Wednesday 12 May 2010

Politik dan Pemerintahan Arab Saudi

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Arab Saudi merupakan salah satu negara di kawasan timur tengah yang memiliki pengaruh yang cukup penting. Arab Saudi beribukota di Riyadh. Wilayah Arab Saudi meliputi empat perlima Semenanjung Arabia, dikelilingi oleh Laut Merah (sebelah barat), Lautan India (sebelah selatan), dan Teluk Arabia (sebelah timur). Di utara Arab Saudi bebatasan dengan Jordania, Irak, dan Kuwait, di timur berbatasan dengan kawasan Teluk Bahrain, Qatar, dan Persatuan Emirat Arab, serta di selatan dengan Kesultanan Oman, Yaman Utara dan Selatan. Di antaran Arab Saudi dengan Kuwait terdapat dua wilayah zona bebas yang berdekatan dan sejak 1966 dibagi dua dan secara administratif masing-masing diatur oleh keduanya. Wilayah zona bebas lainnya, yaitu wilayah yang terletak antara Arab Saudi dengan Irak yang ditetapkan oleh keduanya (1975) .
Luas daratan Arab Saudi meliputi 2.240.000 km2 dengan penduduk 14.435.000 jiwa, dan sekitar 314.000-812.000 adalah jumlah pekerja asing (Arab dan non-Arab). Tingkat pertumbuhan penduduk Saudi adalah 2% per tahun, serta tingkat kepadatan penduduk 5.4 juta jiwa per km2 (1986). Penduduk tersebar di kota-kota besar maupun kecil mendiami wilayah yang kaya akan sumber air (oasis), desa-desa di pegunungan, serta pada suku-suku yang hidup mengembara . Arab Saudi tidak seperti negara Arab lainnya, yaitu tidak mengenal kehadiran kota yang sangat dominan pengaruhnya seperti Kairo, Baghdad, maupun Teheran. Kota-kota utama Arab Saudi, adalah Riyadh, Jeddah, dan Mekkah dengan jumlah penduduk masing-masing kurang dari 500.000 jiwa.
Pada masa dahulu daerah Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian yakni daerah Hijaz yakni daerah pesisir barat Semenanjung Arab yang didalamnya terdapat kota-kota diantaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah serta daerah gurun Najd yakni daerah daerah gurun sampai pesisir timur semenanjung arabia yang umumnya dihuni oleh suku suku lokal Arab (Badui) dan Kabilah kabilah Arab lainnya.
Pada masa awal tumbuh dan berkembangnya Islam. Wilayah ini memiliki pusat pemerintahan di Madinah dari sejak Nabi Muhammad sampai masa khalifah Utsman bin Affan. Sejak masa khalifah Ali bin Abi Thalib pusat pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak sekarang, kemudian berturut turut menjadi bagian wilayah Daulah Ummayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyah Turki.
Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun 1750 ketika Muhammad bin Sa’ud bersama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja sama untuk memurnikan agama Islam yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al Sa’ud atau Abdul Aziz Ibnu Su’ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz yang dulu dikuasai oleh Syarif Husain dengan Najd.
Pada tahun 1902 Abdul Aziz menguasai Riyadh dari penguasa Al-Rashid, kemudian Al-Ahsa kemudian wilayah nejed antara tahun 1913-1926. Pada tanggal 8 Januari 1926, Abdul Aziz menjadi penguasa wilayah Najd. Dengan menandatangani perjanjian di Jeddah pada tanggal 20 Mei 1927 Arab Saudi menyatakan kemerdekaannya. Pada tahun 1936 wilayah itu diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam karya tulis ilmiah ini, penulis mengangkat rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana politik dan pemerintahan Arab Saudi?
2. Apa yang melatar-belakangi pemerintah Arab Saudi mengintervensi pemberontakan di Yaman Utara?

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pemerintahan Arab Saudi
Arab Saudi menggunakan sistem Kerajaan atau Monarki. Hukum yang digunakan adalah hukum Syariat Islam dengan berdasar pada pengamalan ajaran Islam semurni-murninya yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Arab Saudi menyatukan kepercayaan agama dan politik dan tidak mempunyai Undang Undang Dasar serta melarang kegiatan partai politik. Raja adalah kepala negara dan pemimpin agama. Keluarga raja menguasai kekuasaan politik, ekonomi dan militer negara. Keputusan kabinet, perjanjian dan persetujuan yang ditandatangani dengan negeri lain harus disahkan oleh raja. Al-Qur'an dan hadis Nabi adalah dasar penegakan hukum negara. Raja merangkap panglima besar angkatan bersenjata dan Ketua Dewan Menteri yakni perdana menteri. Raja menjalankan kekuasaan eksekutif dan yudikatif tertinggi. Wakil perdana menteri, menteri, wakil menteri, gubernur, wakil gubernur, perutusan diplomatik untuk luar negeri dan pejabat tinggi lainnya serta perwira berpangkat kolonel ke atas diangkat oleh Raja.
Raja berhak membubarkan atau menreshuffle kabinet. Para menteri bertanggungjawab langsung kepada perdana menteri. Raja berhak mengesahkan dan menolak keputusan sidang kabinet serta perjanjian dan persetujuan yang ditandatangani dengan negeri lain. Kabinet terdiri dari wakil perdana menteri, para menteri serta menteri negara dan penasehat raja, dengan masa bakti 4 tahun. Raja berhak mengangkat atau membatalkan putera mahkota serta membubarkan Dewan Musyawarah.

2.1.1 Pergantian Raja-raja Arab Saudi
Sampai saat ini, Arab Saudi telah mengalami 6 kali pergantian kekuasaan (raja), yaitu mulai dari awal negara Arab Saudi beridiri tahun 1932-2005. Adapun periode pergantian raja adalah sebagai berikut :
1. Raja Abdul Aziz (1932-1953)
Abdul Aziz atau Ibnu Saud dilahirkan di Riyadh dan merupakan anak pasangan Abdul Rahman bin Faisal dan Sara binti Ahmad al-Kabir Sudayri. Ibnu Saud, adalah pendiri negara Arab Saudi dengan bantuan para pejuang Wahabbi. Pada saat Perang Dunia I, Ibnu Saud berpihak kepada Britania Raya (Inggris) karena dinasti Rashidi merupakan sekutu Utsmaniyah yang merupakan musuh Britania. Pada tahun 1922 dinasti Saud berhasil mengalahkan dinasti Rashidi dan ini mengakhiri penguasaan dinasti Rashidi di Tanah Arab.
Pada tahun 1932, setelah menguasai sebagian besar Jazirah Arab dari musuh-musuhnya, Ibnu Saud menamakan tanah gabungan Hijaz dan Nejd sebagai Arab Saudi. Beliau kemudiannya menobatkan dirinya sebagai Raja Arab Saudi (Raja Arab Saudi ke-1) dengan dukungan pihak Britania Raya (Inggris).
2. Raja Saud bin Abdul Aziz bin Al-Saud (1953-1964)
Saud bin Abdul Aziz Al-Saud adalah Raja Arab Saudi ke-2 yang berkuasa dari tahun 1953 sampai 2 November 1964. Ia adalah anak sulung Raja Ibu Saud (Abdul Aziz). Ia dilantik menjadi putera mahkota pada 11 Mei 1933 dan diangkat menjadi raja setelah mangkatnya ayahnya pada tahun 1953.
Pada masa pemerintahannya Raja Saud gemar membelanjakan uang negara demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia juga membuat kekisruhan politik yang antaranya dikaitkan dengan percobaan pembunuhan Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir saat itu. Dia juga diketahui dengan sikapnya yang suka minum arak yang nyata-nyata adalah haram menurut Islam.
3. Raja Faisal bin Abdul Aziz Al-Saud (1964-1975)
Faisal bin Abdul Aziz Al-Saudi adalah Raja Arab Saudi yang ke-3 yang menjabat mulai tahun 1964 hingga tahun 1975. Raja Faisal lahir di Riyadh dan merupakan anak ke 4 Raja Abdul Aziz. Ketika Arab Saudi belum didirikan, Faisal membantu ayahnya (Abdul Aziz) dengan memerintah sekumpulan laskar yang memenangkan pertempuran di Hijaz. Oleh karena itu, ia kemudian diangkat menjadi Gubernur Hijaz tahun berikutnya. Setelah Arab Saudi didirikan oleh ayahnya, dia diberi jabatan Menteri Luar Negeri Arab Saudi pada tahun 1932.
Pada tahun 1973, Raja Faisal memulai suatu program yang bertujuan untuk memajukan kekuatan tentara Arab Saudi. Raja Faisal melakukan banyak reformasi sewaktu menjadi raja, diantaranya adalah memperbolehkan anak-anak perempuan bersekolah, memperbolehkan adanya televisi, dan sebagainya. Usahanya ini mendapat tentangan dari berbagai pihak karena perkara-perkara ini dianggap bertentangan dengan Islam.
Pada tanggal 17 Oktober 1973, ia tiba-tiba menghentikan ekspor minyak Arab Saudi ke pasaran internasional (embargo minyak) yang menyebabkan harga minyak melambung tinggi.
4. Raja Khalid bin Abdul Aziz Al-Saud (1975-1982)
Khalid bin Abdul Aziz al-Saud adalah raja Arab Saudi ke-4 selepas peristiwa pembunuhan Raja Faisal, berkuasa dari tahun 1975 sampai 1982. Sebelumnya Khalid dilantik menjadi Putera Mahkota pada tahun 1965. Raja Khalid mengangkat Putera Mahkota Fahd sebagai Wakil Perdana Menteri.
Pada tahun 1976, Raja Khalid terpaksa pergi ke Amerika Serikat untuk mendapatkan perawatan atas penyakit jantungnya. Dalam kesempatan itu Raja Khalid mengutarakan kepada Presiden Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat ketika itu, untuk membeli pesawat tempur F16. Pengantaran pertama 16 buah pesawat pejuang F-15 yang dibelinya di bawah perjanjian dengan Presiden Carter tiba pada tahun 1982.
Raja Khalid membuat keputusan untuk mengundang masuk buruh asing ke dalam negara dalam rangka membantu pembangunan negara Arab Saudi. Raja Khalid meninggal dunia pada tahun 1982 akibat serangan jantung. Beliau digantikan oleh Putera Mahkota Fahd.
5. Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud (1982-2005)
Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud adalah raja Arab Saudi ke-5 sekaligus Perdana menteri Arab Saudi. Raja Fahd membangun ekonomi Arab Saudi dan menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah Amerika Serikat. Raja Fahd terkena stroke pada tahun 1995 dan kondisinya melemah. Tugas menjalankan kerajaan pun diberikan kepada Putra Mahkota Abdullah. Raja Fahd wafat pada 1 Agustus 2005.
6. Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud (2005-sekarang)
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud adalah raja Arab Saudi ke 6. Setelah diangkat sebagai Pangeran, Abdullah akhirnya Abdullah diangkat sebagai Raja pada 3 Agustus 2005 sesaat setelah wafatnya Raja Fahd. Sejak 1997, dia telah meluncurkan program privatisasi dengan menghapus daftar larangan berusaha dan membiarkan perusahaan swasta tumbuh secara bebas. Kebijakan luar negerinya lebih pro-Arab daripada Barat. Pada 1980, ia berhasil sebagai mediator perundingan dalam konflik Suriah-Yordania. Ia juga menjadi arsitek Perjanjian Taif (1989) yang mengakhiri perang sipil di Lebanon pada periode 1975-1990. Selain, meningkatkan kembali hubungan bilateral dengan Mesir, Suriah dan Iran.

2.1.2 Lembaga Pemerintahan Arab Saudi
Negara Arab Saudi memiliki beberapa lembaga pemerintahan, antara lain:
1. Ekskutif
Kepala ekskutif di Arab Saudi adalah Raja dan Perdana Menteri. Arab Saudi merupakan salah satu negara di dunia di mana Raja memegang dua peranan utama yaitu sebagai Kepala Negara dan Kerajaan. Wewenang Raja salah satunya adalah melantik para menteri yang terdiri kaum kerabat terdekat Kerajaan
2. Legislatif
Legistalif Arab Saudi disebut Majelis Al-Shura. Majelis ini terdiri dari 90 anggota ahli. Tugas dari legislatif ini adalah menjadi penasehat Raja dan Majelis Menteri-menteri yang berkaitan dengan isu-isu dan program-program Kerajaan. Wewenang utama legislatif adalah membuat dan merevisi Undang-undang, kontrak, dan perjanjian antar negara. Masa jabatan anggotanya adalah 4-5 tahun. Adapun komisi-komisi dalam Majelis Al-Shura ini antara lain :
1. Komisi Urusan Keislaman, Peradilan dan Hak Asasi Manusia.
2. Komisi Urusan Sosial, Keluarga dan Pemuda.
3. Komisi Urusan Ekonomi dan Energi.
4. Komisi Urusan Keamanan.
5. Komisi Administrasi, SDM dan Petisi.
6. Komisi Urusan Pendidikan dan Riset.
7. Komisi Urusan Kebudayaan dan Informasi.
8. Komisi Urusan Luar Negeri.
9. Komisi Perairan, Infrastruktur dan Layanan Umum.
10. Komisi Urusan Kesehatan dan Lingkungan.
11. Komisi Urusan Keuangan.
12. Komisi Tranportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi Informasi.

3. Judikatif
Lembaga judikatif di Arab Saudi Majelis Kehakiman Agung yang merupakan mahkamah tertinggi. Tugas dari lembaga ini adalah mempertimbangkan dan memutuskan suatu perkara hukum yang termasuk hukuman mati, mutilasi, yang dijatuhkan oleh Mahkamah Rendah
4. Lembaga Pengambilan Keputusan
Lembaga ini bersifat informal yang berfungsi untuk melegitimasi suksesi kerajaan. Badan ini terdiri dari sekitar 100 anggota yang sebagian besar berasal dari keluarga Al-Saud dan sekutunya, yaitu Keluarga Jilwi, Sudaryri, Thunayan, dan Al-Shaykh

2.2 Politik Arab Saudi
2.2.1 Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan di Arab Saudi melibatkan lembaga-lembaga pemerintahan seperti legislatif, judikatif, dan lembaga pengambilan keputusan. Tetapi final answer tetap ditangan Raja. Dalam perpolitikan Arab Saudi, tidak terdapat partai politik dan oposisi sehingga di sini tidak ada proses check and balance. Lembaga-lembaga tersebut bertanggungjawab kepada Raja. Ketiga lembaga diatas mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Badan legislatif, berperan dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan mengenai permasalahan yang sedang terjadi di Arab Saudi, baik permasalahan dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga saat terjadi permasalahan baik dari dalam dan luar negeri badan legislatif ini sangat membantu (dalam memberikan informasi) raja dalam melahirkan suatu kebijakan.
Sedangkan badan yudikatif, yang terdiri dari mahkamah tertinggi dan mahkamah rendah turut membantu, raja dalam masalah hukum. Mahkamah rendah berfungsi sebagai pengadilan yang bertempat di daerah-daerah. Jika terjadi suatu masalah sebagai contoh, kriminalitas dan putusan di mahkamah rendah dirasa tidak memuaskan maka terdakwa bisa mengajukannya kepada majelis tinggi. Namun jika masih belum puas, maka terdakwa masih bisa mengajukan pengampunan kepada raja. Jadi raja lah pemegang yudikatif tertinggi.
Lembaga pengambilan keputusan berfungsi hampir seperti dewan penasehat raja. Sehingga sebagian besar, keputusan raja dipengaruhi oleh lembaga pengambilan keputusan.
2.2.2 Perpolitikan Dalam Arab Saudi
1. Peran Wahabbi
Arab Saudi dikenal sebagai sebagai negara yang menganut sistem monarki mutlak dengan diperintah oleh keluarga Al Saud yang berpijak pada ideologi mazhab Wahabi. Maka, mazhab Wahabi menjadi dasar legitimasi kekuasaan dan pengembangan pengaruh pemerintah keluarga Al Saud di Semenanjung Jazirah Arab. Cikal bakal dari hubungan antara keluarga Kerajaan Al Saud yang terus terbina dengan baik hingga saat ini bermula sejak 1745, yakni koalisi yang terbangun antara Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri mazhab Wahabi) dan keluarga Al Saud.
Hubungan keluarga Al Saud dan para ulama pada abad ke-18 merupakan hubungan kemitraan yang sangat strategis sesuai dengan teori politik Islam tradisional dan prinsip-prinsip yang diletakkan Muhammad bin Abdul Wahab. Hubungan kemitraan yang harmonis antara agama dan negara pada era negara Arab Saudi pertama itu barangkali disebabkan adanya kesamaan tujuan saat itu. Kemitraan strategis itu membuka peluang bagi Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab memiliki kekuatan politik untuk penerapan mazhab Wahabi di Arab Saudi. Dalam waktu yang sama, mazhab Wahabi memberi legitimasi agama pada kekuasaan keluarga Al Saud. Mazhab Wahabi memberi doktrin bahwa patuh pada pemerintah merupakan kewajiban agama selama pemerintah itu melindungi syariat agama dan membangkang pemerintah adalah khianat.
Koalisi yang dibangun antara Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri mazhab Wahabi) dan keluarga Al Saud sebenarnya tidak terlepas dari campur tangan pihak asing, dalam hal ini adalah Inggris. Bagaimana tidak, karena pada dasarnya kelahiran mahzab Wahabi itu sendiri pada kenyataannya Kerajaan Inggris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Seluk beluk mengenai hal ini dapat kita temukan dalam memoar Mr. Hempher : “Confessions of a British Spy”. Hempher sendiri merupakan mata-mata dari Kerajaan Inggris yang menyamar sebagai seorang muslim. Hempher, yang memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka (kaum Muslim) telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik. Hempher juga membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bid’ah dan takhayul. Setelah mendengar mimpi liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab (keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami ajaran Islam) dengan uang, mata-mata Inggris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab. Dari sinilah maka hubungan antara keduanya (Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab dan keluarga Al Saud) bermula. Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga Al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious interpretation). Itulah sebabnya mengapa wahabisme memiliki peranan yang cukup vital dalam perpolitikan Arab Saudi.
2. Peran Perempuan
Pada masa kepemimpinan Raja Fahd transisi Arab Saudi menuju demokrasi masih belum menunjukkan pergerakan yang signifikan. Pada masa Raja Fahd perpolitikan Arab Saudi masih belum memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk ikut terlibat proses politik di Arab Saudi. Tetapi ia telah mendirikan Sekolah Nasional yang memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk bisa mendapatkan pendidikan.
Berbeda dengan masa kepemimpinan Raja Fahd, pada masa Raja Abdullah kaum perempuan sudah mulai diperhitungkan. Kaum perempuan mulai diberi kebebasan untuk ikut terlibat dalam politik. Ini terlihat, dari penunjukkan Noura bin Abdullah Al-Faez sebagai Deputi Menteri Pendidikan dan Pengajaran Urusan Perempuan. Pada masa ini pula, mulai dilaksanakan pemilu, yaitu pada 1 Agustus 2005 dengan memilih dewan kota praja. Masa ini semakin menunjukkan bahwa Arab Saudi memiliki komitmen untuk bergerak ke arah yang lebih demokrasi

2.3 Politik Luar Negeri Arab Saudi
Peran Arab Saudi dalam masalah dunia berasal dari kedudukannya sebagai negara kunci dalam memenuhi impor minyak dunia, maka kebijakan ekonomi luar negeri dan minyaknya akan memberikan dampak besar bagi penyelesaian masalah regional dan dunia . Khususnya kebijakan ekonomi luar negeri Saudi dan minyaknya juga dipengaruhi oleh pandangan Saudi mengenai dunia
Pandangan Saudi atas kuatnya peran AS dan dunia bebas yang didukung o;eh keinginan barat tentunya akan melahirkan reaksi dari pihak komunis maupun kekuatan radikal lainnya. Pada waktu yang bersamaan Saudi telah menunjukkan kepada pihak barat atas penggunaan minyaknya sebagai senjata politik. Pemerintah Saudi juga memberikan perhatian besar atas pembangunan di negara berkembang
Hubungan Saudi dengan negara-negara barat menunjukkan pentingnya dimensi politik dan ekonomi bagi masing-masing pihak. Hubungan Saudi dengan negara komunis secara politik tetap menerapkan perannya sebagai pembela tempat-tempat suci islam. Karena itu keluarnya Afghanistan dari Soviet memberikan arti tersendiri bagi pencairan hubungan Saudi-Soviet. Namun Saudi masih akan terus memantau bagaimana negara komunis memperlukan penduduknya yang beragama Islam. Kasus pelecehan dan tindakan ekstrim lainnya sangat berpengaruh bagi prospek hubungan kedua negara
Berbagai kebijakan Saudi tersebut memperlihatkan pentingnya visi negara tersebut mengenai persatuan dunia Arab, citra yang positif mengenai solidaritas islam pada umumnya, dan pengakuan eksistensi umat islam di seluruh dunia. Visi tersebut masih sering diragukan dalam hal realisasi dan prioritas kebijakan negaranya, karena baik di dunia maupun kawasan regional Timur Tengah sering melihat kebijakan ekonomi-politik Saudi mengabaikan kepentingan beberapa negara Arab tertentu justru lebih toleran pada kepentingan negara barat terutama AS . Sehingga persatuan aspirasi dunia arab (pan arabisme) hanyalah sebuah mimpi atau gagasan politik yang bersifat utopis, dan visi serta solidaritas antar arab hanya bagus dalam ide maupun tujuan tapi dalam realisasinya sangat sulit tercapai

2.4 Isu Kontemporer di Arab Saudi : Intervensi Saudi dalam Pemberontakan (Syiah) di Yaman Utara
Intervensi Saudi dalam pemberontakan yang notabene terjadi di wilayah Yaman Utara bermula dari adanya pemberontakan di wilayah tersebut yang berbatasan langsung dengan wilayah Saudi bagian selatan. Perlu diketahui bahwa mayoritas penduduk Yaman ialah bermahzab Sunni. Pemberontakan ini sebenarnya telah ada semenjak tahun 2004, saat itu yang terjadi di Yaman ialah pemerintah Yaman yang memerangi rakyatnya sendiri yakni kelompok Al-Houthi yang juga bermahzab Syiah. Kelompok Al-Houthi ini dituduh ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh (Presiden Yaman) yang juga seorang Sunni dan mendapatkan bantuan Iran untuk mendirikan negara Syiah. Kelompok Al-Houthi ini melakukan banyak kegiatan-kegiatan sosial dan pendidikan, yang kemudian dalam waktu cepat mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat setempat. Di tengah mereka, ada sosok terpandang yang bernama Badrudin Al-Haouthi. Ia adalah seorang mujtahid dan pakar fikih dalam madzhab Syiah Zaidiyah. Tokoh ini menjadi sentral kekuatan gerakan dan intelektual kelompok Al-Haothi. Aktivitas menonjol kelompok ini bahkan dapat menyedot kalangan masyarakat, khususnya para pemuda dari luar kawasan Saada. Menurut data yang ada, kelompok Al-Houthi beranggotakan 18 ribu orang. Sambutan luar biasa ini membuat kelompok ini mengembangkan sayapnya ke sembilan provinsi lainnya di negeri ini. Kondisi inilah yang kian mengkhawatirkan pemerintah setempat. Semangat gerakan yang tertanam dalam kelompok ini lambat laun akan menjadi kekuatan kritis bagi pemerintah setempat. Hingga pada akhirnya, pemerintah Yaman meminta bantuan dari Arab Saudi untuk mencegah perkembangan gerakan kelompok Al-Haothi.
Kita tahu bahwa Saudi amat erat kaitannya dengan Wahabisme, yangmana Wahabi merupakan ajaran resmi Kerajaan Saudi Arabia. Dan wahabisme sendiri dikatakan sebagai salah satu sekte Islam yang paling kaku dan reaksioner. Wahabi memproklamirkan bahwa hanya dia saja-lah ajaran yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada, dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan “bid’ah dan kafir”. Sehingga terang saja jika Saudi cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap pelbagai mahzab atau ajaran Islam yang diluar dirinya. Misalnya saja seperti intervensinya dalam menghadapi pemberontak Syiah di Yaman Utara yang berbatasan langsung dengan negaranya. Disamping itu, intervensi Saudi ini sebenarnya mengandung unsur-unsur politis didalamnya. Salah satunya ialah Saudi sengaja berupaya melumpuhkan kekuatan komunitas muslim Syiah di utara Yaman supaya komunitas Syiah di selatan Arab Saudi tidak terpengaruh dengan jirannya itu. Seperti diketahui kawasan selatan Saudi merupakan kantong-kantong masyarakat minoritas Syiah. Selama ini mereka kerap menjadi korban diskriminasi politik dan sosial pemerintah pusat. Sebagian analis lain meyakini, sebetulnya Arab Saudi tengah berupaya untuk mendirikan pemerintahan berideologi wahabi di Yaman. Target lain yang tengah dikejar Riyadh adalah untuk memantapkan posisinya sebagai pemimpin dunia Arab.
Sebenarnya pemberontakan ini sempat mereda semenjak memanas pada tahun 2004 silam. Namun beberapa bulan belakangan tepatnya pertengahan tahun 2009 lalu, pemberontakan ini mulai melancarkan pemberontakannya kembali. Keberanian Houthi kali ini bukan tanpa sebab. Tanpa dukungan persenjataan dan politik (yang diduga kuat dari Iran) , pemberontak Houthi tentu tidak akan berdaya di antara pasukan Yaman dan Pasukan Kerajaan Saudi yang mempunyai militer yang kuat. Pemberontak Houthi hanya memiliki maksimum 4000 milisi sedangkan Pasukan Yaman berjumlah 78.000 personil dan Saudi memiliki sekitar 120.000 prajurit dan 130.000 prajurit pengawal nasional. Houthi yang lebih taat kepada Iran dan mempunyai kesamaan ideologi diduga akan menyebarkan ajaran Syiah di jazirah Arab. Tentu Arab Saudi tidak akan membiarkan begitu saja penyebaran Syiah di jazirah Arab dan akan melawan pengaruh Iran sekuat tenaga. Bahkan kelompok Houthi ini semakin percaya diri dalam melancarkan aksi-aksinya saat ini semenjak Iran mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di negara Iraq, Lebanon dan Bahrain. Terbukti Iraq kini diperintah oleh kaum Syiah dan pemerintahan tersebut loyal kepada Iran. Dengan demikian semakin kompleks-lah kekhawatiran Saudi terhadap kemungkinan munculnya negara Syiah di Yaman Utara yang bersenggolan langsung dengan wilayah negaranya bagian selatan. Padahal posisi Saudi sendiri sudah sangat terjepit dengan kehadiran pemerintahan Iraq yang berbatasan langsung dengan Saudi Arabia bagian barat. Sehingga kehadiran sebuah negara Syiah di Yaman Utara juga akan memberikan angin pada penganut Syiah di Saudi Arabia. Bisa jadi mereka akan mengangkat senjata untuk melawan kerajaan.
Kerajaan Saudi kemudian mulai melancarkan sejumlah serangan dalam kapasitas yang berlebihan dalam membantu Yaman untuk memerangi para pemberontak Houthi. Seorang pejabat pertahanan Saudi mengatakan militer Saudi melakukan serangan udara gencar di Yaman utara untuk berusaha "menghabisi" pemberontak, dengan bekerjasama dengan pemerintah Yaman. Dimulai sejak 11 Agustus 2009 lalu, pesawat-pesawat tempur Arab Saudi terus membombardir posisi kelompok Al-Houthi dan kawasan permukiman sipil. Bahkan sejak 3 November 2009, militer Saudi telah menerobos wilayah Yaman lewat darat dan berkolabarasi dengan tentara Yaman untuk memberangus pejuang Al-Houthi. Hingga kini entah sudah berapa ratus roket dan bom yang ditembakkan militer Saudi untuk mengganyang warga sipil dan pejuang Al-Houthi. Bahkan menurut sejumlah laporan, tentara Arab Saudi dan Yaman juga menggunakan senjata terlarang seperti bom fosfor. Tokoh oposisi Yaman, Seyf Ali Al-Washili dalam wawancara dengan Televisi Al-Alam mengungkapkan,
"Jet-jet tempur Arab Saudi dalam serangannya ke wilayah Yaman menggunakan bom fosfor putih pemberian rezim zionis Israel dan senjata terlarang buatan AS lainnya".

Arab Saudi pun kian gencar dalam memerangi pemberontak (syiah) Houthi ini apalagi mereka juga sempat berhasil menguasai kawasan di sepanjang perbatasan Arab Saudi. Seperti yang disebutkan tadi bahwa yang mendiami kawasan perbatasan Saudi itu merupakan masyarakat minoritas yang bermahzab Syiah. Seorang penasihat pemerintah Saudi mengatakan bahwa negaranya akan menggunakan kekuatan udara dan artileri untuk menyelenggarakan zona penyangga sejauh 10 km dalam wilayah Yaman untuk menjauhkan pemberontak Syiah dari perbatasan barat dayanya. Sehingga bukan perkara yang mengejutkan bila Saudi memutuskan untuk melimpahkan seluruh kekuatan militer yang dimilikinya untuk memberantas pemberontak Syiah yang mulai merambah wilayah negaranya itu. Hal ini mengakibatkan sekitar 240 desa di Arab Saudi dikosongkan dan lebih dari 50 sekolah ditutup. Tidak hanya itu, banyak kerugian-kerugian lain yang ditimbulkan akibat konflik yang mulai berkembang menjadi konflik regional ini.
Semua upaya ataupun serangan Saudi yang cenderung berlebihan ini juga tidak terlepas dari adanya campur tangan pihak asing, dalam hal ini ialah Amerika Serikat. Negara-negara yang terlibat dalam konflik ini utamanya Arab Saudi dan Amerika Serikat merasa khawatir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang muncul, terutama ketakutan atas meningkatnya ancaman kebangkitan Jaringan Al-Qaeda yang dimungkinkan akan memanfaatkan konflik ini untuk menguasai negara termiskin di Jazirah Arab tersebut, Yaman. Namun hal ini bisa saja hanyalah isu belaka yang sengaja dihembuskan oleh negara-negara barat untuk memporak-porandakan Panarabisme di Timur Tengah. Selain itu tentu saja konflik berdarah ini (ditambah lagi dengan adanya intervensi militer dan kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Arab Saudi) menguntungkan bagi rezim Zionis Israel, sebab konflik tersebut akan mengalihkan sejenak perhatian masyarakat internasional (terutama publik Arab dan Islam) terhadap isu Palestina, yakni konflik Israel-Palestina.

BAB 3
KESIMPULAN

Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa Arab Saudi adalah negara monarki, yang di mana Raja adalah pemegang kekuasaan setinggi-tingginya. Arab Saudi tidak terdapat partai politik sehingga dimungkin proses check and balance tidak terjadi di sana. Selain itu di Arab Saudi tidak terdapat sebuah Undang-undang, negara ini menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum murni
Dalam politiknya, ajaran Wahabbi sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan di Arab Saudi. Dalam setiap keputusan suara kaum Wahabbi memiliki porsi yang lebih penting dan mempengaruhi sang Raja. Selain itu, Arab Saudi tidak memberikan kesempatan pada kaum perempuan untuk berkecimpung didalamnya. Kaum wanita benar-benar dijauhkan dari segala aktivitas yang biasanya dipangku oleh lelaki. Tetapi barulah pada tahun 2005 kemarin, Arab Saudi mulai melaksanakan pemilu dengan mempertimbangkan kaum perempuan. Ini terlihat dari penunujukkan Noura Al-Faez sebagai Menteri Pendidikan oleh Raja Abdullah. Dari segi hubungan internasional, Arab Saudi memerankan posisi penting dalam hubungan kawasan baik regional maupun internasional. Dengan potensi minyaknya, Arab Saudi telah menjadikannya sebagai senjata politik luar negerinya, di mana Arab Saudi terlihat lebih pro kepada Barat terutama AS, ketimbang dengan negara-negara Islam sendiri. Memang, dalam visi politik luar negerinya adalah salah satunya, membangun dan mewujudkan negara persatuan Arab (pan Arabisme), namun hal masih sering dipertanyakan negara-negara Arab disekitarnya
Dalam isu kontemporer mengenai masalah intervensi ke Yaman, dapat disimpulkan bahwa alasan Arab Saudi untuk ikut terlibat adalah : Pertama, pemberontak Syiah sudah melewati batas teritorial Saudi-Yaman sehingga akan mengancam kedaulatan. Kedua, ketakutan Arab Saudi akan pemberontak Syiah yang membentuk kekuatan dengan kaum Syiah di selatan Saudi. Ketiga, Kekhawatiran akan rencana pembentukan Yaman dengan paham Syiah, karena Saudi merasa posisinya terjepit antara Iran, Irak, dan Yaman. Posisi ini semakin mempersulit Arab Saudi untuk meneyebarkan ajaran Wahabbinya dan dalam pertarungan pengaruh dengan Iran di Timur Tengah

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sihbudi, Riza, dkk. 1995. Profil Negara-negara Timur Tengah. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya

Situs
http://indonesian.cri.cn/1/2003/12/09/Zt1@1102.htm
http://www.antara.co.id/berita/1259114516/arab-saudi-bantah-militernya-masuki-yaman
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/arab-saudi-bantu-israel-serang-iran.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Arab_Saudi
http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82601

Tuesday 4 May 2010

POLITIK LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAN STUDI KASUS REVOLUSI ISLAM IRAN 1979

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Revolusi Islam Iran yang terjadi pada tahun 1979 dengan menjatuhkan Mohammad Reza Pahlevi merupakan puncak kekecewaan rakyat Iran terhadap kepemimpinan dinasti Reza (mulai Reza Khan) yang terkenal korup dan pro-barat. Iran di bawah Mohammad Reza Syah adalah monarki konstitusional yang semu. Karena terhimpit oleh penjajah maka Syah menyusun program untuk menyerukan pembangunan negara sekuler dan rezim nasionalis yang memusat dan selanjutnya program itu diarahkan kepada modernisasi masyarakat yang sejalan dengan modernisasi Barat. Antara tahun 1960 dan 1977 pemerintah menempuh langkah-langkah mengkonsolidasikan pemerintahan otokratik mereka, mereformasi struktur pemilikan tanah, memodernisasi ekonomi industrial, memperkokoh kekuatan militer yang mengamankan supremasi regional mereka, dan mereformasi struktur sosial Iran.
Amerika Serikat (AS) tidak pernah menginginkan Revolusi Islam di Iran tersebut terjadi. Kita tahu bahwa pada masa dinasti Reza, Iran sangat loyal kepada AS. Ini terbukti bahwa Muhammad Reza Pahlevi, sedemikian bergantung kepada Amerika Serikat bahkan untuk urusan sekecil apapun dia harus mempertimbangkan kepentingan Amerika. Berdasarkan doktrin keamanan Amerika Serikat yang disebut ‘Keamanan Dua Pilar’, Iran dan Arab Saudi merupakan dua lengan eksekutif politik keamanan Amerika di kawasan. Rezim Shah, memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rezim Zionis Israel dan demi menjaga kepentingan Amerika, Iran menandatangani pakta CENTO (The Central Organization), sebuah pakta anti-Uni Soviet.
Dari segi geostategis, memang letak Iran sangatlah jauh dengan AS tetapi sumber minyak Iran yang melimpah membuat pihak asing sangat berambisi untuk menguasainya. Bahkan 40 persen saham minyak Iran dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Rezim Shah menyuplai 65 persen kebutuhan minyak Rezim Zionis dan 95 persen rezim rasialis Apharteid di Afrika Selatan. Selain itu, pembelian persenjataan dari Amerika Serikat juga membuat pendapatan negara dari sektor minyak harus selalu mengalir ke kantong-kantong perusahaan Amerika. Dalam berbagai mega proyek penting, Rezim Shah enggan memanfaatkan kemampuan dalam negeri dan selalu menyerahkannya kepada perusahaan asing khususnya Amerika Serikat. Dari posisis geopolitik, Iran yang batas utaranya, seperti : Kazaksthan, Turkmenistan, Uzbekistan, Azerbaijan merupakan negara-negara sekutu Uni Soviet. Kondisi ini membuat AS takut akan adanya “domino theory”, yaitu efek merembetnya paham komunis ke Iran. Dari alasan-alasan, bisa kita ketahui kenapa AS tidak meninginkan adanya Revolusi Islam Iran.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis membuat suatu rumusan masalah yaitu : bagaimana politik luar negeri AS kepada Iran pra Revolusi Iran (dekade 60-an), saat Revolusi Iran (dekade 80-an), pasca Revolusi Iran (awal dekade 90-an)?

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Geopolitik dan Geostrategi Iran
Iran atau Persia adalah nama negeri terbesar ketujuh belas di dunia saat ini. Kata Iran berasal dari Ariya, yang bermakna “mulia”, “spiritual”, dan “tinggi”. Prasasti Darius Agung dan anaknya, Xerxes, yang terpahat di Persepolis merujuk pada Ariya dengan makna serupa.
Iran berada di persimpangan Timur Tengah, Asia Barat dan Kaukasus, dengan luas wilayah yang setara dengan Inggris, Perancis, Spanyol dan Jerman digabung menjadi satu. Bagian utara Iran bertetangga dengan Armenia, Azerbaijan, Turkmenistan, bagian timurnya bersebelahan dengan Afganistan dan Pakistan, sedangkan sebagian besar sayap baratnya berimpitan dengan Irak dan sebagian kecilnya dengan Turki.
Letak Iran di pusat Eurasia inilah yang selama ribuan tahun menjadikan Iran bagaikan menara pengintai sekaligus benteng pertahanan Timur ataupun Barat . Setiap kali suatu kekuatan dari Barat hendak menyerang belahan Timur atau sebaliknya, maka ia akan menjadikan Iran sebagai garis depan. Bentuk Iran di peta dunia saat ini mirip kucing yang bersiap menyergap. Mukanya menghadap ke Barat dan punggungnya membelakangi Timur. Bagian hidung ada di Turki, mata di Irak, kedua tangan yang siap menerkam di Teluk Persia, punggung di Turkmanistan, buntut di Afganistan dan kaki di Pakistan.
Dalam geostrategi energi, posisi geografi Iran sangat menguntungkan. Di sebelah utara Iran, negara ini berdekatan dengan Azerbaijan, Rusia, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kazakhtan. Wilayah-wilayah ini, termasuk Iran, memiliki akses ke Laut Caspia. Dalam intelijen energi, semua orang tahu bahwa wilayah Laut Caspia mengandung potensi kekayaan minyak dan gas . Akibat dari akses ke wilayah Laut Caspia, Iran secara otomatis menjadi salah satu negara vital yang dilewati oleh pipa-pipa minyak dan gas menuju Asia, seperti ke India, Pakistan, dan China. India, Pakistan, dan China secara kebetulan berada di timur Iran. Negara-negara penghasil minyak dan gas dari wilayah Laut Caspia pada umumnya mengekspor kebutuhan energi Asia melalui 2 negara, yakni Iran dan Afghanistan.
Dalam pemikiran geopolitik klasik, Mackinder menyebut Eurasia sebagai bagian penting pusat dunia. Siapa pun yang menguasai heartland akan menguasai dunia. Wilayah-wilayah ini, termasuk Iran, memiliki akses ke Laut Kaspia. Salah satu negara pendiri SCO, Rusia yang merupakan penghasil gas terbesar dunia sedangkan Kazakhstan mempunyai cadangan minyak dan gas yang sangat luas, sekitar 35 milyar barel dan merupakan dua kali dari cadangan di Laut Utara, serta Kashagan, perusahaan minyak Kazakhstan yang terbesar ke lima di dunia.
Dari penjelasan letak geopolitik dan geostrategi Iran di atas, bisa dilihat mengapa AS tidak pernah ingin terjadi suatu Revolusi di Iran. Jawabannya adalah sangat jelas, lagi-lagi karena masalah sumber daya energy (minyak). AS tidak ingin rezim Syah Reza runtuh, karena AS takut tidak akan ada pemimpin yang loyal lagi dan selalu mengedepankan kepentingannya. Ayatullah Khomeini yang terus membakar semangat Revolusi Islam sangat anti-AS. Dia menolak akan adanya modernisasi ala Barat seperti kebijakan yang dibuat oleh Reza Pahlevi. Di sini, AS melalui politik luar negerinya terus mempengaruhi kehidupan politik Iran agar Revolusi tersebut tidak akan terjadi

2.2 Politik Luar Negeri AS Terhadap Iran Pra-Revolusi Islam Iran (dekade 1960-an)
Awalnya keterlibatan Amerika Serikat dengan Iran adalah pada saat terjadi Krisis Abadan (ketegangan antara pemerintahan Iran dan perusahaan minyak Iran-Anglo milik Inggris), saat itu pemerintah Presiden Truman membujuk Inggris untuk tidak menyerang Iran dan menekan Inggris untuk memoderatkan posisi mereka dalam negosiasi minyak. Kebijakan Amerika Serikat tersebut menciptakan perasaan bahwa Amerika Serikat berada di pihak Moussadeq dan optimisme bahwa perselisihan minyak akan segera diselesaikan dengan “serangkaian proposal inovatif“ dan memberikan Iran "sejumlah besar bantuan ekonomi". Pada saat yang sama Amerika Serikat menghormati embargo Inggris dan (tanpa sepengetahuan Truman) stasiun CIA di Teheran telah "melakukan kegiatan rahasia" terhadap Mosaddeq dan Front Nasional setidaknya sejak musim panas tahun 1952.
Ketika Eisenhower dari Patai Republik menggantikan Truman dari Partai Demokrat Amerika Serikat merencanakan untuk mendestabilisasi Mousaddeq. Pada tahun 1953, Amerika Serikat dan Inggris, melalui operasi rahasia dari Central Intelligence Agency (CIA) yang disebut Operasi Ajax, dilakukan dari Kedutaan Besar AS di Teheran untuk membantu mengorganisir sebuah kudeta yang diprakarsai oleh Shah Reza untuk menggulingkan pemerintah Moussadeq. Operasi pertama gagal sehingga Shah melarikan diri ke Italia, akan tetapi usaha kudeta kedua berhasil, Shah kembali ke Iran dan Moussadeq dipenjarakan. Kudeta itu dilakukan atas pertimbangan geostrategi, yaitu keinginan untuk menghancurkan gerakan Moussadeq yang berambisi untuk mendirikan sebuah kediktatoran di Iran atau untuk mendapatkan kontrol atas minyak Iran. Asumsi tersebut yang mendorong keyakinan para pejabat Amerika Serikat untuk membantu melakukan kudeta . Shah Reza di sini semakin tergantung pada AS.
Atas keinginan tekanan kebijakan luar negeri AS pulalah pada tahun 60-an Shah Iran melaksanakan "Revolusi Putih", guna memupus kesenjangan sosial di negara itu. Shah memberlakukan reformasi pertanahan, yang memukul para bangsawan Iran. Juga dilaksanakan program pendidikan dan meluaskan hak bagi perempuan. Tetapi mungkin itu sudah terlambat, sebab kritik terhadap Shah semakin lantang. Apakah itu karena ketergantungannya pada AS maupun karena pemisahan yang berlebihan antara negara dan agama.
Di bawah pemerintahan Shah Reza, AS serasa berada di atas angin. Bagaikan boneka Amerika, Shah Reza terbukti sangat pro terhadap amerika. Hegemoni amerika terlihat dengan ditandatanganinya pakta CENTO (The Central Organization), sebuah pakta anti-Uni Soviet Di dalam iran sendiri bahkan seluruh keputusan yang diambil harus memperhatikan kepentingan Amerika Serikat. Untuk urusan sekecil apapun Duta Besar Amerika Serikat untuk Iran secara langsung membimbing kebijakan pemerintahan despotik Rezim Shah . Dengan ditandatanganinya pakta ini Amerika berharap dapat membendung kekuatan komunis Rusia di Iran.
Antara tahun 1960 dan 1977 AS meminta pemerintah Iran mereformasi struktur pemilikan tanah, memodernisasi ekonomi industrial, memperkokoh kekuatan militer yang mengamankan supremasi regional mereka, dan mereformasi struktur sosial Iran. Seluruh program modernisasi itu mengacu kepada modernisasi yang telah dilaksanakan Barat. Di bidang ekonomi Amerika berhasil memonopoli minyak Iran. Tercatat 40% saham minyak di Iran dimiliki oleh Amerika. Hal ini semakin menguntungkan bagi Amerika yang notabene memerlukan minyak sebagai penyandang industrinya. Masuknya amerika terlihat juga pada banyaknya tenaga-tenaga pekerja asing yang masuk ke Iran, terutama yang berasal dari Amerika Serikat. Sampai tahun 1978 jumlah orang Amerika yang bekerja di Iran mencapai 60.000 orang. Di bidang militer kerjasama Amerika-Iran ditunjukkan dengan pembelanjaan senjata militer dari barat sebesar 12 milyar dolar.

2.3 Politik Luar Negeri AS Terhadap Iran Saat Revolusi Islam Iran (1979-1980)
Revolusi Islam Iran tahun 1979 menghancurkan hegemoni Amerika Serikat di Iran. Amerika Serikat tidak rela jika pengaruhnya atas Iran hilang begitu saja dengan runtuhya rezim syah di Negara tersebut, terlebih saat itu adalah masa perang dingin dimana AS takut jika nantinya Iran jatuh ke tangan komunis, hal tersebut menuntut Amerika Serikat berupaya melakukan operasi intelejen kontra revolusi di dalam Iran namun AS tidak berdaya ketika para mahasiswa menyerang kedutaan AS di Teheran sehingga dokumen-dokumen penting intelejen AS ditemukan di dalam gedung kedutaan tersebut dan yang kemudian memicu penyanderaan puluhan warga AS.
Hubungan diplomatik kedua Negara AS dan Iran terputus dengan terjadinya revolusi ini terlebih ketika warga AS disandra kelompok prorevolusi. AS pun tidak kehabisan cara, AS mengerahkan segala kekuatan dplomatiknya untuk mendukung Irak yang notabene adalah tetangga Iran untuk menyerang Iran.
Pada 4 November 1979 mahasiswa Iran menyerbu Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran, alasannya, mereka mengaggap Amerika Serikat dalam hal ini adalah Jimmy Carter, berusaha untuk melindungi Shah Reza Pahlevi yang telah terusir dari Iran, masalah pengobatan kesehatan menjadi alasan Shah ingin memasuki Amerika Serikat.
Lima puluh dua orang diplomat Amerika Serikat disandera oleh para mahasiswa di dalam gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran selama 444 hari, pemerintahan AS begitu juga Iran sangat terpukul dengan masalah ini. Pada awalnya, Carter melihat penyelesaian melalui segi militer terelalu beresiko sehingga kemudian langkah yang pemerintah Amerika Serikat ambil adalah memberikan sanksi-saksi ekonomi dan membekukan aset-aset Iran di Amerika, tak kurang juga usaha-usaha diplomatik yang dilakukan oleh Cyrus Vance sebagai Sekretaris Negara saat itu.Rupanya AS sudah tak mampu bersabar lagi menghadapi para penyandera, reaksi pemerintah AS kemudian adalah memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Iran pada 7 April 1980. Kemudian Pemerintah AS menanggapi masalah ini dengan mencoba melakukan operasi penyelamatan pertama yang diberi sandi Operation Desert One (Operasi Gurun Pasir Pertama), namun operasi ini gagal dengan memalukan karena 3 helikopter AS yang tak dapat dioperasikan dan 1 helikopter yang menabrak pesawat transportasi C-130 yang mengakibatkan 8 prajurit tewas dan 3 lainnya luka-luka. Amerika Serikat ternyata masih belum jera, Operasi baru kembali disusun yang diberi sandi Operation Eagle Claw (Operasi Cakar Elang) pada tanggal 24 April 1980, namun operasi ini lagi-lagi gagal dengan terbunuhnya 8 orang militer Amerika dalam operasi tersebut, sehingga operasi tersebut dibatalkan.
Para penyandera merasa AS terlalu mengintervensi kehidupan masyarakat Iran selama ini, “Anda tidak punya hak untuk mengeluh, karena Anda mengambil sandera seluruh negeri kita pada tahun 1953” kata seorang penyandera pada Bruce Laingen sebagai kepala Diplomat AS yang disandera.
Kejelasan nasib para sandera baru terlihat ketika ditandatanganinya perjanjian Algiers di Aljazair pada 19 Januari 1981, sehari setelahnya pada tanggal 20 Januari 1981 para sandera tersebut dibebaskan.


2.4 Politik Luar Negeri AS Terhadap Iran Pasca Revoulsi Islam Iran (1980 s/d awal 1990-an)
Perubahan drastis yang terjadi pada Iran setelah revolusi islam menyebabkan perubahan pada keterbukaan Iran terhadap negara lain khususnya Amerika Serikat. Sebelum revolusi Iran, Amerika Serikat dapat dengan mudah mengintervensi politik dalam negeri Iran sehingga Ayatullah Khomeini melihat bahwa dinasti Syah Pahlevi lebih memberikan keuntungan pada Amerika Serikat dan merugikan umat Islam. Setelah Revolusi bergulir, Iran memasuki suatu fase yang amat berbeda dari sebelumnya yaitu fase radikalis dimana Iran benar-benar menutup hubungan dengan negara-negara lain khususnya Amerika Serikat. Melihat ini Amerika Serikat yang dulunya sangat diuntungkan dengan keterbukaan Iran pada dinasti Syah Palevi merasa dirugikan setelah revolusi islam dilakukan, oleh karena itu AS berusaha memprovokasi Irak untuk menghancurkan Iran. Amerika Serikat juga mengembargo Iran dengan melarang penjualan senjata kepada Iran waktu Perang Iran-Irak. Hubungan Iran da Amerika Serikat juga semakin buruk ketika AS melancarkan Operasi Mantis. Operasi Mantis pada tanggal 14 April 1988 adalah sebuah serangan oleh angkatan laut pasukan AS yang merupakan pembalasan setelah Iran menembaki kapal laut AS di Teluk Persia. Pasca Revolusi Islam Iran, politik luar negeri AS kepada Iran cenderung bermusuhan hingga sampai saat ini.
Pasca Revoulsi Islam AS melalui politik luar negerinya terus memobolisasi kekuatan politik dan dipolmatiknya ditingkat regional dan internasional untuk membantu Irak menyerang Iran. AS juga mengembargo Iran dan mengembargo siapa saja yang berhubungan dengan Iran

2.5 Politik Luar Negeri AS Pasca 11 September 2001
2.5.1 Masa Pemerintahan George W. Bush
Pasca terjadinya peristiwa 11 September 2001, AS melalui politik luar negerinya telah menetapkan Iran sebagai salah satu negara yang memiliki keterlibatan dengan serangan Al-Qaeda terhadap gedung WTC di AS. Kondisi ini semakin memperburuk hubungan AS dan Iran. Presiden AS saat itu, George Walker Bush menegaskan, agen intelijen negaranya sedang melacak kemungkinan keterlibatan Iran dalam serangan 11 September 2001 yang menewaskan sedikitnya 3.000 orang bersamaan dengan hancurnya menara kembar World Trade Center, New York
Pernyataan Bush tersebut dirilis sehari setelah Direktur Central Intelligent Agency (CIA), John McLaughlin membocorkan temuan lembaganya yang tengah menyelesaikan investigasi seputar serangan 11 September. McLaughlin mengaku menemukan bukti bahwa sedikitnya delapan tersangka pelaksana serangan Al-Qaidah ke New York sempat singgah di Iran .
Sebelum pernyataan McLaughlin, dua majalah berita terkemuka di Amerika, Time dan Newsweek, secara bersamaan menulis laporan menyorot kebijakan imigrasi Iran empat tahun terakhir, yang dinilai mendukung terorisme. Iran dituduh sengaja melonggarkan pengawasan perbatasannya pada Oktober 2000 dan Februari 2001 untuk memudahkan anggota Al-Qaeda melewati negara itu . Liputan Time menyebutkan, pemerintah Iran konon pernah mengajak Al-Qaeda bekerja sama menyerang Amerika Serikat. Sebagian besar informasi intelijen ini, menurut Time, dihimpun dari temuan sejumlah memo yang selama ini ternyata terkubur di bawah tumpukan dokumen di kantor Agen Keamanan Nasional Amerika. Salah satu memo itu, merujuk kepada Newsweek, melaporkan bahwa petugas inspeksi Iran diinstruksikan untuk tidak memberi stempel pada paspor anggota Al-Qaeda dari Arab Saudi yang sedang melalui Iran setelah mengunjungi kamp Usamah bin Ladin di Afganistan. Stempel imigrasi Iran di paspor mereka dikhawatirkan akan menyulitkan kunjungan berikutnya ke Negeri Paman Sam.
Namun Pemerintah Iran sendiri terus menolak tuduhan Amerika. Melalui, juru bicara Departemen Luar Negeri Iran Hamid Reza Asefi kemarin mengakui bahwa memang tidak tertutup kemungkinan ada anggota Al-Qaeda yang melalui perbatasannya, namun memastikan hal itu dilakukan secara ilegal. Menurutnya Iran memiliki perbatasan yang sangat panjang, dan sama sekali tidak mungkin mengawasinya sepanjang waktu

2.5.2 Masa Pemerintahan Barack Husein Obama
Pasca 11 September, khusunya pada masa setelah pemerintahan Bush. Obama, yang menggantikan Bush berusaha untuk mengembalikan citra AS di mata dunia. Isu bahwa Iran terlibat dalam peristiwa 11 September sudah tidak lagi menjadi agenda dominan politik luar negeri AS. Isu tersebut sudah beralih ke senjata pemusnah massal atau nuklir. Obama mencari dukungan dunia internasional untuk terus menjatuhkan sanksi kepada Iran. setelah Resolusi DK PBB No. 1747 tahun 2007.
Kebijakan yang terakhir kemarin adalah KTT Keamanan Nuklir di Washington pada tanggal 12-13 April 2010 kemarin. Tujuan Presiden AS, Barack Obama menggelar pertemuan ini sangat sederhana dan tidak kontroversial yakni membuat dunia bebas senjata nuklir untuk mencegah jatuhnya material nuklir ke tangan yang salah, seperti kelompok teroris. Namun inti sebenarnya dari KTT ini, adalah aksi Obama untuk melobi para pemimpin dunia. Hanya satu keinginan Obama, yakni meminta dukungan atas sanksi baru terhadap Iran . Di sini, terlihat bahwa ada suatu perubahan arah kebijakan luar negeri AS terhadap Iran

BAB 3
KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perubahan arah kebijakan politik luar negeri AS terhadap Iran. Di mana, pada saat rezim Syah, politik luar negeri AS lebih cenderung ke arah membantu Iran tetapi pasca Revolusi Islam Iran, AS menganggap bahwa Iran adalah new enemy (musuh baru) baginya, setelah ideologi komunis Uni Soviet. AS dengan kebijakan luar negerinya terus mencoba mengucilkan Iran dari dunia internasional pasca Revolusi tersebut. Terlihat dengan embargo senjata ke Iran pada masa Perang Iran-Irak.
Kebijakan luar negeri AS yang terus mengucilkan Iran terlihat dari kebijakan Bush pasca peristiwa 11 September yang memasukkan Iran sebagai salah satu negara yang memiliki keterlibatan dengan jaringan Al-Qaeda. Namun, pada masa Barack Obama, tentunya setelah Bush lengser. AS tidak lagi menjadikan isu terorisme kepada Iran, melainkan dengan isu senjata pemusnah massal atau nuklir. Obama terus mencari dukungan dunia untuk menambah dan menjatuhkan sanksi kepada Iran, setelah Resolusi DK PBB No. 1747 tahun 2007 dijatuhkan kepada Iran

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Labib, Muhsin, dkk. 2006. Ahmadinejad : David Di Tengah Angkara Goliath Dunia. Bandung : Mizan Press
Naji, Kasran. 2009. Ahmadinejad : Kisah Rahasia Sang Pemimpin Radikal Iran. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Situs
http://musakazhim.wordpress.com/2007/04/08/geopolitik-iran/
http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=5634_0_18_0_M
http://insidewinme.blogspot.com/2010/04/kebijakan-politik-luar-negri-barat-buku.html
http://jurnal.tukerbuku.com/
http://www.percikaniman.org/detail_artikel.php?cPub=Hits&cID=451
http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UQIHBQtQCQEH
http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/04/15/462601/as-cari-sekutu-lawan-nuklir-iran/