Triono Akmad Munib
Demokrasi.
Kata tersebut saat ini telah menjadi sebuah primadona baru dalam dunia politik
dan pemerintahan di dunia. Betapa tidak, masyarakat di bumi ini sedang
mendambakan hidup di bawah pemerintahan yang demokrasi. Implementasinya, mereka
tak segan-segan menggulingkan pemimpin yang menurut mereka jauh dari makna
demokrasi. Bahkan, sebuah sistem yang sudah tertanam lama pun bisa dengan mudah
digoyangkan oleh massa. Kita lihat saja, runtuhnya rezim otoriter Mubarak di
Mesir hingga tewasnya Khadaffi yang mengenaskan. Yang rakyat inginkan seragam,
menginginkan proses demokratisasi di negaranya berjalan.
Namun,
setelah kesempatan itu terbuka lebar, tampak kebingungan dari mana dulu yang
kita harus benahi? Teringat ketika rezim Soeharto runtuh, kran kebebasan
terbuka lebar, semua dijalankan atas nama demokrasi. Pemangku jabatan
kewalahan, rakyat pun juga tak kalah paniknya. Demokrasi yang seperti apa?
Artikel ini akan membahas mengenai perlunya eksplorasi local wisdom (kearifan lokal) untuk mencapai demokrasi secara utuh.
Demokrasi
yang Multitafsir
Pengertian
demokrasis secara umum adalah bentuk
pemerintahan
politik
yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik
secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[1]
Presiden Amerika Serikat (AS), Abraham Lincoln dalam pidato
Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[2]
Gagasan utama suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu
pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.[3] Berdasarkan
gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu :[4]
1. Pengakuan partisipasi
rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga
perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya
adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi
kepentingan bersama.
Namun, dalam
perkembangannya, makna demokrasi menjadi semakin luas, berkembang, dan
multitafsir. Mengapa penulis mengatakan semakin ambigu? Karena memang,
demokrasi bias ditafsirkan secara berbeda-beda. Bahkan, negara yang jelas
tampak dari luar otoriter menganggap negaranya adalah demokrasi menurut gaya
negara itu sendiri.
Marilah kita kupas satu persatu gagasan demokrasi di atas.
Yang pertama, “pengakuan
partisipasi
rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga
perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil”. Di era Soeharto orang melihat
pemerintahannya sangat otoriter, tetapi jika kita bisa melihat jeli ke dalam
akan tampak proses demokrasi di dalamnya. Di jaman Soeharto juga mengenal
istilah pemilihan umum (pemilu). Semua proses dijalankan secara bebas,
langsung, dan rahasia (proses pemilu era Soeharto tak jauh beda dengan
sekarang, masyarakat datang ke bilik suara, bilik tertutup, dan secara
rahasia). Dewan Perwakilan Rakyat pun juga ada, terlepas dari upaya segala cara
Soeharto bersama Golkar dan kroni-kroniya untuk melanggengkan Soeharto selama
32 tahun.
Ambil contoh lain, Vietnam misalnya, di sana hanya ada satu
partai besar yaitu Partai Komunis Vietnam (PKV). Dari segi teori, satu partai
akan memudahkan jalan penyalahgunaan kekuasaan, karena tidak ada partai lain, minimal
sebagai kontrol terhadapnya. Namun, apa yang terjadi rakyat tidak keberatan,
mereka tidak enggan memberikan legitimasinya kepada PKV. Hal ini disebabkan PKV
berjasa dalam kemerdekaan Vietnam dahulu, rakyat justru tidak meniginkan
munculnya partai lain. Bahkan, PKV telah menerapkan
reformasi pasar bebas
yang dikenal sebagai Đổi Mới. Dengan kekuasaan negara yang
tetap tidak terlawankan, kepemilikan swasta atas pertanian dan
perusahaan-perusahaan, deregulasi dan investasi asing dipacu. Ekonomi Vietnam mencapai
pertumbuhan yang cepat dalam produksi bidang pertanian dan perindustrian,
konstruksi dan perumahan, ekspor dan investasi asing. Vietnam sekarang adalah
satu di antara negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Sangat demokrasi kan? Suara
terbanyak, keinginan masyarakat banyak.
Kedua, “pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya
adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi
kepentingan bersama”. Penulis akan lebih menekankan pada kalimat “kepentingan
bersama”. Kepentingan bersama juga multitafsir. Terkadang negara dihadapkan
kepada pilihan yang sangat sulit. Melindungi hak asasi manusia atau kepentingan
bersama. Misalnya, di jaman Soeharto kita mengenal istilah Petrus (penembak
misterius). Dari sisi kemanusiaan memang melanggar, menghilangkan nyawa
seseorang. Namun, masyarakat merasa hidup menjadi aman, tidak terjadi
premanisme, perampokan, dan sebagaianya. Karena mereka sudah diamankan oleh
Petrus. Lah, sekarang ini, pagi hari saja sudah terdengar kabar penjambretan,
pemerkosaan, dan sebagainya. Lalu bagaimana mencapai demokrasi secara utuh?
Demokrasi Berlandas Local Wisdom
Kearifan lokal, dari
dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau
kebijaksanaan; dan lokal (local) atau
setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian
dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian
yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan
(perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
Misalnya,
pada sebuah suku yang hidup di hutan memiliki sebuah peraturan diharamkan bagi
para anggota suku untuk menebang pohon. Karena dianggap penguasa alam akan
marah dengan mengirimkan banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya. Suku
tersebut mempercayai akan hal magis tersebut. Namun, sebagai orang di luar
suku, akan berpikiran lain, pesan yang disampaikan sungguh bijak. Menebang
pohon akan merusak keseimbangan ekosistem alam, tepatlah akan terjadi tanah
longsor dan banjir karena tidak ada penadah air (pohon) lagi.
Local
wisdom (kerarifan lokal)
mungkin tampak asing jika disandingkan apalagi diramukan dengan demokrasi.
Tetapi bukan tidak mungkin hal tersebut tidak bisa terjadi. Musayawarah mufakat
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki Indonesia. Dan
musyawarah adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Dalam sejarah perjalanan
bangsa ini, kita sebenarnya sudah mengenal demokrasi, yaitu dengan nama
musyawarah mufakat. Para founding fathers
negara ini membangun dasar negara ini dengan sistem musyawarah mufakat. Hal ini
juga tercantum dalam dasar negara kita Pancasila yang tertuang dalam sila ke-4,
yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Nilai budaya musyawarah dan mufakat
langsung berasal dari Pancasila sebagai dasar negara. Pengambilan keputusan
dengan konsensus dinilainya sebagai cara yang lebih tepat karena lebih
memungkinkan mencapai win-win solution
dalam berbagai persoalan.[5] Hal ini lah yang patut kita junjung
tinggi kedepannya. Demokrasi berlandas musyawarah mufakat. Mengingat banyaknya
suku-suku pedalam di Indonesia yang masih menjunjung tinggi musyawarah dalam
proses sosialnya. Di bawah ini, penulis menggambil studi Kombong : Bentuk Demokrasi Orang Dayak Taman.
Kombong : Bentuk Demokrasi Orang Taman
Subsuku Dayak Taman atau seringkali
juga dikenal dengan istilah orang Taman adalah salah satu subsuku Dayak yang
bermukim di hulu Sungai Kapuas, yang umumnya terdapat di Kecamatan Kedamin dan
sebagian kecil juga terdapat di Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dalam masyarakat Dayak
Taman terdapat empat strata sosial, yaitu samagat, pabiring (biasa juga disebut
bala samagat), ulun/banua, dan pangkam. Strata sosial ini lebih mirip dengan
kasta. Kasta yang paling tinggi yaitu samagat pada masa lampau selalu menjadi
pemimpin orang Taman. Sedangkan yang terendah ialah pangkam yang lebih mirip
dengan budak. Kasta pangkam tidak banyak, karena kasta ini ada jika ada tawanan
perang atau seseorang dari kasta ulun yang punya hutang dengan samagat. Yang
paling menyedihkan dari kasta ini ialah menjadi tumbal saat kasta samagat
mengadakan upacara adat toras (upacara adat ngangkat tulang).
Selain itu, masyarakat
Dayak Taman juga dikenal dengan budaya Kombong. Kombong (bagian dari tradisi
Tiio) merupakan suatu tradisi musyawarah dalam masyarakat guna mencapai
kesepakatan bersama dalam hal memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi.
Dengan kesepakatan yang ditemui diharapkan semua pihak dapat menerima
kesepakatan yang memuaskan demi kepentingan bersama. Namun tradisi kombong
bukan hanya untuk memecahkan masalah yang besar saja, tetapi juga menyangkut
masalah-masalah kecil yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sistem kombong hampir mirip dengan sistem musyawarah yang
pada saat sekarang ini. Di mana pada musyawarah yang berlangsung (forum diminta
hadir) diminta pendapatnya secara terbuka terhadap permasalahan yang ada,
sehingga semua yang hadir merasa bebas tanpa ketakutan mengutarakan pendapatnya
pada forum. Hasil dari pendapat yang diutarakan forum dirangkum oleh seorang
pemangku adat dan temenggung, oleh pemangku adat dan temenggung, hasil
keputusan tersebut haruslah dipatuhi dan ditaati, baik oleh peserta yang hadir
maupun oleh masyarakat adat di lingkungan hukum adat itu berlaku.
Selain untuk mencari keputusan bersama maka kombong juga
dilakukan guna memecahkan perkara yang seadil-adilnya. Apabila nantinya hasil
keputusan dari kombong tersebut ternyata tidak memuaskan kedua belah pihak yang
bersengketa, maka ditempuh penetapan adat secara spiritual. Penetapan adat ini
antara lain:
1. Silam Ae’
Suatu
pemutusan adat secara spiritual yang diiringi dengan doa-doa di mana kedua
belah pihak yang beperkara haruslah menyelam ke dalam air. Untuk itu, bagi yang
lebih dahulu timbul ke permukaan maka ia termasuk pihak yang kalah. Sedangkan
pihak yang benar atau menang adalah pihak yang lebih lama menyelam. Menurut
kepercayaan yang berlangsung orang yang benar akan dibantu oleh orang Pendanum
(orang yang tinggal di bawah air).
2. Salab Batu
Salab
batu adalah suatu bentuk pemutusan perkara dengan cara kedua belah pihak yang
beperkara mengambil batu untuk direbus ke dalam air panas. Pemenang perkara
tersebut yaitu apabila orang yang beperkara tersebut berhasil mengambil batu
tersebut tanpa merasa panas dan melepuh, demikian pula sebaliknya, yang kalah
apabila ia dalam upaya mengambil batu tersebut merasakan panas dan tangannya
melepuh.
3. Surat
Intaron Manuk
Surat
Intaron Manuk yaitu suatu pemecahan perkara dengan cara telur ayam diukir
dengan ukiran tertentu. Dengan cara ini mudah diketahui siapa yang salah dan
siapa yang benar.
Selain dalam hal mengambil keputusan tradisi kombong juga
memiliki cara dalam upaya menempuh kebenaran. Cara yang dilakukan yaitu
melakukan sumpah adat. Sumpah adat yang biasa dilakukan dalam kombong yaitu:
1. Sumpah
Suar Baro
Sumpah
Suar Baro yaitu pelaksanaan sumpah adat dengan cara meminum air yang lebih
dahulu direndam taring harimau. Diyakini masyarakat apabila salah seorang
melanggar sumpah tersebut maka seseorang akan mati oleh Baro atau harimau
jadi-jadian.
2. Sumpah
Polo Bawi
Pelaksanaan
sumpah dengan cara memotong babi. Sumpah ini biasanya dilakukan untuk upacara
melepas balu (berkabung).
3. Sumpah
Polo Asu
Sumpah
Polo Asu yaitu pelaksanaan sumpah dengan cara memotong anjing. Sumpah ini
biasanya dilakukan untuk perdamaian suatu sengketa permusuhan.
Kesimpulan
Dari contoh budaya Kombong oleh masyarakat Dayak dalam hal pengambilan
keputusan dan sumpah yang dilaksanakan menunjukkan bahwa sistem pengambilan
keputusan bukanlah suatu sistem otoriter dari seorang penguasa, melainkan suatu
sistem demokratis. Dalam sistem demokratis ini kepala kampung dan tetua adat
dari masing-masing kampung mewakili masyarakat adanya dalam hal mengambil
keputusan. Di sini terlihat juga bahwa masyarakat suku Dayak Taman sejak dahulu
kala telah mengenal sistem demokrasi (seperti yang kita kenal sekarang) dengan
cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan sistem musyawarah ini menandakan
pula bahwa pola pikir masyarakat tentang hukum adat yang ada dan yang tertuang
pada sistem dan tata cara adat istiadat itu sebenarnya sangatlah tinggi. Selain
itu, sistem yang ada juga menunjukkan tatanan nilai yang luhur dan asri
sehingga mereka dapat menciptakan situasi kehidupan yang aman dan damai demi kelangsungan
hidup di rumah-rumah panjang mereka.
Penutup
Sebagai negara yang memiliki banyak
budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang beragam, hendaknya demokrasi yang
kita terapkan patut melihat latar belakang budaya kita. Patut pula kita
mengkombinasikan bukan malah menmbumi hanguskan dan menerapkan sebuah sistem
baru. Perlu diingat bahwa sebuah nilai local
wisdom tertanam jauh lebih lama dalam kehidupan sebuah masyarakat, suku,
maupun komunitas. Tidak mudah mengganti sebuah pola pikir. Tidak mudah
mengganti dari makan nasi ke jagung.
[1]“Democracy Conference”. http://www.innertemple.org.uk/index.php?option=com_content&view=article&id=250&Itemid=198
[2]Lansford,
Tom. 2007. Democracy : Political Systems of the World. Marshall
Cavendish
[3]"Pendidikan
Kewarganegaraan". Yudhistira Ghalia Indonesia
[4]Ibid
[5]Damanik, Caroline. 2011. Budaya Musyawarah Mufakat Makin Luntur. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/18/13170468/Budaya.Musyawarah.Mufakat.Makin.Luntur
[diakses pada 17 Oktober 2012]
No comments:
Post a Comment