Friday, 23 September 2011

The Middle East Revolution : What the Citizen Wants?

by : Triono Akmad Munib

Gejolak politik abad 21 yang sedang terjadi di Timur Tengah turut memberikan warna perpolitikan dunia kontomporer. Gerakan massif oleh massa berbuntut pada jatuhnya rezim-rezim penguasa Tunisia, Mesir, Yaman hingga Libya. Berbagai upaya dilakukan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, seperti memberikan tawaran perubahan undang-undang seperti yang dilakukan Ben Ali di Tunisia atau menjanjikan perbaikan ekonomi dan kesetaraan kesempatan kerja seperti yang digadang Mubarak di Mesir tak kunjung membuat semangat para demonstran surut dan mau menerima tawaran penguasa. Tampaknya, rakyat sudah merasa bosan dengan kehidupan yang selama ini mereka jalani dinegaranya. Hidup di bawah rezim yang represif, koruptor, tidak adil selama berpuluh-puluh tahun. Aksi gerakan massa tersebut merupakan sebuah akumulasi dari kekecewaan yang dirasakan rakyat selama bertahun-tahun. Isu demokrasi dan kebebasan oleh para aksi jalanan tak ayal hanya sebuah pemantik layaknya pemantik korek api. Faktor pertama dan yang paling utama penyebab dari bergejolaknya perpolitikan di Timur Tengah (Tunisia hingga Libya) adalah kesenjangan ekonomi.
Jika dilihat revolusi yang berawal di Tunisia untuk menggulingkan pimpinan otoriter Ben Ali yang telah berkuasa selama 24 tahun. Pada awalnya hanya dipicu oleh seorang pedagang sayur yang bernama Mohamed Bouazizi, yang melakukan protes dengan membakar diri karena polisi menyita gerobak dagangannya. Sontak aksi heroik tersebut mendapatkan solidaritas yang meluas. Efek domino pun terjadi, dengan dibantu semakin canggihnya teknologi komunikasi. Melalui jejaring sosial, facebook dan twitter, pertukaran informasi pun terjadi antara negara-negara di Timur Tengah. Keberhasilan demonstran meruntuhkan Ben Ali telah mengilhami aksi jalanan di Mesir. Seperti apa yang dilontarkan salah satu pendemo di Mesir di bawah ini :
“Saya sudah muak dengan negeri ini, semuanya rusak, pengangguran, kemisikinan makin tak ada jawabnya. Pemerintah tidak peka, malah enak berpesta ria”

Rakyat merasa keterpurukan ekonomi, meningkatnya pengangguran akibat rezim yang berkuasa memperkaya diri dan koleganya. Rezim tak peduli dengan rakyat. Di saat rakyat sulit mencari makan, pekerjaan, di sisi lain penguasa malah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Misalnya, vila-vila mewah milik Khadafi dan anaknya yang barusan sempat terungkap di media.
REVOLUSI BEREFEK! Seperti apa yang ditulis kolumnis Abdelrahman ar-Rashed dalam surat kabar Asy-Syarq al-Ausat sesaat setelah Ben Ali mundur, “segala apa yang menghalangi protes dan pembangkangan sipil hanyalah penghalang psikologis”. Rakyat sudah (di) miskin (kan) akibat rezim-rezim yang korup, mengambil kekayaan negara untuk mereka sendiri, dan belakangan sistem ekonomi yang dijalankan menyebabkan krisis sehingga kemiskinan meningkat, misalnya kenaikan harga bahan pokok.[1]
Faktor ekonomi yang kemudian merembet menuntut perubahan politik, kebebasan tampak menjadi suatu hal yang sedang diinginkan oleh negara-negara Timur Tengah saat ini. Timbul pertanyaan, lalu, as the effort to make a good and strong state to reach the stability, what is the first thing that we (government) to change?

What is the First : Economic or Politic?
Pertanyaan di atas menjadi menarik, karena menjadi sebuah perdebatan. Banyak pengamat lebih memilih untuk mengkonsolidasikan perekonomian daripada politik. Karena ketika rakyat hidup makmur, harga bahan pokok murah, mudah mendapat akses pekerjaan, akses pendidikan murah akan bisa meminimalisasi gerakan-gerakan massa. Mereka beranggapan bahwa ketika rakyat kenyang akan lebih enggan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dirinya, termasuk demonstrasi yang akan memakan biaya, tenaga, dan waktu. Sehingga implementasinya, rakyat tidak terlalu mempedulikan siapa yang rezim yang berkuasa dan seperti apa sistem pemerintahan. Contohnya, Singapura dan Malaysia adalah negara dengan indeks pendapatan yang cukup tinggi. Rakyat merasa puas dengan kinerja pemerintahan selama ini. Mereka pun tidak peduli dengan rezim yang semi otoriter yang dijalankan oleh kedua negaranya.
Namun, hal di atas pun dibantah oleh orang-orang yang pro kebebasan. Suatu contoh di China. Memang dari segi perekonomian China merupakan negara yang patut diperhitungkan, bahkan oleh negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Banyak pengamat ekonomi dan politik yang memprediksi bahwa China will be the new power around the world besides the U.S. Namun, demikian kemakmuran ekonomi yang dirasakan oleh rakyat China juga tak cukup meredam aksi rakyat untuk menuntut perubahan politik rezim berkuasa yang represif, koersif, dan otoriter. Aksi jalanan masih kerap terjadi di China, mereka menutut perubahan politik yang lebih demokratis, adil.
Kedua contoh kasus di atas membuat kita seakan dilema. Hal mana yang didahulukan?. Akankah kita mengorbankan rakyat hidup sengsara untuk mengkonsolidasikan perpolitikan? (seperti penulis amati di Indonesia saat ini). Atau membiarkan apapun sistem pemerintahan tetapi kesejahteraan ekonomi tercapai?.
Actually, what the people wants? Seyogyanya, rakyat menginginkan keduanya. Hidup makmur dan rezim pemerintahan yang tidak represif dan otoriter. Siapa sih yang nggak mau hidup makmur? Siapa sih yang mau hidup di bawah tekanan, kekangan dan tidak bebas?
Memilih ekonomi sebagai prioritas dalam pembangunan adalah baik. Namun, pembangunan ekonomi tersebut harus dibarengi dengan membangun perpolitikan. Both of them should be work together. Membangun negara yang kuat dalam hal ekonomi dan politik tidaklah mudah. Tetapi, bukan tidak mungkin suatu negara tidak bisa melakukannya. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa mengakomodir kepentingan mayoritas rakyat. Tak pandang sistem pemerintahan negara itu apa, yang penting pemerintahan tersebut mendapatkan legitimasi dari rakyat dan dengan sistem pemerintahan itulah rakyat bisa merasakan kemakmuran dalam hidupnya.

Refferences :
[1]Iqbal, Muhammad dan Nurani Soyomukti. Ben Ali, Mubarak, Khadafi : Pergolakan Politik Jazirah Arab Abad ke-21. 2011. Bandung : Penerbit Medium, hal. 28

Friday, 9 September 2011

Potensi Perairan Indonesia Sebagai Alat Diplomasi Bangsa

Oleh : Triono Akmad Munib

NKRI merupakan negara dengan luas 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 70 persen dari luas total Indonesia. Besarnya potensi sumber daya kelautan Indonesia tersebut, khususnya sumber daya ikan laut di seluruh perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diduga sebesar 6,26 juta ton per tahun, tercermin dengan besarnya keanekaragaman hayati, selain potensi budidaya perikanan pantai di laut serta pariwisata bahari (Budiharsono S., 2001). Melalui data di atas bisa disimpulkan bahwa 1/3 wilayah negara Indonesia adalah perairan. Ada yang menyebut Indonesia adalah negara perairan yang diatasnya terdiri atas daratan. Namun, ada pula yang menyebut Indonesia sebagai laut yang ditebari pulau-pulau. Kondisi geografis di atas memberikan predikat kepada NKRI sebagai negara maritim.
Melihat keadaan geografis di atas, secara awam kita bisa mengatakan bahwa potensi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia terletak pada bidang perairan. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas potensi perairan Indonesia sebagai tonggak diplomasi bangsa. Alasan penulis memilih judul di atas adalah merupakan salah satu bidang kajian penulis sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dan ingin memberikan pencerahan kepada para pembaca khususnya pemerintah (Kementrian Luar Negeri) untuk lebih memaksimalkan potesnsi perairan sebagai tools of bargaining position (alat posisi tawar menawar) di meja diplomasi.

Potensi Yang Terlupakan

Dalam sejarah perjalanan bangsa ini tercatat bahwa jatuh dan bangunnya peradaban bangsa yang tinggal di kepulauan nusantara sangat dipengaruhi oleh penguasaan lautan. Kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit berhasil menguasai dan memakmurkan kerajaannya melalui kekuatan armada lautnya. Dan bahkan serikat dagang Belanda (VOC) pun mampu menjajah nusantara selama 350 tahun dengan kemampuannya menguasai lautan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak dapat dipungkiri lagi laut merupakan suatu aset untuk kedaulatan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Wilayah perairan Indonesia merupakan aset negara yang patut untuk dilestarikan. Berikut beberapa potensi laut Indonesia :
1.Perikanan dan Perdagangan
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia memang mempunyai kekayaan laut yang luar biasa. Salah satunya adalah variasi jenis ikan dan biota laut yang melimpah ruah. Indonesia juga mempunyai potensi wisata, seperti taman laut yang berjajar indah di sekitar perairan negeri ini.
Perlu kita ketahui bahwa hasil perikanan budidaya di Indonesia setiap tahunnya sekitar 46,3 juta ton. Hasil tangkapan laut Indonesia mendominasi produksi penangkapan ikan di dunia. Hasil laut Indonesia berkisar 52 persen dari produksi keseluruhan tangkapan laut dunia, yaitu 47,6 juta ton.
Bahkan, menurut Food and Agriculture Organization (FAO), badan PBB yang menaungi berbagai informasi tentang pangan dan pertanian, pada 2006, Indonesia merupakan produsen ikan terbesar di dunia dengan bobot produksi sekitar 87,1 juta ton. Jumlah yang fantastik tersebut meliputi 4,4 juta ton di wilayah tangkap perairan Indonesia, sedangkan 1,8 juta ton lainnya berada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE.
Ekonomi dunia juga sangat bergantung dengan keberadaan negeri-negeri maritim seperti Indonesia. Menurut catatan pada 2006, lebih dari 80 persen perdagangan dunia melalui laut dengan omset lebih dari 500 miliar dollar AS. Pada 2011, nilai tersebut ditaksir akan meningkat hingga 670 miliar dollar AS dengan pertumbuhan perdagangan yang bertambah lebih dari 40 persen pada 2020.
2.Taman Laut dan Terumbu Karang
Fakta menyebutkan bahwa terumbu karang Indonesia menyumbang 21% kekayaan terumbu karang dunia? Luas terumbu karang Indonesia sekitar 51 ribu kilometer persegi. Potensi taman laut dan keindahannya tak perlu diragukan lagi. Badan turisme PBB atau World Tourism Organization, mempunyai penilaian yang mengejutkan terhadap estetika taman laut Indonesia.
Badan ini memberikan index di atas 31 terhadap taman-taman laut di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Sebuah penghargaan yang luar biasa atas potensi kekayaan laut Indonesia. Padahal, index taman-taman laut ternama, seperti Great Reef di Australia, hanya 28. Taman laut Kepulauan Karibia yang terkenal hanya 25. Bahkan, taman laut Tahiti hanya mendapat index 21. Tentunya, index tersebut jauh di bawah taman laut Indonesia.
3.Taman Laut Indonesia
Dari sekitar 24 taman laut yang ada di seluruh dunia, mayoritas taman-taman laut surgawi tersebut berada di Indonesia. Taman-taman cerminan surga tersebut adalah sebagai berikut.
• Taman Laut Padang di Sumatera Barat.
• Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara.
• Taman Laut Kungkungan juga di Sulawesi Utara.
• Pesisir Jawa Barat.
• Perairan Bali.
• Taman Laut Gilis di Pulau Lombok.
• Taman Laut Flores.
• Taman Laut Alor di Nusa Tenggara Timur.
• Taman Laut Rote juga di Nusa Tenggara Timur.
• Perairan Ambon di Maluku.
• Taman Laut Saparua di sekitar Pulau Halmahera.
• Taman Laut Banda.
Dari taman-taman laut tersebut, lebih dari 75 persen jenis karang dunia dapat ditemui. Lebih dari 3000 jenis ikan hidup dan menghiasi perairan. Taman-taman laut tersebut juga telah menjadi kawasan hutan bakau terbesar di dunia. Setidaknya, bila dikelola dengan baik, kawasan-kawasan taman laut di Indonesia dapat bernilai sekitar 2,3 miliar dolar AS atau 21 triliun lebih setiap tahunnya.
Selain itu menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Freedy Number, laut Indonesia yang luasnya mencapai 5,8 juta km2 itu, ternyata mampu menyerap sekitar 44% dari seluruh jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer.[1]
Tidak hanya itu, prakiraan nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia yang telah dihitung para pakar dan lembaga terkait dalam setahun mencapai 149,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.994 triliun. Potensi ekonomi kekayaan laut tersebut meliputi perikanan senilai 31,94 miliar dollar AS, wilayah pesisir lestari 56 miliar dollar AS, bioteknologi laut total 40 miliar dollar AS, wisata bahari 2 miliar dollar AS, minyak bumi sebesar 6,64 miliar dollar AS dan transportasi laut sebesar 20 miliar dollar AS.[2] Diprediksikan pula tahun 2015, Indonesia akan menjadi produsen hasil laut terbesar dunia.[3]
Kekayaan dan potensi lautan Indonesia harus dilihat sebagai karunia Tuhan YME yang harus selalu disyukuri dengan cara mengelolanya secara bijaksana untuk kesejahteraan seluruh bangsa. Beberapa alasan pentingnya pembangunan laut antara lain :
1.Indonesia memiliki sumberdaya alam laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun keanekaragaman hasilnya.
2.Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (sebagian besarnya), artinya bahwa ikan ataupun sumberdaya laut lainnya dapat dimanfaatkan, namun harus memperhatikan kelestariannya.
3.Pusat pertumbuhan ekonomi, dengan proses globalisasi perdagangan di abad 21 ini, akan terbuka peluang untuk bersaing memasarkan produk-produk kelautan dalam perdagangan internasional.
4.Sumber protein hewani, sumberdaya ikan mengandung protein yang tinggi khususnya untuk asam amino tak jenuh, atau biasa dikenal dengan kandungan OMEGA-3 yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia.
Namun sayangnya, kita yang tidak mengenal lebih jauh kekayaan negeri yang melimpah ruah. Banyak di antara potensi berharga tersebut tak terkelola dengan baik, malah ada sebagian yang sengaja dirusak oleh masyarakat negeri sendiri. Oleh sebab itu, butuh keseriusan, kecintaan, dan pemeliharaan yang bertanggung jawab dari setiap warga negara maupun pemerintah untuk mengoptimalkan potensi kekayaan laut Indonesia.

Potensi Laut Sebagai Alat Diplomasi
Dalam ilmu hubungan internasional, jika sebuah negara ingin dipandang ataupun memiliki suara yang kuat dalam meja dipolmasi setidaknya harus memiliki sebuah senjata dalam proses bargaining-nya. Sebuah negara akan memiliki bargaining position yang kuat dalam meja diplomasi jika negara tersebut memiliki sebuah ‘senjata’.[4] Dalam kata senjata diberi tanda kutip oleh penulis dengan maksud bahwa ‘senjata’ yang dimaksud di sini tidak hanya berfokus pada senjata-senjata militer. ‘Senjata’ dalam hal ini adalah segala sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk menakuti lawan. Hal ini bisa berupa kekuatan ekonomi (AS, Jepang, Korea Selatan, China, dll), kekuatan militer (AS, China, Iran, Korea Utara, dll), maupun kekayaan SDA seperti Indonesia.
Potensi kekayaan laut Indonesia seperti yang dijelaskan di atas seyogyanya bisa dijadikan sebuah ‘senjata’ dalam meja perundingan. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, Indonesia mencatat bahwa potensi perairan pernah berhasil menjadi alat diplomasi yang pada akhirnya berbuah manis menjadi sebuah hukum internasional tentang kelautan hingga saat ini. Desember tahun 1957 adalah bulan bersejarah bagi Indonesia dan dunia. Dua peristiwa yang mengubah rezim kelautan nasional dan internasional terjadi di bulan ini. Pertama, Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, dan kedua, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Dalam deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.
Deklarasi tersebut juga menmbahas tentang lalu lintas yang damai melalui perairan-perairan pedalaman Indonesia bagi kapal asing terjamin, selama tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.
Berdasarkan deklarasi tersebut maka mulai saat itu, fungsi laut antara tidak lagi sebagai pemisah antarpulau-pulau Indonesia, tetapi berubah menjadi satu kesatuan NKRI dan alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan, dan pertahanan nasional.
Selanjutnya, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 berlangsung di Montego Bay, Jamaika. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam konvensi itu memberikan pengakuan terhadap negara kepulauan. Indonesia berjuang selama 25 tahun dan berhasil gemilang merebut pengakuan masyarakat internasional atas konsepsi negara kepulauan.
Peristiwa di atas hendaknya menjadi koreksi bagi para pejabat pemerintah saat ini, khususnya Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) bahwa potensi perairan negara kita bisa menjadi alat kuat dalam perundingan internasional. Potensi perairan yang kita miliki hendaknya bisa dipergunakan secara maksimal. Jika kita memang tidak bisa menggunakan kekuatan militer layaknya AS, Korut, dan China maupun kekuatan ekonomi layaknya Korea Selatan dan Jepang untuk bisa menggetarkan lawan, negara kita masih punya potensi laut untuk bisa menggertak lawan.
Penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan menyadarkan kembali bahwa potensi laut kita sangatlah kaya serta kondisi ini bisa menjadikan Indonesia lebih bisa dipandang dimeja perundingan dengan memanfaatkan potensinya secara maksimal. Indonesia bukan negeri Sakura seperti Jepang, bukan negeri Gingseng seperti Korea Selatan, maupun negeri Super Power layaknya AS. Indonesia adalah negara maritim dengan ciri khas wilayah perairan yang luas dan kaya.

Referensi :
[1] http://www.cintailautindonesia.blogspot.com/ [diakses pada 04 September 2011]
[2] Kompas, Edisi Jumat 06 November 2009
[3] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/12/10/151367-tahun-2015-indonesia-jadi-produsen-hasil-laut-terbesar [diakses pada 04 September 2011]
[4] DR. Yudhi Chrisnadi, ME, Anggota Komisi I DPR RI, disampaikan dalam Seminar Internasional pada Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional Ke-22 di Universitas Nasional Jakarta, 21 November 2010