Friday 27 August 2010

Akankah Indonesia Berperang dengan Malaysia?

By : Triono Akhmad Munib

Dalam sepekan ini media nasional hangat membicarakan ketegangan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Hubungan Indonesia dengan Malaysia saat ini sedang mengalami ketegangan dipicu dengan penangkapan pegawai KKP Indonesia oleh Kepolisian Diraja Malaysia dan juga sebaliknya penangkapan tujuh nelayan Malaysia oleh Kepolisian Laut Indonesia. Ketegangan tersebut memang tidak terjadi kali ini saja. Kita tentu masih ingat lepasnya pulau Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia. Penganiyaan TKI oleh para majikan di Malaysia merupakan segelintir gesekan hubungan Indonesia dengan Malaysia
Malaysia yang selalu menggembor-gemborkan semboyan ‘satu ras’ dengan Indonesia rasanya semakin bertindak arogan. Bahkan, adanya sebuah rencana Malaysia untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi lingua franca Asia Tenggara. Tampaklah sudah ambisi Malaysia untuk menghegemoni Asia Tenggara. Demonstrasi dan protes di Indonesia maupun di Malaysia semakin memperlebar gesekan dan membuat panas masyarakat di kedua negara. Apalagi pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Malaysia Datuk Seri Anifah Amin berbau provokatif. Menurutnya, kesabaran Malaysia nyaris habis melihat aksi demonstran Indonesia yang menginjak-injak bendera Malaysia. Apalagi, kala itu massa juga melempar kotoran manusia ke kantor yang berlokasi di Jalan HR Rasuna Said itu. Disni muncul sebuah pertanyaan, “akankah Indonesia berperang dengan Malaysia?”.

Malaysia Lebih Unggul
Secara sadar maupun tidak sadar demonstrasi dan aksi protes yang terjadi di kedua negara telah memicu potensi perang. Apalagi, semakin maraknya media massa elektronik maupun cetak yang semakin menggembar-gemborkan berita hubungan Indonesia dan Malaysia. Seperti yang diketahui bahwa media massa merupakan jalan yang cukup efektif untuk mempengaruhi pikirian dan pembentukan opini publik. Bisa dikatakan perang tinggal tunggu tanggal mainnya saja. Tetapi jika pemerintahan kedua negara menginstruksikan untuk mendealkan perang. Siapa yang akan menang?. Penulis berpendapat Malaysia akan menang. Mengapa?
Kekuatan militer jauh lebih baik dan canggih ketimbang dengan Indonesia. Secara kualitatif perbandingan mesin perang kedua negara adalah 80 : 20. Kasus pencurian ikan oleh tujuh nelayan Malasysia menunjukkan kurang canggihnya peralatan Indonesia sehingga kejadian tersebut bisa terlepas dari pantauan Kepolisian Laut Indonesia. Nelayan saja bisa lolos dari pantuan apalagi nanti jika benar perang. Mungkin tentara Malaysia dengan mudah masuk perairan wilayah Indonesia tanpa terdeteksi radar. Dari kelengkapan persenjataan mulai dari pesawat tempur, kapal selam, tank pun Indonesia masih jauh dari Malaysia. Peralatan militer Indonesia bisa dikatakan sudah tak layak pakai. Kebanyakan peralatan dibeli dari eks Jerman Timur pada saat Perang Dunia 2. Sudah berapa tahun lamanya, jelas sudah ketinggalan jaman. Sedangkan Malaysia terus berupaya meng-update peralatan perangnya yang semakin canggih. Terlebih Malaysia adalah negara persemakmuran Inggris yang sekutu AS sehingga lebih mudah birokrasinya dalam membeli peralatan perang. Masih ingatkah kita setahun yang lalu bahwa AS memboikot pembelian alutista (alat utama sistem senjata) dari Rusia oleh Indonesia tetapi Malaysia diperbolehkan membeli pesawat tempur F-28 dari AS. Di mana, jika pesawat tempur F-18 terbang di langit Indonesia radarnya yang canggih bisa mendeteksi daerah-daerah yang tak dijaga dan rawan diambil alih. Tetapi Indonesia masih memiliki F-16. Dari segi kecanggihannya, jelas sudah canggih F-28.
Tetapi kita masih bisa bernapas lega karena Menlu kita Marty Natalegawa masih menggunakan soft diplomacy dalam menghadapi panasnya hubunga RI-Malaysia. Memang jika terjadi perang, kita bisa bayangkan berapa orang yang akan binasa, infrastruktur yang telah dibangun lama runtuh terkena gempuran rudal. Atau mungkin, saat putra-putri kita keluar rumah hendak bersekolah, ke kampus, bekerja ke kantor tiba-tiba muncul rudal yang menghantam sekolah, universitas, gedung perkantoran seperti yang terjadi dalam konflik Israel-Palestina. Tentu kita tidak mengingingkannya. Ada sedikit guraun, walaupun kita kalah dalam persenjataan dengan Malaysia. Namun, kita masih menang dalam jumlah penduduk. Kerahkan saja seluruh penduduk Indonesia mulai dari artis sampai masyarakat bawah untuk ikut perang. Lucu juga jika artis harus dipersenjatai. Di sini, penulis berpendapat potensi perang masih bisa terjadi dan security dilemma akan menghantui Indonesia

Tuesday 17 August 2010

Merdeka Itu Sudah 65 Tahun Yang Lalu

By : Triono Akhmad Munib

“Merdeka……merdeka……merdeka….”. Itulah sekilas cuplikan kata-kata yang muncul di jejaring sosial. Hendaknya kita perlu merefleksi kembali 65 tahun Indonesia merdeka sejak dibacakannya Proklamasi oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945. Apa yang kita bisa dapatkan dari 65 tahun kemerdekaan saat ini. Jelas sudah hanyalah pengakuan kedaulatan dari dunia internasional bahwa Negara Indonesia masih tetap ada beserta batas-batas yuridisnya.
Jika dianalisa kembali, penulis boleh mengatakan merdeka itu sudah 65 tahun yang lalu. Bangsa ini benar-benar merasakan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya pada era Bung Karno. Rakyat benar-benar bisa merasakan betapa merdekanya dirinya. Bisa menikmati hasil sumber daya tanah air serta keberlimpahannya. Enam puluh lima tahun yang lalu itu pun telah membuat Indonesia menjadi aktor penting dalam dunia internasional karena kegigihan Bung Karno yang terus menentang segala arus paham Blok Barat. Sehingga membuat militer Indonesia menjadi salah satu yang ditakuti. Dinamika perpolitikan Indonesia di era perang dingin kurun waktu 1953-1963 pernah ditandai dengan aroma diplomasi cantik dan elegan, disertai dengan kebijakan para pemimpin yang tidak mau didikte dan tunduk pada Amerika. Kurun waktu itulah bangsa mengalami kemerdekaan yang sesungguhnya.
Enam puluh lima tahun berlalu membuat bangsa ini semakin jauh dari rasa ‘merdeka’. Mungkin memang juga dikarenakan sejarah yang semula anti-AS menjadi Negara yang pro-AS pada era Seoharto. Kurun waktu Presiden Soeharto telah membawa pribumi tanah air tergeser rasa kemerdekaannya. Soeharto menjual asset-aset tanah air kepada investor-investor asing. Semakin munculnya gedung-gedung bertingkat yang berdiri di atas lahan produktif. Malahan di sini, adanya pergeseran kemerdekaan dari pribumi ke bangsa asing. Maksudnya?. Bangsa asing bisa leluasa memanfaatkan sumber daya tanah air kita, menjualnya dan uang hasil penjualan untuk pembangunan di Negara asalnya. Sedangkan kita sebagai bangsa pribumi semakin terhimpit dan semakin sulit untuk memperoleh akses sumber daya. Siapa yang merdeka?. Jelas sudah, bangsa lain. Indonesia adalah bangsa dan Negara yang besar. Gemah ripa loh jinawi katanya. Mungkin kita masih belum bisa memanfaatkannya dan celakanya bangsa asing yang pandai memanfaatkannya. Pernah Bung Karno berkata, ‘biarkan sumber daya tanah air kita ini sampai bangsa kita memiliki teknologi untuk megeksplorasinya’. Tetapi tentunya kita tidak akan terus menyalahkan sejarah. Hendaknya sejarah dijadikan pelajaran untuk masa depan kita.

Relfleksi 65 Tahun Merdeka

Di enam puluh lima tahun umur berdirinya Negara ini masih banyak masalah-masalah yang tak kunjung terselesaikan. Dari era Bung Karno sampai era SBY, haruslah kita melihat lagi, perjalanan bangsa ini. Karena dari situ bisa kita jadikan refleksi usaha bangsa Indonesia mencapai tujuannya. Kita harus meluruskan arah tujuan kita kembali, yg selama ini melenceng karena ulah kita sendiri. Tujuan yg telah kita sepakati 65 tahun yg lalu.
Umur yang sudah mencapi lebih dari setengah abad ini ternyata masalah penggangguran tak kunjung usai. Sesuai dengan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan dalam lima tahun ke depan gambaran soal angka pengangguran di Indonesia masih akan suram karena tidak tersedianya lapangan kerja. Masalah hukum pun masih menjadi menu utama saat ini. Hukum masih belum bisa berdiri tegak terlihat dari kasus-kasus yang terjadi belakangan ini. Hendaknya kita perlu lagi memahami kesepakatan kita yang telah dirintis dan dicita-citakan oleh para fouding fathers kita bahwa ‘Indonesia adalah Negara hukum bukan Negara yang berdasarkan kekuasaan belaka’. Semakin mudahnya saja seorang terdakwa lolos dari jeratan hukum dikarenakan hukum yang selalu memihak si kaya Semua masalah pelik yang selalu muncul menghantui tanah air kita hendaknya semua itu dijadikan sebuah pelajaran bagi kita dan mencoba untuk bangkit kembali.
Di saat seperti ini, mungkin kita rindu Indonesia 65 tahun yang lalu yang bisa merasakan kemerdekaan dalam setiap individu. Tetapi sungguh disayangkan enam puluh lima tahun yang lalu itu tidak bisa dirasakan lagi. Merdeka..…merdeka!! Dirgahayu Republik Indonesia ke-65. ‘Janganlah kau berpikir tentang apa yang diberikan Negara kepadamu, melainkan berpikirlah apa yang bisa kau berikan untuk negara’.

Saturday 14 August 2010

Security Dilemma Konflik Dua Korea

By : Triono Akhmad Munib

“Jika mereka (Korsel) berani menyulut perang, kami akan menghancurkan mereka tanpa ampun”. Itulah sekilas cuplikan pernyataan dari Komite Reunifikasi Damai Ibu Pertiwi Pyongyang, Korut. Konflik dua Korea tersebut merupakan buah hasil dari konflik era cold war (perang dingin) antara AS dan Uni Soviet pada saat itu. Di mana, saling berebutnya kedua negara tersebut akan paham yang dibawanya, yaitu komunisme dan liberalisme. Hasil perselisihan paham tersebut membawa Korut jatuh pada Uni Soviet menjadi negara berpaham komunis, sedangkan Korsel jatuh kepangkuan liberalis oleh AS. Namun selepas kedua Korea tersebut merdeka konflik tak kunjung menemui perdamaian hitam di atas putih secara formal dan legal. Memang sampai saat ini belum ada pakta perdamaian kedua Korea tesebut secara formal. Konflik kedua Korea tersebut sempat reda sejenak tetapi konflik muncul kembali kepermukaan setelah terjadi insiden penembakan kapal selam Kosel Cheonan oleh militer Korut di Laut Kuning pada 26 Maret lalu

Ancaman Perang
Dengan adanya insiden di atas membawa konflik di masa lalu muncul kembali. Pihak Korsel merasa bahwa perbuatan militer Korut dengan merudal kapal selamnya merupakan sebuah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi. Korut memulai untuk menyulut sebuah peperangan dua Korea. Namun, pihak Korut tetap berkilah bahwa tindakan militernya tidak salah karena kapal selam Korsel sudah melewati batas yang ditentukan sehingga Korut merasa terancam dengan kedatangan kapal selam Cheonan tersebut. Tiga bulan setelah insiden itu, Korsel melakukan operasi latihan militer besar-besaran dengan bekerjasama dengan militer AS di perbatasan Laut Kuning. Korsel terus meningkatkan anggaran belanja militernya dan terus menciptakan serta mengembangkan alat utama sistem senjata (alutista). Korut pun tak mau kalah, pihaknya juga terus melakukan pengembangan Taepodong-nya
Upaya Korsel dan Korut tersebut membawa kita kepada konsep security dilemma (dilema keamanan). Security Dilemma adalah suatu keadaan ketergantungan pada persenjataan yang menjadi kebijakan suatu negara yang seolah-olah demi kepentingan pertahanan suatu negara padahal untuk mengancam negara lain. Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karena adanya ancaman ancaman tersebut, menyebabkan negara yang tertekan tersebut membuat kebijakan untuk meningkatkan nilai persenjataanya baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya. Seoul mencoba menekan dan menakuti pihak Pyongyang dengan menggelar latihan militer massal. Korut pun mencoba untuk mengimbangi Korsel dengan menggelar latihan militer massal pula
Ternyata, dampak dilema kemanan tidak berhenti pada kedua Korea. Letak Korsel dan Korut yang langsung berbatasan dengan China membuat pihak Beijing juga kebakaran jenggot. Beijing merasa terancam pula dengan adanya peningkatan aktivitas militer kedua Korea. Kedaulatan negara China merasa terancam. Sesuai berita yang dilangsir Kompas pada hari Jum’at 6 Agustus 2010 diberitakan bahwa Beijing telah kembangkan rudal penghancur kapal induk Dong Feng DF-21D balisitik jarak menengah berhulu ledak konvensional . Untuk siapa? Ya, untuk mengatasi kekuatan kedua Korea jika suatu saat nanti perang akan meletus. Apalagi rudal Korut Taepodong-2 memiliki daya jangkau 4000-6000 km dengan efek ledakan mencapai 15000 km. Bahkan pihak AS mengklaim bahwa Taepodong-2 bisa mencapai AS. AS yang letaknuya sangat jauh saja bisa terjangkau, bagaimana dengan China yang langsung berbatasan darat dengan Korut. Memang konsep dilema kemanan ini merupakan sebuah konsep kekhawatiran. Jika ada suatu negara yang meningkatkan aktivitas militer dan menaikkan anggaran militernya maka secara tidak langsung negara tetangga akan merasa terancam. Selalu muncul pertanyaan-pertanyaan ketakutan. Mengapa negara itu meningkatkan aktivitas militernya?, untuk apa?, ditujukan kepada siapa?. Maka mau tidak mau negara tetangga harus mewaspadai dan bersiap siaga dengan ikut meningkatkan kegiatan militernya jika suatu saat serangan itu ditujukan kepadanya maka siap untuk beperang. Hendaknya tanah air kita perlu meningkatkan kegiatan militernya karena sudah terdengar isu perebutan klaim atas Laut Cina Selatan oleh pihak Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan dan juga China sendiri. Bukan tidak mungkin konsep dilema keamanan menghantui Indonesia.

Sunday 8 August 2010

Redominasi dan Mindset

by : Triono Akhmad Munib

Sepekan ini media massa dibanjiri berita tentang pro dan kontra redominasi mata uang yang diwacanakan pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia (BI). Semua pihak saling semprot dengan segala argumen-argumen yang dipegangnya. Muncul pula sindiran yang diberikan kepada kinerja pemerintah yang menganggap redominasi sebagai rencana yang lucu. Semakin maraknya demonstrasi di sana-sini yang mengecam rencana tersebut. Ya, diterima sajalah sebagai resiko dari demokrasi kita yang amburadul
Perlu ditekankan kembali akan makna redominasi. Redominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan atau penyeteraan nilai mata uang. Misalnya, Rp. 1000,- akan disederhanakan atau disetarakan dengan Rp. 1,-. Menurut pihak BI redominasi akan semakin mempermudah sistem akuntansi perbankan. Ditambahkan pula bahwa redenominasi ini berbeda dengan sanering (pemotongan nilai mata uang). Kalau redenominasi hanya menghilangkan nol saja tetapi nilainya sama, kalau sanering memotong nilai uang. Ya, sudahlah apa kata mereka. Tetapi rakyat masih belum bisa terima. Kenapa?
Di sini, kita akan langsung bersinggungan dengan mindset (pola pikir) masyarakat. Mungkin bagi kalangan pekerja kantoran dan perbankan redominasi bisa dipahami secara baik. Tetapi, bagaimana dengan masyarakat kelas bawah dalam arti masyarakat yang pekerjaannya berdagang di pasar, masyarakat desa. Merek masih tetap beranggapan bahwa 1000 masih lebih besar daripada 1. Jadi mereka merasa ada penurunan nilai mata uang. Itu karena mereka belum memahami makna redominasi secara utuh. Mindset mereka masih belum bisa diajak untuk berpikir ke sana, perlu jangka waktu yang cukup panjang untuk bisa menerima 1000 setara dengan 1

Siapa Yang Salah?

Tidak ada pihak yang perlu disalahkan dalam hal ini. Pihak pemerintah melalui BI pun mewacanakan rencana kebijakan tersebut juga untuk kemakmuran bersama. Mungkin perlunya ditingkatkan kembali kinerja masyarakat. Dalam hal apa?. Dalam hal sosialisasi. Jika memang pemerintah tetap ngotot ingin menerapkan kebijakan redominasi tersebut. Maka perlu ditingkatkan pula sosialisasi tentang redonominasi kepada masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah, pedagang hingga masyarakat desa serta pelosok hingga mereka paham dan bisa menerima arti 1000 setara dengan 1.
Memang secara ekplisit penulis berpendapat bahwa redominasi mata uang dirasakan perlu untuk mempermudah perhitungan keuangan dan menghindari dari salah tulis akibat terlalu banyak nol. Pernah seorang anak bertanya pada Bapaknya, “Pak, seribu triliyun rupiah itu nol-nya berapa?”. Si Bapak pun kelabakan menjawab karena harus menghitung dengan jarinya hingga pinjam jari tetangganya karena tidak cukup. Tetapi redominasi juga akan membawa dampak. Salah satunya adalah berubahnya status miliarder menjadi jutawan dan jutawan menjadi ribuwan.

Saturday 7 August 2010

Desa ke Kota, Kota ke Desa

by : Triono Akhmad Munib

“Badhe tindak dateng pundi Mbah?” (Mau pergi kemana Mbah?), tanyaku. “Badhe dateng kota mas” (Mau pergi ke kota mas), jawab si Mbah. Mendengar jawaban si Mbah, dalam hati saya bertanya-tanya. Bukankah ini sudah di dalam wilayah satu kota?. Tapi kok si Mbah mau pergi ke kota. Kemanakah yang hendak ditujunya?. Dengan rasa penasaran saya pun mengikuti kemana si Mbah akan pergi. Tak lama setelah itu sampailah pada tempat yang di maksud si Mbah. Saya terkejut, ternyata yang dimaksud dengan kota oleh si Mbah adalah sebuah alun-alun dengan pusat perbelanjaan. Di sini, saya mulai mengerti bahwa konsep kata ‘kota’ menurut si Mbah. Terlepas dari kota metropolitan seperti Jakarta
Kebanyakan orang-orang menyebut suatu tempat dengan sebutan ‘kota’ adalah sebuah tempat dengan definisi memiliki alun-alun, dan pusat perbelanjaan. Konsep tersebut telah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka kepada keturunannya. Mungkin itu semua tak lepas dari sejarah nusantara kita yaitu pada masa kerajaan. Salah satunya adalah kerajaan Majapahit pada abad ke- 12. Konsep kota yang diberikan oleh Majapahit secara tidak langsung hampir menyerupai pembentukan kota-kota di Indonesia. Pada masa Majapahit, terdapat sebuah tanah lapang untuk kegiatan publik dengan dikelilingi pusat kerajaan, pusat perdagangan, tempat ibadah, dan balai prajurit.
Jika dianalisa dengan konsep ‘kota’ di Indonesia. Maka akan ada kesamaan. Pertama, tanah publik diidentikkan dengan alun-alun. Kedua, pusat kerajaan adalah kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Pemerintah Kota (Pemkot). Ketiga, balai tentara disamakan dengan kantor Komando Distrik Militer atau Kodim. Sedangkan pusat dagang adalah pusat perbelanjaan, supermarket atau pun yang lainnya. Jadi si Mbah gak salah dong?. Secara mutlak tidak.
Tetapi mungkin jika si Mbah ingin mengurus KTP mungkin si Mbah bisa salah. Di atas merupakan konsep ‘kota’ menurut orang lama. Tetapi arti tersebut berubah ketika dihadapkan dengan pemerintahan saat ini. Dalam era pemerintahan saat ini. Suatu wilayah bisa terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten dan Kota. Maksudnya, terdapat dua pemerintahan dalam satu daerah. Seperti contohnya, daerah Mojokerto terdapat Pemerintahan Kota dan Pemerintahan Kabupaten yang masing-masing memiliki wilayah kecamatan tersendiri. Jadi jika si Mbah tinggal di salah satu kecamatan di wilayah Pemkab maka si Mbah harus mengurusnya di kantor Pemkab begitu pula sebaliknya. Jadi yang mana yang disebut ‘kota’ dan ‘desa’ kalau begitu?. Entah siapa yang menciptakan. Biasanya orang sering menyebut warga yang tinggal di salah satu kecamatan di wilayah kerja Pemkab sebagai orang ‘desa’ dan sebaliknya sebagai orang ‘kota’ jika tinggal di salah satu kecamatan di wilayah kerja Pemkot.
Tetapi terdapat satu daerah yang memiliki satu pemerintahan seperti Jember. Daerah Jember hanya memiliki Pemerintahan Kabupaten. Tapi tetap warga masih menyebut alun-alun sebagai pusat kota dan menyebut warga kota bagi yang tinggal di sekitar alun-alun. Warga Jember sering menyebut ‘pergi ke kota’ jika mereka hendak ke kantor Pemkab, ke pusat perbelanjaan atau ke alun-alun.
Memang terlihat kata ‘kota’ dan ‘desa’ sedang mengalami perubahan makna. Tetapi itu sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat kita yang sudah salah kaprah.

Monday 2 August 2010

UU No. 24 Tahun 2007 dan Maraknya Gedung Sekolah Roboh

By : Triono Akhmad Munib

Maraknya bencana alam maupun non-alam yang terjadi di tanah air membuat pemerintah terus menghimbau pemerintah daerah maupun propinsi untuk selalu mengutamakan penganggulangan bencana di setiap sektor pembangunan. Bencana alam didefinisikan sebagai segala bentuk bencana yang benar-benar murni karena proses alam, seperti : gempa bumi, tsunami, dll. Sedangkan bencana non-alam diartikan sebagai bencana yang timbul akibat ulah manusia, seperti : banjir, bangunan roboh, elpiji meledak, gagal teknologi dan modernisasi, dll. Telah terjadi perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana, yaitu di mana pendekatan tanggap darurat berubah menjadi pengurangan resiko bencana. Sehingga perencanaan pembangunan harus memasukkan pengarusutamaan penanggulangan bencana. Sesuai dengan pembagian bentuk bencana menurut UU No.24 Tahun 2007 penulis akan membahas tentang bencana non-alam serta dampak yang ditimbulkannya dari segi sosial
Untuk lebih memfokuskan pembahasan agar tidak melebar jauh penulis mengambil contoh kasus bencana non-alam, yaitu banyaknya gedung sekolah yang roboh di tanah air, khususnya Jawa Timur. Sudah banyak media elektronik, surat kabar yang memberitakan robohnya gedung sekolah di kota-kota di Jawa Timur. Sebut saja di Kabupaten Mojokerto terdapat dua kasus sekolah roboh, yaitu di tahuun 2008 dan 2010. Padahal salah satu dari sekolah tersebut baru saja mengalami renovasi dan yang lain memang sudah dimakan usia. Kemudian juga di Kabupaten Kediri, yang mengakibatkan para siswa-siswi harus rela tersengat matahari karena kegiatan belajar mengajar di pindahkan di pelataran sekolah. Entah berapa banyak lagi kasus yang terjadi, penulis kira tidak hanya yang disebutkan di atas saja. Jika bersandar pada UU No. 24 Tahun 2007, seharusnya bencana tersebut tidak perlu terjadi. Pemerintah telah berkomitmen untuk mencoba mencegah resiko bencana. Sehingga pemerintah seharusnya tanggap terhadap kondisi gedung-gedung sekolah di tanah air. Sungguh ironis memang, ketika menaikkan angka 20% dalam APBN dan APBD tidak mungkin lagi dilakukan, ternyata di sisi lain ada kenyataan daftar gedung sekolah yang roboh justru semakin panjang.
Di setiap bencana selalu membawa dampak. Gedung sekolah roboh juga membawa dampak bagi masyarakat khususnya siswa-siswi. Suasana panas di luar pelataran sekolah menjadi keseharian para siswa sehingga kadang siswa kurang bisa berkonsentarsi akibat menahan panasnya sengatan matahari. Atau bahkan hingga kematian seorang siswa akibat tertimpa material bangunan yang roboh seperti yang menimpa pada Doni siswa SDN 3 Karang Anyar, Kecamatan Gedung Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Bongkahan material yang keras membuat ia gegar otak dan menemui ajalnya saat dilarikan ke Puskesmas setempat. Sungguh tragis melihat kejadian di atas. Kondisi ini menempatkan pemerintah dalam putaran dilema. Di satu sisi pemerintah telah meratifikasi komitmen Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) dalam bidang pendidikan yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi di sisi lain sarana prasarana pendidikan masih belum terpenuhi. Di sini timbul pertanyaan kenapa kejadian tersebut terjadi dan masih terus berlangsung, kan pemerintah sudah membuat sebuah undang-undang tentang penanggulangan bencana setidaknya kejadian di atas tidak perlu terjadi?

Perlu Pembenahan Kembali
Secara teori pertanyaan di atas memang benar. Jika pemerintah sudah membuat sebuah undang-undang berarti aturan tersebut memiliki legislasi yang kuat dan wajib dijalankan. Tetapi pada prakteknya tidak begitu. Memang dalam poin 2 pasal 3 tentang prinsip-prinsip penanggulangan bencana telah disebutkan cepat dan tepat, prioritas serta transparansi dan akuntabilitas. Jika dikaitkan dengan kejadian maraknya gedung sekolah yang roboh kiranya prinsip tersebut masih belum bisa terpenuhi, mengapa?. Yang pertama cepat dan tepat, jika mengetahui kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak lagi sehingga butuh di Jawa Timur seharusnya pemerintah cepat melakukan renovasi. Tetapi nyatanya tidak begitu. Ini dialami pada SD Negeri 2 Lengkong Kabupaten Mojokerto. Kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak lagi masih belum mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Pemerintah Kabupaten Mojokerto dinilai acuh. Kedua, prinsip prioritas. Kiranya pemerintah masih belum memprioritaskan renovasi gedung sekolah dalam agenda pembangunannya. Jika pemerintah sudah membuat undang-undang tentang penanggulangan bencana setidaknya program renovasi gedung sekolah perlu diperbanyak lagi sesuai dengan komitmen mengurangi resiko bencana seperti apa yang telah disebutkan diatas. Yang terakhir adalah transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini penulis berpendapat masih rendah. Tidak transparansinya aliran dana untuk merenovasi sekolah merupakan salah satu penyebab robohnya gedung sekolah. Lho, kok bisa?. Tentu bisa. Seperti yang dialami salah satu sekolah di Kabupatan Mojokerto. Sekolah tersebut baru saja direnovasi tetapi 4 bulan ambruk. Setelah diselidiki ternyata memang material yang digunakan untuk merenovasi merupakan material yang jelek. Itu dikarenakan dana renovasi disunat oleh oknum yang bertanggungjawab. Demi mendapatkan keuntungan, oknum tersebut melalaikan prinsip penanggulangan bencana.

Siapa Yang Salah?
Tidak ada yang secara mutlak benar dan salah. Upaya pemerintah sudah bagus dengan membuat undang-undang penanggulangan bencana. Tetapi perlu dianalisa bahwa di sini timbul sebuah dialektika segitiga setan.


Undang-undang

Pemerintah pusat
Pemerintah
daerah



Percuma jika undang-undangnya sudah baik dan mengikat tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah pusat kurang koordinasi dan masih mlempem menjalankan undang-udang tersebut. Atau mungkin sebaliknya undang-undang dan pemerintah pusat sudah melakukan sinkronisasi dengan baik tetapi di pemerintah daerah masing belum bisa menerapkan secara optimal undang-undang tersebut. Lalu, bagaimana solusinya?
Mungkin sulit memberikan sebuah solusi yang bisa fleksibel karena hal tersebut langsung berkaitan dengan gejala sosial. Di sini, penulis memberikan sedikit solusi agar kejadian bencana gedung roboh tak terulang kembali di tanah air. Yang pertama, perlu ditingkatkan kembali sosialisasi akan UU No.24 tahun 2007 di atas khususnya mengenai dasar perubahan paradigma. Jadi pemerintah pusat maupun daerah diminta untuk mengubah cara pandang mereka ke arah pengurangan resiko bencana sehingga mereka akan bersiap sebelum bencana datang. Maksudnya, terus melakukan dan meningkatkan survei terhadap gedung-gedung sekolah di Jawa Timur agar sebelum roboh bisa dicegah dengan renovasi dini. Sosialisasi ini tidak hanya diberikan kepada pemerintah pusat maupun daerah tetapi juga kepada masyarakat sesuai dengan amanat UU No. 24 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa perlunya partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat diminta untuk cepat dan tanggap untuk melaporkan kondisi gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai ataupun yang lapuk dimakan usia kepada Dinas Pendidikan setempat disamping pemerintah melakukan survei sendiri. Kedua, perlunya ditingkatkan anggaran pendidikan dari yang sekarang 20%. Jika kita melihat negara tentangga seperti Singapura yang memberikan 25% dan Malaysia 26% dari APBN. Karena dirasa kurang dengan menganggarkan 20% untuk pendidikan. Oke lah jika untuk pembiayaan sekolah gratis bagi anak miskin dan kurang mampu tetapi kita dihadapkan pula dengan maraknya gedung sekolah yang bobrok. Di satu sisi untuk pembiayaan sekolah gratis, namun di sisi lain untuk pembiayaan renovasi. Jadi anggaran tersebut dianggap kurang. Yang ketiga dan terakhir adalah masalah korupsi yang menjadi momok dan bahaya laten di tanah air. Pemerintah harus terus memberantas dan mengusut tuntas kasus korupsi di tanah air. Korupsi membuat dana pendidikan semakin mengerucut kecil jika sampai pada pemerintah daerah. Misalnya, dana pendidikan dari pemerintah pusat sebesar 20 triliyun rupiah. Karena panjangnya birokrasi dan maraknya korupsi bisa-bisa dana sampai ke pemerintah daerah menjadi 17 triliyun atau mungkin kurang dari itu. Banyaknya oknum-oknum yang suka menyunat dana membuat Indonesia tidak bisa maju.
Di atas merupakan sedikit analisa penulis tentang pengarustamaan resiko bencana dalam pembangunan khusunya di Jawa Timur dengan mengambil kasus maraknya bencana gedung sekolah yang roboh. Kita semua, khususnya para orang tua tidak ingin apabila pada saat kegiatan belajar mengajar di sekolah, rekan kita atau mungkin putra-putri kita tertimpa bongkahan material gedung akibat bobroknya kondisi gedung. Berharap kedepannya pemerintah pusat maupun daerah bisa memperbaiki kinerjanya seperti solusi yang diberikan penulis di atas