Saturday 31 July 2010

Antara Demokrasi dan Disintergrasi Bangsa

By : Triono Akhmad Munib

Kerusuhan Pemilukada yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini semakin menambah sejarah anarkisme Indonesia. Salah satu contohnya adalah kerusuhan yang terjadi pada Pemilukada Kabupaten Mojokerto sebulan yang lalu. Tidak tanggung-tanggung tindakan anarki masyarakat tersebut telah merugikan pemerintah sekitar 1,4 miliar rupiah. Sangat disayangkan uang jika sebanyak itu digunakan untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas yang dirusak oleh massa yang sebelumnya baik-baik saja
Di dalam analisis kerusuhan Pemilukada yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini perlu ditelaah dua analisa, kebebasan demokrasi dan ancaman disintegrasi bangsa. Memang Demokrasi memang menjunjung tinggi kebebasan personal, tetapi bukan berarti tak bertanggung jawab. Kita perlu mengelola kebebasan yang sedemikian rupa sehingga efektif dan bertanggung jawab masih merupakan pergulatan dan perjuangan bersama. Kontrol efektif dan tentu saja benar serta diikuti tanggung jawab itulah tantangan dari demokrasi. Negara kita adalah negara hukum (rechstaat), yaitu negara yang dalam menjalankan kegiatan bernegara harus berlandaskan pada hukum. Di sini lah, letak kesalahan masyarakat yang mengartikan demokrasi secara murni. Negara kita, Indonesia memang menghargai kebebasan tetapi masih terdapat batasan untuk mengkontrolnya, yaitu hukum agar kebebasan tersebut tidak terlampau jauh ke arah brutal dan anarki. Massa merasa tindakan anarkinya dengan membakar mobil dan merusak fasilitas negara adalah sebuah kebebasan dari demokrasi. Itu salah, tindakan tersebut sudah lepas dari makna demokrasi dan menuju ke arah kriminalisasi, yang jelas melanggar hukum dan bisa dipenjarakan. Tindakan anarki massa tersebut sangat tidak bertanggung jawab dan mencoreng esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah sebuah tanggung jawab. Kita membangun demokrasi secara bersamaan kita juga membangun tanggung jawab bersama. Tanggung jawab mewujudkan kondisi perikehidupan warga, masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih maju, lebih sejahtera, lebih bermakna demokrasinya

Ancaman Disintegrasi

Selain itu, kerusuhan tersebut dikhawatirkan menjadi potensi disintegrasi bangsa. Disintegarsi di sini, diartikan sebagai adanya perpecahan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh pengelompokkan masyarakat itu ke dalam aliran-aliran politik tertentu. Pengelompokkan tersebut bisa berangkat dari kesamaan ide, ideologi, agaman atau bahkan kesamaan etnis. Secara tidak sadar, dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh-pengaruh dari opini-opini politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan. Dalam hal ini biasanya massa pemrotes berasal dari pendukung partai politik tertentu dengan ideologi tertentu pula. Kasus kerusuhan Pemilukada di Indonesia merupakan sebagai tanda awal disintegrasi sebuah bangsa. Masyarakat akan terkotak-kotak (ter-enrichment) ke dalam golongan-golongan ideologi, agama, dan etnis. Jika ini dibiarkan dikhawatirkan kelompok-kelompok ini akan membelot kepada Indonesia dan mencoba mendirikan negara baru. Sudah banyak contoh di Indonesia tentang upaya pembentukan negara baru seperti : GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan OPM (Operasi Papua Merdeka). Itu semua terjadi karena rakyat menganggap bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah seringkali tidak sepaham dengan mereka dan hanya mementingkan kelompok-kelompoknya semata. Di sini, timbul pertanyaan mengapa kita harus berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih pemimpin jika kita harus mengorbankan ingtegrasi bangsa?. Ini merupakan sebuah big homework (pekerjaan rumah besar) bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk terus mensosialisasikan makna dari demokrasi yang baik kepada masyarakat. Tantangan bagi pemerintah adalah sedikitnya masyarakat Indonesia yang berpendidikan sehingga semakin mudah diprovokasi.

Friday 30 July 2010

Sepak Bola dan Politik

By : Triono Akhmad Munib

Pagelaran akbar sepak bola sejagad atau biasa disebut dengan world cup (piala dunia) telah usai. Tetapi euforia para suporter dan kontroversi masih terus berlanjut hingga saat ini. Misalnya gol tendangan keras pemain Inggris, Frank Lampard ke gawang tim Jerman yang sempat dianulir wasit masih menjadi perdebatan panas. Jika berbicara piala dunia, kita tak bisa lepas dari kerasnya permainan di lapangan hijau yang menjadi ciri khas dari permainanan sepak bola itu sendiri. Demi membela negara dalam arti menyelamatkan gawang dari gempuran lawan apa pun dilakukan. Loncatan kaki pemain, salto, sundulan, tackling selalu mewarnai disetiap laga sehingga permainan tampak seperti adu karate antar tim. Tetapi di sini kita tidak akan membicarakan sepak bola lebih dalam melainkan akan berbicara tentant politik. Lho, bagaimana bisa sepak bola disamakan dengan politik?.
Panasnya suhu politik di tanah air membuat tayangan berita di televisi tak berhenti mengabarkan perkembangan politik tanah air. Entah tentang semakin maraknya koalisi antar partai politik (parpol), pemilihan calon ketua umum parpol hingga saling berebut kursi jabatan. Jika kita lihat perpolitikan memang tak ayalnya sebuah permainan sepak yang selalu dibumbui dengan tackling, saring serang hingga stuggle each other (menjatuhkan satu sama lain)

Sama Kerasnya

Bisa dikatakan politik adalah sama kerasnya dengan sebuah permainan sepak bola. Bila disamakan dengan permainan sepak bola berarti politik itu menakutkan kah?. Bisa dikatakan ‘iya’. Politik akan saling dorong, menyerang, tackling, menjatuhkan satu sama lain hingga bisa mencapai gol yaitu tercapainya sebuah tujuan yang diharapkan. Demi mempertahankan kepentingannya, mereka akan saling serang terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan politiknya. Mereka akn saling menjatuhkan satu sama lain dengan mencari-cari kesalahan lawannya. Jika dalam sepakbola ada lawan ada kawan di dalam politik kadang tak mengenal itu. Politik kadang buta akan kawan dan lawan sampai-sampai mereka bisa saling menendang walau dalam satu tim atau parpol. Rasanya tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah ‘kepentingan abadi’
Jika dalam sepak bola dikenal dengan adanya blunder seperti pertandingan Korea Selatan melawan Argentina di mana terjadi blunder pemain bertahan Argentina, Martin Demichelis mengakibatkan Argentina kebobolan oleh Park Ji-Sung. Di dalam politik pun juga ada hal demikian alih-alih menyerang musuh politiknya dan mempertahankan kepentingannya malah bisa-bisa serangan tersebut akan kembali kepada dirinya dan malah lawan yang bisa menjebol gawang kita dalam arti mencapai tujuannya. Layaknya sepak bola politik harus memerlukan strategi apakah kita akan deffence atau full attack. Jika dalam sepak bola diperlukan sebuah timing yang pas untuk memasukkan pemain andalan mereka dalam politik pun juga begitu. Diperlukan sebuah waktu yang tepat untuk mengangkat atau memanfaatkan isu yang sedang berlangsung untuk menarik dukungan dari masyarakat. Wah, kalau begitu politik itu kejam ya?. Secara mutlak ‘tidak’. Kita tidak bisa lepas dalam politik. Hidup keseharian kita pun secara tidak langsung sudah memasuki ranah politik. Misalnya, kita akan membeli sebuah pakaian pastilah kita memilih. Nah, memilih itu lah merupakan hal kecil dari politik. Karena dalam proses pembuatan kebijakan (decision making process) seorang pemimpin perlu memilih kebijakan manakan yang akan diambil, semisal terus mensubsidi minyak tanah atau konversi ke gas.

Thursday 15 July 2010

Majapahit Lambang Kejayaan Nusantara

By : Triono Akhmad Munib

Di tengah semakin rumitnya masalah ekonomi, di tengah semakin maraknya kerusuhan yang terlihat membudaya. Kita seakan rindu akan kemakmuran dan kejayan di masa lalu. Jika kita berbicara kejayaan masa lalu, tentu kita tidak bisa lepas dari nama kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri dibumi nusantara ini. Salah satunya adalah Kerajaan Majapahit yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan Majapahit tumbuh pesat setelah naiknya Gajah Mada sebagai Mahapatih. Gajah Mada yang bercita-cita ingin menyatukan nusantara yang terkenal dengan “Sumpah Palapa” merupakan wujud dari adanya keinginan membentuk sebuah bangsa yang bersatu
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang bertumpu pada sektor agraris dan maritim yang sangat kuat. Bisa dikatakan Majapahit merupakan sebuah Kerajaan modern di abad tersebut. Di sini, Kerajaan Majapahit sudah mengenal sistem parit pertahanan (gracht), sistem pipa air minum, dan sistem pengolahan air untuk menggenangi atau mengisi parit-parit tersebut. Argumen tersebut diperkuat dengan situs Candi Tikus yang menurut para peneliti dan sejarawan menyimpulkan bahwa Kerajaan Majapahit telah memiliki sistem kanal air yang baik. Jadi sistem parit pelindung kota sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang-orang barat (Portugis dan Belanda). Tak hanya berhenti sampai pada sistem perairan. Majapahit juga sudah mengenal teknologi. Kita layak berbangga diri terhadap kepiawaian para arsitek di zaman Majapahit. Berdasarkan hasil riset yang melibatkan para pakar lintas disiplin ilmu, arsitektur kota di zaman Majapahit sudah sangat maju. Sayangnya, catatan warisan teknologi itu hilang tak berbekas. Ilmu itu tak diwariskan ke anak cucu kita. Akibatnya, kini kita harus rela mengimpor ilmu geodesi dan navigasi dari dunia barat
Kerajaan Majapahit juga sudah memikirkan sistem pemukiman penduduk jauh sebelum penjajah memperkenalkan sistem perumahan penduduk. Hasil pemotretan foto udara hitam putih panchromatic misalnya, terdapat pola-pola unik yang diduga merupakan pola daerah permukiman atau perkotaan .Pada foto berskala 16.250 itu tampak pola-pola garis atau jalur-jalur lurus yang saling memotong tegak lurus. Lebar dari jalur-jalur tersebut antara 20 sampai 25 meter. Di satu tempat ada jalur yang mengarah barat daya tenggara. Sementara itu, pemotretan udara inframerah semu (false color infra red) yang berfungsi untuk mengetahui pola-pola yang mempunyai hubungan dengan kondisi kelembaban tanah, jenis dan penyebaran vegetasi, serta permukiman atau kampung-kampung. Selain itu, cara ini juga bisa mengetahui pola-pola yang berhubungan dengan peninggalan-peninggalan terpendam, misalnya tembok bekas fondasi perumahan, jalan, saluran, dan lain-lain. Berdasarkan foto udara inframerah semu skala 110.000, tampak jelas bahwa jalur-jalur ini digunakan sebagai sawah-sawah irigasi. Jalur-jalur tersebut mempunyai hubungan dengan Sungai Gunting yang mengalir melalui tepi timur dan utara Kota Mo-joagung. Sungai Gunting merupakan anak Sungai Brantas.

Berterima Kasih Pada Majapahit

Kerajaan Majapahit yang berdiri pada abad ke-12 hingga abad 15 merupakan sebuah bukti kejayaan nusantara Indonesia pada masa lampau. Bumi nusantara ini telah memiliki sebuah kerajaan yang besar, megah, dan makmur. Majapahit telah memberikan dampak yang siginifikan bagi Indonesia khusunya masalah luas wilayah Indonesia saat. Bisa dikatakan, tanpa adanya Majapahit mungkin Indonesia tak akan seluas ini. Majapahit telah menguasai kerajaan-kerajaan lain di semenanjung Malaya Borneo Sumatra Bali dan Filipina. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yg menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang luas di Sumatra Semenanjung Malaya Borneo hingga Indonesia timur.
Selain masalah wilayah di atas. Hendaknya kita perlu lagi menggali potensi yang dimiliki Majapahit. Sebelum kedatangan para penjajah di Indonesia yang memperkenalkan sistem perairan dan pemukiman modern sebenarnya Majapahit sudah memikirkan dan menerapkannya. Mungkin karenya kurangnya pewarisan kepada cucu-cucu kita sehingga sistem perairan dan pemukiman yang dibawa “londo” (Belanda, red) adalah sebuah hal yang modern dan baru padahal kita sudah memilikinya jauh sebelumnya
Jika kita membaca bukti kejayaan Majapahit di nusantara di atas. Kita merasa rindu akan kemakmuran di zaman Majapahit bisa terjadi di era saat ini. Kita sudah bosan akan carut-marut masalah dalam negeri. Pergantian sosok Presiden yang tak kunjung membawa perubahan yang cukup signifikan bagi bangsa Indonesia. Masalah disitengrasi bangsa yang semakin muncul di mana-mana karena ketidakadilan. Mungkin di sini kita butuh sosok Presiden seperti Mahapatih Gajah Mada kedepannya.