Sunday 14 February 2010

Arah Politik Luar Negeri AS

By : Triono Akhmad Munib

Sudah 2 tahun Presiden AS terpilih, Barack Husein Obama memimpin Amerika. Sorotan publik pun serasa tak pernah berhenti untuk terus menyoroti kegiatannya. Menurut saya, itu merupakan hal yang wajar, karena dengan slogan "its' time to change" segenap masyarakat benar-benar berharap perubahan pada Amerika
Maklumlah, rakyat AS telah dibuat trauma dengan memilih Bush di masa sebelumnya. Mereka (rakyat AS) merasa bersalah kepada dunia khususnya ditujukan untuk Timur Tengah. Bahwa mereka telah memilih "President Evil".Oleh karenanya, rakyat berharap kepada Obama
Sesuai dengan judul di atas, saya memiliki pandangan terhadap arah kebijakan politik luar negeri AS dalam dekade ini. Menurut pandangan saya, arah kebijakan itu tak akan ada arah perubahan yang cukup signifikan. Obama seolah "got the trap". Obama seolah tak bisa leluasa bergerak untuk mencoba menentukan kebijakan yang lebih baik
Suatu contoh kasus, dalam masa kampanyenya Obama berniat untuk mengakhiri perang Afghanistan dan menarik pasukannya. Tapi nyatanya, Obama akan menambah sekitar 30.000 pasukan lagi. Perang Israel-Palestina, Amerika terus membiarkan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat. AS seolah menjadi powerless saat dihadapkan kepada Israel. Itu tak lain adalah buah dari kebijakan Bush, yang terus memberikan prioritas kepada Yahudi (Israel) dalam negaranya sehingga membuat AS menjadi ketergantungan padanya. Saat ini dunia berbalik Israel = great power, AS = powerless
Itulah sedikit opini saya. Kiranya sulit untuk memisahkan antara kepentingab lobbi Yahudi dalam segala aspek kebijakan AS, khususnya kebijakan luar negerinya

Sunday 7 February 2010

Hubungan Internasional di Kawasan Asia Selatan

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG
Di benua Asia Selatan, terdapat konflik antar negara Asia Selatan yang mempengaruhi sebagian besar hubungan internasional negara-negara di Asia Selatan. Konflik tersebut terjadi antara India dengan Pakistan yang masih berlangsung hingga saat ini
Konflik tersebut berawal semenjak pasca kemerdekaan India dan Pakistan. Terdapat wilayah dengan nama Kashmir yang diperebutkan kedua negara tersebut. Daerah Kashmir yang subur dan dialiri oleh sungai-sungai utama yang sangat mempengaruhi kondisi geografis Asia Selatan secara keselurhan. Hal itu yang membuat kedua negara tersebut terus berkonflik hingga saat ini

1.2 RUMUSAN MASALAH
1.Konflik apakah yang terjadi di kawasan Asia Selatan?
2.Mengapa konflik tersebut bisa terjadi?
3.Bagaimana cara penyelesaian/solusi terhadap konflik tersebut?

1.3TUJUAN

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, antara lain:
1.Untuk mengetahui konflik yang terjadi di Asia Selatan sampai saat ini
2.Untuk mengetahui solusi terhadap konflik Asia Selatan

1.4TINJAUAN PUSTAKA

Dalam menganalisis konflik di benua Asia Selatan, kami menggunakan pendekatan teori hubungan internasional, yaitu realisme. Dengan penekanan poin sebagai berikut :
1.Pandangan pesimis atas sifat manusia untuk bisa berdamai
2.Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual
3.Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kehidupan politik domestik
4.Penyelesaian konflik dengan balance of power (perimbangan kekuatan)
“Politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik aksi politik”
(H. J Morgenthau 1965:1950)


BAB 2
PEMBAHASAN


2.1KONFLIK DI ASIA SELATAN
Konflik India-Pakistan (Masalah Kashmir 1948 sampai saat ini)
Kashmir adalah negeri berpenduduk muslim mayoritas. Sekitar 85 % dari delapan juta penduduknya beragama Islam. Wilayah seluas 222.236 kilometer tersebut terletak di wilayah jantung Asia, diapit oleh China di sebelah timur, India di selatan, Pakistan dan Afghanistan di barat, serta CIS di utara. Pada awalnya, negeri ini dikenal dengan sebutan “Surga Dunia”, karena keindahan alamnya yang mempesona. Kekayaan alam Kashmir ini sedikitnya memberikan pemasukan devisa sekitar 400 juta dolar per tahun dari para pelancong. Namun, keindahan Kashmir tersebut kini berubah menjadi lautan api dan darah, menjadi ladang pembantaian.
Konflik persengketaan India-Kashmir ini mulai memanas sejak tahun 1947 (26 Oktober), bersamaan dengan terpecahnya India menjadi dua bagian, yakni Pakistan di bagian barat dan India di bagian timur. Masyarakat Kashmir sebenarnya telah menentukan pilihan mereka untuk bergabung dengan pemerintah Pakistan, namun dengan licik, India berhasil menekan Kashmir dan mengelabui dunia internasional dengan mengklaim bahwa Kashmir adalah bagian propinsi India yang tak terpisahkan. India mem-blow up informasi bahwa Kashmir berupaya subversif dan bertindak separatis, dan ingin memisahkan diri dari India.
Dalam prespektif agama, adalah wajar jika Kashmir dan Pakistan berkeinginan untuk memisahkan dari kekuasaan pemerintahan India yang didominasi penganut agama Hindu. Kashmir dan Pakistan adalah negeri Islam. Apalagi jika pemerintah Hindu India tersebut memaksakan kehendaknya terhadap penduduk muslim Kashmir.
Dalam bidang lainnya, seperti politik, ekonomi maupun strategi militer, tidak bisa dipungkiri bahwa Pakistan memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap Kashmir. Potensi alam Kashmir pun seolah jadi bahan rebutan. Di Kashmir terdapat tiga sungai besar yang sangat menentukan kondisi perairan di Pakstan. Jika air sungai tersebut seluruhnya dialirkan ke India, maka Pakistan akan menjadi padang tandus.
Dari segi militer, letak geografis Kashmir yang strategis bisa digunakan untuk membangun kekuatan militer. Oleh karena itu, barangsiapa yang bisa menguasai Kashmir, maka ia akan dapat dengan mudah menguasai daerah di sekitarnya. Inilah sebabnya mengapa Kashmir menjadi rebutan

2.2 LATAR BELAKANG KONFLIK
Konflik India-Kashmir terjadi sejak tahun 1947, bersamaan dengan Pakistan menjadi sebuah negara muslim yang berdaulat di Asia Selatan. Perebutan wilayah Kashmir membuat kedua negara terus berkonflik hingga saat ini
Pada saat kemerdekaan Pakistan, sebenarnya kaum Kashmir sudah mendeklarasikan untuk ikut pemerintah Pakistan, karena dari segi agama, kebanyakan kaum Kashmir adalah muslim. Apabila mereka ikut pemerintah India, yang beragama Hindu fundamen, hak-hak mereka akan dicabut seperti penghilangan bahasa Kashmiri diganti dengan bahasa Hidustan. Dan seperti yang kita tahu, bahwa pemerintahan India anti-muslim, oleh karena itulah Kashmir mendeklarasikan ikut pemerintah Pakistan
Tetapi dengan licik India, mengelabuhi dunia internasional bahwa Kashmir masih wilayah India, dan melakukan tindakan separatisme, sehingga India mengerahkan selurh pasukan militernya di line of control (garis kontrol) Kashmir dan melakukan penganiayaan, pelecehan, pemerkosaan terhadap kaum Kashmir.
Inilah yang membuat Pakistan naik darah, berangkat dari persamaan ideologi agama dengan kaum Kashmir, dan juga ingin menguasai wilayah Kashmir, Pakistan mem-back up kaum Kashmir. Pakistan memberikan pelatihan militer, mempersenjatai kaum Kashmir dan mengerahkan pasukan militernya di daerah-daerah rawan Kashmir

2.3 SOLUSI KONFLIK
Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh India dan Pakistan tidak membuahkan hasil. Di bawah ini terdapat beberapa peristiwa perundingan :
a. Tahun 2001, terjadi pemboman parlemen India
b. Tahun 2003, Presiden India dan Presiden Pakistan (Pervez Musharraf) bertemu, mereka berdialog untuk melakukan perdamaian, menarik pasukan militer masing-masing negara dari line of control Kashmir
c. Tahun 2004, India dan Pakistan mulai mengoperasikan perdamaian, para utusan kedua negara menetapkan perundingan lanjutan tanggal 20-21 Juli di New Delhi
d. Tahun 2005, Hubungan India dan Pakistan memulai babak baru dengan kunjungan singkat Presiden Pakistan ke India pada pertengan bulan April
e. Tahun 2008, khususnya tanggal 28 November, terjadi pemboman di hotel Taj Mahal India, dan India menunding Pakistan aktornya. Pemerintah India dan Pakistan mengerahkan kembali militernya di Kashmir, India merasakan pengkhianatan Pakistan dan pupus sudah upaya perdamaian lestari di Asia Selatan
Sampai saat ini kedua negara tersebut gencar melakukan perombakan militernya, menyisihkan sebagian APBN untuk pembangunan militeristiknya. Infromasi terbaru bahwa kedua negara tersebut saat ini sedang menggandeng negara-negara besar sepert: AS dan Rusia untuk membangun senjata pemusnah massal atau yang disebut dengan nuklir. Dengan mengetahui kekuatan militer satu sama lain, kedua negara tersebut akan berpikir dua kali untuk melakukan serangan karena keduanya sama-sama memiliki senjata nuklir sehingga mereka tidak saling serang. Cara inilah perdamaian lestari Asia Selatan bisa dicapai

BAB III
KESIMPULAN



Secara singkat dapat disimpulkan bahwa tata hubungan internasional di Asia Selatan banyak dipengaruhi oleh persaingan India dan Pakistan, meskipun Pakistan sendiri sedangan mengalami konflik dalam negeri dengan Taliban. Hubungan kedua negara ini banyak mempengaruhi suasana di kawasan Asia Selatan, upaya perundingan yang dilakukan kedua negara masih saja gagal dan edua negara tersebut sampai saat sedang mengadakan program penguatan di bidang kemiliterannya.
Dari argumen-argumen di atas sangat sesuai dengan teori HI, yaitu realisme yang kami pakai dalam memandang Asia Selatan yakni bahwa :
a. Berpadangan pesimis terhadap sifat manusia untuk bisa berdamai.
Ini terlihat dari perundingan, perjanjian yang dilakukan India dan Paksitan yang tak pernah panjang
b. Bahwa hubungan internasional diwarnai dengan konfliktual.
Hubungan antar negara Asia Selatan, India dan Pakistan penuh dengan konfliktual dibandingkan dengan kerjasama
c. Menjunjungn tinggi kepentingan nasional.
Ini terlihat bahwa India dan Pakistan berebut wilayah Kashmir tidak lain adalah karena kepentingan nasional kedua negara tersebut. Seperti yang kita ketahui wilayah Kashmir adalah sangat subur, jadi siapa yang bisa menguasai Kashmir, itulah penguasa Asia Selatan
d. Penyelesaian konflik dengan balance of power (perimbangan kekuatan)
India dan Pakistan sampai saat masih bergerilya menggandeng negara-negara besar untuk membangun senjata pemusnah massal yaitu rudal dan nuklir. Jadi salah satu negara tidak berani menyerang karena sama-sama memiliki nuklir dan rudal

Logika Berlakunya Hukum Internasional

By : Triono Akhmad Munib

1.Pengertian Hukum Internasional
Tidak hanya hubungan antara masyarakat saja yang dibatasi atau dijaga oleh peraturan-peraturan (hukum), dalam hubungan antar negara pun dibatasi oleh hukum. Hukum yang mengatur hubungan antar negara disebut hukum internasional. Hukum Internasional adalah seluruh kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara:
-Negara dengan negara
-Negara dengan Subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.

2.Sumber-sumber Hukum Internasional

Suatu hukum yang berlaku sudah pasti tidak hanya lahir dengan sendirinya, namun berasal dari sumber-sumber yang dapat dijadikan menjadi suatu hukum dan dapat diterima oleh masyarakat. Begitu pun hukum internasional juga mempunyai sumber-sumber hukum, diantaranya:
1.Traktat yang Berlaku
Traktat dalam pengertian luasnya adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional.
2.Hukum Kebiasaan Internasional
Kebiasaan merupakan sumber hukum yang asli bagi hukum internasional, dan kebiasaan dipandang sebagai sumber yang paling tua.
3.Prinsip-prinsip Umum Tentang Hukum
Prinsip-prinsip hukum umum adalah sekumpulan peraturan hukum-hukum dan berbagai bangsa dan negara, yang secara universal mengandung kesamaan.
4.Keputusan-keputusan Hakim dan Tulisan-tulisan Para Ahli

3.Studi Kasus : Perjanjian AFTA

ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.
Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk 1 mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.
Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015

4.Kesimpulan
Dari studi kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa AFTA merupakan sumber hukum internasional yaitu berupa perjanjian antara negara-negara ASEAN. Di sini, logikanya bagi negara-negara anggota AFTA harus mentaati isi perjanjian AFTA tersebut sesuai dengan azas pacta sun servanda, siapa berjanji harus menepati dan apabila menlanggarnya hukum internasional yang mengatur perjanijan AFTA tersebut akan berlaku untuk menyelesaikan masalah antara negara-negara anggota AFTA

Referensi :
John O’Brien, International…, h. 80.
Henry J. Steiner dan Philip Alston, Human Rights in Context: Law, Politics, Morals, New York: Oxford Universty Press, 1996. hlm 27.

Upaya NATO Pasca Peristiwa "Nine Eleven"

By : Triono Akhmad Munib

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kejahatan transnasional ataupun kejahatan global saat ini marak terjadi di dunia internasional, baik dalam bentuk cyber crime maupun terorisme. Kejahatan seperti terorisme sudah tentu membuat berbagai negara-negara khawatir, khususnya negara-negara Barat.
Pelaku teror tidak segan-segan ketika melakukan aksinya. sebagai contoh peristiwa 11 September 2001 yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Serangan tersebut menelan banyak korban jiwa. Dari peristiwa tersebut hampir seluruh negara-negara khususnya Barat mulai meningkatkan pertahanannya.
North Atlantic Treaty Organization (NATO) yakni sebuah organisasi internasional yang bergerak dalam pertahanan militer negara-negara yang berada di wilayah Atlantik Utara, setelah peristiwa 11 Septembar 2001 langsung mendeklarasikan diri untuk melawan terorisme. Hal ini wajar karena kebanyakan target-target dari serangan terorisme ialah negara-negara Barat.
NATO pun mempunyai program-program yang digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan terorisme. Program-program tersebut yakni :
1.Missil
2.Cyber defence
3.Pencegahan dari serangan senjata nuklir, biologi dan kimia
4.Konsep pembentukan pertahanan militer
5.Operasi militer ke negara-negara basis terorisme
6.Pertukaran intelejen
7.Kerja sama dengan organisasi internasional lainnya dalam menghadapi terorisme

1.2Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, penulis mempunyai rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah respon NATO dalam menghadapi kejahatan terorisme setelah terjadi peristiwa serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat dilhat dari sektor keamanan dan kerjasama antar negara anggota NATO?

1.3Tujuan Penulian
Tujuan penulisan dari makalah dengan judul “NATO dan Peristiwa Terorisme 11 Septe,ber 2001“ ialah untuk mengetahui respon NATO dalam menghadapi kejahatan terorisme setelah terjadi peristiwa teror 11 September 2001 di Amerika Serikat, dilihat dari sektor keamanan dan kerja sama antar anggota NATO


BAB 2
NATO dan TERORISME 11 SEPTEMBER 2001


2.1 Sejarah dan Seluk Beluk NATO
North Atlantic Treaty Organization (NATO) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara adalah sebuah aliansi militer yang beranggotakan negara-negara di daerah Amerika Utara dan Eropa. NATO didirikan di Washington DC pada tanggal 4 April 1949. Ada 12 negara yang menandatangani piagam pendirian NATO, yaitu Perancis, Luxemburg, Belanda, Inggris, Kanada, Denmark, Eslandia, Italia, Norwegia, Portugis, Amerika Serikat, dan Belgia. Tujuan didirikannya NATO adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan bagi para negara anggotanya dalam bidang politik, militer, dan pertahanan dalam menghadapi ancaman. Inti dari piagam NATO adalah kesepakatan dari negara-negara penanda tangan tersebut untuk membentuk pertahanan bersama. Pasal terpenting dari piagam pendirian NATO adalah “Serangan bersenjata terhadap satu atau lebih dari mereka di Eropa atau Amerika Utara akan dianggap sebagai serangan terhadap mereka semua”
Pada awalnya, NATO didirikan untuk mencegah serangan oleh Uni Soviet di negara-negara non-komunis Eropa Barat. Organisasi NATO mempunyai cabang sipil dan militer. Cabang sipil adalah Dewan Atlantik Utara yang bertindak sebagai otoritas tertinggi di NATO. Dewan terdiri dari para kepala pemerintahan anggota NATO atau perwakilannya. Seorang Sekretaris Dewan berperan sebagai Kepala Umum Dewan. Cabang militer NATO meliputi : Sekutu Komando Atlantik, Sekutu Komandan Channel, dan Sekutu Komando Eropa. Sekutu Komando Eropa merupakan jantung NATO, di mana Amerika Serikat selalu menjadi komandannya
Anggota NATO pada awalnya hanya beranggotakan 12 negara. Namun sekarang NATO beranggotakan 28 negara. Tahun 1952, Yunani dan Turki bergabung dengan NATO. Jerman Barat begabung dengan NATO pada tahun 1955. Kemudian tahun 1982 Spanyol mulai bergabung, sedangkan pada tahun 1990 Jerman menjadi angota NATO (menggantikan Jerman Barat), setelah Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu
Panglima Tertinggi Sekutu Eropa (SACEUR) yang pertama adalah Jenderal Dwight D. Eisenhower, seorang Jenderal Angakatan Darat Amerika Serikat yang dilantik oleh Dewan Atlantik Utara pada tanggal 19 Desember 1950. Sekretaris Jenderal NATO saat ini adalah Jaap de Hoop Scheffer, mantan Menteri Luar Negeri Belanda. Berikut 28 negara anggota NATO, diantaranya :
1. Albania 15. Latvia
2. Amerika Serikat 16. Lithuania
3. Belanda 17. Luxemburg
4. Belgia 18. Norwegia
5. Bulgaria 19. Perancis
6. Denmark 20. Polandia
7. Eslandia 21. Portugal
8. Estonia 22. Republik Ceko
9. Hongaria 23. Romania
10.Inggris 24. Slovakia
11.Italia 25. Slovenia
12.Jerman 26. Spanyol
13.Kanada 27. Turki
14.Kroasia 28. Yunani

2.2 Terorisme 11 September 2001

Tentu kita masih ingat dengan tragedi memilukan yang pernah menimpa Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001. Di mana pada saat itu di dua kota yakni New York dan Washington DC mendapat serangan teror dari kelompok yang tidak bertanggungjawab.
Sebuah pesawat menabrakkan diri ke menara kembar World Trade Center (WTC) New York, sehingga ke dua gedung itu terbakar, runtuh dan rata dengan tanah. Korban tewasnya pun menembus hingga angka 3000.
Sontak kejadian ini membuat pemerintah AS geram. Tidak lama setelah kejadian itu pemerintah AS menggalakkan kebijakan untuk melawan semua bentuk terorisme.
Terorisme didefinisikan sebagai “kekerasan bermotif politik yang ditujukan kepada masyarakat biasa (non combatant) dan dirancang untuk menciptakan ketakutan pada target sasaran” (politicaly motivated violance directed against non-combatants and designed to instill fear in a target audience). Motivasi di balik segala tindakan terorisme adalah untuk melakukan perlawanan terhadap otoritas mapan.
Kekerasan adalah unsur utama stategi teroris karena hal ini dilihat sebagai cara efektif untuk menyebarkan panik dan ketakutan di tengah-tengah masyarakat sipil dan target sasaran yang lebih luas
Dengan cepat pihak pihak intejlen AS mengetahui siapa dalang dalam peristiwa berdarah ini. Jaringan Al-Qaeda lah yang diduga sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini. Al-Qaeda memiliki kapasitas untuk menjalankan aksi teror di seluruh dunia disebabkan kelompok ini mengembangkan jaringan kerja manusia dan organisasi dengan orientasi ideologi yang sama
Radikalisme dan ekstremisme religius sedang berada di atas dan sekarang, terutama di negara Islam, di mana ada pengertian secara bersama yang dipegang secara luas, bahwa sistem politik dan ekonomi dunia di dominasi oleh Barat sekuler dan bekerja berlawanan dengan kepentingan dunia Islam . Pemahaman umum menyatakan bahwa terorisme tidak punya hubungan sama sekali dengan agama sebab semua agama mengajarkan pada kebaikan, semua agam tidak mengajarkan kepada kekerasan
Namun untuk memberantas kejahatan terorisme, pihak-pihak yang terkait seperti pemerintah dan badan inteljen harus sangat berhati-hati. Karena terorisme ini selalu berlindung pada topeng agama. Di mana, jika menyangkut salah satu ideologi (agama), maka sangat mudah untuk tejadi benturan
Sehari setelah peristiwa di atas, tanggal 12 September 2001 NATO dan ke 24 negara anggotanya mendeklarasikan diri untuk ikut perang melawan terorisme.


BAB 3
LANGKAH NATO DALAM MENGHADAPI TERORISME 11 SEPTEMBER 20


3.1 Sektor Militer
3.1.1 Missil

Rencana pembangunan sistem pertahanan misil AS di Polandia dan Ceko meliputi penempatan alat penangkal rudal, yaitu 10 rudal pencegat (interceptor missiles) di Polandia dan sebuah stasiun radar (tracking radar site) di Republik Ceko. AS menyatakan bahwa ballistic missile proliferation “meningkatnya ancaman terhadap kekuatan, wilayah, dan penduduk sekutu-sekutu AS” (an increasing threat to allied forces, territory and populations). Hal tersebut juga merupakan langkah untuk memperluas sistem pertahanan NATO pada negara-negara yang tidak terjangkau oleh AS. Menteri Luar Negeri Republik Ceko, Karel Schwartzenberg, mengumumkan bahwa negosiasi dengan AS berjalan sukses dan kesepakatan tersebut akan ditandatangani pada awal bulan Mei.
Dalam pernyataan tersebut, pemerintah Ceko menyatakan bahwa perjanjian tersebut merupakan langkah penting dalam usaha mereka untuk melindungi bangsanya sebagaimana dicerminkan dalam pernyataan berikut: “This agreement is an important step in our efforts to protect our nations and our NATO allies from the growing threat posed by the proliferation of ballistic missiles and weapons of mass destruction” . Menanggapi keberatan Rusia atas rencana tersebut, PM Republik Ceko Mirek Topolanek menyatakan, pembangunan sistem pertahanan itu justru berguna untuk menguji semangat bela negara masyarakat Eropa. Menurutnya, kecurigaan Rusia terhadap AS terlalu berlebihan karena pembangunan sistem pertahanan antirudal tersebut sama sekali bukan ancaman bagi Rusia. Dari sudut pandang militer, menurut Ceko, Rusia sama sekali tidak terancam. Sebuah jajak pendapat umum menunjukkan bahwa hampir dua pertiga rakyat Ceko menentang penempatan sistem radar AS di negara tersebut.
3.1.2 Cyber Defence
Merupakan usaha NATO dalam memerangi teroris melalui dunia maya setelah serangan teroris 11 september. Dengan cara melindungi sistem informasi dan komunikasi yang bisa menimbulkan perpecahan melalui akses ilegal dan serangan teroris dalam dunia maya.
NATO sudah mempunyai sistem pertahanan bagi jaringan komputernya sejak tahun 2002. Pertahanan melalui jaringan komputer ini, sangat penting bagi jalannya semua operasi dan misi organisasi.
Cyber defence NATO berusaha mengidentifikasi kemungkinan serangan di seluruh dunia, khususnya negara anggota NATO, sebelum serangan itu terjadi. Namun langkah ini ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami , karena serangan terhadap sistem komputer dan internet dapat terjadi dimana saja dan kapan saja . hal ini memaksa NATO memperluas usaha antisipasi hingga mencakup kepentingan masyarakat umum. Karena para teroris tentu tahu bahwa kebutuhan negara seperti gas, air, listrik, pertahanan dan sistem keuangan diatur melalui jaringan komputer dan internet. Untuk mengantisipasi serangan lewat dunia maya, NATO mendirikan badan kusus yang berpusat di Estonia yang disebut cyber defence centre of excellence.seperti halnya dalam bidang militer, badan ini juga memberikan pendidikan dan pelatihan di berbagai tingkat, bukan hanya untuk spesialis bidang teknologi komunikasi dan administrator keamanan melainkan juga untuk semua anggota militer. Kini daftar negara yang bergabung dangan badan ini semakin panjang. Mereka bersama-sama mengembangkan strategi untuk mencegah, mendeteksi dan memerangi serangan di dunia maya

3.1.3 Batalyon Pertahanan NATO Dari Serangan Senjata Kimia, Biologi, Radiologi dan Nuklir
Merupakan badan NATO yang secara khusus dilatih dan diperlengkapi untuk menghadapi serangan senjata kimia, biologi, radiologi dan nuklir terhadap pasukan NATO atau populasi.
Dibentuk tahun 2003 oleh Tim Penilaian serangan Senjata kimia, biologi, radiologi dan nuklir (CBRN), dan mulai beroperasi pada tahun 2004. Dasar pembentukannya adalah Pertemuan Praha 2002. Pertemuan ini menghasilkan 2 kesepakatan sebagai dasar terbentuknya Batalyon Pertahanan NATO dari serangan senjata Kimia, Biologi, Radiologi dan Nuklir, yaitu:
1.Pembentukan prototipe laboratorium analisa penyebaran senjata kimia, biologi, radiologi dan nuklir.
2.Pembentukan Tim respon dari serangan senjata nuklir, biologis dan kimia.
Pada intinya batalyon ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Aliansi terhadap senjata pemusnah massal.
Batalyon CBRN juga dapat menjalankan tugas pengamanannya terhadap otoritas sipil, asalkan dengan persetujuan dewan atlantik utara, misalnya yang batalyon ini lakukan dalam pengamanan Olimpiade tahun 2004 di Yunani dan pertemuan Istambul tahun 2004. Batalyon CBRN memiliki kemampuan (tanggung jawabnya) untuk melakukan hal-hal berikut :
1.Operasi Pengintaian;
2.Identifikasi zat berbahaya;
3.Deteksi biologis dan pemantauan operasi;
4.Memberikan saran dan penilaian terhadap komandan NATO;
5.Melakukan operasi dekontaminasi;
Batalyon pertahanan multinasional CBRN berada di bawah kendali operasional dari Panglima Tertinggi Sekutu Eropa (SACEUR-Supreme Allied Commander Europe). Pengendalian operasional dapat didelegasikan kepada perintah bawahan jika diperlukan.
Personelnya merupakan personel yang berdedikasi dalam hal ini dari negara-negara anggota NATO, dimana personel ini akan bertugas selama 6 bulan dimana sebelumnya mendapatkan pelatihan.

3.1.4 Operasi Militer Ke Negara Basis Teroris
Negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pekan ini akan memulai Konferensi Tingkat Tinggi mereka, yang akan membahas wewenang pasukan reaksi cepat NATO untuk menyerang sarang teroris di suatu negara kendati tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.
Laporan koran terbitan Inggris, The Guardian, baru-baru ini mengutip beberapa sumber di Inggris yang menyebutkan, pasukan reaksi cepat NATO yang baru akan menyerang sarang teroris di wilayah manapun di dunia ini dengan atau tanpa izin negara yang bersangkutan.
Pasukan reaksi cepat itu akan "menemukan dan menyerang" organisasi-organisasi teroris seperti Al-Qaeda yang bisa saja tengah membangun markas-markas baru.
Sekarang Al-Qaeda sedang mencoba membuat markas seperti yang mereka miliki di Afghanistan. Ratusan sarang mungkin telah dibangun di satu negara yang tidak dapat mengatasi keadaan seperti itu.
Menurut rencana, NATO akan segera bereaksi terhadap permintaan untuk menggerebek markas atau tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat para teroris menyembunyikan senjata kuman dan kimia mereka. NATO akan melakukan penyerangan walaupun tidak ada permintaan dari pemerintah negara tertentu yang menjadi tempat bersarangnya teroris.
Sebagai upaya untuk mengembuskan nafas baru dalam gabungan negara pakta tersebut, para menteri luar negeri NATO awal tahun ini menyepakati bahwa NATO "harus bisa membentuk pasukan yang akan bergerak kapanpun, di manapun, dalam waktu singkat," untuk menyerang musuh. Di sini AS menginginkan para sekutu Eropa untuk bergabung dengan pasukan reaksi cepat agar satu dan yang lainnya dapat berbagi beban. Negara-negara Eropa akan berada di belakang dan mendukung pembangunan kembali stabilitas di lapangan setelah serangan NATO dilakukan.
Negara-negara yang akan diundang untuk bergabung dengan Pakta tersebut adalah Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Bulgaria, Slovakia, dan Slovenia

3.2 Kerjasama Antar Anggota NATO
3.2.1 Pertukaran Intelejen

Sejak 11 September 2001, NATO meningkatkan konsultasi mengenai terorisme dan isu-isu yang berkaitan dengan terorisme di antara para anggotanya, serta dengan negara-negara non-anggota. Tujuannya adalah berbagi informasi, lebih khusus lagi, Pertukaran Intelejen.
Pada tahun 2002 Prague Summit, meningkatkan pertukaran intelejen diidentifikasi sebagai aspek kunci dari kerjasama antara Sekutu. Hasil dari Pertemuan Praha tersebut adalah Sebuah Ancaman Teroris Intelligence Unit (TTIU-Terroris Threat Intellegence Unit) didirikan di bawah Kantor Keamanan NATO pada akhir tahun 2003, menggantikan sel sementara dibentuk segera setelah serangan 11 September.
TTIU sekarang yang permanen dalam tubuh NATO terdiri dari petugas dari sipil dan intelijen militer dan badan-badan penegak hukum yang menganalisa ancaman teroris umum dan ancaman yang lebih secara khusus ditujukan untuk Organisasi.
Selanjutnya, pada tahun 2004 Istanbul Summit, keputusan diambil untuk meninjau struktur intelijen di Markas Besar NATO. Penghubung intelijen baru sel untuk Sekutu NATO dan mitra untuk pertukaran intelijen yang relevan telah dibuat di BENTUK di Mons, Belgia, dan Penghubung Intelligence Unit (ILU-Intelligence Liaison Unit) beroperasi di markas besar NATO untuk membagi informasi yang dikirim oleh negara-negara non-NATO secara sukarela.
Teknologi untuk intelijen, pengintaian, pengawasan dan target akuisisi (IRSTA), dengan tujuan meningkatkan pengembangan alat untuk peringatan dini dan identifikasi teroris dan kegiatan mereka. Jerman telah memimpin di daerah ini.

3.2.2 Kerjasama NATO Dengan Organisasi Internasional
3.2.2.1 NATO dan United Nations (PBB)

Di sini NATO mengikat sebuah komitmen bersama dengan PBB melalui Security Council (Dewan Keamanan) yang di mana memiliki peran penting dalam perdamaian dunia untuk perang melawan terorisme di muka bumi. Kerjasama tersebut menghasilkan sebuah lembaga yang diberi nama “Counter Terrorism” yang berperan aktif dalam menangani masalah terorisme dunia.

3.2.2.2 NATO dan The Organization for Security and Co-operation In Europe

NATO menggandeng The Organization for Security and Co-operation In Europe (OSCE) untuk ikut serta perang melawan terorisme dunia. NATO dengan Amerika Serikat sebagai negara yang terkena serangan teroris mencoba mencari dukungan dan negara-negara Eropa melalui Organisasi Keamanan Eropa dengan membentuk “Pasukan Reaksi Cepat” untuk turut membantu memberantas terorisme dari sarangnya.

3.2.2.3 NATO dan The Organization for The Prohibition of Chemical Weapons
NATO dan negara-negara anggota terkait dengan senjata biologis bekerja sama dengan The Organization for The Prohibition of Chemical untuk melarangan menggunakan bahan-bahan kimia, biologi, dan bahan beradiasi tinggi (termasuk nuklir) seperti yang dipakai para terorisme akhir-akhir untuk menyerang penduduk sipil. Kerjasama ini dikemas dalam The Science for Peace and Security Programme (SPS). NATO dan negara-negara anggota mempromosikan untuk menghentikan pembuatan senjata menggunakan bahan kimia, biologi, dan beradiasi tinggi

Referensi :
DAFTAR PUSTAKA

NATO Public Diplomacy Division. NATO’s Briefing. Edisi Maret 2005. Tabloid
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics : Security Economy and Indentify,
Suryana Jaka, dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional Dari Tradisional Ke Kontemporer, Yogyakarta : Graha Ilmu

Websites
http://www.gatra.com/terorisme
http://www.google.com/terorisme_11september
http://irib.ir/world_service/melayuRADIO/kal_sejarah/april/04_april.htm
http://www.members.tripod.com/more_tra/1e_nato_txt.htm
http://www.nato.int
http://norwegia.or.id/policy/security/nato/nato.htm

Diplomasi Indonesia-Autrsalia : Kasus Timor Timur

By : Triono Akhmad Munib

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan Internasional (HI) dan diplomasi mempunyai kaitan yang sangat erat. Diplomasi dewasa ini merupakan salah satu instrument yang penting oleh negara-negara dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lainnya. Hubungan baik kedua negara biasanya ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik, di mana kedua negara saling mengutus perwakilannya (duta besar) untuk ditempatkan di negara lain.
Hubungan antara RI (Republik Indonesia) dan Australia sejak peristiwa Balibo pada tanggal 16 Oktober 1975 hingga saat ini selalu mengalami pasang surut. Peristiwa terbunuhnya lima wartawan Australia yang sedang meliput berita di Timor Timur, mengakibatkan turunnya citra Indonesia di mata dunia internasional. Selain itu juga berdampak dengan menurunnya kepercayaan publik Australia terhadap pemerintahan RI.
Yang disebutkan di atas hanyanlah sebagian dampak kecil. Dampak yang sampai saat ini kita rasakan adalah lepasnya provinsi RI ke-27 yakni Timor Timur. Semenjak peristiwa Balibo, pemerintahan Australia mendukung upaya Timor Timur untuk lepas dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Tentu lepasnya Timor Timur tidak terjadi secara spontan. RI terus melakukan diplomasi bilateral dengan pemerintahan Australia, untuk mempertahankan Timor Timur. Tetapi apa daya dari hasil referendum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur telah menentukan nasibnya sendiri untuk ,menjadi negara yang berdaulat dengan presiden pertamanya Xanana Gusmao.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mempunyai beberapa rumusan masalah yang akan dibahas, antara lain :
1.Bagaimana peran diplomasi RI dengan Australia sehingga mengakibatkan lepasnya Timor Timur?
2.Siapa saja aktor-aktor yang berperan dalam diplomasi antara pihak RI dengan Australia?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini, diantaranya :
1.Untuk mengetahui bagaimana peran diplomasi RI dengan Australia sehingga mengakibatkan lepasnya Timor Timur.
2.Untuk mengetahi siapa saja aktor-aktor yang berperan dalam diplomasi antara pihak RI dengan Australia.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Diplomasi Bilateral
Diplomasi bilateral terdiri dua suku kata, yaitu diplomasi dan bilateral. Arti diplomasi adalah sebagai aplikasi intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan antara pemerintahan yang berdaulat.
Sedangkan bilateral adalah hubungan yang melibatkan dua negara. Jadi bisa disimpulkan bahwa diplomasi bilateral adalah sebagai aplikasi intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan antara pemerintahan yang berdaulat yang hanya melibatkan dua negara saja.

2.2 Diplomasi Republik Indonesia-Australia
2.2.1 Peran Departemen Luar Negeri (DEPLU)

Peran kuat militer di Deplu dilakukan melalui penguasaan jabatan-jabatan strategis dalam struktur organisasi. Konsep dwifungsi diterapkan dalam tubuh Deplu melalui penunjukan pesonel-personel militer pada posisi-posisi penting seperti Inspektur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Dirjen Hubungan Sosial, Budaya dan Penerangan (Hubsosbudpen), Direktur Asia-Pasifik, dan lain-lain.
Di sini, walaupun ada Menteri Luar Negeri, yaitu Adam Malik tapi Deplu di bawah kepemimpinannya tersebut tetap bukan merupakan institusi penting dalam sistem politik Orde Baru. Posisi Menteri Luar Negeri di sini hanya untuk kebijakan domestik saja, kebijakan yang berhubngan dengan politik luar negeri lebih banyak ditangani pleh pejabat militer
Diplomasi Indonesia juga ditandai oleh dominasi Presiden . Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatannya menangani politik luar negeri dan diplomasi tingkat tinggi. Deplu kemudian hanya berperan sebagai departemen teknis yang menangani masalah-masalah rutin yang tidak signifikan. Untuk masalah-masalah yang berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan personil militer, Deplu semata-mata berperan sebagai agen hubungan masyarakat yang harus menjelaskan kepada dunia internasional alasan dan justifikasinya

2.2.2 Strategi dan Taktik Diplomasi Deplu

Secara umum, Deplu tidak menerapkan taktik dan strategi khusus untuk menangani diplomasi Timor Timur. Tidak adanya taktik dan strategi tersebut terkait dengan persepsi pemerintah Indonesia yang tidak menganggap kasus Timor Timur sebagai isu penting meskipun pada kenyataannya sangat mempengaruhi hubungan dengan negara-negara lain. Pemerintah Indonesia menganggap segala permasalahan. kejadian, dan kebijakannya merupakan masalah domestik dan campur tangan pihak luar dianggap sebagai bentuk intervensi asing.
Rusaknya hubungan Indonesia dengan mesia massa Australia terutama sejak terjadinya peristiwa Balibo 1975, ketika pemerintah Indonesia dianggap bertanggung jawab atas meninggalnya lima wartawan Australia.
Sehingga ini menyebabkan ketidakpercayaan publik Australia terhadap pemerintah Indonesia yang berimplikasi pada lemahnya dukungan publik Australia terhadap Indonesia. Di sini, setiap isu negatif yang mencontreng citra dan reputasi Indonesia justru menjadi komoditas utama berita di media massa Australia.
Selain itu, peran dominan politik militer dan birokrasi yang membuat diplomasi Indonesia mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi terutama untuk memenangkan opini publik internasional.

2.2.3 Kendala-Kendala Internal Deplu
Masalah-masalah organisasional di dalam tubuh Deplu juga berpengaruh terhadap diplomasi. Deplu memiliki beberapa kelemahan dalam proses rekrutmen diplomat karir dan penunjukkan diplomat non-karir. Kelemahan tersebut persyaratan bagi pejabat-pejabat militer dari luar Deplu untuk mencapai posisi sebagai Duta Besar. Seorang Duta Besar dan Konsul Jenderal dengan latar belakang militer lebih banyak ditunjuk atas pertimbangan politis daripada kualitas dan prestasi. Meskipun terdapat sejumlah kecil pejabat militer yang berhasil dalam menjalakannya tugasnya sebagai Duta Besar, dalam banyak kasus prestasi mereka tidak signifikan. Petunjuk politis juga mengurangi bobot dan profesionalisme seorang Duta Besar dan dalam beberapa kasus, diplomat militer cenderung lebih mewakili kepentingan Dephankam daripada Deplu
Selain itu, pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) menyebabkan informasi internal hanya dimiliki segelintir petinggi inteljen dan militer. Tertutupnya informasi juga merupakan upaya ABRI untuk melindungi para anggotanya yang terlibat dalam berbagai pelanggaran. Pembatasan informasi sangat terlibat dalam berbagai pelanggaran. Pembatasan informasi sangat terasa ketika terjadi peristiwa Santa Cruz di Dili tanggal 11 November 1991. Peristiwa ini berawal dari demonstrasi menuju pekuburan Santa Cruz untuk menghormati seorang demonstran yang tertembak satu minggu sebelumnya. Dalam perjelanannya, sejumlah anggota ABRI melepaskan tembakan kepada para demonstran tembakan kepada para demonstran, sehingga menyebabkan sekitar 100 orang meninggal dunia dan sejumlah besar korban luka-luka

2.3 Aktor-Aktor Diplomasi Indonesia
2.3.1 Militer (ABRI)
Peran militer terlihat dominan sepanjang masa integrasi Timor Timur dengan Indonesia . Hubungan militer dengan Deplu yang tidak harmonis seringkali merugikan bagi kepentingan diplomasi Indonesia. Kepentingan ABRI mempertahankan keamanan Timor Timur telah member kewenangan yang besar untuk menempuh segala cara, termasuk mengabaikan hak asasi manusia. Aktivitas-aktivitas politik rakyat Timor-Timur yang bertujuan kemerdekaan, bertentangan tujuan ABRI mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Salah satu cara yang diterapkan adalah memberlakukan sensor yang ketat terhadap segala bentuk aktivitas penyebaran informasi dari dan ke Timor Timur. ABRI hanya meneruskan informasi-informasi yang sifatnya tidak substansial dan rutin kepada pemerintah. Serta media massa nasional. Kebijakan ini bertentangan dengan tujuan Deplu untuk mempertahankan citra pemerintah yang menghormati hak asasi manusia
Insiden Balibo dan Santa Cruz telah menunjukkan kegagalan Deplu memperoleh informasi yang diperlukan dari TNI dan badan-badan inteljen. Keterbatasan ini menyebabkan terhambatnya aktivitas-aktivitas diplomasi dan upaya-upaya penyebaran informasi yang akurat dan tepat kepada masyarakat internasional, selain menimbulkan kesalahpahaman dan menurunkan citra Deplu sebagai agen informasi dan komunikasi internasional. Meskipun ketika menghadapi peristiwa ini pemerintah Australia menyadari peran Deplu yang tidak memiliki informasi mengenai keberadaan jurnalis Australia yang meninggal di Balibo, akan tetapi secara formal-prosedural, Kedutaan Australia mengajukan pertanyaan kepada Deplu

2.3.2 Intervensi Presiden

Pada masa orde baru, Presiden Soeharto (1966-1999) berperan sebagai aktor utama dalam merancang kebijakan dalam maupun luar negeri Indonesia. Pada dua dekade awal orde baru, kebijakan Soeharto dan ABRI sulit dipisahkan. Kekuasaan Soeharto diperoleh karena dukungan ABRI dan kenyataan bahwa ABRI bersatu di bawah komandonya. Panglima ABRI cenderung menghindari cara-cara langsung untuk menyatakan ketidakpuasan terhadap distribusi kekuasaan. selain itu, jika pendapat Soeharto bertentangan dengan militer, autoritasnya sebagai Presiden dan Penglima tertinggi akan dipergunakan secara efektif.
Dalam suatu kasus, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan alternatif-alternatif penyelesaian. Dan dalam masa orde baru, tidak ada satupun kebijakan penting pemerintah yang diterapkan tanpa dukungan atau persetujuan Dephankam maupun institusi militer lain seperti Badan Intelijen Nasional. Dalam hal ini peran ABRI dinyatakan sebagai intervensi bukan koordinasi.
Otoritas Soeharto semakin menonjol pada awal dan pertengahan 1980-an. dalam kaitannya dengan diplomasi Indonesia, sistem ini menyebabkan praktik diplomasi tidak bisa berjalan tanpa dukungan Soeharto. Hal ini mengarah pada birokrasi yang lebih bersifat responsive daripada pro-aktif. Deplu hanya menjalankan aktivitas-aktivitas politik tingkat menengah dan rendah.

2.3.3 Diplomasi Masa Presiden Habbie

Ketika Soeharto dipaksa turun dari jabatan Presiden oleh kondisi politik dan ekonomi turun dari jabatan Presiden oleh kondisi politik dan ekonomi pada tahun 1998, posisi Presiden digantikan oleh B.J. Habibie. Cara pandang Habibie terhadap masalah Timor Timur berbeda dengan Soeharto, di mana Soeharto ingin mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia dengan berbagai cara, sementara Habibie lebih memandang sebagai beban ekonomi. Dari segi gaya diplomasi, keduanya memiliki persamaan yang lebih memfokuskan pada diplomasi untuk meningkatkan hubungan antar pemerintah. Diplomasi publik hanya ditangani dalam kasus-kasus khusus. Kesaman lain adalah keduanya lebih mempercayai orang-orang terdekatnya daripada sistem pengambilan keputusan politik yang berlaku
Tawaran otonomi luas (Juni 1998), yang diikuti opsi referendum (Januari 1999), memunculkan perdebatan yang seru di dalam negeri. Dalam pandangan Habibie, referendum merupakan cara penyelesaian masalah sekali dan untuk selamanya . Akan tetapi Habibie luput untuk memperhitungkan faktor-faktor eksternal seperti perubahan politik dunia pasca Perang Dingin, bergesernya peran AS dan PBB, dan perubahan cara pandang pemerintah di Australia terhadap isu Timor Timur. Selain itu, peran media massa dan NGO (Non Goverenment Organisation) internasional juga semakin besar sebagai kelompok penekan yang dapat berpengaruh kebijakan pemerintah.
Di dalam negeri, Habibie juga salah memperhitungkan situasi ekonomi dan politik pasca Soeharto. Ketika keputusan untuk memberikan opsi kedua diumumkan, rakyat tengah mengalami krisis ekonomi yang belum pulih sejak tahun 1997. Secara umum, kebijakan yang diambil Habibie mencerminkan kurangnya informasi dan pemahaman terhadap masalah Timor Timur. Ini terlihat dari penyederhanaan pandangan terhadap masalah dan diredusinya isu sebagai semata-mata ketergantungan ekonomi Timor Timur yang besar terhadap Indonesia

Referensi :
Djelantik, Sukawarsini. 2006. Diplomasi Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu
Ernest, Sir Satow. 1992. A Guide to Diplomatic Practice. New York : Longman Green & Co
Fortuna, Dewi Anwar. 2001. Implementasi Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Australia Terhadap Indonesia, Studi Kasus Timor Timur (1966-2000), dalam Ganewati Wuryandari, Indonesia dan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Australia 1966-2001. Jakarta : Pusat Pendidikan Politik (P2P) LIPI
Lowry, Robert. 1996. The Armed Forces of Indonesia. Syedney : Allen and Unwin,
R.E, Elson, Soeharto. 2001. A Political Biography. London : Cambridge University Press
Sukma, Rizal. 1999. Indonesia and China, The Politics of Troubled Relationship. New York : Routhledge
Way, Wendy (Ed). 2000. Document on Australian Foreign Policy, Australia and Indonesian non-corporation of Portugese Timor, 1974-1976. Melbourne University Press : Departement of Foreign Affairs and Trade

Thursday 4 February 2010

Detterence

By : Heri Alfian, S.Sos, M.Si

Detterence secara harfiah adalah sebuah penangkisan, penolakan atau pencegahan, dalam hal ini maksud Deterrence adalah merupakan suatu strategi untuk mencegah terjadinya perang dengan cara ‘mengecilkan hati’ lawan (negara lain) yang mencoba menyerang. Tujuan utama defender disini adalah meyakinkan kepada negara lain bahwa kerugian yang ditimbulkan karena perang akan jauh melebihi keuntungan yang diharapkan. Hal ini biasanya diselesaikan dengan ancaman balas dendam secara militer atau membalas inisiator jika melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih tepatnya defender harus menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas dan kemampuannya untuk melakukan hal tersebut untuk mendemonstrasikan credibility of the deterrence.
Konsep deterrence biasa diasosiasikan dengan kekuatan nuklir, tetapi penerapannya diperluas dalam berbagai situasi dimana salah satu pihak mencoba untuk mencegah pihak lain untuk melakukan tindakan yang belum dilakukan. Deterrence dapat pula digunakan dengan kekuatan untuk mencegah kelemahan dari percobaan penggulingan suatu negara.
Para ahli strategi mengidentifikasikan 4 macam deterrence. Dua jenis pertama yaitu General dan Immediate, dilakukan sesuai dengan kerangka waktu strategi. General deterrence adalah strategi jangka panjang yang dimaksudkan untuk “mengecilkan hati dengan pertimbangan yang serius atas segala bentuk ancaman kepentingan negara lain”. General deterrence berjalan setiap waktu, berusaha untuk mencegah negara lain yang mencoba menyerang dengan berbagai cara militer karena konsekuensi yang diinginkan. Immediate deterrence, sebaliknya, adalah suatu tanggapan terhadap yang ancaman yang jelas dan tegas atas kepentingan negara. Ketika aggressor mulai menyerang general deterrence dinyatakan gagal, tetapi immediate deterrence mungkin masih dapat dilakukan untuk meyakinkan aggressor untuk menghentikan dan tidak melanjutkan serangan.
Dua jenis deterrence yang lain berhubungan dengan lingkup geografis dari strategi yang dimaksud. Primary deterrence dimaksudkan untuk meminta negara lain untuk tidak menyerang wilayah suatu negara, selain itu extended deterrence adalah “mengecilkan hati” negara lain untuk tidak menyerang partner atau sekutu suatu negara.

Syarat-syarat deterrence
Terdapat tiga syarat atau kondisi yang harus dipenuhi dalam konsep deterrence.
Commitment, merupakan langkah pertama dalam pelaksanaan deterrence, defending state harus memiliki komitmen untuk membalas aggressor atau challenger ketika melakukan tindakan. Dalam kata lain defender harus membuat batas dan memperingatkan aggressor bahwa dia akan ‘menderita’ bila melewati atau melintasi batas tersebut. Komitmen tersebut harus jelas, tidak ambigu dan harus dinyatakan sebelum aggressor melakukan agresi. Komitmen yang ambigu dapat mendatangkan kerugian dari kepentingan aggressor dalam percobaan pemecahaan pertahanan. Deterrence seringkali gagal karena defender tidak menunjukkan dengan baik komitmen untuk membalas atau gagal dalam menetapkan tindakan pembalasan yang tepat dalam suatu kasus penyerangan.
Capability, komitmen yang jelas tidak akan berguna apabila negara tidak mempunyai cara atau sarana untuk menunjukkannya, ketika deterrence berputar sekitar menyakinkan aggressor bahwa kerugian dari tindakan tidak sebanding dengan keuntungannya, defender harus menyakinkan pula bahwa dia juga memiliki kemampuan untuk membalas. Sekalipun bila kemampuan deterrent negara lemah, dia tetap mencoba meyakinkan bahwa kemampuan untuk membalas yang dimiliki lebih kuat.
Credibility, suatu negara harus menyakinkan aggressor tentang keputusan dan keinginannya untuk menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas. Walaupun defender telah menyatakan komitmen dan menunjukkan kemampuannya untuk membalas, deterrence masih mungkin mengalami kegagalan jika aggressor meragukan keinginan defender mengambil resiko perang. Jelasnya, komitmen untuk membalas harus persuasive supaya tidak terdengar ‘gertak sambal’. Pada bagian lain keberhasilan defender bergantung pada reputasi perilaku dan image suatu negara.
Singkatnya, deterrence dapat mengalami kegagalan karena aggresor meragukan komitmen, kemampuan dan kredibilitas defender untuk membalas aggressor. Bagaimanapun, teori deterrence mengakui bahwa, defender harus dengan jelas menunjukkan komitmen serta kredibilitasnya untuk mempertahankan kepentingan negaranya, di sisi lain aggressor harus mengkalkulasikan juga keuntungan atau kerugian dari pembalasan (punishment), dalam hal ini masih sangat rational bagi aggressor untuk menyerang.

Dampak dan sumbangan teori deterrence
Bila diamati penerapan konsep deterrrence yang telah dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, dapat dikatakan bahwa deterrence telah memberikan dampak positif terhadap terciptanya keamanan nasional negara-negara tersebut serta berperan besar dalam menciptakan keamanan dunia. Alasan yang dapat diajukan adalah selama perang dingin tidak pernah terjadi perang terbuka (perang dalam arti sebenarnya) antara AS maupun Uni Soviet. Kekuatan nuklir yang dimiliki oleh kedua negara tidak pernah digunakan untuk saling menyerang, bahkan sampai hari ini. Karena masing-masing pihak merasa bahwa tidak akan mendapatkan keuntungan (politis maupun militer) apapun juga, sebaliknya akan sama-sama mengalami kehancuran jika persenjataan nuklir mereka digunakan untuk saling menyerang. Jadi pada dasarnya kekuatan nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya sebagai alat untuk menciptakan efek psikologis yaitu masing-masing pihak takut untuk melakukan first strike, sehingga tidak terjadi perang terbuka.
Namun pada sisi lain banyak case yang memperlihatkan bahwa deterrence tidak memberikan dampak positif bagi keamanan nasional suatu negara dan keamanan dunia dan sebaliknya telah menyebabkan terjadinya perang terbuka. Hal itu disebabkan oleh adanya sifat vulnerability (mudah diserang) yang tinggi dalam penerapan konsep deterrence tersebut. Sifat vulnerability yang sering terjadi dalam penerapan deterrence yaitu:
• Adanya kesulitan untuk menentukan apakah deterrence yang dilakukan berhasil atau gagal
• Adanya kesalahan persepsi (misperception) terhadap tindakan ataupun “signal” yang dikirimkan oleh salah satu pihak
• Rasionalitas, menyangkut adanya keterbatasan keterbatasan decision maker untuk mencapai rasionalitas yang terbaik karena keterbatasan manusia untuk melakukan semua kalkulasi yang sangat banyak dan rumit.
Mengenai sumbangan yang diberikan terhadap pertahanan dan keamanan dunia dapat dilihat dari berbagai kasus penerapan deterrence yang dilakukan banyak negara terutama AS dan Uni Soviet yang tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan nasional kedua negara tersebut, terlebih bagi keamanan dunia. Keamanan dalam hal ini mencakup keamanan dari rasa takut dan kecemasan dan tidak semata-mata hanya terhindar dari pecahnya perang terbuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama Perang Dingin, masyarakat kedua negara berada dalam kondisi psikologis yang penuh dengan rasa ketakutan dan kecemasan akan pecahnya perang secara tiba-tiba. Selain itu deterrence yang dilakukan oleh AS dan Uni Soviet tidak menciptakan keamanan serta perdamaian bagi dunia karena perdamaian yang tampak sifatnya sangat artifisial.

Free Trade Tak Benar "Free"

By : Triono Akhmad Munib

Perdagangan bebas berangkat dari keinginan untuk menghilangkan kemiskinan dengan cara membuat negara-negara bisa mendapatkan produk yang lebih murah, sementara pada saat bersamaan, negara-negara miskin bisa meningkatkan pendapatan orang-orang miskinnya, terutama petani, peternak, nelayan, dan petambak kecil, dengan cara melakukan ekspor ke negara-negara maju.
Cita-cita yang ideal itu, saat ini, ternyata tidak menguntungkan negara-negara miskin. Terjadi ketidakpuasan di mana-mana. Demonstrasi besar di Seattle, Amerika Serikat (AS), beberapa tahun lalu terhadap negara-negara kaya, adalah salah satu bukti ketidakadilan itu.
Subsidi terhadap petani di negara-negara kaya menyebabkan hasil pertanian di negara-negara berkembang tampak seperti seolah-olah dihasilkan dengan cara tidak efisien. Hambatan impor produk pertanian primer oleh negara kaya atas produk pertanian negara berkembang dalam bentuk nontarif, misalnya melalui standar kesehatan, menyebabkan petani negara miskin tidak bisa menjual produknya.
Selain ketidakadilan yang sangat nyata di dalam liberalisasi perdagangan tersebut, ada hal lain yang sebenarnya jauh lebih merugikan negara-negara miskin. Seolah-olah akses pasar yang lebih besar untuk negara-negara berkembang akan menguntungkan negara-negara ini, tetapi pada kenyataannya justru mereka lebih banyak mengalami kerugian. Dampak lebih jauh dari pilihan komoditas tersebut adalah beralihnya petani ke produksi komoditas ekspor tersebut dan meninggalkan tanaman pangan yang sebenarnya penting untuk ketahanan pangan lokal.

Keberhasilan Liberalisme Dalam Meramal Berakhirnya Perang Dingin

By : Triono Akhmad Munib

Menurut pendapat saya, teori realisme gagal meramalkan berakhirnya perang dingin. Saya lebih condong kepada liberalisme. Liberalisme berhasil meramalkan kejadian akhir dari sebuah perang dingin.
Alasannya adalah bahwa akhir perang dingin tidak ditandai dengan perimbangan kekuatan atau balance of power seperti yang diberikan oleh para realis. Damai abadi tidak lagi ditunjukkan oleh kekuatan militer negara sehingga mereka tidak saling menyerang karena sama-sama kuat. Pasca runtuhnya Soviet tidak ada lagi kekuatan bipolar. Kepentingan negara sudah tidak lagi mencari aliansi kepada negara-negara komunis maupun non-komunis. Negara sudah tidak lagi hanya memikirkan masalah keamanan dan militernya
Negara mulai berpikir bahwa rakyatnya butuh kehidupan yang lebih layak, butuh kebutuhan hidupnya. Seperti yang diramalkan kaum liberalis bahwa konsep damai abadi bisa tercipta jika negara-negara mau bekerja sama dan saling bertukar informasi
Di sini terlihat, pasca perang dingin muncul isu-isu baru meskipun isu tentang keamanan masih sedikit dipertahankan, antara lain menurut Juwono (Pakar Hubungan Internasional Universitas Indonesia) :
1. Pertama, pada era pasca Perang Dingin, perhatian lebih difokuskan pada usaha memelihara persatuan dan kesatuan bangsa menghadapi lingkungan internasional yang belum jelas.
2. Semakin banyak muncul kerjasama regional, misalnya fenomena di Asia Tenggara dengan prakarsa ASEAN mengukuhkan zona bebas nuklir termasuk salah satu ciri dimana keamanan regional penting bagi kawasan in
3. Sorotan dunia pasca perang dingin sudah tidak kepada kemanan tetapi jatuh kepada masalah ekonomi-politik internasional
4. Muncul isu baru dengan terpusat pada apa yang dinamana sebagai “3 in 1” yakni lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi
Menurut liberalis, kecendrungan negara mengakumulasi power-nya adalah karena tidak adanya pertukaran dan distribusi informasi sehingga membuat saling curiga antar negara. Dengan adanya kerja sama, maka antar negara akan mendapatkan informasi satu sama lain dan tidak menimbulkan kecurigaan
Dari pendapat Juwono di atas, saya menarik kesimpulan bahwa sesuai dengan asumsi dasar kaum liberalis di mana damai abadi tidak hanya bisa tercipta dengan balance of power, melainkan bisa dicapai dengan kerja sama.

Sumber :
Sudarsono, Juwono. 1996. State of the Art Hubungan Internasional : Mengkaji Ulang Teori Hubungan Internasional dalam Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta : Pustaka Jaya
Sorensen,Georg and Jackson,Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press

Neorealisme Dalam Kebijakan "Anti-Teror" AS

By : Triono Akhmad Munib

Neorealisme (Kenneth Waltz)
Sebelumnya kita perlu menjelaskan bagaimana teori neorealisme dalam memandang hubungan internasional
Di sini, neorealisme berbeda dengan realism klasik yang memandang negara dengan elitnya sebagai fokus, neorealisme lebih menitikberatkan pada struktur internasional beserta unit-unitnya dan interaksi di dalam sistem itu, Jika kita membandingkan antara realisme dan neorealisme, maka parameter yang digunakan juga berbeda. Walau pada dasarnya neorealisme ‘hanya’ mengembangkan sedikit substansi dari pemikiran realisme, pandangan neorealisme cenderung melihat segala sesuatu dari kacamata struktur dan unit-unitnya. Jika bagi realis manusia adalah jahat, maka bisa jadi menurut neorealis yang jahat adalah sistem
Di sini Waltz memberikan pentingnya struktur, yang tertuang dalam kalimat berikut :
“Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat Negara…….hambatan-hambatan struktural menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaan-perbedaan dalam diri manusia dan negara-negara menggunakannya”. Waltz (1979 : 117)

Neorealisme Dalam Kebijakan Antiteror Amerika Serikat
Jika dianalisis, kebijakan antiteror AS dapat dipandang dalam teori neorealisme Waltz seperti yang diungkapkan di atas. Sekali lagi neorealis menekankan bahwa anarki dalam hubungan internasional bukan berasal dari human nature, yang seperti realis katakan bahwa manusia pada dasarnya jahat. Tetapi di sini, neorealis mengatakan struktur-lah yang membuat tindakan manusia itu jahat dan anarki.
Dalam neorealis anarki dan damai disebabkan oleh struktur yang ada. Jika struktur menunjukkan damai, maka negara berupaya untuk membuat suatu kebijakan baik berupa aliansi militer atau pun balance of power guna sebagai respon terhadap suatu struktur tersebut. Tetapi sebaliknya, jika struktur menunjukkan sebuah perdamaian, maka suatu negara juga akan mengubah kebijakannya
AS tidak akan mengeluarkan kebijakan anti teror atau biasa disebut Global War on Terrorism (GWOT), jikalau struktur internasional tidak memaksanya. Maksudnya, serangan terhadap gedung WTC menunjukkan bahwa struktur internasional jauh dari damai, tidak ada kekuatan di atas kedaulatan negara. Struktur inilah yang mendorong dam memaksa AS mengaplikasikan kebijakan GWOT sebagai respon menghadapi struktur internasional.

Sumber :
Sorensen,Georg and Jackson,Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press

Fanatisme Pendukung Parpol

By : Triono Akhmad Munib

Perhelatan pesta demokrasi masyarakat Indonesia akan segera dimulai dengan tinggal menghitung hari. Iklan-iklan partai politik telah banyak disebarluaskan, mulai dari yang merangkul masyarakat petani, warga miskin, pelajar, dan lain-lain
Yang perlu ditekankan adalah bahwa siapapun, partai apapun yang memenangkan pemilu, hendaklah kita mendukungnya karena keputusan kebijakan politiknya akan dirasakan seluruh lapisan masyarakat bahkan yang kontra terhadap partai politik pemenang pemilu tersebut
Dalam hal ini, pendukung partai politik yang sangat fanatik kerap menjadi hambatan bagi pesta demokrasi di Indonesia. Mereka tidak rela partainya kalah dalam pemilu, mereka berpandangan bahwa partainyalah yang paling benar, seolah-olah mereka mati jika partainya tidak menang dalam pemilu. Di sini, yang paling mudah dipengaruhi oleh partai politik adalah masyarkat yang di mana pengetahuan akan politiknya rendah, warga dengan ekonomi sulit. Dengan di iming-iming visi dan misi partai politik yang akan mensejahterakan warga miskin, mereka kerap menjadi pendukung yang fanatik
Lebih lanjut, pendukung yang fanatik ini menyulitkan presiden yang menang pemilu dan pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Karena pendukung fanatik partai politik yang kalah kerap tidak mendukung kebijakan tersebut. Padahal, kebijakan tersebut akan juga dirasakan mereka walaupun mereka mendukung atau tidak mendukung. Akhirnya, pembangunan sosial, ekonomi akan terhambat pula
Oleh karena itu, siapapun, partai apapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, kita harus menerima dan mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuatnya

Resiko Demokrasi

By : Triono Akhmad Munib

Setelah rezim orde baru pimpinan Soeharto runtuh, gerakan-gerakan sosial masyrakat mulai bermunculan dengan latar belakang demokrasi dan reformasi. Memang pada rezim orde baru, kebebasan sangat minim hampir tidak ada pintu kebebasan untuk mengeluarkan suatu pendapat, pikiran, ataupun membangun suatu gerakan sosial di masyarakat. Kebebasan itu bisa dirasakan apabila pendapat, pikiran dan suatu gerakan sosial tersebut selalu pro kepada pemerintah. Dan pendapat, pikiran yang kontra dan ingin mengkritik kinerja penerintah ditekan dan tidak diberi ruang untuk menuangkannya. Sehingga bisa kita rasakan berita-berita pada rezim orba selalu tentang yang baik terhadap kinerja pemerintah. Rezim orba tak segan-segan memberantas pihak yang kontra terhadap pemerintahan terlebih tak segan-segan menghilangkan nyawa seseorang atau gerakan sosial yang mengaraj mengkritik kinerja pemerintahan
Bak air bah di musim hujan, ketika pintu demokrasi dibuka lebar meledaklah uneg-uneg yang selama 32 tahun dipendam, yang tidak bisa dituangkan ke dalam media apapun. Mulai terkuaklah kejelakan kinerja pemerintah, muncul kritik-kritik tajam terhadap pemerintah, menjamurnya gerakan-gerakan sosial masyarakat yang membawa nama demokrasi dan reformasi,
Masyarakat berharap bahwa terbuka lebarnya pintu demokrasi bisa menjadikan pemerintahan yang lebih baik. Tetapi “apakah demokrasi tersebut menjanjikan pemerintahan yang lebih kondusif?”. Jawabannya adalah tidak, kita lihat sekarang gerakan mahasiswa, gerakan masyarakat yang anarki, bahkan hingga menewaskan nyawa seseorang, seperti yang dialami oleh ketua DPRD Sumut Abdul Azis. Di sini aparat keamanan pun juga tidak bisa berbuat banyak, karena mereka berkedok demokrasi, mereka mengeluarkan pendapat dilindungi oleh undang-undang
Bebeda dengan rezim orba. Kekuatan ada pada pemerintah dan presiden. Jika ada sekelompok masyarakat yang tidak senada dengan pemerintah habislah mereka. Memang cara ini cukup efektif untuk Indonesia yang di mana terdiri dari berbagai suku, ras dan agama serta wilayah yang berpulau-pulau sehingga untuk menyatukan nada sangat mudah. Dan rezim orba kekuasaan militer sangat berpengaruh sekali guna mentertibkan masyarakat anti pemerintahan
Hendaklah kita menyadari, tindakan anarkisme masyarakat yang terjadi saat ini merupakan suatu resiko demokrasi. Yang memberikan kebebasan untuk mengkritik segala kinerja pemerintahan dan tidak adanya kesenadaan antara pemerintahan dan masyarakat

Jangan Salah Pilih Caleg

By : Triono Akhmad Munib

Atmosfer politik di Indonesia sedang memanas saat ini. Maklum tinggal menghitung hari lagi, negara kita akan menggelar pesta demokrasi dan perombakan struktur pemeritahan secara besar-besaran
Yang perlu disoroti di sini adalah cara dan kampanye parpol-parpol dalam menarik simpati masyarakat. Bisa kita lihat, jadwal kampanye belum dibuka, tapi atribut parpol sudah bertempelan dimana-mana, bahkan di sarana umum sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat dan merusak keindahan tata kota
Yang lebih tragis lagi , di dalam spanduk tsb, mereka sudah berani menulis janji-janji mereka. Apakah mereka tidak malu jika kelak terpilih tetapi tidak bisa merealisasikan janjinya? Apa mereka harus disumpah di atas Al-Qur'an terhadap janji-janjinya tsb??
Masyarakat dari latar belakang apa pun berbondong-bondong mencalonkan dirinya sebagai caleg. Pandangan saya di sini bahwa semangat caleg saekarang sudah bukanlah memperjuangkan rakyat, tetapi demi diri sendiri, keluarga. Seyogyanya adalah mengejar kekayaan. Ini terlihat dari upaya caleg untuk bisa menang dalam pemilu. Mereka akan melakukan apa pun, menghabiskan harta bendanya, karena mereka berpikir semua itu akan kembali jikalau mereka menang. Seakan-akan kemenangan tsb dijadikan ladang korupsi
Pikiran inilah yang harus dihapuskan dari para caleg. Kita sebagai bagian dari pesta demokrasi itu, hendaklah berhati-hati dalam memilih caleg, karena masa depan Indonesia ada di tangan mereka

Demokrasi Yang Amburadul

By : Triono Akhmad Munib

Makna demokrasi di Indonesia saat ini sudah kehilangan arah. Arti demokrasi sudah tidak sesuai dengan arti sebenarnya. Di mana demokrasi adalah "rule by people", artinya pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Akan tetapi makna tsb sudah berubah bagi Indonesia. Demokrasi bagi Indonesia adalah "rule by government", pemerintahan dari pemerintah, oleh pemerntah dan untuk pemerintah.
Demokrasi sangat menghargai perbedaan, tapi banyak aspirasi masyarakat yang tak pernah digubris oleh pemerintah. Pemerintah berjalan sendiri dengan tidak lagi meng-atasnamakan rakyat. Wajarlah kalau banyak sekali demonstrasi di sana-sini, seyogyanya karena masyarakat hanya ingin aspirasinya didengar dan dijadikan pertimbangan
Seyogyanya yang mengerti problem masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Pemerintah perlu pendapat masyarakat untuk mengetahui problem-problem di masyarakat. Tapi mengapa pemerintah tak pernah mau mendengar??. Karena mereka tak ingin kejelekannya diketahu halayak ramai, masyarakat penilai kinerja pemerintah. Masyarakat mengkritik, demo terhadap suatu kebijakan karena they're know bahwa semua itu tak berpihak pada rakyat
Prinsip good governance berazas demokrsi adalah :

1. Partispasi masyarakat dalam pemerintahan
2. Penegakan hukum yang adil yang di Indonesia sangat sulit diciptakan. Hukuman bagi yang berduit, bagi pejabat akan lebih ringan dalam hal kasus yang sama
3. Transparansi. Pemerintah kita bisa dikatakan masih selalu menutup-nutupi segala seluk beluk kegiatan pemerintahannya, apalagi jika berhubungan dengan UANG NEGARA
4. Akuntabilitas. Segala kebijakan yang dibuat pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan
5. Daya tanggap. Pemerintah harus tanggap terhadap apa yang diperlukan oleh masyarakat, tanggap terhadap masalah-masalah masyarakat

Kecanggihan Startegi "Ju-Jitsu" Jepang

Japan’s strength lay in “ju-jitsu”-the art of converting a weakness into a strength, or fall into a fresh attack.(E.H. Norman, dalam Malcolm Macintosh, Japan Rearmed, New York, 1986)

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan evolusi kebangkitan militer Jepang terletak pada strategi “ju-jitsu”-nya yang sangat brilian. Betapa tidak, setiap kali Jepang meningkatkan kemampuan militernya seolah mendapatkan ruang pembenarannya di tengah-tengah hambatan internal dan eksternal yang begitu kuat. Kecanggihan strategi itu pada akhirnya akan berujung pada terwujudnya negara Jepang sebagai “normal state” yaitu memiliki perekonomian serta militer yang kuat dan mandiri.
Pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan. Jepang meninggalkan sistem pertahanan yang sekedar membela diri hingga siap membela diri dengan rudal. Pada dasarnya perubahan kebijakan pertahanan Jepang tersebut bukanlah berita yang mengejutkan karena sejak Desember tahun 2000 Jepang telah mengadopsi MTDP (the Mid-Term Defense Programme) untuk tahun fiskal 2001-2005 yang secara substansial telah merubah secara U-turn posture pertahanan dan keamanan Jepang. MTDP merupakan bentuk kesepakatan Jepang-AS untuk menentukan besarnya anggaran militer Jepang untuk tahun 2001-2005. Beberapa item penting yang dapat dicatat sebagai bentuk perubahan kebijakan pasifis menjadi lebih bersifat ofensif adalah adanya ketentuan bahwa kekuatan SDF (the Self-defense Force) Jepang dikurangi hingga sebanyak 166.000 personil. Padahal realisasi kekuatan SDF pada tahun 2000 baru sebesar 286.000 personil militer. Direncanakan sampai tahun 2000 semestinya sebesar 350.000 personil. Momentum deklinasi kekuatan militer Jepang itu baru terjadi untuk pertama kalinya semenjak The Treaty Of Mutual Cooperation an Security between Japan and The United States of America pada tahun 1951. Sejak perjanjian tersebut sampai Nixon-Tanaka Communique pada tahun 1973 kekuatan militer Jepang selalu mengalami inklinasi dari 75.000 pada tahun 1951, meningkat 117.177 pada tahun 1953, meningkat lagi menjadi 156.000 pada tahun 1955, 206.001 tahun 1960, dan menjadi 286.000 pada tahun 2000.
Yang menarik adalah, dibalik deklinasi kekuatan personil militer tersebut berdasarkan MTDP 2001-2005 itu, Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pertama pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar). Jadi secara personil militer terjadi penurunan atau deklinasi pada posture kekuatan pertahanan Jepang, namun dari segi persenjataan dan peralatan pertahanan dan keamanan Jepang mengalami modernisasi yang sangat signifikan. Modernisasi tersebut mencakup lima area Ground, Maritime, Air Defense, IT network, Research and Development. Di dalam program tersebut disebutkan tentang kerjasama research and development dengan AS dalam hal pengembangan theater missile defense, Fixed wing maritime patrol/ ASW P-3C dan C-1 transport replacements; pembangunan defense information infrasructure (triservice computer integration program, dan Common operating environment . Modernisasi ini akan menyebabkan Jepang memiliki kekuatan misil yang canggih serta akan sangat unggul dalam peningkatan kinerja persenjataan dan peralatan militer.
Modernisasi kekuatan pertahanan dan keamanan tersebut akan memberikan dua keuntungan bagi Jepang yaitu pertama, keuntungan jangka pendek yaitu terjadinya peningkatan efektifitas militer. Dalam jangka waktu lima tahun senjata-senjata dan peralatan militer tercanggih sudah dapat dimiliki Jepang. Hal itu tentu lebih efektif jika dibandingkan dengan kekuatan yang akan dimilikinya dengan merekrut puluhan atau ratusan ribu personil tentara, mengingat saat ini kekuatan militer lebih berorientasi pada kecanggihan persenjataan dan peralatan. Efektifitas itu juga terkait dengan sikap penolakan masyarakat Jepang terhadap keberadaan SDF. Bahkan sampai saat ini anggota SDF dianggap sebagai orang buangan “outcasts of society”. Maka jika Jepang terus memperbesar jumlah personil militernya akan terjadi pergolakan politik di dalam negeri yaitu penentangan dari para pendukung partai kiri seperti JCP (Japan Communist Party) dan JSP (Japan Socialist Party). Selain itu, jika dikalkulasi berdasarkan perimbangan kekuatan personil militer dengan negara-negara di kawasan Asia Timur, personil militer Jepang sangat kecil, namun Jepang tetap secure enough, sebab terdapat pasukan AS yang memiliki pangkalan militer di wilayah-wilayah Jepang ditambah dengan pasukan AS di Korea Selatan dan di Pasifik Barat (Seventh Fleet), yang selalu siap melindungi keamanan nasional Jepang.
Keuntungan kedua yaitu keuntungan jangka panjang dimana modernisasi itu merupakan sebuah langkah besar Jepang untuk mencapai suatu independensi keamanan regionalnya. Seperti diketahui bahwa selama ini keamanan regional Jepang masih sangat tergantung kepada AS, selain karena alasan terikat pada aliansi keamanan, juga karena alasan persenjataan dan peralatan militer yang tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan atau patroli jarak jauh. Dengan modernisasi tersebut maka Jepang akan mampu mengamankan kawasannya sejauh mungkin tanpa tergantung lagi pada AS. Misalnya dengan New mid-refuelling tankers jarak jangkau fighter aircraft Jepang akan bertambah hingga mencapai seluruh Asia Timur. Kemampuan untuk counter cyber attack dengan pengembangan defense information infrastructure akan memberikan kemampuan bagi Jepang untuk mengacaukan sistem komunikasi lawan. Dengan peralatan dan persenjataan modern seperti itu maka peristiwa percobaan rudal Korea Utara tahun 1998 yang melesat di atas wilayahnya tidak akan terjadi lagi.
Kepentingan Jepang dengan modernisasai kekuatan pertahanan dan keamanannya tidak berhenti pada pencapain dua keuntungan di atas. Pada dasarnya main end yang ingin dicapai Jepang adalah apa disebut oleh Ichiro Ozawa sebagai “normal state”, yang merupakan cita-cita Jepang sejak zaman Meiji. Siapapun mengakui bahwa Jepang saat ini adalah salah satu negara yang memiliki perekonomian terkuat. Namun dalam bidang militer Jepang dapat dikatakan military-less. Sejak menandatangani Postdam Declaration pada 26 Agustus 1945, Jepang tidak memiliki kekuatan militer sama sekali. Bahkan setelah berlakunya peace constitution yaitu Konstitusi 1947 Jepang tidak boleh memiliki militer. Praktis sampai dengan tahun 1950 Jepang benar-benar tidak memiliki kekuatan militer dan berstatus sebagai negara pasifis.
Perubahan mulai terjadi pada tahun 1951 yaitu momentum terjadinya Perang Korea. Selama kurun waktu perang Korea tahun 1950-1951 keamanan Jepang dirasakan sangat terancam. Hal ini disebabkan karena pemindahan pasukan AS yang berada di Jepang ke Arena perang Korea. Keadaan itu telah mendorong AS menekan Jepang agar membangun kembali militernya. Namun karena masyarakat Jepang saat itu masih mengalami traumatik yang kuat akibat PD II, maka Jepang tidak langsung menerima tawaran AS. Untuk menyiasati kondisi tersebut pemerintah Jepang mengambil jalan tengah yaitu menjalin aliansi dengan AS yang didasarkan pada Perjanjian Keamanan Jepang AS pada tahun 1951. Dengan aliansi itu Jepang mendapatkan Jaminan keamanan dari AS dan dalam waktu yang bersamaan Jepang membangun kembali kekuatan militernya yang waktu itu masih berupa polisi cadangan dan hanya berjumlah 75.000 personil
Sejak momentum pembangunan kembali kekuatan militer tersebut strategi Jepang terus berjalan dengan memanfaatkan momentum-momentum politik keamanan internasional yang melibatkan AS, seperti momentum mualainya perang Dingin, perang Vietnam, sampai momentum kekalahan AS di perang Vietnam. Setiap momentum tersebut dimanfaatkan oleh Jepang dengan baik yaitu meningkatkan kekuatan militernya karena pada momentum-monentum tersebut kemampuan AS untuk melindungi Jepang semakin menurun, sehingga Jepang harus mulai melindungi dirinya sendiri, at least untuk menjaga keamanan dalam negerinya saja.
Keberhasilan Jepang membangun kembali kapabilitas pertahanannya merupakan resultansi dari strategi yang begitu smooth dan cerdas. Di tengah berbagai kesulitan yang berasal dari faktor internal seperti penentangan dari masyarakat dan hambatan Konstitusi; dan faktor eksternal yaitu keterikatan dan ketergantungan terhadap AS serta reaksi negatif dari dunia internasional, perlahan namun pasti militer Jepang telah tumbuh menjadi kekuatan yang menyamai militer negara-negara kuat seperti Inggris dan Prancis. Bahkan anggaran militernya menempati urutan atas sebagai negara yang memiliki anggaran militer tertinggi di dunia.
Kebijakan Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan baru-baru ini merupakan salah satu strategi menuju puncak main end-nya. Kebijakan tersebut menemukan ruang pembenarannya yaitu ketika isu-isu keamanan internasional yang akhir-akhir ini diwarnai oleh isu terorisme serta ancaman nuklir Korea Utara yang semakin nyata, maka masyarkat Jepang dan dunia internasional seolah semakin kehilangan alasan untuk mencegah Jepang sebagai negara normal.
Dari kacamata pendekatan realpolitik memang sudah saatnya bagi Jepang untuk memikul tanggung jawab pertahanan kemanannya sendiri. Sebab ketergantungan pada aliansi keamanan terhadap AS hanyalah suatu cara untuk meningkatkan atau memperbesar keamanan negara, namun aliansi tidak bisa dijadikan pegangan untuk menjamin keamanan negara. Logika realpolitik menyebutkan bahwa damai (peace) tidak pernah bisa dijamin (assured) akan tetapi bisa di capai (attained) (Papp:1984). Dengan kekuatan militernya saat ini serta pergeseran aktor sistem dunia yang anarkis dari hanya state actors menjadi multy actors maka kemandirian milieter Jepang merupakan suatu keniscayaan.

Proses Pengesahan Perjanjian Internasional Menjadi UU di Indonesia

I. Latar Belakang

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.

Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.[3]
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional

A. Aliran Dualisme

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;

2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;

3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

B. Aliran Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:

1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;

2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[9]

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.[11]

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:

1. Perjanjian Internasional;

2. Kebiasaan Internasional;

3. Prinsip Hukum Umum;

4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]

Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.

Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.[14]

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.[15]

Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.

Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:

1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.

4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

IV. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:

* Ketentuan Umum

* Pembuatan Perjanjian Internasional

* Pengesahan Perjanjian Internasional

* Pemberlakuan Perjanjian Internasional

* Penyimpanan Perjanjian Internasional

* Pengakhiran Perjanjian Internasional

* Ketentuan Peralihan

* Ketentuan Penutup[20]

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;

2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;

4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[25]
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:

* masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

* perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

* kedaulatan atau hak berdaulat negara;

* hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

* pembentukan kaidah hukum baru;

* pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

PBB dan Fakta Kekejaman

Misi pengumpulan fakta PBB dalam menyelidiki laporan kejahatan perang Israel telah mendapatkan dokumen yang diduga mengkonfirmasi kejahatan Tel Aviv selama perang di Gaza. Pejabat Hamas di Jalur Gaza telah menyiapkan lima belas anggota misi dipimpin oleh Richard Goldstone, juri Yahudi asal Afrika Selatan, lengkap dengan dokumen, foto, dan bahan lainnya dianggap "bukti pelanggaran Israel".

Richard Gladstone, Pemimpin Misi PBB untuk mengumpulkan bukti kejahatan Israel (SuaraMedia News)

Richard Gladstone, Pemimpin Misi PBB untuk mengumpulkan bukti kejahatan Israel (SuaraMedia News)

"Kami telah datang ke sini untuk melihat, belajar, untuk berbicara kepada orang-orang, melihat cara kehidupan; orang biasa, orang pemerintah, orang administrasi," ujar Goldstone kepada wartawan.

Tel Aviv pada akhir Desember melancarkan Operasi Cast Lead atas wilayah Palestina yang berpenduduk 1,5 juta, yang diduga sebagai respons atas pembalasan atas serangan roket Hamas ke Israel.

Selama tiga minggu Israel menyerang di jalur pesisir tersebut dan membunuh hampir 1.350 orang Palestina dan melukai sekitar 5.450 orang lain, yang kebanyakan warga sipil.

Serangan tersebut menghabiskan dana ekonomi Palestina sebesar $ 1,6 miliar, menghancurkan 4000 bangunan pemukiman dan merusak 16.000 rumah lainnya.

Penggunaan senjata pemakan daging yang kontroversial terhadap warga sipil dan bangunan PBB juga menyebabkan kutukan dari pihak dunia dan perintah penyelidikan atas kejahatan perang diberlakukan terhadap Tel Aviv.

Beberapa hari setelah serangan, pemimpin Hamas yang dipilih secara demokratis menyatakan bahwa mereka telah mendokumentasikan bukti kejahatan perang Israel di Jalur Gaza.

"Kami akan menggunakan bukti untuk membangun sebuah kasus terhadap pemimpin politik dan militer Israel sebagai kejahatan pidana," ujar Osama Hamdan, wakil ketua dan pemimpin senior Hamas di Libanon kepada Press TV pada akhir Januari.

Misi PBB dan pejabat Hamas pada hari Senin mungkin akan mengadakan pertemuan di mana Hamas berjanji akan bekerja sama penuh dengan tim pakar hukum.

Pemerintah akan bekerja sungguh-sungguh untuk memberikan komisi tersebut apa yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan mereka agar berhasil, penasihat politik Hamas Yousef Ahmad berkata pada hari pertama misi tersebut.

Israel, bagaimanapun, berusaha untuk menghalang PBB melakukan penyelidikan untuk perdamaian. Delegasi Goldstone telah berulang kali ditolak untuk mendapatkan visa ke Jalur Gaza. Sebuah tindakan yang dikatakan "mengecewakan" oleh pejabat PBB.

"Saya kecewa, dan anggota misi kecewa, kami tidak mendapatkan respon positif dari pemerintah Israel," Goldstone mengatakan kepada wartawan di Jenewa pada akhir Mei.

Grup itu akhirnya memasuki Gaza melalui Mesir melalui penyebrangan Rafah pada hari Senin, segera meluncurkan penyelidikan yang tidak akan menyertakan kementerian kunci israel yang terlibat dalam perang.

Misi tersebut menyulut berbagai macam kecaman dari pihak pejabat Israel yang menuduh tim PBB memihak Palestina.

Pemerintah Israel percaya bahwa komisi tersebut telah ditentukan "untuk mencari kesalahan Israel, bahkan sebelum penyelidikan dimulai," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Israel Yigal Palmor itu seperti dikutip oleh media setempat.

"Sejauh ini, Israel menolak untuk bekerja sama," kata Rina Rosenberg, direktur pengembangan di Adalah, Pusat resmi untuk Minoritas Arab di Israel.

"Dan itu berarti misi Goldstone tidak akan mempunyai akses untuk berbicara kepada tentara, untuk militer dan pemimpin politik," ia menjelaskan.

Goldstone dan timnya telah berencana untuk bertemu dengan para pejabat Hamas dan juga mengunjungi keluarga Samuni , yang kehilangan 29 anggotanya karena pengeboman Israel di Januari.

Tim Goldstone meninggalkan Gaza pada hari Jumat dan diharapkan sebabkan menyerahkan laporan ke Dewan HAM PBB pada bulan Agustus. (iw/ptv/s.med) dikutip oleh www.suaramedia.com