Saturday 10 December 2011

Runtuhnya Ekonomi Dunia

by : Triono Akmad Munib[1]

Negara dengan ekonomi terkuat dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami guncangan hebat. Hal ini berapa dari fenomena gagal bayar kredit perumahan atau yang biasa disebut dengan subprime mortgage. Para ekonom dunia pun khawatir krisis tersebut berdampak pada perekonomian secara global. Namun, faktanya tidak semua negara turut terdampak krisis tersebut, salah satunya adalah negara kita Indonesia.

Fenomena krisis perekonomian sebenarnya bukan yang pertama kali dialami oleh AS. Mengingat kembali di tahun 1930-an, kita mendengar fenomena Great Depression. Fenomena tersebut diawali dari kejatuhan pasar modal Wall Street pada bulan Oktober 1929, AS dirundung krisis ekonomi besar yang baru bisa pulih sekitar sepuluh tahun kemudian. Itupun berkat Perang Dunia II, di mana ekonomi AS ketika itu mulai bergerak kembali karena banyak perusahaan menerima pesanan senjata dan pesawat terbang dari negara-negara di Eropa.

Perekonomian AS yang dari tahun ke tahun mengalami permasalahan turut berdampak pada sektor politik. Saat ini, rakyat AS lebih tertarik dengan program-program kandidat Presiden tahun 2012 mendatang yang mengangkat isu-isu perbaikan ekonomi. Misalnya, dua bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Rick Perry dan Mitt Romney beradu ide dan gagasan tentang penciptaaan lapangan kerja.[2] Atau yang lebih ekstrim lagi kita bisa melihat Revolusi Melati yang terjadi di dunia Arab yang lalu. Husni Mubarak, Ali Abudllah Saleh yang diturunkan secara paksa oleh rakyatnya hingga Moammar Khadafi yang akhirnya tewas tertembak dikepalanya salah satu faktor penyebabnya adalah gagalnya negara membangun perekonomian.

Tulisan ini akan membahas tentang krisis ekonomi yang dialami AS di tahun 2008, penyebab-penyebabnya dan prediksi munculnya kekuatan ekonomi dunia baru.

Prime dan Subprime Mortgage
Kebanyakan masyarakat lebih familiar mendengar kata subprime mortgage ketimbang prime mortgage. Namun, sebelum penulis menjelaskan perbedaan keduanya perlulah kita menerjemahkan mortgage itu sendiri. Mortgage yang kita bahas di sini adalah hutang untuk membeli properti di mana properti tersebut kemudian dipakai sebagai jaminan. Contohnya adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Peminjaman mortgage itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu prime dan subprime. Untuk kategori prime adalah orang-orang yang memiliki track record kredit bagus, penghasilan tinggi, tingkat gagal bayar yang rendah atau bisa dikatakan mereka yang kaya. Kebalikannya, subprime adalah orang-orang yang tidak memenuhi kriteria di atas atau bisa kita sebut orang miskin. Munculnya industri subprime mortgage membuka peluang orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, persentase subprime mortgage adalah 23.8%, 25.5%, dan 22.8% dari total pemberian pinjaman mortgage pertahunnya.[3] Karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank komersial terus meningkat. Tak heran jika pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di AS juga meningkat pesat (housing boom).

Number of Subprime ARM Resets (as of 4th quarter 2007)
Sumber: Federal Reserve Board calculations from First American LoanPerformance Data.

Bisa dibayangkan ketika orang miskin memutuskan untuk membeli rumah secara kredit dan ketika sudah jatuh tempo mereka tidak bisa membayar. Sekarang Anda bayangkan orang yang lebih susah membayar hutang harus membayar bunga yang lebih tinggi. Tingkat gagal bayar pun semakin tinggi dan membuat bank-bank pemberi kredit perumahan menjadi kelabakan.

Tingkat Gagal Bayar Subprime Mortgage di AS
Sumber : Board of Governors of the Federal Reserve System

Bagaimana Bisa Menjadi Krisis Global?
Penjelasannya cukup simpel, seperti di bawah ini :
1. Penduduk AS dengan track record kredit relatif buruk membeli rumah melalui industri/perusahaan subprime mortgage. Terjadi transaksi individual antara peminjam (subprime borrowers) dan pemberi mortgage (subprime lenders);
2. Kemudian, para subprime lenders (perusahaan perumahan) ini mengumpulkan berbagai mortgage (berbentuk surat hutang) dan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial. Bank komersial kemudian menjual sebagian portfolio mortgage tersebut kepada investment bank;
3. Subprime mortgage itu bisa juga dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage Backed Securitites atau MBS. MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan: yaitu ketika pemimjam mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Pendapatan ini bisa dipilah-pilah menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Semua bunga dari peminjam mortgage pertama kali akan dibayar sebagai bunga kepada pemilik MBS dengan senioritas paling tinggi. Kalau ada sisa, baru pendapatan itu masuk ke pemilik dengan senioritas lebih rendah. Demikian seterusnya. Bisa dilihat bahwa semakin rendah tingkat senioritasnya, semakin tinggi resiko dari MBS ini. Karena resikonya yang paling rendah, maka MBS paling senior harganya juga paling mahal.
4. Rating agencies semacam Standard & Poor’s (S&P) memberikan rating terhadap MBS ini. Ternyata, rating AAA untuk MBS lebih besar resiko gagal bayarnya dibanding dengan surat hutang dengan rating AAA juga.
5. Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi Collateralized Debt Obligations (CDOs). Sama seperti MBS, CDOs juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. CDOs juga dipilah-pilah lagi menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS aset CDOs yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgage (dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS).[4]
6. CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dll baik di Amerika Serikat maupun di luar. Jadilah resiko subprime mortgage tersebar ke mana-mana.
7. Jangka waktu kredit perumahan adalah panjang sekitar 10-20 tahun, namun jangka waktu kredit oleh bank terhadap bank lain cukup pendek sekitar 1-5 tahun.

Skema Krisis Subrpime Mortgage
Sumber : Analisa penulis

Krisis Juga Terjadi di Erop
Krisis ekonomi juga terjadi di Benua Eropa. Kasusnya hampir sama dengan AS, namundi Eropa kali ini bukan dikarenakn kredit rumah macet, melainkan gagal bayarnya negara terhadap hutang-hutangnya.
Krisis keuangan Eropa saat ini juga telah mengancam perekonomian dunia. Krisis yang berakar pada kegagalan zona euro untuk memperbaiki perbankan. Gejolak zona euro sebagai salah satu faktor asing yang telah membantu memperlambat perekonomian dunia. Sebenarnya perekonomian Eropa belum sepenuhnya sembuh kembali dari krisis 2007 dan tidak pernah sepenuhnya menangani semua tantangan yang dihadapi sistem perbankan mereka. Salah satu faktor penting krisis Eropa adalah faktor krisis utang di negara Yunani.
Krisis utang yang berawal dari Yunani, yang kemudian merembet ke Irlandia dan Portugal. Ketiga negara tersebut memiliki utang yang lebih besar dari GDP-nya, dan juga sempat mengalami defisit (pengeluaran negara lebih besar dari GDP). Krisis mulai terasa pada akhir tahun 2009, dan semakin seru dibicarakan pada pertengahan tahun 2010.
Para pakar melihat kemegahan perayaan Olimpiade tahun 2004 silam turut menjerumuskan Yunani pad hutang-hutang besar. Selain itu, adanya pejabat pemerintah yang menghindari pembayaran pajak. Para pejabat pemerintah menggunakan celah-celah hukum untuk bisa lolos dari pajak. Salah satunya contohnya adalah adanya sekitar 57 dokter yang menghindar dari pajak.[5] Diperkirakan, potensi pajak yang digelapkan para dokter mencapai US$40 miliar (sekitar Rp. 360 triliun) atau setara dengan 10% utang Yunani.
Krisis ekonomi Yunani membuat negara-negara di zona euro ambil tindakan, salah satunya adalah Jerman. Jerman merasa krisis tersebut akan berdampak sistemik. Oleh karena itu, Jerman merencanakan akan memberikan bantuan sebesar 22.4 miliar euro. Selain itu pemerintah Jerman juga melarang naked short sell[6]. Seperti yang diungkapkan BaFin, otoritas pasar modal Jerman, melarang transaksi short sell tanpa aset dasar (naked) untuk beberapa jenis instrumen. Hal tersebut mulai dilakukan pada tanggal 18 Mei 2010 hingga 31 Maret 2011, kebijakan tersebut ditempuh karena Jerman menilai aksi para spekulan sudah di luar batas.
Namun, krisis ekonomi Eropa tersebut terus berlanjut dan menjalar ke Irlandia, Spanyol, Portugal, dan Italia. Mungkin inilah resiko yang harus diterima dari terinterdepensinya dan terintegrasinya perekonomian dunia. Kejadian di sebuah negara, akan berdampak pula dengan negara lain di sekitar dan di luar sana.

Asia, the New Economic Global Player
Asia yang dalam G20 disebut-sebut sebagai new emerging market bisa jadi sebagai kekuatan dan pusat perekonomian baru. Jepang, China dan India adalah tiga serangkai Asia yang mulai awal abad 21 makin menunjukkan kekuatan ekonominya sebagai pemain yang dalam waktu dekat ini kian mengarah ke integrasi regional Asia. Hasil penghitungan baru PDB negara-negara di dunia versi Bank Dunia di tahun 2005 cukup mengejutkan yakni munculnya angka PDB negara China sebesar $2,2638 triliun. Tentu saja menempatkan China sebagai negara dengan besaran ekonomi nomor 4 dunia, menggeser Inggris. Berada di atasnya adalah pertama Amerika Serikat, kedua Jepang, dan ketiga Jerman. Lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan PDB China akan melampaui Jerman pada 2010, Jepang pada 2015, dan Amerika Serikat pada 2040. Kejutan lainnya adalah Negara Asia lainnya, India. PDB negara India di tahun 2005 sebesar $300 milliar.Diprediksi PDB India akan mengalahkan Italia di tahun 2015, Perancis di tahun 2020, Jerman di tahun 2025, Jepang antara tahun 2030-2035, dan Amerika Serikat di tahun 2040. Di 2040, China dan India tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi di mana pusatnya tak lagi di benua Amerika/Eropa, namun di Asia, bekas negara berkembang. Hal ini tentunya akan melengkapi sejarah sukses Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Chindonesia, 3 Kekuatan Dahsyat Ekonomi Dunia
Namun kita pun harus bangga dengan negara kita. Indonesia yang menurut pakar ekonomi masuk dalam calon kekuatan ekonomi baru di dunia. Menurut Morgan Stanley, diperkirakan lima tahun ke depan PDB Indonesia bakal mencapai US$800 miliar. Senada dengan itu, majalah bergengsi The Economist, pada Juli 2010 juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Dan bahkan Indonesia pun berpotensi menggeser Rusia dalam BRIC.
Laporan CLSA (Credit Lyonnais Securities Asia) Asia-Pasific Markets, sebuah lembaga investasi berjudul Chindonesia: Enter the Komodo, berisi prospek perekonomian di tiga negara China-India-Indonesia, di mana ketiganya dianggap sebagai triangle kekuatan ekonomi di Asia. Berikut kutipan dalam laporan tersebut:[7]

“China dan India sering disebut sebagai penggerak perekonomian global masa depan dan sekarang waktunya Indonesia masuk barisan bersama mereka. Negara tersebut adalah sumber pemasok marginal untuk Chindia, dimana dalam kurun waktu terakhir memiliki pertumbuhan percapita yang kuat dan demografi yang atraktif. Bacalah laporan CLSA Asia-Pasifik market tersebut untuk mengetahui lebih banyak tentang segitiga pertumbuhan Asia selanjutnya yaitu Chindonesia”.
Dalam laporan CLSA tersebut, Indonesia memiliki dua kekuatan penting yaitu sumber daya manusia dan sumber daya alam. Bahkan di tahun 2030, saat negara maju seperti Jepang, Jerman, Prancis dan sebagainya mengalami persoalan dengan jumlah penduduk yang menyusut Indonesia justru dalam fase puncak mendapat keuntungan dari jumlah penduduk dengan usia kerja terbanyak.
Bahkan, CLSA menyebutkan ketika semua negara hampir mengalami tren pertumbuhan GDP negatif, namun China, India dan Indonesia tetap menunjukkan tren positif. Pertumbuhan GDP China sebesar 17 persen, India 13,5 persen dan Indonesia 7,7 persen.
Runtuhnya kekuatan ekonomi dunia (AS dan Eropa) membuat para investor melarikan dana-dananya ke negara-negara Asia yang di mana tidak tedampak krisis ekonomi global dan stabil. Hal ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik oleh negara Asia. Dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh negara-negara Asia, penulis berspekulasi ‘yes, we can to be new economic global player’


[1]Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
[2]”Dua Kandidat Republikan Adu Strategi Penciptaan Lapangan Kerja”, diakses dari www.suarapembaruan.com
[3]Loan Performance Estimates
[4]“Financial Chernobyl or Manageable Risk?”, diakses dari www.thehedgefundjournal.com
[5] http://www.forumbebas.com/thread-123053.html
[6]http://www.wartaekonomi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4926:jerman-terapkan-larangan-naked-short-sale-dan-mulai-ajak-eropa&catid=53:aumum
[7]“ Chindonesia, 3 Kekuatan Dahsyat Ekonomi Dunia”, diakses dari www.bisnis.vivanews.com