Wednesday, 17 October 2012

Local Wisdom dalam Mencapai Subtansi Demokrasi Studi Kombong Bentuk Demokrasi Orang Taman


Triono Akmad Munib

Demokrasi. Kata tersebut saat ini telah menjadi sebuah primadona baru dalam dunia politik dan pemerintahan di dunia. Betapa tidak, masyarakat di bumi ini sedang mendambakan hidup di bawah pemerintahan yang demokrasi. Implementasinya, mereka tak segan-segan menggulingkan pemimpin yang menurut mereka jauh dari makna demokrasi. Bahkan, sebuah sistem yang sudah tertanam lama pun bisa dengan mudah digoyangkan oleh massa. Kita lihat saja, runtuhnya rezim otoriter Mubarak di Mesir hingga tewasnya Khadaffi yang mengenaskan. Yang rakyat inginkan seragam, menginginkan proses demokratisasi di negaranya berjalan.
            Namun, setelah kesempatan itu terbuka lebar, tampak kebingungan dari mana dulu yang kita harus benahi? Teringat ketika rezim Soeharto runtuh, kran kebebasan terbuka lebar, semua dijalankan atas nama demokrasi. Pemangku jabatan kewalahan, rakyat pun juga tak kalah paniknya. Demokrasi yang seperti apa? Artikel ini akan membahas mengenai perlunya eksplorasi local wisdom (kearifan lokal) untuk mencapai demokrasi secara utuh.

Demokrasi yang Multitafsir
            Pengertian demokrasis secara umum adalah bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[1] Presiden Amerika Serikat (AS), Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[2]
Gagasan utama suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.[3] Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu :[4]
1.    Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
2.    Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Namun, dalam perkembangannya, makna demokrasi menjadi semakin luas, berkembang, dan multitafsir. Mengapa penulis mengatakan semakin ambigu? Karena memang, demokrasi bias ditafsirkan secara berbeda-beda. Bahkan, negara yang jelas tampak dari luar otoriter menganggap negaranya adalah demokrasi menurut gaya negara itu sendiri.
Marilah kita  kupas satu persatu gagasan demokrasi di atas. Yang pertama, “pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil”. Di era Soeharto orang melihat pemerintahannya sangat otoriter, tetapi jika kita bisa melihat jeli ke dalam akan tampak proses demokrasi di dalamnya. Di jaman Soeharto juga mengenal istilah pemilihan umum (pemilu). Semua proses dijalankan secara bebas, langsung, dan rahasia (proses pemilu era Soeharto tak jauh beda dengan sekarang, masyarakat datang ke bilik suara, bilik tertutup, dan secara rahasia). Dewan Perwakilan Rakyat pun juga ada, terlepas dari upaya segala cara Soeharto bersama Golkar dan kroni-kroniya untuk melanggengkan Soeharto selama 32 tahun.
Ambil contoh lain, Vietnam misalnya, di sana hanya ada satu partai besar yaitu Partai Komunis Vietnam (PKV). Dari segi teori, satu partai akan memudahkan jalan penyalahgunaan kekuasaan, karena tidak ada partai lain, minimal sebagai kontrol terhadapnya. Namun, apa yang terjadi rakyat tidak keberatan, mereka tidak enggan memberikan legitimasinya kepada PKV. Hal ini disebabkan PKV berjasa dalam kemerdekaan Vietnam dahulu, rakyat justru tidak meniginkan munculnya partai lain. Bahkan, PKV telah menerapkan reformasi pasar bebas yang dikenal sebagai Đổi Mới. Dengan kekuasaan negara yang tetap tidak terlawankan, kepemilikan swasta atas pertanian dan perusahaan-perusahaan, deregulasi dan investasi asing dipacu. Ekonomi Vietnam mencapai pertumbuhan yang cepat dalam produksi bidang pertanian dan perindustrian, konstruksi dan perumahan, ekspor dan investasi asing. Vietnam sekarang adalah satu di antara negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Sangat demokrasi kan? Suara terbanyak, keinginan masyarakat banyak.
Kedua, “pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama”. Penulis akan lebih menekankan pada kalimat “kepentingan bersama”. Kepentingan bersama juga multitafsir. Terkadang negara dihadapkan kepada pilihan yang sangat sulit. Melindungi hak asasi manusia atau kepentingan bersama. Misalnya, di jaman Soeharto kita mengenal istilah Petrus (penembak misterius). Dari sisi kemanusiaan memang melanggar, menghilangkan nyawa seseorang. Namun, masyarakat merasa hidup menjadi aman, tidak terjadi premanisme, perampokan, dan sebagaianya. Karena mereka sudah diamankan oleh Petrus. Lah, sekarang ini, pagi hari saja sudah terdengar kabar penjambretan, pemerkosaan, dan sebagainya. Lalu bagaimana mencapai demokrasi secara utuh?

Demokrasi Berlandas Local Wisdom
            Kearifan lokal, dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan; dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
            Misalnya, pada sebuah suku yang hidup di hutan memiliki sebuah peraturan diharamkan bagi para anggota suku untuk menebang pohon. Karena dianggap penguasa alam akan marah dengan mengirimkan banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya. Suku tersebut mempercayai akan hal magis tersebut. Namun, sebagai orang di luar suku, akan berpikiran lain, pesan yang disampaikan sungguh bijak. Menebang pohon akan merusak keseimbangan ekosistem alam, tepatlah akan terjadi tanah longsor dan banjir karena tidak ada penadah air (pohon) lagi.
            Local wisdom (kerarifan lokal) mungkin tampak asing jika disandingkan apalagi diramukan dengan demokrasi. Tetapi bukan tidak mungkin hal tersebut tidak bisa terjadi. Musayawarah mufakat merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki Indonesia. Dan musyawarah adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, kita sebenarnya sudah mengenal demokrasi, yaitu dengan nama musyawarah mufakat. Para founding fathers negara ini membangun dasar negara ini dengan sistem musyawarah mufakat. Hal ini juga tercantum dalam dasar negara kita Pancasila yang tertuang dalam sila ke-4, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Nilai budaya musyawarah dan mufakat langsung berasal dari Pancasila sebagai dasar negara. Pengambilan keputusan dengan konsensus dinilainya sebagai cara yang lebih tepat karena lebih memungkinkan mencapai win-win solution dalam berbagai persoalan.[5] Hal ini lah yang patut kita junjung tinggi kedepannya. Demokrasi berlandas musyawarah mufakat. Mengingat banyaknya suku-suku pedalam di Indonesia yang masih menjunjung tinggi musyawarah dalam proses sosialnya. Di bawah ini, penulis menggambil studi Kombong : Bentuk Demokrasi Orang Dayak Taman.

Kombong : Bentuk Demokrasi Orang Taman
            Subsuku Dayak Taman atau seringkali juga dikenal dengan istilah orang Taman adalah salah satu subsuku Dayak yang bermukim di hulu Sungai Kapuas, yang umumnya terdapat di Kecamatan Kedamin dan sebagian kecil juga terdapat di Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dalam masyarakat Dayak Taman terdapat empat strata sosial, yaitu samagat, pabiring (biasa juga disebut bala samagat), ulun/banua, dan pangkam. Strata sosial ini lebih mirip dengan kasta. Kasta yang paling tinggi yaitu samagat pada masa lampau selalu menjadi pemimpin orang Taman. Sedangkan yang terendah ialah pangkam yang lebih mirip dengan budak. Kasta pangkam tidak banyak, karena kasta ini ada jika ada tawanan perang atau seseorang dari kasta ulun yang punya hutang dengan samagat. Yang paling menyedihkan dari kasta ini ialah menjadi tumbal saat kasta samagat mengadakan upacara adat toras (upacara adat ngangkat tulang).
Selain itu, masyarakat Dayak Taman juga dikenal dengan budaya Kombong. Kombong (bagian dari tradisi Tiio) merupakan suatu tradisi musyawarah dalam masyarakat guna mencapai kesepakatan bersama dalam hal memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi. Dengan kesepakatan yang ditemui diharapkan semua pihak dapat menerima kesepakatan yang memuaskan demi kepentingan bersama. Namun tradisi kombong bukan hanya untuk memecahkan masalah yang besar saja, tetapi juga menyangkut masalah-masalah kecil yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sistem kombong hampir mirip dengan sistem musyawarah yang pada saat sekarang ini. Di mana pada musyawarah yang berlangsung (forum diminta hadir) diminta pendapatnya secara terbuka terhadap permasalahan yang ada, sehingga semua yang hadir merasa bebas tanpa ketakutan mengutarakan pendapatnya pada forum. Hasil dari pendapat yang diutarakan forum dirangkum oleh seorang pemangku adat dan temenggung, oleh pemangku adat dan temenggung, hasil keputusan tersebut haruslah dipatuhi dan ditaati, baik oleh peserta yang hadir maupun oleh masyarakat adat di lingkungan hukum adat itu berlaku.
Selain untuk mencari keputusan bersama maka kombong juga dilakukan guna memecahkan perkara yang seadil-adilnya. Apabila nantinya hasil keputusan dari kombong tersebut ternyata tidak memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa, maka ditempuh penetapan adat secara spiritual. Penetapan adat ini antara lain:
1.    Silam Ae’
Suatu pemutusan adat secara spiritual yang diiringi dengan doa-doa di mana kedua belah pihak yang beperkara haruslah menyelam ke dalam air. Untuk itu, bagi yang lebih dahulu timbul ke permukaan maka ia termasuk pihak yang kalah. Sedangkan pihak yang benar atau menang adalah pihak yang lebih lama menyelam. Menurut kepercayaan yang berlangsung orang yang benar akan dibantu oleh orang Pendanum (orang yang tinggal di bawah air).
2.    Salab Batu
Salab batu adalah suatu bentuk pemutusan perkara dengan cara kedua belah pihak yang beperkara mengambil batu untuk direbus ke dalam air panas. Pemenang perkara tersebut yaitu apabila orang yang beperkara tersebut berhasil mengambil batu tersebut tanpa merasa panas dan melepuh, demikian pula sebaliknya, yang kalah apabila ia dalam upaya mengambil batu tersebut merasakan panas dan tangannya melepuh.
3.    Surat Intaron Manuk
Surat Intaron Manuk yaitu suatu pemecahan perkara dengan cara telur ayam diukir dengan ukiran tertentu. Dengan cara ini mudah diketahui siapa yang salah dan siapa yang benar.
Selain dalam hal mengambil keputusan tradisi kombong juga memiliki cara dalam upaya menempuh kebenaran. Cara yang dilakukan yaitu melakukan sumpah adat. Sumpah adat yang biasa dilakukan dalam kombong yaitu:
1.    Sumpah Suar Baro
Sumpah Suar Baro yaitu pelaksanaan sumpah adat dengan cara meminum air yang lebih dahulu direndam taring harimau. Diyakini masyarakat apabila salah seorang melanggar sumpah tersebut maka seseorang akan mati oleh Baro atau harimau jadi-jadian.
2.    Sumpah Polo Bawi
Pelaksanaan sumpah dengan cara memotong babi. Sumpah ini biasanya dilakukan untuk upacara melepas balu (berkabung).
3.    Sumpah Polo Asu
Sumpah Polo Asu yaitu pelaksanaan sumpah dengan cara memotong anjing. Sumpah ini biasanya dilakukan untuk perdamaian suatu sengketa permusuhan.

Kesimpulan
Dari contoh budaya Kombong oleh masyarakat Dayak dalam hal pengambilan keputusan dan sumpah yang dilaksanakan menunjukkan bahwa sistem pengambilan keputusan bukanlah suatu sistem otoriter dari seorang penguasa, melainkan suatu sistem demokratis. Dalam sistem demokratis ini kepala kampung dan tetua adat dari masing-masing kampung mewakili masyarakat adanya dalam hal mengambil keputusan. Di sini terlihat juga bahwa masyarakat suku Dayak Taman sejak dahulu kala telah mengenal sistem demokrasi (seperti yang kita kenal sekarang) dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan sistem musyawarah ini menandakan pula bahwa pola pikir masyarakat tentang hukum adat yang ada dan yang tertuang pada sistem dan tata cara adat istiadat itu sebenarnya sangatlah tinggi. Selain itu, sistem yang ada juga menunjukkan tatanan nilai yang luhur dan asri sehingga mereka dapat menciptakan situasi kehidupan yang aman dan damai demi kelangsungan hidup di rumah-rumah panjang mereka.

Penutup
            Sebagai negara yang memiliki banyak budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang beragam, hendaknya demokrasi yang kita terapkan patut melihat latar belakang budaya kita. Patut pula kita mengkombinasikan bukan malah menmbumi hanguskan dan menerapkan sebuah sistem baru. Perlu diingat bahwa sebuah nilai local wisdom tertanam jauh lebih lama dalam kehidupan sebuah masyarakat, suku, maupun komunitas. Tidak mudah mengganti sebuah pola pikir. Tidak mudah mengganti dari makan nasi ke jagung.


[1]“Democracy Conference”. http://www.innertemple.org.uk/index.php?option=com_content&view=article&id=250&Itemid=198
[2]Lansford, Tom. 2007. Democracy : Political Systems of the World. Marshall Cavendish
[3]"Pendidikan Kewarganegaraan". Yudhistira Ghalia Indonesia
[4]Ibid
[5]Damanik, Caroline. 2011. Budaya Musyawarah Mufakat Makin Luntur. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/18/13170468/Budaya.Musyawarah.Mufakat.Makin.Luntur [diakses pada 17 Oktober 2012]

Tuesday, 16 October 2012

Konversi Minyak Tanah ke LPG 3 Kg : Sudah Berhasilkah?

Triono Akmad Munib, S.Sos


Banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk mensejahterahkan rakyat miskin, salah satunya adalah subsidi gas. Tidak terasa sudah hampir lima tahun program pemerintah tentang pengkoversian minyak tanah ke LPG 3 kg berlangsung. Namun, apakah dalam pelaksanaan dan penerapan program konversi tersebut sudah sesuai dengan yang diharapkan? Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis selama bekerja di PT. Pertamina LPG & Gas Products



Program konversi Minyak Tanah ke LPG dilandasi oleh keinginan kuat untuk menekan subsidi Minyak Tanah (Mitan). Konsumsi Mitan yang terus mengalami peningkatan telah membebani anggaran keuangan negara. Padahal, dilapangan subsidi terhadap Mitan terbukti tidak sepenuhnya tepat sasaran. Tidak sedikit terjadi penyelewengan sehingga Mitan bersubsidi tak hanya dikonsumsi masyarakat miskin namun juga oleh industri maupun masyarakat mampu.

              Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam hal ini. Pertama, pemakaian LPG menggantikan Mitan memberikan keuntungan ekonomis. Pemakaian LPG yang memiliki nilai kalori sebesar 11.254,61 Kcal/Kg (Mitan sebesar 10.478,95 Kcal/Kg) dengan asumsi kesetaraan satu liter Mitan setara 0,57 Kg LPG, pemakaian LPG memberikan penghematan sekitar Rp 16.500,- hingga Rp 29.250,- bagi setiap KK yang menjadi sasaran program konversi ini. Sedang bagi negara hingga saat ini telah memberikan penghematan sekitar Rp 25 triliun.[1] Kedua, pengkoversian Mitan ke LPG telah membuka lapangan pekerjaan (pangkalan) dan bisnis (agen LPG) baru bagi masyarakat. Keuntungan dari berbisnis LPG ini cukup menggiurkan. Misalnya, satu agen LPG dengan jatah 20 Loading Order (LO, satu LO=560 pcs) per bulan. Harga satu tabung LPG dari Stasiun Pengisian dan Penyaluran Bulk Elpiji (SPPBE) sebesar Rp. 11.850,-. Dari agen ke pangkalan agen bisa menjual Rp. 12.500,- per tabung. Kita kalkulasikan saja Rp. 12.500,- - Rp. 11.850,- = Rp. 650,- x 560 x 20 = Rp. 7.280.000,- (keuntungan per bulan dari total 20 LO).[2] Belum lagi agen akan mendapatkan Tarnsport Fee, yaitu sejumlah uang untuk pemeliharaan transportasi yang besarnya Rp. 300,- per kg.
Selain alasan ekonomis, konversi Mitan ke LPG juga memberikan keuntungan lain berupa pemakaian energi bersih dan ramah lingkungan. Dibandingkan dengan Mitan, pemakaian LPG tak hanya lebih murah karena memiliki nilai kalori lebih tinggi namun juga lebih bersih. Pembakaran LPG tidak menghasilkan  asap dan relatif tidak berbau. Sedang pembakaran Minyak Tanah yang mengandung karbon selain menghasilkan asap juga memproduksi gas karsiogenik.[3] Berdasar kajian ilmiah, kandungan emisi gas karbon Minyak Tanah memang lebih besar dibanding LPG. Setiap pembakaran satu kilogram Minyak Tanah akan berpotensi menghasilkan emisi gas karbon sebesar 19,6 mg. Sedang untuk pembakaran LPG satuan berat yang sama menghasilkan 17,2 mg. Perbedaan  sebesar 2,4 mg yang jika mempertimbangkan bahwa efisiensi energy LPG sebesar 47,3 GJ/ton dan Minyak Tanah sebesar 44,75 GJ/ton, maka pemakaian LPG mengurangi emisi gas kerbon sebesar 8,8 mg.[4]

Dunia Mengakui Keberhasilannya
            Pada bulan September tahun 2012 lalu, telah diadakan forum LPG Dunia yang ke-25 tepatnya di Nusa Dua Bali. Acara tersebut dibuka langsung oleh Wakil Presiden RI, Boediono. Acara tersebut dihadiri lebih dari  seribu delegasi dari 67 negara dari industri kalangan bisnis, pelaku industri, produsen dan pemangku kebijakan. Sejumlah agenda terkait isu-isu penting sektor energi gas dan teknologi dibahas para peserta. Selain itu, di acara ini juga diisi pameran yang menampilkan produk dan teknologi perusahaan-perusahaan dalam negeri dan luar negeri di bidang energi dan gas.
            Dalam sambutannya, Wapres mengungkapkan kebijakan gas mencapai keberhasilannya dimulai dari program subtsituasi elpiji dari minyak tanah ke rumah tangga. Program konversi bahan bakar minyak (BBM) jenis Mitan ke LPG yang diterapkan di Indonesia sejak 2007 telah diakui dunia. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya yang mengatakan bahwa program konversi mitan ke LPG di Indonesia menjadi catatan penting dan belum pernah dicapai oleh negara manapun.[5] Selama kurun waktu 2007 sampai dengan pertengahan 2012, program tersebut berhasil menekan angka subsidi mitan sampai Rp 70 triliun. PT. Pertamina (Persero) selaku pelaksana program konversi tersebut telah menggelontorkan 47,9 juta paket perdana LPG kemasan 3 kilogram (kg) sejak 2007 sampai Juni 2012.[6]

Sudahkah Subsidi Tepat Sasaran?
            Di Indonesia jika berbicara mengenai barang bersubsidi selalu mengarah kepada hal-hal yang pesimis. Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana subsidi itu berlangsung? Siapa yang berhak mendapatkannya? Sudahkah tepat sasaran? Bagaimana cara mendata keluarga yang berhak mendapatkannya? selalu menjadi topik utama dalam perdebatannya. Hal tersebut menjadi maklum karena menyangkut hajat hidup orang banyak
            Kita bisa melihat kembali kebijakan subsidi BBM yang mengalami pasang surut dan tarik ulur, dan akhirnya tetap tidak mencabut subsidi. Subsidi BBM dalam evaluasinya tidak tepat sasaran, kendaraan ber-plat merah tetap menggunakan BBM bersubsidi, kendaraan mewah pun demikian. Lalu, subsidi ini sebenarnya untuk siapa? Benarkah untuk rakyat miskin?
            Fenomena demikian juga terjadi pada program konversi Mitan ke LPG. Pemerintah memang sudah menghimbau bahwa LPG untuk ukuran 3 kg diperuntukkan bagi mereka rumah tangga miskin, warung-warung kecil. Untuk industri, rumah makan, dan masyarakat menengah ke atas disediakan LPG non-subsidi, yaitu LPG ukuran 12 kg dan 50 kg. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan tidak demikian. Penulis sempat melihat beberapa rumah makan yang dulunya memakai 12 kg tetapi setelah ada kebijakan konversi tersebut mereka berbondong-bondong beralih ke 3 kg. Alasan yang dilontarkan pun seragam, harga yang lebih murah. Memang harga LPG ukuran 12 kg sebesar Rp. 76.000,- hingga Rp.79.000,- per tabung. Dikaluksikan memang lebih menekan biaya jika menggunakan LPG ukuran 3 kg. Harga LPG ukuran 3 kg sebesar Rp. 12.500,- hingga Rp. 13.000,- per tabung. Jika 4 kali tabung LPG ukuran 3 kg didapat seharga Rp. 50.000,-. Selain itu, terkadang masih adanya industri dan peternakan yang masih menggunakan LPG ukuran 3 kg.
Kondisi-kondisi di atas membuat program konversi LPG tersebut dirasa kurang tepat sasaran. Ditambah dengan adanya daerah-daerah pelosok desa yang masih belum dijangkau oleh adanya program konversi tersebut. Distribusi LPG oleh agen kebanyakan terpusat di daerah kota dan sekitar wilayah agen saja.
Subsidi dalam sebuah negara bukanlah suatu hal yang diharamkan, bahkan negara dengan perekonomian terkuat seperti Amerika Serikat (AS), China, dan Jepang saja masih memberikan subsidi kepada masyarakatnya. Misalnya, AS masih memberikan subsidi pupuk kepada para petaninya. Tujuan daripada subsidi sebenarnya sungguh mulia, yaitu ingin mensejahterakan rakyat. 
Dengan melihat fenomena di atas, bukan berarti program konversi Mitan ke LPG bukan tidak harus didukung. Program ini cukup baik dalam jangka panjang, tetapi dalam perjalanan kedepannya pemerintah dan pihak terkait juga perlu merevisi, membuat formulasi undang-undang maupun peraturan agar program subsidi ini tepat sasaran dan merata distribusinya.






[1]“Konversi Minyak Tanah ke LPG : Lebih Murah, Lebih Bersih”. 2011. http://esdm.go.id/berita/56-artikel/4122-konversi-minyak-tanah-ke-lpg-lebih-murah-lebih-bersih.html?tmpl=component&print=1&page= [diakses pada 15 Oktobr 2012]

[2]Berdasarkan analisa penulis selama bekerja di PT. Pertamina LPG & Gas Products
[3]“Konversi Minyak Tanah ke LPG : Lebih Murah, Lebih Bersih”. 2011. http://esdm.go.id/berita/56-artikel/4122-konversi-minyak-tanah-ke-lpg-lebih-murah-lebih-bersih.html?tmpl=component&print=1&page= [diakses pada 15 Oktobr 2012]
[4]Ibid
[5]“Konversi Minyak Tanah ke LPG Tuai Pujian Dunia”. 2012.  http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/09/11/129584/Konversi-Minyak-Tanah-ke-LPG-Tuai-Pujian-Dunia [diakses pada 15 Oktober 2012]

[6]“Konversi Minyak Tanah ke LPG Diakui Dunia”. 2012. http://www.beritasatu.com/ekonomi/71036-konversi-minyak-tanah-ke-lpg-diakui-dunia.html [diakses pada 15 Oktober 2012]