Sunday 6 November 2011

Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri AS

By : Triono Akmad Munib

Serangan terhadap Pentagon dan WTC tanggal 11 September 2001, membuat arah kebijakan luar negeri AS berubah secara drastis, yaitu untuk perang terhadap “terorisme global”. Ini terlihat, pada persetujuan Bush kepada NATO untuk menempatkan pasukan AS di Balkan dan menegaskan kembali mengenai hubungan dengan negara-negara Arab
AS juga memulai kampanyae diplomatic yang berkesinambungan untuk mendaftar bantuan luar negeri agar bersama “dunia” ia bisa mendongkel organisasi teroris yang masih tersisa. Para pejabat AS menekankan bahwa serangan ini mungkin akan lama dan memperingatkan bahwa tindakan militer terhadap jaringan teroris yang dicurigai mungkin berlanjut setelah gempuran pertama atas Al-Qaeda dan tuan rumah mereka, Taliban

•Kebijakan Luar Negeri AS Tidaklah Bebas Biaya
Sejak awal 1990-an, para pemimpin AS bersikap seolah-olah AS bisa mengejar sasaran-sasaran kebijakan luar negeri yang ambisius tanpa harus membuat pengorbanan yang signifikan.
Perasaan congkak ini tumbuh bersama kemenangan AS dalam Perang Dingin dan kian diperkuat oleh pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir. Sekalipun pasukan militer AS sangat sibuk, ongkos manusia dan ekonomi dari kegiatan-kegiatan ini ternyata sangat rendah. Korban jiwa dalam Perang Teluk Persia pada 1991 jaug lebih sedikit daripada yang diperkirakan, dan Angkatan Udara AS telah berpatroli di zona larangan terbang di Irak dan melakukan serangan bom sporadis di sana selama hampir 10 tahun tanpa kehilangan satu pesawat pun
Dekade 1990-an juga merupakan sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang memperkuat kepercayaan diri AS dan membuatnya bisa dengan mudah menanggung beban internasional tanpa merasa berat secara keuangan

•Amerika Serikat Tak Sepopuler Yang Mereka Kira
Rakyat AS cenderung melihat negara mereka sebagai sebuah “kota yang bersinar gemilang di atas bukit” dan sering menganggap bahwa negara-negara lain menghormati dan menghargai peran globalnya. Namun baik serangan 11 September maupun reaksi internasional terhadap serangan ini telah memperjelas tingkat di mana banyak orang di luar AS sebenarnya bersikap ambivalen mengenai posisi AS di dunia
Di satu eksterm, organisasi teroris seperti Al-Qaeda terilhami oleh antipasti yang demikian besar terhadap AS dan dominasi globalnya. Sebagian dari antipati ini bukan hanya bersumber dari sebuah visi tentang AS sebagai masyarakat yang korup dan tak bertuhan, melainkan juha dipicu oleh hubungan AS-Israel, dukungannya terhadap beberapa rezim konservatif Arab, dan konfliknya dengan Irak yang tak berujung. Di mata para ekstremis radikal anti-AS ini, AS adalah seorang preman global yang campur tangannya di dunia Islam harus dibendung dengan segala cara yang diperlukan

•Negara-negara Gagal (Failed States) Merupakan Suatu Masalah Keamanan Nasional
Ketika pemerintahan-pemerintahan, anarki yang ditimbulkannya sering memicu migrasi besar-besaran, kekacauan ekonomi, dan kekerasan massal. Sekalipun dampak-dampak ini sering menyebar ke negara-negara tetangga, masalah “negara gagal” seperti: Somalia, Sierra Leone, Liberia, Rwanda, dan Afghanistan pada umumnya dillihat hanya sebagai isu kemanusiaan. Akibatnya, reaksi internasional biasanya setengah hati dan hanya berhasil sebagian
Bahaya yang dihadirkan beberapa negara gagal juga mengingatkan kita bahwa konflik-konflik yang tak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial. Konflik yang berkepanjangan mendorong timbulnya kebencian dan keinginan untuk balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah mengobarkan perang, dan memperkuat para pemimpin yang bertindak semena-mena karena adanya suasana ketakutan
Kondisi-kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. Jaringan teroris yang sekarang ingin disingkirkan AS adalah produk dari konflik berlarut-larut Afghanistan, Kashmir, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Serangan 11 September mungkin tak akan pernah terjadi seandainya pertempuran penuh kekerasan di tempat-tempat itu terselesaikan. Dengan demikian, membantu penyelesaian konflik sipil yang berlarut-larut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, melainkan hal ini juga bisa membuat AS lebih aman

•Mengobarkan Perang Melawan Terorisme: Implikasi Bagi Kebijakan Luar Negeri AS
Serangan 11 September sampai hari ini tidak mempengaruhi posisi utamanya ataupun inti kepentingan nasionalnya. AS masih merupakan kekuatan terbesar dan terdepan dalam ekonomi maupun militer di dunia, dan konsesus global bahwa terorisme adalah masalah serius mungkin bias meningkatkan pengaruh AS dalam jangka pendek. Tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS juga tak terpengaruh: AS tetap ingin menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal, dan menyebar-luaskan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia (human right)

•Pengawasan Senjata Pemusnah Massal
Peristiwa 11 September memperlihatkan bahwa para teroris internasional lebih lihai dan keji dari yang diyakini banyak pakar. Untuk mengurangi ancaman ini diperlukan sebuah upaya baru pengawasan yang ketat terhadap pasokan senjata nuklir, kimia, dan biologi yang ada. Risiko yang paling nyata adalah Rusia, yang persediaan besar SPM-nya masih berada di bawah pengawasan yang tak bias dibiarkan
Untuk menyelesaikan tugas penting ini, pemerintahan Bush harus begerak cepat untuk menerapkan rekomendasi laporan Baker-Cutler 2001 mengenai program pemusnahan senjata nuklir di Rusia, dan mendorong Kongres untuk memberi dana jauh lebih besar daripada sebelumnya terhadap program-program yang dibutuhkan

•Memperbaiki Negara Yang Gagal
Satu bulan setelah serangan atas AS, pemerintahan Bush secara terbuka mengakui bahwa serangannya untuk menggulingkan Taliban akan disertai upaya serius untuk membentuk sebuah pemerintahan Afghanistan yang kukuh dan membangun kembali Negara yang terkoyak-koyak oleh perang ini
Pergeseran kebijakan ini mencerminkan dua hal: pertama, negara-negara gagal seperti Afghanistan telah menjadi tempat bersemainya dan perlindungan yang aman bagi kaum ekstremis anti-AS; kedua, pengakuan bahwa AS ikut bertanggungjawab terhadap kondisi yang dialami Afghanistan saat ini. Kegagalan AS untuk membangun kembali Afghanistan setelah penarikan Uni Soviet pada 1989 menyebabkan munculnya radikalisasi progresif masyarakat Afghan dan kemenangan gemilang Taliban. Jika AS mengulangi kesalahan ini sekali lagi begitu Taliban dikalahkan, bin Ladin-bin Ladin baru sepertinya akan muncul.

•Membangun Kembali Hubungan Dengan Negara Arab dan Islam
Reaksi negara-negara Arab dan Islam terhadap serangan Al-Qaeda dan balasan militer awal AS memperlihatkan derajat di mana AS terasing dari negara-negara ini. Agar risiko bagi pemerintah negara Arab dan Islam yang mendukung upaya AS dan mengisolasi kaum ekstremis anti-AS di negara-negara Islam berkurang, AS harus membangun kembali hubungannya dengan negara-negara ini. Untuk jangka panjang, AS tak bias semata-mata mengandalkan pertemanan dengan negara Arab tapi juga harus memperbaiki citranya di mata publik yang lebih luas
Langkah awal yang nyata adalah melakukan pendekatan yang tak sepihak terhadap konflik Israel-Palestina. AS tidak serta-merta selalu pro-Israel seperti yang diyakini banyak orang Arab, namun kebijakan-kebijakannya di masa lalu belum tertebus. Di saat menegaskan komitmennya terhadap keamanan Israel di dalam tapal batas pra-1967, AS harus jelas-jelas menyatakan bahwa tapal inilah batasan final terhadap kebijakan pemukiman Israel yang ekpansionis dan tak menganggap bahwa kebijakan ini masuk ke dalam kepentingan jangka panjang AS
AS juga harus menjernihkan posisinya menyangkut syarat-syarat bagi sebuah negara Palestina dan menegaskan bahwa sebuah negara yang kukuh mengharuskan Israel menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak yang diusulkan di Camp David pada bulan Juli 2000.

KESIMPULAN (Opini Saya)
Di sini AS yang menjadi kekuatan dan pemain dalam dunia global saat ini, harus lebih berhati-hati dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya. Campur tangan AS dalam berbagai konflik di belahan dunia, membuatnya semakin terjerumus ke dalam citra yang memperburuk dirinya sendiri
Keterlibatan AS pada konflik-konflik di Timur Tengah, semakin memperbanyak daftar musuh AS pada dekade ini. AS memerlukan diplomasi tingkat tinggi yang super hati-hati dan tangkas, serta cermat sehingga Washington seolah tak terlihatr terdesak oleh lobi-lobi dalam proses decision making. Dekade ini kita berharap Obama lebih tepat dalam membuat kebijakan luar negeri AS, khususnya menyangkut konflik Timur Tengah. Tetapi menurut saya, arah kebijakan luar negeri AS itu tak akan ada arah perubahan yang cukup signifikan. Semua itu disebabkan oleh kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang dibuat oleh Bush, yang membuat AS semakin terjermus dalam jurang campur tangan konflik di seluruh belahan dunia. Sehingga membuat opini publik internasional terus mengalir dalam hal-hal yang negatif tetntunya. Di sini, Obama seolah "got the trap". Mr. Barry (Barrack Obama) seolah tak bisa leluasa bergerak untuk mencoba menentukan kebijakan yang lebih baik

Format Ideal Parlemen Indonesia : What Should They (parliament) Do?

By : Triono Akmad Munib

Sebuah tulisan yang berangkat dari keprihatinan penuilis atas kinerja parlemen Indonesia. Boleh setuju maupun tidak setuju. Perbedaan pemikiran justru hal yang diharapkan penulis. Pemikiran-pemikiran 'fantastis dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk bersama-sama mencari sebuah format ideal parlemen Indonesia guna menuju Indonesia yang baik ke depan. SAVE OUR NATIONS!

Fenomena yang terjadi di parlemen negara ini memang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Lihat saja mulai dari yang tertidur saat sidang, ricuh saat pengambilan keputusan (kasus Bank Century) hingga nonton film porno (anggota dari fraksi PKS, Arifinto) saat rapat berlangsung. Ironi memang, ketika mereka dipilih oleh rakyat dengan harapan bisa mengemban amanah rakyat. Tetapi, dalam kinerjanya sangat memprihatinkan. Mereka (anggota parlemen) digaji dari uang rakyat melalui pajak. Mereka bisa duduk dikursi yang empuk juga karena dukungan rakyat. Seakan anggota dewan yang katanya ‘terhormat’ lupa akan asal-usulnya, ribuan janji yang diucapkannya saat kampanye. Empuknya kursi dewan membuatnya lupa akan apa yang pernah diucapkannya.
Saat ratusan juta rakyat Indonesia, ribuan rakyat miskin berharap kebijakan yang berpihak pada mereka. Mereka yang ‘terhormat’ malah sibuk sendiri dengan kepentingan partai politik yang menjadi kendaraannya di parlemen. Sibuk dengan bagi-bagi dana proyek, saling sikut kepentingan. Di saat jutaan anak tak bisa sekolah, mereka malah asyik melancong ke luar negeri dengan berbagai macam alasan yang menurut tidak masuk akal. Suatu contoh, Komisi VIII DPR beberapa bulan lalu tepat bulan Mei 2011 melawat ke Australia guna mempelajari penanganan fakir mikin. Tujuan dari lawatan yang dibungkus dengan agenda studi banding tersebut sangat baik. Namun, kenapa anggora Komisi VIII tetap ngotot pergi disaat parlemen Australia sedang mengalami masa reses kepada konstituennya alias libur? Jelas yang sebenarnya agenda utama adalah bukan untuk bertemu dengan Parlemen Australia tetapi hanya pelesiran untuk menghabiskan uang negara. Lawatan tersebut menyedot dana sebesar Rp. 811 juta dengan masing-masing dianggarkan Rp 56 juta per anggota per tujuh hari. Sungguh ironi anggota parlemen di negeri ini.
Namun, bagaimanapun juga kehadiran parlemen dalam sebuah negara menjadi penting karena parlemen merupakan representasi dari masyarakat negara tersebut. Dulunya, di jaman sebelum Westphalia (1648) mungkin tidak diperlukan sebuah parlemen, cukup mengumpulkan masyarakat untuk berkumpul bersama mengambil sebuah keputusan berdasarkan musyawarah. Tetapi, semenjak munculnya konsep negara dan tingginya tingkatnya laju pertumbuhan penduduk membuat hal klasik tersebut sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, muncul istilah parlemen yang merupakan perwakilan dari rakyat yang di mana anggotanya pun dipilih langsung oleh rakyat dengan rasio yang berbeda-beda di setiap negara. Misalnya jumlah anggota House of Representative (HoR)/DPR Amerika Serikat (AS) ditentukan oleh Kongres, yaitu berdasarkan jumlah penduduk tiap negara bagian. Konstitsusi AS menetapkan 1 kursi setiap 600.000 penduduk dan rasio ini terus berubah sesuai pertumbuhan penduduk.
Selain itu, parlemen juga berfungsi sebagai check and balance kinerja pemimpin. Dalam prinsip demokrasi, check and balance menjadi hal yang mutlak penting untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin. Atau lebih mudahnya parlemen menjadi sebuah kontrol atas kinerja pemimpin. Hal ini juga bisa dilihat sebagai upaya pencegahan pemimpi ke arah otoriter (karena seorang pemimpin negara harus mendiskusikan dengan parlemen jika ingin mengambil sebuah kebijakan).
Sebagai perwakilan dari masyarakat sebuah parlemen seyogyanya harus bertindak sesuai dengan keinginan rakyat. Jika kita telaah lebih dalam kata ‘perwakilan’ itu sendiri, maka maknanya yang bertindak sebagai majikan adalah rakyat sehingga tak ayal parlemen hanyalah sebuah penyambung lidah atau lebih sederhana dikatakan kurir bagi rakyat. Namun, dalam prakteknya hal tersebut sulit diwujudkan di hampir semua negara di dunia termasuk di Indonesia. Anggota parlemen sering membawa-bawa kalimat demi kepentingan rakyat. Terkadang kita pun sulit membedakan arti ‘kepentingan rakyat’ itu sendiri. Kepentingan rakyat siapa yang mereka maksud? Rakyat anggota parpol? Rakyat yang seideologi dengannya saja? Kita pun terkadang tampak terbuai ketika para anggota parlemen membawah embel-embel demi kepentingan rakyat.
Menyoroti kinerja parlemen Indonesia yang dari tahun ke tahun selalu mendapatkan kritik dari masyarakat atas tingkah laku anggotanya yang ‘aneh-aneh’ turut membuat penulis memikirkan hal ini. Ada apa dengan parlemen negara ini? Sistem pemerintahan negara ini menurut penulis adalah sistem pemerintahan yang sangat representatif di dunia. Betapa tidak, hanya di Indonesia yang di mana para anggota parlemen (DPRD, DPD, DPR-RI) dan presidennya dipilih secara langsung, one man one vote. Negara yang empunya demokrasi saja, yaitu AS tidak demikian. Mereka masih ada lembaga electoral college yang menentukan hasil akhir pemilihan umum (pemilu). Tetapi, mengapa parlemen Indonesia dalam mengambil maupun merancang sebuah UU terkadang tidak sesuai dengan tuntutan rakyat. Lebih kepada tuntutan partai politik yang menjadi kendaraannya menuju kursi empuk anggota dewan.
Dalam kesempatan ini, penulis mencoba menuangkan ide-ide untuk setidaknya menyelematkan parlemen negara kita untuk menuju parlemen Indonesia yang lebih baik ke depan. Ide tersebut penulis rangkum dalam sebuah saran-saran yang dirangkum ‘what should they (parliament) do’, sebagai berikut :

1. Return to the your basic work

Parlemen adalah wakil rakyat, dasar pekerjaannya adalah penyambung lidah rakyat. Untuk para anggota parlemen kembalilah ke pekerjaan dasarmu. Lebih profesional dan independen dalam membawa tuntutan rakyat. Suarakan dengan kencang jika memang itu kepentingan rakyat. Dan satu hal yang penulis tidak toleran. Jangan membawa embel-embel demi kepentingan rakyat hanya untuk menutupi kepentingan-kepentingan lain.

2. Transparancy

Terkadang rakyat dibuat bingung oleh informasi-informasi media terkait dengan kinerja parlemen. Hal ini disebabkan kurangnya transparansi. Lobi tidak transparan antara pejabat di tingkat pusat dan daerah dengan parlemen sangat mungkin terjadi dan rawan korupsi. Penulis pun sempat berfikir, apakah memang kurang transaparan atau memang harus disembunyikan agar tidak diketahui oleh publik? Untuk para anggota Komisi di parlemen yang doyan mengajukan proposal untuk hal-hal yang terkadang tidak jelas dan tidak masuk akal. Untuk ke depan diharapkan untuk lebih transparan atas proyek-proyek yang diajukan agar masyarakat tidak menebak-nebak sesuatu yang tidak akurat kebenarannya. Ingat prinsip ‘wakil rakyat’!

3. Accountability

Jelas para wakil rakyat harus bertanggungjawab. Hal ini menjadi penting karena mereka (wakil rakyat) mengemban amanah dari rakyat. Namun, penulis melihat kebanyakan mereka kurang bertanggungjawab. Coba kita lihat, saat sidang yang jelas-jelas akan membahas tuntutan rakyat jarang sekali kursi anggota dewan terisi penuh. Hampir tidak pernah 100 persen bisa hadir semua mereka. Atau mereka hadir, tapi tertidur saat sidang berlangsung (lihat berita-berita terkait kemarahan Presiden SBY melihat anggota dewan tertidur saat mendengarkan pengarahan darinya). Hanya jas yang diletakkan di kursi, tapi mereka hilang entah ke mana. Pantas kalo ada yang memberi gelar 3P untuk anggota dewan, yaitu pemalas, pembolos, dan pembual. Anggota dewan yang bertanggungjawab itu perlu dan penting.

4. Have a strong strategic vision

Parlemen harus memiliki visi yang jelas. Sebuah visi akan menjadi hal yang mutlak penting karena visi akan menjadi guide (pemandu) dalam mengemban amanah rakyat. Bak mencari pintu keluar dalam kegelapan tanpa sinar sedikitpun, sebuah visi akan menjadi cahaya untuk menuntun kita mencapai tujuan, yaitu jalan keluar. Visi itu sendiri harus berorientasikan pada upaya mensejahterahkan masyarakat. Sehingga dalam perjalanan nantinya, para anggota dewan dalam membuat atau merancang sebuah UU akan sangat berguna bagi rakyat.

5. Make a two ticket system

Melihat sistem pemilu di Indonesia, membuat penulis sempat memikirkan sistem dua tiket. Pemilu selama ini hanya memberikan satu tiket kepada rakyat. Rakyat hanya bisa menaikkan anggota parlemen dengan mencoblos kandidat yang sesuai dengannya secara langsung. Namun, rakyat tidak bisa menurunkan mereka. Meminjam istilah acara yang diselenggarakan Beswan Djarum. Penulis mencoba think out of the box. Sistem dua tiket yang penulis maksudnya adalah, rakyat seharusnya juga bisa menurunkan anggota parlemen yang dinilai kinerjanya merosost dan selalu bikin ‘ulah’. Jadi, tidak usah menunggu masa jabatan selama 5 tahun untuk mengganti mereka. Selain bisa menaikkan, rakyat juga bisa menurunkan mereka secara langsung.
Lima poin di atas setidaknya merupakan hasil pemikiran penulis guna memberikan sedikit saran dan masukan terhadap format ideal parlemen Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia yang prihatin terhadap kondisi pemerintahan dan perpoltikan Indonesia.Pemikiran-pemikiran dari seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan untuk menuju Indonesia yang lebih baik ke depan
Untuk para anggota dewan yang merupakan representasi dari rakyat, emban tugasmu dengan penuh tanggungjawab dan profesionalisme. Sedikit joke dari penulis, ada turis mengunjungi gedung DPR-RI. Melihat para anggota dewan yang berdatangan dengan mobil-mobil mewah, lengkap dengan gadget canggih ditangan. Turis pun berkata kepada penerjamah bahasanya, “ternyata rakyat Indonesia makmur semuanya”. Penerjemah menjawab, “bagaimana bisa mister?”. Bule balik menjawab, “lihat tuh, para wakil rakyatnya hidup mewah”. HIDUP PARLEMEN INDONESIA!