By : Triono Akhmad Munib
A. Batasan Waktu (Periodisasi)
Perang Korea tahun berkahir pada tahun 1953. Maka di sini penulis memberikan batasan waktu yaitu antara decade 1960-an sampai dengan dekade 2000-an
B. Sekilas Tentang Perang Korea (1950-1953)
Konflik Korea merupakan sebuah warisan yang tidak lain akibat tetesan (trickle down effect) daripada konflik era Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Di mana satu pihak yaitu AS tidak ingin kedua Negara Korea ini jatuh ke tangan komunis, sedangkan disatu pihak ingin terus menyebarkan paham komunisnya yaitu Uni Soviet. Di bagian utara berdiri Republik Rakyat Demokratis Korea dengan ibu kota Pyongyang, di selatan ada Republik Korea berpusat di Seoul. Sejak awal abad XX, Semenanjung Korea dikuasai Jepang. Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, serentak lahir dua negara, sesuai pengaruh dua pemenang perang, AS dan Uni Soviet, yang sama-sama menduduki sebagian Korea.
Dan akhirnya tak bisa dipungkiti lagi pada tahun 1950 pecahlah perang korea karena propaganda dan pergerakan politik RRC yang ingin mengkomuniskan negara-negara Asia Timur dan Tenggara tetapi pergerakan RRC dan Uni Soviet diketahui oleh Amerika dan sekutunya,
Amerika Serikat terus membangun pangkalan militernya di Negara Asia. Pangkalan militer itu ditempatkan di Jepang dan Filipina yang terus berupaya agar Komunisme tidak bisa ekspansi ke Asia Timur. Tetapi sayangnya, propaganda Komunis RRC sudah masuk ke daratan Korea dari jalur Utara, dan mereka telah berhasil menguasai (cuci otak) para pejabat di daerah Korea Utara dan memproklamirkan tentara Korea Utara sebelum masuk ke Jepang dan Taiwan. Amerika dan sekutunya sudah berusaha menangkal pergerakan pasukan komunis Korea Utara dengan mempersenjatai pasukan Korea yang berada di daerah Selatan.
Dengan adanya pemberian persenjataan kepada rakyat Korea yang di selatan. Secara tidak langsung terjadilah perang saudara, karena Korea Utara bergerak ke Korea Selatan tanpa peringatan dan mereka langsung serbu. Akhirnya Badan PBB menyerukan Amerika untuk turun tangan membela Korea Selatan
Tahun 1953 Perang Korea berakhir, istilah resminya, gencatan senjata disepakati kedua belah pihak. Semenanjung tersebut dibagi dua, batasnya garis lintang 38 derajat dengan dibuatnya perbatasan dibuatnya Korea Demilitarized Zone (DMZ) yang menjadi saksi peperangan yang secara teknis belum berakhir di antara kedua negara.
C. Republik Korea Selatan
Republik Korea (bahasa Korea : Daehan Minguk) biasanya dikenal sebagai Korea Selatan, adalah sebuah negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea. Di sebelah utara, Republik Korea berbataskan Korea Utara, di mana keduanya bersatu sebagai sebuah negara hingga tahun 1948. Negara ini dikenal dengan nama Hanguk oleh penduduk Korea Selatan dan disebut Namchosŏ di Korea Utara. Ibu kota Korea Selatan adalah Seoul .
Luas Korea Selatan adalah 99.274 km², lebih kecil dibanding Korea Utara. Keadaan topografinya sebagian besar bergunung-gunung dan tidak rata. Pegunungan di wilayah timur umumnya menjadi hulu sungai-sungai besar, seperti sungai Han dan sungai Naktong. Sementara wilayah barat merupakan bagian rendah yang terdiri dari daratan pantai yang berlumpur. Di wilayah barat dan selatan yang terdapat banyak teluk terdapat banyak pelabuhan yang baik seperti Incheon, Yeosu, Gimhae, dan Busan.
Korea Selatan adalah negara presidensial. Seperti pada negara-negara demokrasi lainnya, Korea Selatan membagi pemerintahannya dalam tiga bagian: eksekutif, yudikatif dan legislatif. Lembaga eksekutif dipegang oleh presiden dan dibantu oleh perdana menteri yang ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan. Presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Iklim Korea selatan dipengaruhi oleh iklim dari daratan Asia dan memiliki 4 musim. Musim panas di Korea selatan yang dimulai bulan Juni bisa mencapai temperatur 40 derajat celcius (di kota Daegu), yang ditandai dengan datangnya musim hujan yang jatuh pada akhir bulan Juli sampai Agustus di seluruh bagian semenanjung. Sementara temperatur musim dinginnya rata-rata dapat jatuh pada suhu sejauh minus 10 derajat celcius di beberapa propinsi. Korea Selatan juga rentan akan serangan angin taifun yang menerjang selama bulan musim panas dan musim gugur. Beberapa tahun belakangan ini Korea selatan juga sering dilanda badai pasir kuning yang dibawa dari gurun gobi di Cina yang juga melanda Jepang dan sejauh Amerika Serikat.
D. Korea Selatan : From Zero To Hero (Pembangunan Ekonomi Korea Selatan Menuju Negara Semi-Pheriphery)
Dampak Perang Korea Terhadap Perekonomian Korea Selatan
Sebagai Negara yang baru berdiri yang merdeka pada tahun 1948, Perang Korea merupakan bencana bagi Korea Selatan baik dari segi politik maupun ekonomi. Perang Korea pada 1950-1953 yang menewaskan hampir 2.5 juta jiwa menghancurkan perekonomian dan stabilitas negara yang baru berdiri
Perang Korea telah meninggalkan jejak tak terhapuskan di Semenanjung Korea dan dunia sekitarnya. Seluruh semenanjung hancur menjadi puing-puing, korban dari kedua belah pihak sangat besar. Jatuhnya Korea Selatan ke tangan Amerika Serikat secara tidak langsung juga memberikan dampak positif bagi perekonomian Korea Selatan.
Sesuai dengan paham yang dibawa AS adalah liberalism, maka di sini untuk memulihkan perekonomiannya pasca Perang Korea, pemerintahan Korea terus melakukan kerjasama untuk membangun industri-indutsri guna mencapai ekonomi yang lebih baik
Pembangunan Ekonomi Korea Selatan Adalah Berdasar Pada Modernization Theory
Di sini penulis melihat pembangunan ekonomi Korea Selatan dengan teori modernisasi. Modernisasi diartikan sebagai proses transformasi. Dalam rangka mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total diganti dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern. Modernisasi merupakan proses sistematik. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial, termasuk di dalamnya industrialisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi dsb. Ciri-ciri pokok teori modernisasi :
1. Modernisasi merupakan proses bertahap
Pembangunan ekononmi Korea Selatan dilakukan secara bertahap sejak pasca Perang Korea. Pembangunan tersebut dilakukan mulai tahun 1960-an. Bahkan sampai saat ini pun pembangunan masih terus dilakukan
Pada tahap awal pengembangannya adalah industri, sains, dan teknologi. Korea memang lebih banyak mengambil alih dari negara-negara lebih maju; tapi sejak akhir dasawarsa 1980-an. Korea juga terus bergerak menjadi 'inventors', penemu, bukan sekadar peniru dengan meningkatkan research and development (R&D) atau litbang
2. Modernisasi juga dapat dikatakan sebagai proses homogenisasi.
Jika dilihat pembangunan ekonomi Korea Selatan pasca Perang Korea sudah dipengaruhi oleh paham liberalis. Secara tidak langsung di sini Korea Selatan juga mengarah pada pembangunan ekonomi gaya Barat. Sehingga di sini akan timbul keadaan yang dinamakan homogenitas sistem perekonomian dengan Barat
Sesuai dengan gaya liberalis Barat yang kental akan modal capital. Di sini, perusahaan Korea Selatan terus berekspansi dan menjadi Multinational Coorporations (MNC’s) yang perlu dipertimbangkan. MNC’s Korea Selatan juga membawa kemakmuran bagi perekonomiannya karena kentunngan maksimal akan kembali ke Negara awal
3. Modernisasi merupakan perubahan progresif
Pasca Perang Korea, perekonomian Korea Selatan semakin menunjukkan perubahan yang progresif bahkan hingga saat ini
4. Modernisasi memerlukan waktu panjang.
Modernisasi harus dipandang suatu yang evolusioner bukan revolusioner. Kondisi ini terjadi pada pembangunan ekonomi Korea Selatan pasca Perang Korea. Perang Korea berakhir pada tahun 1953 dan Korea Selatan terus membenahi perekonomiannya hingga saat ini pada tahun 2010 dalam dekade 2000-an. Bisa dilihat Korea Selatan membutuhkan waktu sekitar 57 tahun
Perkembangan Ekonomi Korea Selatan (dekade 1960-an s/d dekade 2000-an)
Diawal tahun 1960-an, perndapatan per kapita negara Korea Selatan di bawah 100 US dolar. Pendapatan per kapita Korea Selatan saat itu adalah 80 US dollar. Tetapi lima puluh tahun kemudian, income per kapita bangsa Korea Selatan naik menjadi USD 19.000
Ini berarti, rata-rata rakyat Korea Selatan mengalami peningkatan pendapatan 490% per tahun, sementara kenaikan pendapatan rata-rata rakyat Indonesia hanya 64% per tahun. Di bawah ini terdapat pencapaian ekononomi Korea Selatan
2004 2005 2006 2007
Produk Domestik Bruto (juta US$) 680.900 787.500 801.200 967.000
PDB Per-Capita (US$) 14.193 16.291 18.402 20.030
Pertumbuhan Ekonomi (%) 4,7 4,2 5,0 5,0
Tingkat Inflasi (%) 3,6 2,8 1,8 2,4
Tingkat Pengangguran (%) 3,7 3,7 3.5 3,2
Neraca Perdagangan (juta US$) 29.382 23.180 16.082 14.643
Neraca Pembayaran (juta US$) 35.772 19.737 23.357 12.186
Cadangan Devisa (milyar US$) 199,1 210,4 238,9 262,2
________________________________________
Selain itu, Korea Selatan pernah mengalami angka-angka fantastis dalam perekonomiannya, antara lain :
1. Negara dengan kenaikan PDB lebih 400 kali lipat dari USD 2,3 miliar (1962) menjadi USD 930 miliar (2008 )
2. Negara dengan kenaikan income per capita 23500% dari USD 80 (1962) menjadi USD 19.000 (2008 )
3. Negara produsen terbesar dibidang perkapalan. Salah satu produk fenomenal dari industri perkapalan Korea adalah Kapal MS Oasis of the Seas. MS Oasis ini merupakan kapal penumpang terbesar dunia. Kapal ini dibuat oleh perusahaan Korea Selatan STX Europe.
4. Negara produsen terbesar ke-3 dibidang semikonduktor.
5. Negara produsen terbesar ke-4 dibidang digital elektronik.
6. Negara produsen terbesar ke-5 masing-masing dibidang otomotif, baja, tekstil dan petrokimia.
7. Negara dengan akses internet tercepat di dunia (12 Negara Internet Tercepat Dunia)
8. Kekuatan ekonomi ke-4 terbesar di Asia setelah Jepang, China dan India. Didunia Korsel menduduki peringkat ke-15.
9. Negara eksportir terbesar ke-11 dunia. Atau menduduki eksportir terbesar ke-3 Asia setelah China (2 dunia) dan Jepang (4 dunia). Sementara Indonesia berada di peringkat 31.
10. Negara dengan 97% eskpor merupakan produk manufaktur berteknologi tinggi.
11. Negara dengan cadangan devisa terbesar ke-4 dunia.
12. Negara dengan pertumbuhan ekspor rata-rata 30% selama 3 dekade. Nilai ekspor naik dari 3% GDP (1962) menjadi 37% GDP (2000)
13. Negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tinggi. Peringkat 26 dari 180 negara.
Industri Korea Selatan juga mengalami perkembangan pesat. Di sini, kita bisa melihat produk-produk Korea Selatan, seperti : Samsung Electronics, POSCO, Hyundai Motor, KB Financial Group, Shinhan Financial Group, Samsung Life Insurance, Korea Electric Power, LG Electronics, Hyundai Mobis, LG. Produk-produk perusahaan Korea dapat kita ditemukan disetiap sisi jalan (mobil dan motor), setiap individu (ponsel, kamera), setiap rumah (televisi, mesin cuci, AC, rice cooker dll).
Dari semua data dan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa Korea Selatan ingin terus maju menjadi Negara yang mengarah kepada semi-pheriphery state
E. Kesimpulan
Kejadian dan akibat buruk telah membuat rakyat dan Negara Korea Selatan untuk belajar dari pengalaman pahit tersebut. Korea Selatan terus membangun negaranya untuk ke arah yang lebih baik. Pemerintah terus melakukan reformasi perekonomian Negara. Berbagai cara dilakukan, antara lain : peminjaman dana asing dari AS maupun IMF
Tetapi itu semua bermanfaat bagi Korea Selatan. Dalam jangka waktu 53 tahun (1953-2010), Korea Selatan berhasil keluar dari masalah ekonomi dan menjelma menjadi perekonomian “Macan Asia”. Pembangunan ekonominya berdasar pada teori modernisasi. Itu semua tidak lepas dari sejarah, yaitu jatuhnya Korea Selatan kepada pihak AS. Sesuai dengan apa yang dijelaskan di atas bahwa pembangunan di Korea Selatan secara tidak langsung mengarah kepada gaya pembangunan Barat (AS dan Eropa) sehingga di sini terasa terjadi suatu proses homogenitas. Kapitalisme sudah merasuki gaya perekonomian Korea Selatan
Dari segala proses pembangunan di atas, menunjukkan bahwa Korea Selatan akan terus bergerak ke arah Negara semi-pheriphery. Memang pada saat merdeka (1948) dan pasca Perang Korea, Korea Selatan masih bisa dikatakan Negara pheri-phery. Tetapi saat ini dengan pembangunan yang dilakukannya khususnya di bidang ekonomi, Korea Selatan berhasil keluar dari masalah ekonomi dan seiring berjalannya waktu Korea Selatan terus berjalan menuju semi-pheriphery state atau bahkan menuju development state (negara maju)
Thursday, 1 April 2010
Proposal Penelitian : Dampak Krisis Di Darfur, Sudan Terhadap Keamanan Regional dan Internasional
By : Triono Akhmad Munib
1. Latar Belakang
Awalnya konflik di Darfur, Sudan merupakan konflik etnis dengan lingkup internal saja. Konflik tersebut bermula dari ketidakadilan perlakuan pemerintahan Sudan terhadap penduduk Selatan. Seperti yang diketahui wilayah Utara Sudan adalah mayoritas berpenduduk Islam sedangkan wilayah Selatan mayoritas berpenduduk Kristen. Konflik tersebut semakin panas dengan dipicu pula oleh perbedaan ras, di mana wilayah Utara adalah ras Arab dan wilayah selatan adalah ras Afrika (Negro).
Namun konflik Sudan tersebut saat ini sudah berubah arah dari dasar latar belakang munculnya konfik tersebut. Itu dikarenakan adanya intervensi asing yang ikut berkecimpung di dalam konflik tersebut. Seperti yang diketahui di wilayah Sudan Selatan terdapat sumber daya alam berupa minyak, gas, dan uranium. Inilah yang membuat pihak asing, khususnya Negara-negara Barat (AS dan Inggris) dan China ikut campur tangan dalam konflik Sudan tersebut. Pihak asing tersebutlah yang membuat konflik etnis tersebut tak kunjung usai. Di sini, terjadi keadaan di mana etnis dijadikan sebuah instrument untuk mencapai kepentingan asing. Boleh dikatakan konflik Sudan adalah konflik etnis yang dipolitisi atau konflik etnis yang diboncengi kepentingan asing.
Darfur merupakan kawasan yang kaya sumber minyak, uranium dan gas. Persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras dan ikut campur terhadap Sudan . Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Darfur telah memberikan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan China. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak China. Sementara itu, AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kakayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu, sehingga konflik di Darfur sebenarnya dipicu persaingan antara AS, Eropa dan China untuk memperebutkan minyak Darfur. Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan, menurut sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan China dan Amerika merebut minyak Sudan.
Konflik Sudan saat ini sudan berubah arah menjadi konflik politik yang menyeramkan. Lebih dari 180.000-300.000 orang telah tewas, dan sekitar 2,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumahnya sejak terjadi pemberontakan kelompok bersenjata, Februari 2003. Gangguan keamanan ini menyebabkan pemerintahan di Sudan tidak berjalan stabil. Tak heran jika PBB menobatkan Sudan merupakan konflik terparah di dunia. Sesuai dengan istilah trickle down effect, maka dampak konflik Sudan tersebut juga akan menetes dan mempengaruhi keamanan Negara-negara sekitarnya, kawasan regional Afrika dan juga keamanan internasional pula.
Berdasarkan latar belakang, maka penulis akan mengkajinya dalam skripsi ini dengan judul “DAMPAK KONFLIK ETNIS DI DARFUR (SUDAN) TERHADAP KEAMANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL”
1.1 Ruang Lingkup Pembahasan
Di dalam penulisan sebuah karya ilmiah, perlu kiranya diketengahkan batasan ataupun ruang lingkup pembahasan, agar penyelesaian masalah menjadi lebih terarah, spesifik, dan tidak terjadi pembiasan ataupun penyimpangan dari inti permasalahan
Berdasarkan hal tersebut penulis mencoba membatasi ruang lingkup pembahasan dan membaginya ke dalam dua kategori, yaitu :
1.1.1 Batasan Materi
1.1.2 Batasan Waktu
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi ruang lingkup utama dalam tulisan ini adalah mengapa konflik di Darfur, Sudan bisa menjadi ancaman bagi keamanan regional dan internasional. Bahkan di sini, Negara-negara sekitar Sudan mengalami ketidakstabilan karena tetesan efek konflik Sudan tersebut. Oleh karena itu, penulis memberikan batasan-batasan untuk memperjelas fokus perhatian penulisan skripsi ini
1.1.1 Batasan Materi
Materi yang dibahas dalam tulisan ini terfokus pada dampak konflik di Sudang terhadap keamanan Negara-negara sekitar Sudan (regional) dan internasional. Konflik di Sudan membuat kekacauan dan ketidakstabilan Negara sekitar seperti : Libya, Chad, Mesir, Uganda, dan Negara sekitarnya. Gelombang penduduk yang mengungsi di Negara sekitar Sudan membuat pemerintahan Chad harus menampung penduduk sekitar 2 juta jiwa. Selain itu, Chad juga dijadikan kawasan lalu lintas perdagangan senjata dan lalu lintas terorisme di Darfur. Untuk keamanan internasional, konflik Darfur, Sudan menambah daftar konflik di dunia. Konflik tersebut semakin menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari perdamaian seperti yang diharapkan para liberalis. Keamanan internasional secara tidak langsung akan terancam dengan adanya konflik Sudan tersebut karena konflik tersebut semata-mata tidak hanya konflik internal tapi di sini sudah terdapat apa yang dikatakan proximate war atau war by proxy. Maksudnya, sudah terdapat campur tangan Negara lain (asing) baik yang membantun pemerintahan Sudan dalam mengatasi konflik dengan ras negro maupun pihak yang membantu para pemberontak negro untuk melawan pemerintah Utara.
1.1.2 Batasan Waktu
Tulisan ini hanya terfokus pada tahun 2003 hingga bulan Februari 2010 tepatnya pada saat terjadinya pemberontakan brutal yang menewaskan hampir 200.000 jiwa tewas pada bulan Februari 2003. Konflik Sudan mengalami pasang surut hingga akhirnya pada tanggal 23 Februari 2010, Presiden Sudan, Omar al-Beshir menyatakan bahwa konflik Darfur telah berakhir dan mengatakan bahwa 57 anggota kelompok pemberontak utama, 50 diantaranya berada dalam daftar hukuman mati, telah dibebaskan. Di ibukota negara bagian Darfur Utara, pemerintah Sudan dan pemberontak Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani perjanjian gencatan senjata dan sepakat bekerja untuk mencapai sebuah perjanjian perdamaian penuh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tulisan ini berkonsentrasi pada permasalah : apa dampak konflik di Darfur, Sudan terhadap keamanan regional dan internasional?
1.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang digunakan oleh penulis untuk menjelaskan fenomena-fenomena dari permasalah yang diangkat adalah teori konflik etnis. Menurut pendapat Michael E. Brown
“Konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan
mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara
dua komunitas etnis atau lebih“
Konflik etnis juga, menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi batas-batas negara. Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.
Di dalam tulisannya, Brown mengajukan dua level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…”. Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini”. Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
1.4 Argumen Utama
Konflik etnis di Sudan telah membuat efek tetesan (trickle down effect) ke Negara-negara sekitar Sudan Krisis Sudan telah mempengaruhi keamanan wilayah tetangganya, baik langsung maupun tak langsung. Saat konflik berlangsung, gerakan para pemberontak juga mengancam keamanan daerah perbatasan seperti Kenya, Mesir, Ethiopia, Uganda, Chad dan Libya serta menjadikan daerah-daerah itu rawan serangan teroris dan perdagangan senjata ilegal. Selain menimbulkan masalah keamanan, pengungsi Sudan juga memunculkan masalah baru bagi negara yang menjadi kamp pengungsian sementara, lebih dari 2 juta orang telah menempati kamp pengungsian di wilayah Chad . Jumlah itu belum termasuk pengungsi yang tersebar di daerah lain.
Bagi dunia internasional, konflik Sudan merupakan ancaman penurunan cadangan minyak dunia mengingat wilayahnya yang diperkirakan mengandung 600 juta-1 miliar barrel cadangan minyak mentah.
1.5 Metodologi Penelitian
Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.5.1 Metode Pengumpulan Data
1.5.2 Metode Analisa Data
1.5.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dari penelitian yang penulis lakukan adalah studi literatur atau studi kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan oleh penulis di beberapa lembaha serta media sebagai berikut :
a. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
b. Perpustakaan Pusat Universitas Jember
c. Jurnal-jurnal internasional
d. Surat kabar dan media cetak
e. Situs-situs di internet
1.5.2 Metode Analisa Data
Untuk mendapatkan gambaran, penjelasan serta kesimpulan yang baik, penulis menggunakan cara berpikir deskriptif analisis, yaitu penulis menggambarkan fenomena-fenomena serta data-data yang ada dan menganalisanya berdasarkan teori yang dipergunakannya.
Daftar Pustaka
Buku
Brown, Michael. 1997. Nationaslim and Ethnic Conflict. London : MIT Press
Dagne, Ted. 2005. Sudan : Humanitarian Crisis, Peace Talks,Terrorism, and U.S. Policy.pdf.
Congressional Research Service-The Library of Congress.
Horowitz, Donald. 1986. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley : University of California Press
Lijphart, Arend. 1990. Conflict and Peacemaking in Multiethnic Societies. Lexington
Lexington Books
Morrison, Dr. J. Stephen. 2002. Implementing U.S. Policy in Sudan.pdf. Washinton DC :
CSIS
Morrison, Dr. J. Stephen. 2001. Introduction : The CSIS Task Force on U.S, Sudan
Policy.pdf. Washinton DC : CSIS
Short, J.R. 1993. An Introduction to Political Geography. London : Routledge
Skorupski, Sarah 2004. Sudan’s Energy Sector : Implementing the Wealth Sharing
Agreement.pdf. Washinton DC : CSIS
Smith, A.D. 1985. The Ethnic Origins of Nations. London : Basil Blackwell
Swilla, Nelly. The Threat of International Sanctions on Sudan’s Oil Sector.pdf. Washinton
DC : CSIS
Tuathail, Gearóid Ó and Dalby, Simon (eds). 2008. Rethinking Geopolitics. London :
Routledge
Situs Internet
http://antaranews.com/berita/1266786468/militer-sudan-pemberontak-darfur-bentrok
http://caireu-mediasipontianak.com/main.php?op=informasi&sub-informasi=1&mode=
detail&id=27&lang=id
http://dw-world.de/dw/article/0,,3287551,00.html
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/konflik-darfur-adalah-kesalahan-amerika-kristen
dan-yahudi-t32029/
http://kopiitudashat.wordpress.com/2009/06/12/krisis-sudan-konflik-etnis-yang-diboncengi
kepentingan-asing/
http://rezaantonius.wordpress.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama
michael-e-brown/
http://swaramuslim.com/berita/more.php?id=A5543_0_12_0_M
1. Latar Belakang
Awalnya konflik di Darfur, Sudan merupakan konflik etnis dengan lingkup internal saja. Konflik tersebut bermula dari ketidakadilan perlakuan pemerintahan Sudan terhadap penduduk Selatan. Seperti yang diketahui wilayah Utara Sudan adalah mayoritas berpenduduk Islam sedangkan wilayah Selatan mayoritas berpenduduk Kristen. Konflik tersebut semakin panas dengan dipicu pula oleh perbedaan ras, di mana wilayah Utara adalah ras Arab dan wilayah selatan adalah ras Afrika (Negro).
Namun konflik Sudan tersebut saat ini sudah berubah arah dari dasar latar belakang munculnya konfik tersebut. Itu dikarenakan adanya intervensi asing yang ikut berkecimpung di dalam konflik tersebut. Seperti yang diketahui di wilayah Sudan Selatan terdapat sumber daya alam berupa minyak, gas, dan uranium. Inilah yang membuat pihak asing, khususnya Negara-negara Barat (AS dan Inggris) dan China ikut campur tangan dalam konflik Sudan tersebut. Pihak asing tersebutlah yang membuat konflik etnis tersebut tak kunjung usai. Di sini, terjadi keadaan di mana etnis dijadikan sebuah instrument untuk mencapai kepentingan asing. Boleh dikatakan konflik Sudan adalah konflik etnis yang dipolitisi atau konflik etnis yang diboncengi kepentingan asing.
Darfur merupakan kawasan yang kaya sumber minyak, uranium dan gas. Persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras dan ikut campur terhadap Sudan . Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Darfur telah memberikan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan China. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak China. Sementara itu, AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kakayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu, sehingga konflik di Darfur sebenarnya dipicu persaingan antara AS, Eropa dan China untuk memperebutkan minyak Darfur. Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan, menurut sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan China dan Amerika merebut minyak Sudan.
Konflik Sudan saat ini sudan berubah arah menjadi konflik politik yang menyeramkan. Lebih dari 180.000-300.000 orang telah tewas, dan sekitar 2,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumahnya sejak terjadi pemberontakan kelompok bersenjata, Februari 2003. Gangguan keamanan ini menyebabkan pemerintahan di Sudan tidak berjalan stabil. Tak heran jika PBB menobatkan Sudan merupakan konflik terparah di dunia. Sesuai dengan istilah trickle down effect, maka dampak konflik Sudan tersebut juga akan menetes dan mempengaruhi keamanan Negara-negara sekitarnya, kawasan regional Afrika dan juga keamanan internasional pula.
Berdasarkan latar belakang, maka penulis akan mengkajinya dalam skripsi ini dengan judul “DAMPAK KONFLIK ETNIS DI DARFUR (SUDAN) TERHADAP KEAMANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL”
1.1 Ruang Lingkup Pembahasan
Di dalam penulisan sebuah karya ilmiah, perlu kiranya diketengahkan batasan ataupun ruang lingkup pembahasan, agar penyelesaian masalah menjadi lebih terarah, spesifik, dan tidak terjadi pembiasan ataupun penyimpangan dari inti permasalahan
Berdasarkan hal tersebut penulis mencoba membatasi ruang lingkup pembahasan dan membaginya ke dalam dua kategori, yaitu :
1.1.1 Batasan Materi
1.1.2 Batasan Waktu
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi ruang lingkup utama dalam tulisan ini adalah mengapa konflik di Darfur, Sudan bisa menjadi ancaman bagi keamanan regional dan internasional. Bahkan di sini, Negara-negara sekitar Sudan mengalami ketidakstabilan karena tetesan efek konflik Sudan tersebut. Oleh karena itu, penulis memberikan batasan-batasan untuk memperjelas fokus perhatian penulisan skripsi ini
1.1.1 Batasan Materi
Materi yang dibahas dalam tulisan ini terfokus pada dampak konflik di Sudang terhadap keamanan Negara-negara sekitar Sudan (regional) dan internasional. Konflik di Sudan membuat kekacauan dan ketidakstabilan Negara sekitar seperti : Libya, Chad, Mesir, Uganda, dan Negara sekitarnya. Gelombang penduduk yang mengungsi di Negara sekitar Sudan membuat pemerintahan Chad harus menampung penduduk sekitar 2 juta jiwa. Selain itu, Chad juga dijadikan kawasan lalu lintas perdagangan senjata dan lalu lintas terorisme di Darfur. Untuk keamanan internasional, konflik Darfur, Sudan menambah daftar konflik di dunia. Konflik tersebut semakin menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari perdamaian seperti yang diharapkan para liberalis. Keamanan internasional secara tidak langsung akan terancam dengan adanya konflik Sudan tersebut karena konflik tersebut semata-mata tidak hanya konflik internal tapi di sini sudah terdapat apa yang dikatakan proximate war atau war by proxy. Maksudnya, sudah terdapat campur tangan Negara lain (asing) baik yang membantun pemerintahan Sudan dalam mengatasi konflik dengan ras negro maupun pihak yang membantu para pemberontak negro untuk melawan pemerintah Utara.
1.1.2 Batasan Waktu
Tulisan ini hanya terfokus pada tahun 2003 hingga bulan Februari 2010 tepatnya pada saat terjadinya pemberontakan brutal yang menewaskan hampir 200.000 jiwa tewas pada bulan Februari 2003. Konflik Sudan mengalami pasang surut hingga akhirnya pada tanggal 23 Februari 2010, Presiden Sudan, Omar al-Beshir menyatakan bahwa konflik Darfur telah berakhir dan mengatakan bahwa 57 anggota kelompok pemberontak utama, 50 diantaranya berada dalam daftar hukuman mati, telah dibebaskan. Di ibukota negara bagian Darfur Utara, pemerintah Sudan dan pemberontak Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani perjanjian gencatan senjata dan sepakat bekerja untuk mencapai sebuah perjanjian perdamaian penuh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tulisan ini berkonsentrasi pada permasalah : apa dampak konflik di Darfur, Sudan terhadap keamanan regional dan internasional?
1.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang digunakan oleh penulis untuk menjelaskan fenomena-fenomena dari permasalah yang diangkat adalah teori konflik etnis. Menurut pendapat Michael E. Brown
“Konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan
mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara
dua komunitas etnis atau lebih“
Konflik etnis juga, menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi batas-batas negara. Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.
Di dalam tulisannya, Brown mengajukan dua level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…”. Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini”. Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
1.4 Argumen Utama
Konflik etnis di Sudan telah membuat efek tetesan (trickle down effect) ke Negara-negara sekitar Sudan Krisis Sudan telah mempengaruhi keamanan wilayah tetangganya, baik langsung maupun tak langsung. Saat konflik berlangsung, gerakan para pemberontak juga mengancam keamanan daerah perbatasan seperti Kenya, Mesir, Ethiopia, Uganda, Chad dan Libya serta menjadikan daerah-daerah itu rawan serangan teroris dan perdagangan senjata ilegal. Selain menimbulkan masalah keamanan, pengungsi Sudan juga memunculkan masalah baru bagi negara yang menjadi kamp pengungsian sementara, lebih dari 2 juta orang telah menempati kamp pengungsian di wilayah Chad . Jumlah itu belum termasuk pengungsi yang tersebar di daerah lain.
Bagi dunia internasional, konflik Sudan merupakan ancaman penurunan cadangan minyak dunia mengingat wilayahnya yang diperkirakan mengandung 600 juta-1 miliar barrel cadangan minyak mentah.
1.5 Metodologi Penelitian
Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.5.1 Metode Pengumpulan Data
1.5.2 Metode Analisa Data
1.5.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dari penelitian yang penulis lakukan adalah studi literatur atau studi kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan oleh penulis di beberapa lembaha serta media sebagai berikut :
a. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
b. Perpustakaan Pusat Universitas Jember
c. Jurnal-jurnal internasional
d. Surat kabar dan media cetak
e. Situs-situs di internet
1.5.2 Metode Analisa Data
Untuk mendapatkan gambaran, penjelasan serta kesimpulan yang baik, penulis menggunakan cara berpikir deskriptif analisis, yaitu penulis menggambarkan fenomena-fenomena serta data-data yang ada dan menganalisanya berdasarkan teori yang dipergunakannya.
Daftar Pustaka
Buku
Brown, Michael. 1997. Nationaslim and Ethnic Conflict. London : MIT Press
Dagne, Ted. 2005. Sudan : Humanitarian Crisis, Peace Talks,Terrorism, and U.S. Policy.pdf.
Congressional Research Service-The Library of Congress.
Horowitz, Donald. 1986. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley : University of California Press
Lijphart, Arend. 1990. Conflict and Peacemaking in Multiethnic Societies. Lexington
Lexington Books
Morrison, Dr. J. Stephen. 2002. Implementing U.S. Policy in Sudan.pdf. Washinton DC :
CSIS
Morrison, Dr. J. Stephen. 2001. Introduction : The CSIS Task Force on U.S, Sudan
Policy.pdf. Washinton DC : CSIS
Short, J.R. 1993. An Introduction to Political Geography. London : Routledge
Skorupski, Sarah 2004. Sudan’s Energy Sector : Implementing the Wealth Sharing
Agreement.pdf. Washinton DC : CSIS
Smith, A.D. 1985. The Ethnic Origins of Nations. London : Basil Blackwell
Swilla, Nelly. The Threat of International Sanctions on Sudan’s Oil Sector.pdf. Washinton
DC : CSIS
Tuathail, Gearóid Ó and Dalby, Simon (eds). 2008. Rethinking Geopolitics. London :
Routledge
Situs Internet
http://antaranews.com/berita/1266786468/militer-sudan-pemberontak-darfur-bentrok
http://caireu-mediasipontianak.com/main.php?op=informasi&sub-informasi=1&mode=
detail&id=27&lang=id
http://dw-world.de/dw/article/0,,3287551,00.html
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/konflik-darfur-adalah-kesalahan-amerika-kristen
dan-yahudi-t32029/
http://kopiitudashat.wordpress.com/2009/06/12/krisis-sudan-konflik-etnis-yang-diboncengi
kepentingan-asing/
http://rezaantonius.wordpress.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama
michael-e-brown/
http://swaramuslim.com/berita/more.php?id=A5543_0_12_0_M
Konflik Etnis Sudan : Konflik Yang Dipolitisasi
By : Triono Akhmad Munib
1. Underlying Factor
Awalnya konflik di Darfur sudang merupakan konflik etnis dengan lingkup internal saja. Konflik tersebut bermula dari ketidakadilan perlakuan pemerintahan Sudan terhadap penduduk Selatan. Seperti yang diketahui wilayah Utara Sudan adalah mayoritas berpenduduk Islam sedangkan wilayah Selatan mayoritas berpenduduk Kristen. Konflik tersebut semakin panas dengan dipicu pula oleh perbedaan ras, di mana wilayah Utara adalah ras Arab dan wilayah selatan adalah ras Afrika (Negro).
Namun konflik Sudan tersebut saat ini sudah berubah arah dari dasar latar belakang munculnya konfik tersebut. Itu dikarenakan adanya intervensi asing yang ikut berkecimpung di dalam konflik tersebut. Seperti yang diketahui di wilayah Sudan Selatan terdapat sumber daya alam berupa minyak, gas, dan uranium. Inilah yang membuat pihak asing, khususnya Negara-negara Barat (AS dan Inggris) dan China ikut campur tangan dalam konflik Sudan tersebut. Pihak asing tersebutlah yang membuat konflik etnis tersebut tak kunjung usai. Di sini, terjadi keadaan di mana etnis dijadikan sebuah instrument untuk mencapai kepentingan asing. Boleh dikatakan konflik Sudan adalah konflik etnis yang dipolitisi atau konflik etnis yang diboncengi kepentingan asing.
Darfur merupakan kawasan yang kaya sumber minyak, uranium dan gas. Persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras dan ikut campur terhadap Sudan . Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Darfur telah memberikan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan China. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak China. Sementara itu, AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kakayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu, sehingga konflik di Darfur sebenarnya dipicu persaingan antara AS, Eropa dan China untuk memperebutkan minyak Darfur. Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan, menurut sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan China dan Amerika merebut minyak Sudan.
Konflik Sudan saat ini sudan berubah arah menjadi konflik politik yang menyeramkan. Lebih dari 180.000-300.000 orang telah tewas, dan sekitar 2,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumahnya sejak terjadi pemberontakan kelompok bersenjata, Februari 2003. Gangguan keamanan ini menyebabkan pemerintahan di Sudan tidak berjalan stabil. Tak heran jika PBB menobatkan Sudan merupakan konflik terparah di dunia.
2. Foreign Interest in Sudan
Konflik etnis yang terjadi di Darfur, Sudan sudah mengalami perubahan arah dari penyebab konflik utama, yaitu ketidakadilan perlakuan pemerintah Utara terhadap etnis negro dan umat Kristen di wilayah Selatan. Di sini, konflik tersebut sudah mengalami proses politisasi oleh pihak-pihak asing yang berkepentingan. Bisa dikatakan “Sudan is war by proxy”. Maksudnya, konflik Sudan saat ini tidak bisa dipandang semata-mata hanyak murni konflik internal antara pemerintah dan rakyatnya melainkan sudah terdapat campur tangan pihak asing yang menjadi proxy baik yang membantu pemberontak di Darfur maupun yang pro-pemerintah. Secara geografis Sudan memang daerah yang kaya akan cadangan minyak, gas dan uranium. Potensi-potensi Sudan antara lain :
a. Sudan adalah negara yang terluas di benua Afrika dan wilayah tersubur di kawasan negara Arab. Hal ini memungkinkan adanya pemberdayaan sumber daya alam yang lebih dibanding negara-negara lainnya
b. Negara Sudan yang saat ini dianggap miskin dan terbelakang, ternyata menyimpan kekayaan alam yang melimpah, seperti adanya kandungan minyak di bagian selatan dan kandungan uranium di bagian barat. Kekayaan yang dapat membawa Sudan menjadi negara kaya dan potensial. Sudan juga masih menyimpan cadangan minyak bumi sebanyak 631,5 juta barel dan 99,11 milyar meter kubik gas alam yang belum tereksploitasi, serta cadangan biji besi dan tembaga dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Saat ini, produksi minyak mentahnya sekitar 500.000 barel per hari.
c. Sudan berada di posisi strategis lalu lintas perairan Laut Merah. Sebuah posisi yang menguntungkan untuk menguasai perikanan hingga ke jantung Afrika.
d. Sudan adalah penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir. Sudan sebenarnya adalah negara subur dengan dua aliran anak sungai Nil yang memberi berkah pertanian yang menjadi pilar utama perekonomian negara.
Dari potensi-potensi di ataslah yang membuat Negara-negara yang berkepentingan, khusunya Negara Barat (AS dan Inggris) dan China ikut turut mempolitisir konflik tersebut. Di sini, persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras dan ikut campur terhadap Sudan . Realitas di Darfur hakikatnya adalah pertarungan pengaruh antara Eropa dan AS di kawasan itu. Masalah itu awalnya adalah pergolakan biasa antara tuan tanah dan petani penggarap. Hal itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Masalah itu juga merupakan warisan imperialis. Dengan pandangan bahwa seandainya kekayaan Darfur dikelola dengan baik, maka tidak akan muncul masalah itu. Sebab, Darfur memiliki kekayaan, memiliki air, tanah, dan kekayaan lainnya yang mencukupi untuk membiayai seluruh Afrika dan bukan hanya Darfur saja. Akan tetapi, pengelolaan yang buruk oleh penguasa sejak masa penjajahan sampai sekarang menyebabkan terjadinya masalah dan perpecahan antara pemilik tanah dan penggarap
3. The Effect of Sudan Conflict for Regional and International Security
Konflik etnis di Sudan telah membuat efek tetesan (trickle down effect) ke Negara-negara sekitar Sudan Krisis Sudan telah mempengaruhi keamanan wilayah tetangganya, baik langsung maupun tak langsung. Saat konflik berlangsung, gerakan para pemberontak juga mengancam keamanan daerah perbatasan seperti Kenya, Mesir, Ethiopia, Uganda, Chad dan Libya serta menjadikan daerah-daerah itu rawan serangan teroris dan perdagangan senjata ilegal. Selain menimbulkan masalah keamanan, pengungsi Sudan juga memunculkan masalah baru bagi negara yang menjadi kamp pengungsian sementara, lebih dari 2 juta orang telah menempati kamp pengungsian di wilayah Chad . Jumlah itu belum termasuk pengungsi yang tersebar di daerah lain.
Bagi dunia internasional, konflik Sudan merupakan ancaman penurunan cadangan minyak dunia mengingat wilayahnya yang diperkirakan mengandung 600 juta-1 miliar barrel cadangan minyak mentah .
4. The Ending of the Sudan Conflict
Konflik yang berlangsung selama tujuh tahun (2003-2010) akhirnya bisa diselesaikan. Menurut Presiden Sudan, Omar al-Beshir bahwa 57 anggota kelompok pemberontak utama, 50 diantaranya berada dalam daftar hukuman mati, telah dibebaskan. Di ibukota negara bagian Darfur Utara, pemerintah Sudan dan pemberontak Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani perjanjian gencatan senjata dan sepakat bekerja untuk mencapai sebuah perjanjian perdamaian penuh .
5. Conclusion
Seperti dengan apa yang dibahas di atas, kami selakuk penulis menyimpulkan bahwa :
a. Konflik di Darfur, Sudan tidak bisa hanya dipandang sebagai konflik yang murni internal, yaitu perang antara pemerintah dan rakyatnya;
b. Intervensi asing membuat perubahan arah konflik menjadi konflik yang terpolitisasi;
c. Alasan pertama dan yang paling utama ikutnya pihak asing dalam konflik Sudan adalah lagi-lagi masalah ekonomi, yaitu ingin menguasasi sumber daya minyak, gas, dan uranium;
d. Walaupun menurut Presiden Sudan, Omar al-Beshir menyatakan bahwa pemerintah Sudan telah menandatangi kesepakatan dengan The Justice and Equality Movement (JEM), kami sebagai penulis memandang bahwa konflik etnis tersebut masih bisa terjadi lagi jika pemerintah melanggar poin dari kesepakatan tersebut;
e. Wilayah Darfur masih mejadi momok bahaya laten.
1. Underlying Factor
Awalnya konflik di Darfur sudang merupakan konflik etnis dengan lingkup internal saja. Konflik tersebut bermula dari ketidakadilan perlakuan pemerintahan Sudan terhadap penduduk Selatan. Seperti yang diketahui wilayah Utara Sudan adalah mayoritas berpenduduk Islam sedangkan wilayah Selatan mayoritas berpenduduk Kristen. Konflik tersebut semakin panas dengan dipicu pula oleh perbedaan ras, di mana wilayah Utara adalah ras Arab dan wilayah selatan adalah ras Afrika (Negro).
Namun konflik Sudan tersebut saat ini sudah berubah arah dari dasar latar belakang munculnya konfik tersebut. Itu dikarenakan adanya intervensi asing yang ikut berkecimpung di dalam konflik tersebut. Seperti yang diketahui di wilayah Sudan Selatan terdapat sumber daya alam berupa minyak, gas, dan uranium. Inilah yang membuat pihak asing, khususnya Negara-negara Barat (AS dan Inggris) dan China ikut campur tangan dalam konflik Sudan tersebut. Pihak asing tersebutlah yang membuat konflik etnis tersebut tak kunjung usai. Di sini, terjadi keadaan di mana etnis dijadikan sebuah instrument untuk mencapai kepentingan asing. Boleh dikatakan konflik Sudan adalah konflik etnis yang dipolitisi atau konflik etnis yang diboncengi kepentingan asing.
Darfur merupakan kawasan yang kaya sumber minyak, uranium dan gas. Persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras dan ikut campur terhadap Sudan . Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Darfur telah memberikan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan China. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak China. Sementara itu, AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kakayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu, sehingga konflik di Darfur sebenarnya dipicu persaingan antara AS, Eropa dan China untuk memperebutkan minyak Darfur. Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan, menurut sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan China dan Amerika merebut minyak Sudan.
Konflik Sudan saat ini sudan berubah arah menjadi konflik politik yang menyeramkan. Lebih dari 180.000-300.000 orang telah tewas, dan sekitar 2,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumahnya sejak terjadi pemberontakan kelompok bersenjata, Februari 2003. Gangguan keamanan ini menyebabkan pemerintahan di Sudan tidak berjalan stabil. Tak heran jika PBB menobatkan Sudan merupakan konflik terparah di dunia.
2. Foreign Interest in Sudan
Konflik etnis yang terjadi di Darfur, Sudan sudah mengalami perubahan arah dari penyebab konflik utama, yaitu ketidakadilan perlakuan pemerintah Utara terhadap etnis negro dan umat Kristen di wilayah Selatan. Di sini, konflik tersebut sudah mengalami proses politisasi oleh pihak-pihak asing yang berkepentingan. Bisa dikatakan “Sudan is war by proxy”. Maksudnya, konflik Sudan saat ini tidak bisa dipandang semata-mata hanyak murni konflik internal antara pemerintah dan rakyatnya melainkan sudah terdapat campur tangan pihak asing yang menjadi proxy baik yang membantu pemberontak di Darfur maupun yang pro-pemerintah. Secara geografis Sudan memang daerah yang kaya akan cadangan minyak, gas dan uranium. Potensi-potensi Sudan antara lain :
a. Sudan adalah negara yang terluas di benua Afrika dan wilayah tersubur di kawasan negara Arab. Hal ini memungkinkan adanya pemberdayaan sumber daya alam yang lebih dibanding negara-negara lainnya
b. Negara Sudan yang saat ini dianggap miskin dan terbelakang, ternyata menyimpan kekayaan alam yang melimpah, seperti adanya kandungan minyak di bagian selatan dan kandungan uranium di bagian barat. Kekayaan yang dapat membawa Sudan menjadi negara kaya dan potensial. Sudan juga masih menyimpan cadangan minyak bumi sebanyak 631,5 juta barel dan 99,11 milyar meter kubik gas alam yang belum tereksploitasi, serta cadangan biji besi dan tembaga dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Saat ini, produksi minyak mentahnya sekitar 500.000 barel per hari.
c. Sudan berada di posisi strategis lalu lintas perairan Laut Merah. Sebuah posisi yang menguntungkan untuk menguasai perikanan hingga ke jantung Afrika.
d. Sudan adalah penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir. Sudan sebenarnya adalah negara subur dengan dua aliran anak sungai Nil yang memberi berkah pertanian yang menjadi pilar utama perekonomian negara.
Dari potensi-potensi di ataslah yang membuat Negara-negara yang berkepentingan, khusunya Negara Barat (AS dan Inggris) dan China ikut turut mempolitisir konflik tersebut. Di sini, persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras dan ikut campur terhadap Sudan . Realitas di Darfur hakikatnya adalah pertarungan pengaruh antara Eropa dan AS di kawasan itu. Masalah itu awalnya adalah pergolakan biasa antara tuan tanah dan petani penggarap. Hal itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Masalah itu juga merupakan warisan imperialis. Dengan pandangan bahwa seandainya kekayaan Darfur dikelola dengan baik, maka tidak akan muncul masalah itu. Sebab, Darfur memiliki kekayaan, memiliki air, tanah, dan kekayaan lainnya yang mencukupi untuk membiayai seluruh Afrika dan bukan hanya Darfur saja. Akan tetapi, pengelolaan yang buruk oleh penguasa sejak masa penjajahan sampai sekarang menyebabkan terjadinya masalah dan perpecahan antara pemilik tanah dan penggarap
3. The Effect of Sudan Conflict for Regional and International Security
Konflik etnis di Sudan telah membuat efek tetesan (trickle down effect) ke Negara-negara sekitar Sudan Krisis Sudan telah mempengaruhi keamanan wilayah tetangganya, baik langsung maupun tak langsung. Saat konflik berlangsung, gerakan para pemberontak juga mengancam keamanan daerah perbatasan seperti Kenya, Mesir, Ethiopia, Uganda, Chad dan Libya serta menjadikan daerah-daerah itu rawan serangan teroris dan perdagangan senjata ilegal. Selain menimbulkan masalah keamanan, pengungsi Sudan juga memunculkan masalah baru bagi negara yang menjadi kamp pengungsian sementara, lebih dari 2 juta orang telah menempati kamp pengungsian di wilayah Chad . Jumlah itu belum termasuk pengungsi yang tersebar di daerah lain.
Bagi dunia internasional, konflik Sudan merupakan ancaman penurunan cadangan minyak dunia mengingat wilayahnya yang diperkirakan mengandung 600 juta-1 miliar barrel cadangan minyak mentah .
4. The Ending of the Sudan Conflict
Konflik yang berlangsung selama tujuh tahun (2003-2010) akhirnya bisa diselesaikan. Menurut Presiden Sudan, Omar al-Beshir bahwa 57 anggota kelompok pemberontak utama, 50 diantaranya berada dalam daftar hukuman mati, telah dibebaskan. Di ibukota negara bagian Darfur Utara, pemerintah Sudan dan pemberontak Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani perjanjian gencatan senjata dan sepakat bekerja untuk mencapai sebuah perjanjian perdamaian penuh .
5. Conclusion
Seperti dengan apa yang dibahas di atas, kami selakuk penulis menyimpulkan bahwa :
a. Konflik di Darfur, Sudan tidak bisa hanya dipandang sebagai konflik yang murni internal, yaitu perang antara pemerintah dan rakyatnya;
b. Intervensi asing membuat perubahan arah konflik menjadi konflik yang terpolitisasi;
c. Alasan pertama dan yang paling utama ikutnya pihak asing dalam konflik Sudan adalah lagi-lagi masalah ekonomi, yaitu ingin menguasasi sumber daya minyak, gas, dan uranium;
d. Walaupun menurut Presiden Sudan, Omar al-Beshir menyatakan bahwa pemerintah Sudan telah menandatangi kesepakatan dengan The Justice and Equality Movement (JEM), kami sebagai penulis memandang bahwa konflik etnis tersebut masih bisa terjadi lagi jika pemerintah melanggar poin dari kesepakatan tersebut;
e. Wilayah Darfur masih mejadi momok bahaya laten.
Subscribe to:
Posts (Atom)