komunis maupun kekuatan radikal lainnya. Pada waktu yang bersamaan Saudi telah menunjukkan kepada pihak barat atas penggunaan minyaknya sebagai senjata politik. Pemerintah Saudi juga memberikan perhatian besar atas pembangunan di negara berkembang
Hubungan Saudi dengan negara-negara barat menunjukkan pentingnya dimensi politik dan ekonomi bagi masing-masing pihak. Hubungan Saudi dengan negara komunis secara politik tetap menerapkan perannya sebagai pembela tempat-tempat suci islam. Karena itu keluarnya Afghanistan dari Soviet memberikan arti tersendiri bagi pencairan hubungan Saudi-Soviet. Namun Saudi masih akan terus memantau bagaimana negara komunis memperlukan penduduknya yang beragama Islam. Kasus pelecehan dan tindakan ekstrim lainnya sangat berpengaruh bagi prospek hubungan kedua negara
Berbagai kebijakan Saudi tersebut memperlihatkan pentingnya visi negara tersebut mengenai persatuan dunia Arab, citra yang positif mengenai solidaritas islam pada umumnya, dan pengakuan eksistensi umat islam di seluruh dunia. Visi tersebut masih sering diragukan dalam hal realisasi dan prioritas kebijakan negaranya, karena baik di dunia maupun kawasan regional Timur Tengah sering melihat kebijakan ekonomi-politik Saudi mengabaikan kepentingan beberapa negara Arab tertentu justru lebih toleran pada kepentingan negara barat terutama AS . Sehingga persatuan aspirasi dunia arab (pan arabisme) hanyalah sebuah mimpi atau gagasan politik yang bersifat utopis, dan visi serta solidaritas antar arab hanya bagus dalam ide maupun tujuan tapi dalam realisasinya sangat sulit tercapai

2.4 Isu Kontemporer di Arab Saudi : Intervensi Saudi dalam Pemberontakan (Syiah) di Yaman Utara
Intervensi Saudi dalam pemberontakan yang notabene terjadi di wilayah Yaman Utara bermula dari adanya pemberontakan di wilayah tersebut yang berbatasan langsung dengan wilayah Saudi bagian selatan. Perlu diketahui bahwa mayoritas penduduk Yaman ialah bermahzab Sunni. Pemberontakan ini sebenarnya telah ada semenjak tahun 2004, saat itu yang terjadi di Yaman ialah pemerintah Yaman yang memerangi rakyatnya sendiri yakni kelompok Al-Houthi yang juga bermahzab Syiah. Kelompok Al-Houthi ini dituduh ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh (Presiden Yaman) yang juga seorang Sunni dan mendapatkan bantuan Iran untuk mendirikan negara Syiah. Kelompok Al-Houthi ini melakukan banyak kegiatan-kegiatan sosial dan pendidikan, yang kemudian dalam waktu cepat mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat setempat. Di tengah mereka, ada sosok terpandang yang bernama Badrudin Al-Haouthi. Ia adalah seorang mujtahid dan pakar fikih dalam madzhab Syiah Zaidiyah. Tokoh ini menjadi sentral kekuatan gerakan dan intelektual kelompok Al-Haothi. Aktivitas menonjol kelompok ini bahkan dapat menyedot kalangan masyarakat, khususnya para pemuda dari luar kawasan Saada. Menurut data yang ada, kelompok Al-Houthi beranggotakan 18 ribu orang. Sambutan luar biasa ini membuat kelompok ini mengembangkan sayapnya ke sembilan provinsi lainnya di negeri ini. Kondisi inilah yang kian mengkhawatirkan pemerintah setempat. Semangat gerakan yang tertanam dalam kelompok ini lambat laun akan menjadi kekuatan kritis bagi pemerintah setempat. Hingga pada akhirnya, pemerintah Yaman meminta bantuan dari Arab Saudi untuk mencegah perkembangan gerakan kelompok Al-Haothi.
Kita tahu bahwa Saudi amat erat kaitannya dengan Wahabisme, yangmana Wahabi merupakan ajaran resmi Kerajaan Saudi Arabia. Dan wahabisme sendiri dikatakan sebagai salah satu sekte Islam yang paling kaku dan reaksioner. Wahabi memproklamirkan bahwa hanya dia saja-lah ajaran yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada, dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan “bid’ah dan kafir”. Sehingga terang saja jika Saudi cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap pelbagai mahzab atau ajaran Islam yang diluar dirinya. Misalnya saja seperti intervensinya dalam menghadapi pemberontak Syiah di Yaman Utara yang berbatasan langsung dengan negaranya. Disamping itu, intervensi Saudi ini sebenarnya mengandung unsur-unsur politis didalamnya. Salah satunya ialah Saudi sengaja berupaya melumpuhkan kekuatan komunitas muslim Syiah di utara Yaman supaya komunitas Syiah di selatan Arab Saudi tidak terpengaruh dengan jirannya itu. Seperti diketahui kawasan selatan Saudi merupakan kantong-kantong masyarakat minoritas Syiah. Selama ini mereka kerap menjadi korban diskriminasi politik dan sosial pemerintah pusat. Sebagian analis lain meyakini, sebetulnya Arab Saudi tengah berupaya untuk mendirikan pemerintahan berideologi wahabi di Yaman. Target lain yang tengah dikejar Riyadh adalah untuk memantapkan posisinya sebagai pemimpin dunia Arab.
Sebenarnya pemberontakan ini sempat mereda semenjak memanas pada tahun 2004 silam. Namun beberapa bulan belakangan tepatnya pertengahan tahun 2009 lalu, pemberontakan ini mulai melancarkan pemberontakannya kembali. Keberanian Houthi kali ini bukan tanpa sebab. Tanpa dukungan persenjataan dan politik (yang diduga kuat dari Iran) , pemberontak Houthi tentu tidak akan berdaya di antara pasukan Yaman dan Pasukan Kerajaan Saudi yang mempunyai militer yang kuat. Pemberontak Houthi hanya memiliki maksimum 4000 milisi sedangkan Pasukan Yaman berjumlah 78.000 personil dan Saudi memiliki sekitar 120.000 prajurit dan 130.000 prajurit pengawal nasional. Houthi yang lebih taat kepada Iran dan mempunyai kesamaan ideologi diduga akan menyebarkan ajaran Syiah di jazirah Arab. Tentu Arab Saudi tidak akan membiarkan begitu saja penyebaran Syiah di jazirah Arab dan akan melawan pengaruh Iran sekuat tenaga. Bahkan kelompok Houthi ini semakin percaya diri dalam melancarkan aksi-aksinya saat ini semenjak Iran mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di negara Iraq, Lebanon dan Bahrain. Terbukti Iraq kini diperintah oleh kaum Syiah dan pemerintahan tersebut loyal kepada Iran. Dengan demikian semakin kompleks-lah kekhawatiran Saudi terhadap kemungkinan munculnya negara Syiah di Yaman Utara yang bersenggolan langsung dengan wilayah negaranya bagian selatan. Padahal posisi Saudi sendiri sudah sangat terjepit dengan kehadiran pemerintahan Iraq yang berbatasan langsung dengan Saudi Arabia bagian barat. Sehingga kehadiran sebuah negara Syiah di Yaman Utara juga akan memberikan angin pada penganut Syiah di Saudi Arabia. Bisa jadi mereka akan mengangkat senjata untuk melawan kerajaan.
Kerajaan Saudi kemudian mulai melancarkan sejumlah serangan dalam kapasitas yang berlebihan dalam membantu Yaman untuk memerangi para pemberontak Houthi. Seorang pejabat pertahanan Saudi mengatakan militer Saudi melakukan serangan udara gencar di Yaman utara untuk berusaha "menghabisi" pemberontak, dengan bekerjasama dengan pemerintah Yaman. Dimulai sejak 11 Agustus 2009 lalu, pesawat-pesawat tempur Arab Saudi terus membombardir posisi kelompok Al-Houthi dan kawasan permukiman sipil. Bahkan sejak 3 November 2009, militer Saudi telah menerobos wilayah Yaman lewat darat dan berkolabarasi dengan tentara Yaman untuk memberangus pejuang Al-Houthi. Hingga kini entah sudah berapa ratus roket dan bom yang ditembakkan militer Saudi untuk mengganyang warga sipil dan pejuang Al-Houthi. Bahkan menurut sejumlah laporan, tentara Arab Saudi dan Yaman juga menggunakan senjata terlarang seperti bom fosfor. Tokoh oposisi Yaman, Seyf Ali Al-Washili dalam wawancara dengan Televisi Al-Alam mengungkapkan,
"Jet-jet tempur Arab Saudi dalam serangannya ke wilayah Yaman menggunakan bom fosfor putih pemberian rezim zionis Israel dan senjata terlarang buatan AS lainnya".

Arab Saudi pun kian gencar dalam memerangi pemberontak (syiah) Houthi ini apalagi mereka juga sempat berhasil menguasai kawasan di sepanjang perbatasan Arab Saudi. Seperti yang disebutkan tadi bahwa yang mendiami kawasan perbatasan Saudi itu merupakan masyarakat minoritas yang bermahzab Syiah. Seorang penasihat pemerintah Saudi mengatakan bahwa negaranya akan menggunakan kekuatan udara dan artileri untuk menyelenggarakan zona penyangga sejauh 10 km dalam wilayah Yaman untuk menjauhkan pemberontak Syiah dari perbatasan barat dayanya. Sehingga bukan perkara yang mengejutkan bila Saudi memutuskan untuk melimpahkan seluruh kekuatan militer yang dimilikinya untuk memberantas pemberontak Syiah yang mulai merambah wilayah negaranya itu. Hal ini mengakibatkan sekitar 240 desa di Arab Saudi dikosongkan dan lebih dari 50 sekolah ditutup. Tidak hanya itu, banyak kerugian-kerugian lain yang ditimbulkan akibat konflik yang mulai berkembang menjadi konflik regional ini.
Semua upaya ataupun serangan Saudi yang cenderung berlebihan ini juga tidak terlepas dari adanya campur tangan pihak asing, dalam hal ini ialah Amerika Serikat. Negara-negara yang terlibat dalam konflik ini utamanya Arab Saudi dan Amerika Serikat merasa khawatir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang muncul, terutama ketakutan atas meningkatnya ancaman kebangkitan Jaringan Al-Qaeda yang dimungkinkan akan memanfaatkan konflik ini untuk menguasai negara termiskin di Jazirah Arab tersebut, Yaman. Namun hal ini bisa saja hanyalah isu belaka yang sengaja dihembuskan oleh negara-negara barat untuk memporak-porandakan Panarabisme di Timur Tengah. Selain itu tentu saja konflik berdarah ini (ditambah lagi dengan adanya intervensi militer dan kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Arab Saudi) menguntungkan bagi rezim Zionis Israel, sebab konflik tersebut akan mengalihkan sejenak perhatian masyarakat internasional (terutama publik Arab dan Islam) terhadap isu Palestina, yakni konflik Israel-Palestina.

BAB 3
KESIMPULAN

Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa Arab Saudi adalah negara monarki, yang di mana Raja adalah pemegang kekuasaan setinggi-tingginya. Arab Saudi tidak terdapat partai politik sehingga dimungkin proses check and balance tidak terjadi di sana. Selain itu di Arab Saudi tidak terdapat sebuah Undang-undang, negara ini menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum murni
Dalam politiknya, ajaran Wahabbi sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan di Arab Saudi. Dalam setiap keputusan suara kaum Wahabbi memiliki porsi yang lebih penting dan mempengaruhi sang Raja. Selain itu, Arab Saudi tidak memberikan kesempatan pada kaum perempuan untuk berkecimpung didalamnya. Kaum wanita benar-benar dijauhkan dari segala aktivitas yang biasanya dipangku oleh lelaki. Tetapi barulah pada tahun 2005 kemarin, Arab Saudi mulai melaksanakan pemilu dengan mempertimbangkan kaum perempuan. Ini terlihat dari penunujukkan Noura Al-Faez sebagai Menteri Pendidikan oleh Raja Abdullah. Dari segi hubungan internasional, Arab Saudi memerankan posisi penting dalam hubungan kawasan baik regional maupun internasional. Dengan potensi minyaknya, Arab Saudi telah menjadikannya sebagai senjata politik luar negerinya, di mana Arab Saudi terlihat lebih pro kepada Barat terutama AS, ketimbang dengan negara-negara Islam sendiri. Memang, dalam visi politik luar negerinya adalah salah satunya, membangun dan mewujudkan negara persatuan Arab (pan Arabisme), namun hal masih sering dipertanyakan negara-negara Arab disekitarnya
Dalam isu kontemporer mengenai masalah intervensi ke Yaman, dapat disimpulkan bahwa alasan Arab Saudi untuk ikut terlibat adalah : Pertama, pemberontak Syiah sudah melewati batas teritorial Saudi-Yaman sehingga akan mengancam kedaulatan. Kedua, ketakutan Arab Saudi akan pemberontak Syiah yang membentuk kekuatan dengan kaum Syiah di selatan Saudi. Ketiga, Kekhawatiran akan rencana pembentukan Yaman dengan paham Syiah, karena Saudi merasa posisinya terjepit antara Iran, Irak, dan Yaman. Posisi ini semakin mempersulit Arab Saudi untuk meneyebarkan ajaran Wahabbinya dan dalam pertarungan pengaruh dengan Iran di Timur Tengah

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sihbudi, Riza, dkk. 1995. Profil Negara-negara Timur Tengah. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya

Situs
http://indonesian.cri.cn/1/2003/12/09/Zt1@1102.htm
http://www.antara.co.id/berita/1259114516/arab-saudi-bantah-militernya-masuki-yaman
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/arab-saudi-bantu-israel-serang-iran.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Arab_Saudi
http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82601

No comments:

Post a Comment